Loading...
Logo TinLit
Read Story - When I Found You
MENU
About Us  

I hate monday!

Ya, Leon membenci hari senin karena dia harus bangun lebih awal agar tidak terlambat datang ke sekolah. Tujuannya agar bisa mengikuti upacara bendera bersama teman satu sekelasnya, bukan bersama barisan siswa-siswi yang terlambat.

Tapi sia-sia saja Leon bangun pagi-pagi buta jika sekarang, ketika waktu menunjukkan pukul 06.20 dia masih berada di rumah perempuan antah berantah yang sampai sekarang belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali.

Leon menghembuskan napas lega ketika pintu kamar yang berada di lantai atas akhirnya terbuka. Namun kelopak matanya kembali terbuka lebar saat melihat penampilan Caitlin dengan balutan seragam putih yang menurut Leon sudah saatnya di sumbangkan untuk anak SD. Juga rok merah bercorak kotak-kotak yang menggantung sempurna sepuluh senti meter di atas lutut.

Dan yang paling mencolok mata adalah sepatu warna merah yang perempuan itu kenakan. Sementara peraturan di sekolah Leon tidak memperbolehkan  memakai sepatu berwarna selain hitam.

"Good morning." sapa Caitlin membuat Leon tersadar akan ketercengangannya.

"Oh hai morning."

"Berangkat sekarang?"

Barulah Leon tersadar. "Lama banget sih."

Bibir tipis Caitlin mengerucut. "Santai aja kenapa sih."

Leon melengos. "Ini Indonesia Cait, bukan New York. Lo ngga bisa santai-santai, yang ada kita telat." "Ayo berangkat, gue tunggu di depan." ucap Leon sambil berlalu.

Fahri yang menyaksikan itu di meja makan mengulas senyum tipis saat Caitlin menatapnya. "Leon benet Cait, di sekolah Leon memang sangat disiplin dan masuk lebih awal. Jadi kamu harus terbiasa."

Caitlin menghela napas pendek. "Yaudah kalau gitu aku berangkat dulu ya pa."

Caitlin mencium punggung tangan Fahri sebelum menyusul Leon.

Ketika Caitlin sudah berada di dalam mobil, Leon segera menyalakan mesin mobil dan melajukannya dengan cepat karena gerbang sekolah akan di tutup sekitar lima belas menit lagi. Sementara perjalanan dari rumahnya ke sekolah membutuhkan waktu paling cepat sepuluh menit.

"Lo seriusan mau sekolah pake seragam sempit kayak gitu?" Leon melirik sekilas ke arah Caitlin.

Caitlin menoleh singkat sebelum kembali menatap layar ponselnya. "Maksud lo? Ini kan seragam gue yang lama Leon. Lagian kan gue juga belum dapet seragam dari sekolah lo."

"Lo juga ngga punya sepatu hitam?" 

"Ngga." sahut Caitlin enteng.

Leon berdecak pelan. Tangan kirinya mencubit pipi Caitlin dengan gemas. Membuat si yang empunya mengaduh kesakitan.

"Apaan sih sakit tau!"

"Di sekolah gue di larang pake sepatu berwarna selain warna hitam Cait."

"Kenapa?"

"Udah peraturan dari sekolah."

"Terus gue gimana?"

"Hari ini mungkin bisa di tolerir. Pulang sekolah gue anterin ke mall deh. Kita beli sepatu."

Mata Caitlin berkilat-kilat senang mendengarnya. "Serius?"

"Iya, tapi bayar sendiri." kekeh Leon.

Caitlin memberikan senyum mengejek. "Emang lo pikir gue ngga punya duit."

Leon hanya mendengus geli. Tidak lama kemudian mobilnya memasuki SMA Palagan dan tepat saat sampai parkiran khusus mobil, bel sekolah menjerit nyaring.

"Untung aja kita ngga telat." desah Leon. Kepalanya menoleh ke arah Caitlin. "Kayaknya ko nggak usah ikut upacara deh, langsung ke ruang TU aja."

Alis Caitlin saling bertautan. "Emang kenapa?"

"Lo kan belum tau kelas lo dimana."

Caitlin mengangguk tanda mengerti. "Ruang TU nya dimana?"

"Ayo turun nanti gue tunjukin." ucap Leon yang langsung turun dari mobilnya yang di segera di susul oleh Caitlin.

-When I Found You-

Caitlin keluar dari ruang TU setelah upacara selesai. Dengan kebaikan hati Leon yang kembali menghampirinya untuk mengantar Caitlin ke kelas barunya, kini keduanya sedang menyeberangi lapangan utama yang menjadi tempat berlangsungnya upacara tadi.

Caitlin mendengus saat beberapa kali dia mendengar siulan-siulan dan yang mengomentari penampilannya dari lantai atas.

"Mereka kenapa sih?" tanyanya pada Leon.

Leon mendongak dan sudah menemukan puluhan siswa sedang menunduk ke bawah. Lebih tepatnya ke arah Caitlin.

"Mereka nggak pernah ngeliat cewek secantik lo kali." jawabnya sambil menyeringai.

Caitlin terkekeh. Tangannya memukul pelan bahu Leon. "Apaan sih."

"Dapet kelas berapa tadi?" tanya Leon ketika keduanya sudah melewati koridor.

"XII IPA 5."

"Ngga sekelas dong kita."

Caitlin tersenyum miring. "Kenapa? takut tiba-tiba ada yang godain gue?"

Leon tergelak. "Kalau itu sih udah pasti."

Caitlin tertawa kecil. Matanya memandang lurus ke depan, memperhatikan setiap siswa-siswi yang berjalan melewatinya.

Caitlin dan Leon sampai di lantai tiga, letak dimana kelas baru Caitlin berada, dan juga kelas Leon yang katanya berada di posisi paling ujung. Caitlin terkejut saat matanya melihat tiga orang siswa yang duduk lesehan di lantai, tepat di tembok samping tangga.

Namun bukan itu saja yang membuatnya terkejut, tapi karena salah satu dari mereka ada seseorang yang kemarin sempat membuatnya kesal setengah mati. Delivery man sombong alias cowok freak!

Andra pun sama terkejutnya dengan Caitlin. Dia tidak menyangka siswi baru pindahan dari New York yang menghebohkan SMA Palagan beberapa saat lalu adalah perempuan yang kemarin sore dengan seenaknya saja memakinya. Ya walaupun itu memang kesalahan Andra karena memutuskan untuk ke bengkel temannya dulu sehingga telat mengantarkan pesanan. Tapi tetap saja Andra tidak terima.

Berbeda dengan teman-temannya yang berbinar kesenangan karena melihat Caitlin, Andra malah memberikan tatapan permusuhan pada perempuan itu yang juga di balas delikan tajam oleh Caitlin.

Lewat ekor matanya Leon bisa melihat tatapan tidak suka dari Andra terhadap Caitlin. Untuk itu dia bertanya pelan. "Lo kenal sama dia Cait?"

Caitlin menoleh sebelum menjawab. "Nggak, Gue nggak kenal dia. Tapi dia itu delivery man songong yang gue ceritain semalem sama lo."

Leon mengerjap. "Delivery man?"

Caitlin mengangguk singkat. Matanya melirik sinis Andra yang saat itu sedang menatapnya dengan tajam. "Iya dia itu delivery man yang bikin gue nunggu selama satu jam lebih."

Rupanya bukan hanya Leon saja yang terkejut dengan ucapan Caitlin, namun teman-teman Andra pun merasakan hal yang sama. Dan hal itu membuat Andra ingin menelan hidup-hidup perempuan barbar yang ada di hadapannya karena merasa telah di permalukan di depan teman-temannya.

"Serius lo Ndra jadi delivery man" tanya Levin, salah satu teman Andra.

Andra cepat-cepat menbantah. "Nggak."

"Kok nggak sih?" Caitlin menyahut. "Jelas-jelas yang kemarin nganterin pesanan gue itu lo! Lo nggak mungkin punya kembaran kan?"

Andra menggeram kesal. Dia bangkit berdiri dan melangkah perlahan ke arah Caitlin.

"Memang gue yang kemaren nganterin pesanan lo. Tapi gue kasih tau sama lo kalau gue bukan delivery man dan stop buat manggil gue ’itu’ karena lo udah bikin gue malu." ucap Andra pelan namun menusuk.

Leon yang posisinya di samping Caitlin tentu saja mendengar ucapan Andra. "Dia nggak tau apa-apa."

Andra menoleh. Alisnya terangkat sebelah. "Pacar lo?"

"Bukan urusan lo." Caitlin menyela. "Ayo Leon kita pergi aja,  ngga usah di urusin cowok freak kayak dia."

Andra mengumpat saat melihat Caitlin dan Leon yang bergerak menjauh. Teman-temannya yang tadi menyaksikan perdebatan sengit antara Andra dan Caitlin dengan duduk di lantai, kini satu-persatu bangkit berdiri.

"Tadi dia bilang apa Ndra? cowok freak? yang bener aja." kata Levin. Pasalnya selama kurang lebih satu tahun dia berteman dengan Andra, tidak ada satu orang pun yang berani mengejek Andra secara verbal seperti tadi. Apalagi jika perempuan.

"Berisik lo!" makinya.

"Tapi Ndra soal lo jadi delivery man itu.. beneran?" kali ini Ronal yang bertanya.

Andra berdecak kesal. "Itu cuma lagi urgent doang." ini semua gara-gara lo cewek barbar.

"Tapi kalau pelanggannya cantik kayak gitu sih lo ngga nyesel kan?" sahut Levin yang semakin membuat Andra jengkel.

Tanpa menjawab pertanyaan Levin, laki-laki itu berbalik dan melangkah dengan cepat. Meninggalkan teman-teman yang sedang menertawainya.

-When I Found You-

"Jadi beneran delivery man nyebelin yang semalem lo ceritain ke gue itu Andra?" tanya Leon ketika keduanya duduk di kursi panjang yang berada di depan kelas Caitlin.

"Nama dia Andra?" Caitlin balik bertanya.

"Iya. Jadi si Andra atau bukan?"

Caitlin menghembuskan napas kesal. "Iya Leon, penglihatan gue masih normal kali."

Leon terkekeh. Dia menyandarkan punggungnya pada tembok. Lalu matanya tanpa sengaja bertumbukan dengan seseorang yang kini sedang menatapnya sambil mengulas senyum samar. Senyuman itu hanya bertahan dua detik karena pada detik ketiga seseorang itu sudah melewatinya untuk masuk ke dalam kelas.

"Leon." panggil Caitlin.

Leon menoleh. "Iya kenapa?"

"Lo nggak ngedengerin gue ngomong ya dari tadi?" Caitlin memandang Leon kesal karena merasa ocehannya di abaikan.

"Eh maaf-maaf." Leon tergagap. "Emang lo tadi ngomong apa?"

"Bukan apa-apa!" semprot Caitlin lalu membuang muka ke arah lain.

"Lho  kok ngambek sih?"

"Abisnya lo ngeselin."

Leon tersenyum geli. Di ulurkan tangannya untuk memutar kepala Caitlin agar menghadap ke arahnya. "Maaf."

Caitlin mendengus sambil menurunkan tangan Leon dari dagunya.

"Jadi...?"

"Apa?"

Leon menghembuskan napas pendek. Menghadapi Caitlin dengan situasi seperti ini memang harus banyak bersabar. Leon kira sikap manja Caitlin akan menghilang seiring bertambahnya usia. Namun Caitlin tetaplah Caitlin yang Leon kenal.

"Jadi lo tadi ngomong apa Cait? bisa di ulang?"

"Tentang cowok yang namanya Andra. Kenapa coba dia marah sama gue cuma karena gue manggil dia delivery man di depan temen-temennya. Padahalkan delivery man itu emang pekerjaan dia."

"Jelas lah dia marah?" sahut Leon.

Caitlin mengerutkan kening. "Kenapa bisa gitu? Temen-temennya nggak tahu soal pekerjaan dia?"

"Bukan."

Caitlin semakin di buat bingung. "Terus?"

"Dia marah karena dia emang bukan delivery man, tapi dia itu anak pemilik Restoran yang kemaren lo pesen makanan."

Bibir Caitlin sedikit terbuka. Terkejut dengan penjelasan Leon. Sejurus kemudian bibirnya kembali terkatup rapat. Dalam diam dia berpikir pantas saja sikap Andra yang semaunya kemarin sangat berbeda dengan delivery man pada umumnya.

"Udahlah nggak usah di pikirin. Sebentar lagi jam pelajaran pertama di mulai. Yuk gue anterin masuk sekalian gue kenalin sama temen gue yang sekelas sama lo."

"Cewek?"

Leon hanya mengangguk. Caitlin pun bangkit berdiri dan melangkah masuk ke dalam kelas barunya di belakang Leon.

Suasana kelas yang tadinya cukup tenang, berubah menjadi sedikit rusuh. Para siswi saling berbisik sambil sesekali melirik Caitlin. Sedangkan beberapa siswa ada yang bersorak heboh saat mengetahui bahwa siswi baru ternyata sekelas dengan mereka.

Caitlin hanya mengulas senyum tipis saat ada yang mengajaknya berkenalan. Karena tidak mau di cap murid yang sombong.

Langkah kaki Leon berhenti pada baris ke empat di meja nomor dua. Dimana di tempat itu terdapat seorang perempuan berkulit putih yang rambutnya di ikat ekor kuda sedang tersenyum pada Leon. Lalu perempuan itu bergantian menatap Caitlin, awalnya dengan tatapan bingung namun dengan cepat dia segera menampilkan senyum lebarnya.

"Eh Leon." kata perempuan itu.

"Hei Shanum." balas Leon. "Num kenalin, ini Caitlin sahabat gue sekaligus pindahan dari New York."

Shanum menganggukan kepalanya. "Gue Shanum, Shanum Athala Rhea."

"Caitlin, Caitlin Zhefania." balas Caitlin .

"Dia duduk sama lo ya num, tempat duduk di samping lo kosong kan?" tanya Leon.

Shanum mengangguk singkat. Senyumnya pun masih bertengger di bibirnya. "Boleh banget, lagian si Rani yang kemarin duduk sama gue lagi ikut program pertukaran pelajar di Singapura,  jadi gue duduk sendiri deh."

"Ya udah kalau gitu gue ke kelas dulu ya? nanti istirahat gue kesini lagi." kata Leon setelah mendengar bel jam pelajaran pertama berbunyi. 

Caitlin dan Shanum sama-sama mengangguk.

Leon balas tersenyum dan melambaikan tangannya singkat sebelum berbalik, namun lagi-lagi dirinya terpaku pada seseorang yang tertangkap basah sedang menatapnya. Leon hanya balas menatapnya satu detik, itupun tanpa senyuman. Pada detik selanjutnya Leon memalingkan wajah dan melangkah keluar kelas IPA 5 dengan setengah berlari. Meninggalkan seseorang itu yang kini sedang menghela napas lelah sebelum kembali fokus pada bacaannya.

Selepas kepergian Leon, Shanum mempersilahkan Caitlin duduk di sampingnya.

"Lo beneran sahabatnya Leon atau..."

"Atau apa? pacar?" tebak Caitlin.

Cengiran Shanum keluar. "Iya gitu deh."

Caitlin menggeleng singkat. "Gue sama Leon itu murni sahabatan. Dari kecil malah."

"Kata Leon lo pindahan dari New York."

"Sebelum gue pindah ke New York gue sempet tinggal di Indonesia sampe kelas 6 SD. Dan waktu orang tua gue cerai gue ikut sama nyokap ke New York dan ngelanjutin sekolah disana." Caitlin bercerita tentang dirinya begitu saja pada Shanum, orang yang bahkan baru di kenalnya beberapa saat lalu. Tapi jika dilihat cara Shanum menatap dan berbicara padanya, Caitlin merasa Shanum merupakan teman yang baik. Dan Leon tidak mungkin bukan membiarkan Caitlin berteman dengan orang yang tidak di kenal baik oleh Leon.

"Terus apa yang membuat lo akhirnya pindah lagi ke Indonesia?"

"Bokap gue yang minta."

Shanum menganggukan kepalanya antusias. Dia baru saja ingin bertanya hal lain pada Caitlin namun dehaman keras yang berasal dari depan pintu yang di susul oleh kalimat salam dari Pak Royani, guru bahasa Indonesia membuat Shanum mengurungkan niatnya.

"Assalamualaikum."

"Walaikumsalam." balas satu kelas serempak.

"Sampai dimana materi kita minggu lalu?"

"Pak jangan belajar dulu dong, disini ada anak baru. Kita belum kenalan." itu suara Joni, salah satu murid yang anti terhadap pelajaran bahasa Indonesia.

Pak Royani membetulkan letak kacamatanya yang sedikit melorot. Lalu Pak Royani menemukan seorang siswi yang seragamnya berbeda dengan yang lainnya.

"Kamu anak baru?" tanya Pak Royani pada Caitlin.

"Betul pak." jawab Caitlin.

"Ya sudah perkenalkan diri kamu di depan." perintah Pak Royani.

Caitlin menurut, dia bangkit berdiri dan melangkah hingga ke depan kelas. "Nama saya Caitlin Zhefania. Kalian bisa panggil saya Caitlin. Saya pindahan dari New York."

"Ooohh namanya Caitlin, Cocok ya sama mukanya. Bule-bule cute " sahut Joni.

"Caitlin saya curiga kalau sebenarnya kamu itu titisan bidadari."

Sontak saja koor membahana langsung terdengar begitu Rudi, penggemar berat Kahlil Gibran sang pujangga cinta mengeluarkan gombalan recehnya.

Mendengar suasana kelas yang berubah tidak kondusif, Pak Royani mengetuk-ngetuk penggaris kayu pada papan tulis. Membuat semua murid menutup mulutnya rapat-rapat.

"Silahkan kembali ke tempat duduk kamu."

Caitlin mengangguk dan segera kembali ke tempatnya. Namun baru beberapa langkah suara Pak Royani kembali terdengar.

"Tunggu!"

Caitlin kembali berbalik. "Kenapa pak?"

"Di sekolah ini hanya memperbolehkan siswa-siswi memakai sepatu hitam. Sedangkan sepatu kamu telah melanggar peraturan." Pak Royani menunjuk sepatu warna merah milik Caitlin dengan penggarisnya.

Caitlin mengikuti arah pandang Pak Royani sebelum menjawabnya dengan mantap.
"Perjalanan dari New York ke Indonesia itu bukan seperti perjalanan Jakarta-Bandung. Dan saya baru sampai di Indonesia kemarin siang. Lagi pula di sekolah lama saya ngga ada peraturan ’Dilarang memakai sepatu warna-warni’  tapi adanya ’Dilarang memakai sendal ke sekolah’. Saya kan anak baru pak, saya mana tahu kalau disini cuma di bolehin pake sepati warna hitam."

Penjelasan panjang lebar dari Caitlin membuat seluruh murid bahkan Pak Royani ternganga lebar. Namun cepat-cepat Pak Royani mengatur ekapresinya sedatar mungkin.

"Untuk hari ini kamu di maklumi. Tapi selanjutnya saya tidak mau lihat kamu pakai sepatu seperti itu lagi." kata Pak Royani dengan tegas.

"Baik pak."

"Ya sudah silahkan kembali ke tempat kamu."

Caitlin segera kembali ke tempat duduknya di samping Shanum. Mulai memerhatikan pelajaran Bahasa Indonesia dengan baik sebagai awal dia memulai proses belajarnya di sekolah baru.

Bersambung

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Salendrina
2427      897     7     
Horror
Salendrina adalah boneka milik seorang siswa bernama Gisella Areta. Dia selalu membawa Boneka Salendrina kemanapun ia pergi, termasuk ke sekolahnya. Sesuatu terjadi kepada Gisella ketika menginjakan kaki di kelas dua SMA. Perempuan itu mati dengan keadaan tanpa kepala di ruang guru. Amat mengenaskan. Tak ada yang tahu pasti penyebab kematian Gisella. Satu tahu berlalu, rumor kematian Gisella mu...
You Are The Reason
2250      921     8     
Fan Fiction
Bagiku, dia tak lebih dari seorang gadis dengan penampilan mencolok dan haus akan reputasi. Dia akan melakukan apapun demi membuat namanya melambung tinggi. Dan aku, aku adalah orang paling menderita yang ditugaskan untuk membuat dokumenter tentang dirinya. Dia selalu ingin terlihat cantik dan tampil sempurna dihadapan orang-orang. Dan aku harus membuat semua itu menjadi kenyataan. Belum lagi...
Phased
6092      1809     8     
Romance
Belva adalah gadis lugu yang mudah jatuh cinta, bukan, bukan karena ia gadis yang bodoh dan baperan. Dia adalah gadis yang menyimpan banyak luka, rahasia, dan tangisan. Dia jatuh cinta bukan juga karena perasaan, tetapi karena ia rindu terhadap sosok Arga, abangnya yang sudah meninggal, hingga berusaha mencari-cari sosok Arga pada laki-laki lain. Obsesi dan trauma telah menutup hatinya, dan mengu...
Aku Lupa Cara Mendeskripsikan Petang
562      386     2     
Short Story
Entah apa yang lebih indah dari petang, mungkin kau. Ah aku keliru. Yang lebih indah dari petang adalah kita berdua di bawah jingganya senja dan jingganya lilin!
BlueBerry Froze
3436      1071     1     
Romance
Hari-hari kulalui hanya dengan menemaninya agar ia bisa bersatu dengan cintanya. Satu-satunya manusia yang paling baik dan peka, dan paling senang membolak-balikkan hatiku. Tapi merupakan manusia paling bodoh karena dia gatau siapa kecengan aku? Aku harus apa? . . . . Tapi semua berubah seketika, saat Madam Eleval memberiku sebotol minuman.
Letter From Who?
484      335     1     
Short Story
Semua ini berawal dari gadis bernama Aria yang mendapat surat dari orang yang tidak ia ketahui. Semua ini juga menjawab pertanyaan yang selama ini Aria tanyakan.
Asa
4658      1387     6     
Romance
"Tentang harapan, rasa nyaman, dan perpisahan." Saffa Keenan Aleyski, gadis yang tengah mencari kebahagiaannya sendiri, cinta pertama telah di hancurkan ayahnya sendiri. Di cerita inilah Saffa mencari cinta barunya, bertemu dengan seorang Adrian Yazid Alindra, lelaki paling sempurna dimatanya. Saffa dengan mudahnya menjatuhkan hatinya ke lubang tanpa dasar yang diciptakan oleh Adrian...
INTERTWINE (Voglio Conoscerti) PART 2
3512      1086     2     
Romance
Vella Amerta—masih terperangkap dengan teka-teki surat tanpa nama yang selalu dikirim padanya. Sementara itu sebuah event antar sekolah membuatnya harus beradu akting dengan Yoshinaga Febriyan. Tanpa diduga, kehadiran sosok Irene seolah menjadi titik terang kesalahpahaman satu tahun lalu. Siapa sangka, sebuah pesta yang diadakan di Cherry&Bakery, justru telah mempertemukan Vella dengan so...
Merayakan Apa Adanya
402      289     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
injured
1470      771     1     
Fan Fiction
mungkin banyak sebagian orang memilih melupakan masa lalu. meninggalkannya tergeletak bersama dengan kenangan lainya. namun, bagaimana jika kenangan tak mau beranjak pergi? selalu membayang-bayangi, memberi pengaruh untuk kedepannya. mungkin inilah yang terjadi pada gadis belia bernama keira.