Melewati pintu masuk Kota Tegal di jalur Utara Pejero Sport bernomor polisi T 8801 MF terlihat melaju kencang. Di dalam mobil itu hanya terlihat Narwo yang santai mengemudi bersama Arman yang tak henti tersenyum memandang setiap barisan pohon di tepi jalan yang dilalui. Sedari kemarin malam Arman dan Narwo berangkat dari Karawang menuju Jombang, sebagai hadiah dari Shahaja untuk Arman. Tadinya Koko memaksa ikut Arman ke Jombang, sekalian bertemu dan berkenalan dengan keluarga Arman. Namun, Shahaja tak mengijinkan karena Shahaja ingin Arman hanya memiliki waktu untuk keluarganya selama pulang ke Jombang, kehadiran Koko dikhawatirkan akan mengganggu Arman karena selama ini Arman dan Koko sangat dekat.
Selain diantar ke Jombang dengan menggunakan mobil milik Shahaja. Arman juga bebas menggunakan mobil itu kemanapun dengan diantar Narwo. Sebagai hadiah juga rencananya Arman akan diajak jalan-jalan keluar negeri bersama Koko sepulang dari Jombang. Masalah negara yang ingin dikunjungi, tinggal pilih saja mau kemana terserah kesepakatan Arman dan Koko.
Sementara itu kegaduhan mendadak memukul setiap pasang telinga dari orang-orang di dekat masjid di Desa Ploso Kampung Durensawit. Saat itu setiap pasang mata juga semakin menajam sembari menyimak yang disampaikan oleh Soleh. Seolah tak senang dengan keluarnya Lek Yusup dari penjara Soleh mempengaruhi warga Kampung dengan mengatakan bahwa Lek Yusup itu bukan orang yang baik, karena keluarga Lek Yusup membiarkan Arman yang tidak bisa ngaji menjadi anak angkat dari orang Cina Kristen. Lek Yusup tega menggadaikan anaknya dan iman anaknya pada orang Kristen. Mungkin karena kefakiran yang lama dialami Lek Yusup dan keluarganya yang menyebabkan demikian. Karena itu Soleh mengajak warga untuk bertemu Pak RT, menyampaikan keinginan warga bahwa Lek Yusup dan keluarganya tidak layak tinggal di Kampung mereka.
Sementara itu Lek Yusup yang hari itu bersiap pergi ke pesantren Al Fattah dengan ditemani Suroso terlihat sedikit gelisah. Raut wajahnya tiba-tiba saja menengang, entah karena terlalu lama menanti Suroso yang tak kunjung tiba dengan sepedah kayuhnya atau hatinya gelisah karena tidak tenang memikirkan anak lanang-nya. Sesekali pandangan Lek Yusup dilempar ke luar jendela, dan sesekali juga dilempar pada jam tua di atas almari. Saat melihat sikap suaminya Ngatini yang pagi itu tidak berjualan klanting di pasar duduk di kursi tua sembari meletakkan kopi hitam dalam cangkir, kemudian berkata “Mas, diunjuk sek kopine.”1
Namun Lek Yusup tak membalas perkataan Ngatini. Sampai hari itu Lek Yusup masih sangat kecewa dengan keputusan Ngatini yang menyerahkan Arman pada orang Cina Kristen. Lek Yusup khawatir bahkan takut Arman tidak lagi memegang teguh imannya karena dipaksa atau dipengaruhi mereka. Perasaan yang sama seperti yang dirasakan setiap orang tua saat anaknya menikah dengan orang beda agama, itu kata orang-orang Kampung bahkan kata Pak Haji Ramlan yang Lek Yusup dengar semalam. Lek Yusup juga menduga kalau perkataan mereka yang menyebut Arman di sekolahkan di Aliyah cuma untuk menutupi kejahatan mereka terhadap Arman, yaitu yang akhirnya memaksa Arman pindah agama.
Terlihat oleh Suroso yang hendak melintas di salah satu sudut Kampung itu melihat orang-orang tergesa menuju rumah Pak RT. Saat itulah Suroso yang heran bertanya pada Mbah Nanang tentang apa yang diributkan. Namun jawaban Mbah Nanang tak memuaskan karena rupanya Mbah Nanang tak begitu menyimak yang dilakukan orang-orang di depan masjid di dekat rumahnya. Dengan kening merapat Suroso hanya memandang orang-orang yang berjalan beriring semakin jauh.
Saat hendak kembali mengayuh sepedah kayuhnya tiba-tiba Mak Sarti menghadang Suroso, kemudian berkata agak keras sembari melotot “Eh So, saiki cepetan nang omahe Lek Yusup. Kandangi Lek Yusup kudu siap-siap, ndelik ndisek sampe uwong-uwong gak uring-uringan. Mengko lek wis aman cakot mbalek.”2
Suroso yang mendadak bingung cuma mengangguk-angguk, kemudian terdiam dengan sepedah kayunya. Saat itu juga Mak Sarti keras berkata pada Suroso “He So cepet! Ndang budal.”3
Sigap Suroso mengayuh sepedah kayuh tua miliknya, tetapi baru beberapa kayuhan Suroso kembali berhenti. Saat itu keningnya merapat, kemudian sigap menoleh pada Mak Sarti yang pergi tergesa. Keras Suroso memanggil Mak Sarti, hingga Mak Sarti berhenti melangkah. Kemudian Mak Sarti menatap Suroso dengan tajam sembari melotot. Membuat Suroso yang hendak bertanya mendadak mengurungkan niatnya, kemudian cepat mengayuh sepedah kayuh tua.
“Haaa Mak Sarti mesti ngene! Ora kanda-kanda ana masalah apa! Mengko Lek Yusup lek takon aku piye, aku malah sing diuring-uring maneh kayak ndek wingi. Ancene Mak Sarti iki!”4 Gerutu Suroso kesal sembari mengayuh sepedah tua.
Belok ke pekarangan rumah tua milik Lek Yusup Suroso tak sempat mengerem sepedahnya yang melaju kencang, hingga membuat dirinya dan sepedah tuanya nyungsep di antara semak perdu di dekat pohon jambu batu. “Braaaak!!!”
Membuat Lek Yusup dan Ngatini sedikit terperanjat, sementara kedua mata mereka sigap meneliti keluar jendela rumah. Pelan Lek Yusup bertanya “Suara apa iku...”
Kemudian Ngatini tergesa membuka pintu dan keluar rumah. Saat itulah pandangannya berhenti pada seseorang yang jatuh di atas sepedah kayuh di antara semak perdu di depan rumahnya. Tanpa mengalihkan pandangannya Ngatini memanggil suaminya. Saat itu juga Lek Yusup keluar dan bertanya “Ana apa Tin?”
“Iku sapa ya Mas sing nyungsep nang perdu.”5 Kata Ngatini sembari jari telunjuknya mengarah pada orang yang nyungsep.
Teliti Lek Yusup memeriksa dengan kening merapat sembari sedikit memicingkan matanya. Setelah mendengar suara rintihan dari orang itu, Lek Yusup tersadar kemudian segera menghampiri dan menolong Suroso dengan sepedah kayuhnya. Setelah bangkit dengan terengah dan mengaduh Suroso memijit-mijit tubuhnya yang sakit karena terjatuh tadi. Sementara Lek Yusup menyandarkan sepedah tua milik Suroso pada pohon jambu batu.
Pelan Lek Yusup menuntun Suroso masuk ke dalam rumah, sementara Ngatini tergesa mengambil segelas air putih. Setelah duduk di kursi dengan terengah Suroso meminta Lek Yusup untuk lekas sembunyi bersama Ngatini, namun saat itu juga Lek Yusup yang bingung mendengar perkataan kawan baiknya itu meminta Suroso untuk minum air putih yang dibawakan Ngatini. Akhirnya Suroso menenggak air itu hingga tak bersisa.
Setelah itu Suroso kembali mengatakan bahwa Lek Yusup dan Ngatini harus segera pergi sembunyi sekarang juga. Sedangkan Marianti dan Ripah nanti akan Suroso jemput ke sekolah, trus langsung membawa mereka ke tempat persembunyian Lek Yusup dan Ngatini. Lek Yusup yang tak mengerti cepat bertanya “Loh kenapa aku kudu ndelik? Apa masalahe?”6
“Wistalah Lek manut ae, aku ya gak weruh. Mak Sarti sing ngomong, duduk aku.”7
Saat itulah wajah Lek Yusup kembali menegang, seolah menyimpan amarah dan rasa ingin tahu. Suroso yang melihat perubahan raut wajah Lek Yusup, cepat menyela “Iku jare Mak Sarti Lek, duduk aku.”8
Sigap Lek Yusup menoleh dan tajam memandang Suroso. Sedikit terbata Suroso berkata “Aku....”
Namun perkataannya terhenti saat mendengar suara keras dari orang-orang Kampung memanggil Lek Yusup di depan rumah itu. Saat itulah Suroso berkata pelan “Waduh, kayake iku....”9
Saat itu juga Lek Yusup dan Ngatini melempar pendengaran dan pandangannya keluar jendela, mencoba mencari tahu keributan yang terjadi. Sementara orang-orang Kampung yang berjumlah lebih dari 20 orang terus memanggil nama Lek Yusup, saat itu Lek Yusup yang tak beranjak dari kursi tegas memandang Suroso, kemudian bertanya “Jadi maksudmu ini So?!”
“Jare Mak Sarti Lek.”Kata Suroso tegas.
Tegas Lek Yusup bangkit kemudian membuka pintu dan berdiri di teras rumah yang masih berupa tanah. Sebelum Lek Yusup berkata, Soleh yang berdiri paling depan berkata “Oooh Lek Yusup sudah pulang? Jadi bener sing dirasani kabeh uwong.”10
“Maksud sampeyan apa Leh?”11 Tanya Lek Yusup tegas.
Sejenak Soleh tersenyum, kemudian berkata “Wistalah Lek, gak usah ethok-ethok gak ngerti. Kabeh uwong wis ngerti, masak pean jek takon.”12
“Lek, kabeh wong nang kene wis weruh Lek Yusup iku cuma buruh sawah, tapi awake dewek gak ngerti dalan pikirane Lek Yusup, kok tegane Lek Yusup iku ngedol Arman nang Cina, kafir menisan. Dibayar pira Lek?”13 Kata Pak Slamet.
“Eh ati-ati lek ngomong! Sapa sing ngedol Arman heh!” Suara Lek Yusup keras.
“Alaaah gak usah ethok-ethok gak weruh. Buktine Arman nang endi saiki? Gak ono kan?”14 Sahut Sholeh, kemudian tersenyum tipis di ujung perkataannya.
Sejenak Cak Menik menoleh pada Soleh, kemudian berkata “Wis Cak, langsung saja kita ngomong.”
Menyusul kemudian orang-orang mengangguk dan mengiyakan. Setelah itu Pak Diro menyahut “Ben aku sing ngomong.”15
“Kabeh wong kene pingin Lek Yusup ngalih, aja manggong ndek kene. Margo sing ndek kene isin duwe tangga kayak Lek Yusup, tega ngedol anak cuma gawe oleh duwit, tega anake dadi kafir gara-gara diingu wong Cina kafir.”16
“Benar, sok sa uwise Arman, anake dewek sing didol nang Cina kafir.”17
Hampir bersamaan orang-orang mengangguk tegas, kemudian serentak berkata “Minggat kono Lek, minggat sing adoh....”18
Menyusul kemudian orang-orang bergerak, mendekap Lek Yusup supaya tidak melawan dan menyeretnya ke pekarangan rumah itu. Sementara itu Ngatini hanya dicekal erat-erat tangannya, kemudian ditarik seperti suaminya. Saat itu juga Lek Yusup yang tak terima berontak keras, berusaha melepaskan tangan-tangan yang mencekalnya. Hingga keributan terjadi antara Lek Yusup dengan lebih dari dua puluh orang-orang Kampung di pekarang rumahnya. Bahkan keributan itu membuat sebagian orang-orang Kampung keluar rumah, dan melihat yang terjadi.
Tak Lama kemudian terlihat seorang warga mengayuh sepedah kayuh di depan sepedah motor yang dikendarai Pak RT dan Pak RW, kemudian berhenti di dekat pagar tembok tua. Saat itulah sembari mendekati kerumunan Pak RT keras meminta perseteruan yang terjadi berhenti dilakukan. Kemudian tegas Pak RT dan Pak RW menanyakan yang terjadi pada orang-orang, namun saat itu juga mendadak orang-orang yang tadi beringas terdiam. Sementara Pak RT meneliti 25 orang yang ikut dalam dalam aksi tak terpuji itu. Setelah itu pandangannya berhenti pada satu warganya bernama Soleh. Heran Pak RT yang bernama Slamet melihat Soleh ada di antara warga yang ingin mengusir Lek Yusup. Kemudian pikiran dan hatinya mengaitkan dengan kejadian yang menimpa Soleh di rumah Lek Yusup. Hingga saat itu juga pikiran dan hatinya lebih terbuka, mungkin ini semua ulah Soleh yang mempengaruhi warga untuk mengusir Lek Yusup.
Saat itu juga Pak RT Slamet berbisik pada Pak RW Rozak, hingga membuat Pak RW merapatkan kening, kemudian mengangguk-angguk pelan. Setelah itu tegas Pak RW kembali bertanya pada orang-orang di hadapannya “Jadi masalahe apa? Sampeyan-sampeyan iki kok jadi seperti orang kalap, orang kesurupan.”
“Ayo salah satu ngomong!” Pak RW tegas.
Setelah itu Soleh maju selangkah, kemudian berkata “Pak RW, tidak ada asap kalau tidak ada api. Kita mau mengusir Lek Yusup karena kita takut Lek Yusup akan berbuat jahat sama semua warga di sini.”
“Maksudmu apa Pak Soleh? Jahat seperti apa?” Tanya Pak RW.
“Ya jahat Pak RW. Jahat karena menjual Arman sama orang Cina kafir, jahat karena membiarkan Arman jadi kafir, jahat karena itu semua cuma untuk mendapatkan uang, biar gak kere.”
“Buktinya apa Pak kok sampeyan bilang seperti itu?”
“Buktinya yang pertama Arman gak ada di sini, trus periksa saja di rumah itu pasti ada uang yang disembunyikan. Uang hasil menjual Arman sama orang Cina kafir.” Jawab Soleh.
“He Soleh ojo mitnah Kowe! Sapa sing ngedol Arman!”19 Lek Yusup tegas sembari melotot pada Soleh. Namun Soleh tak menjawab, dia hanya tersenyum sembari berkata “Butkinya Arman gak ana20 kan? Trus tanya Ngatini yang bawa Arman itu sapa? Kalau belum cukup saiki periksa omahmu Lek, pasti ana duwit sing di delikno.”21
Mendadak Lek Yusup terdiam saat menyadari dua dari yang dituduhkan Soleh ternyata benar, bahwa Arman memang tidak ada di sini, walaupun tidak pernah menjual anak lanang-nya itu dan yang mengambil Arman adalah orang Cina Kriten. Andai dirinya tak dipenjara maka Lek Yusup tidak akan pernah mengijinkan anaknya diadopsi atau diangkat anak oleh siapapun. Lek Yusup tak perduli semiskin apapun dirinya hidup, yang penting anak-anaknya tetap dekat dan masih teguh dalam iman Islam. Tetapi tuduhan ketiga yang dikatakan Soleh itu tidak benar. Ngatini ataupun dirinya tidak pernah menerima uang seperpun dan tidak pernah menjual Arman.
Saat itu Pak RW dan Pak RT sejenak berbisik untuk membuktikan perkataan Soleh. Setelah itu Pak RT memanggil Suroso yang selama ini cukup dekat dengan Lek Yusup. Dari Suroso akhirnya Pak RW dan Pak RT mengetahui tentang Arman yang diadopsi atau menjadi anak angkat dari Shahaja, orang Cina yang menjadi keluarga angkat almarhum Kyai Ahmad, pemilik pesantren Al Fattah. Suroso juga menceritakan yang ia dengar dari Ngatini bahwa atas anjuran Kyai Ahmad, Ngatini dan Arman menerima tawaran Shahaja untuk melepas Arman dan Arman menjadi anak angkat Shahaja.
Setelah mendengar cerita dari Suroso Pak RW dan Pak RT mulai meragukan tuduhan Soleh pada Lek Yusup. Tetapi Pak RW dan Pak RT ingin membuktikan tuduhan yang ketiga dari Soleh, yaitu Ngatini dan Lek Yusup menyimpan uang hasil menjual Arman di dalam rumahnya. Saat itu juga Pak RT bersama Suroso masuk ke dalam rumah tua milik Lek Yusup, kemudian menggeledah setiap tempat dan setiap benda. Bahkan membuka kaleng-kaleng rongsok di belakang rumah, dan juga membuka kaleng-kaleng yang tersembunyi di dalam rumah itu. Hingga akhirnya Suroso menemukan sebuah kaleng biskuit yang berisis amplop-amplop surat. Setelah membuka salah satu amplop, Suroso pun terkejut ternyata isi dari amplop-amplop surat itu adalah uang. Satu amplop ada yang berisi 400 ribu dan 500 ribu. Dan jumlah semua amplop itu ada 36 amplop.
Keluar dari dalam rumah Pak RT menenteng sebuah kaleng biskuit. Membuat Ngatini terkejut, lalu sigap berlari dan merebut kaleng yang dibawa Pak RT. Kemudian erat Ngatini mendekap kaleng itu. Membuat Lek Yusup heran dan semua orang yang ada di pekarangan itu heran.
Saat Pak RT hendak berbisik pada Pak RW, saat itulah Ngatini berkata keras “Isi dalam kaleng ini adalah uang yang dibungkus amplop.”
Membuat semua orang terkejut saat itu juga sembari menantap Ngatini yang terlihat hampir menangis. Saat itulah sayup-sayup suara kembali menyeruak, membenarkan perkataan Soleh bahwa Ngatini dan Lek Yusup menjual Arman pada orang Cina kafir.
“Jadi bener Tin, Lek Yusup ngedol Arman nang Cina kafir?!” Tanya Cak Diro keras. Menyusul orang-orang mengiyakan sembari mengangguk tegas. Mereka tak menyangka bahwa Lek Yusup dan Ngatini bisa setega itu menjual anaknya cuma untuk mendapat uang yang tak seberapa. Saat itu juga hati setiap orang menjadi terbakar, bahkan lebih besar kobarannya.
Namun Ngatini yang tak terima dengan tuduhan mereka, tegas membantah dengan perkataan “Selama Mas Yusup di penjara, Kyai Ahmad selalu memberikan amplop-amplop berisi uang ini untuk menyambung hidup. Saat itu Kyai Ahmad juga yang menyarankan Arman untuk menjadi anak angkat Shahaja. Dan menasehati saya untuk melepas Arman, supaya Arman bisa belajar, bisa sekolah tinggi dan baca Quran.”
Hingga air mata Ngatini tak terbendung lagi, saat hatinya merasa sangat bersedih kehilangan seseorang yang bisa membelanya dan selalu memperhatikan keluarganya yaitu Kyai Ahmad. Ngatini juga bersedih karena Arman hingga saat ini tak pernah pulang ke Jombang, hanya sekedar untuk menengok keluarga kecilnya.
Tak lama berselang setelah Ngatini mengungkapkan perasaannya pada semua warga Kampung yang kini berkerumun lebih banyak di pekarangan rumah tua itu, sebuah Mitsubisi Pajero Sport warna hitam terlihat belok ke pekarangan rumah itu, namun tiba-tiba mobil itu berhenti tepat di belokan. Saat itu juga Arman tergesa membuka pintu dan keluar dari dalam mobil. Lek Yusup, Ngatini dan warga Kampung yang melihat seorang anak muda keluar dari dalam mobil merasa heran dan tak mengenali bahwa pemuda itu adalah Arman.
Saat itulah Arman memandang heran yang terjadi di pekarangan rumah Bapaknya. Kemudian berjalan pelan sembari meneliti setiap wajah, hingga Arman melihat laki-laki tua dengan wajah dan pakaian yang lusuh. Tergesa Arman menghampiri Bapaknya, kemudian memeluk erat dan menangis tersedu.
“Bapak, aku kangen Bapak. Bapak Sehat? Kapan keluar dari penjara? Kenapa jadi kurus begini?” Tanya Arman dengan air mata terurai memandang Bapaknya.
Saat itu juga Lek Yusup seakan tak percaya dengan yang dilihatnya saat itu. Tanpa mengedipkan kedua mata, pelan Lek Yusup bertanya “Arman? Kowe Arman?”
Kemudian pandangannya meneliti pemuda di hadapannya, dari ujung kaki hingga ujung kepala. Kemudian Arman berkata dengan mata berkaca-kaca “Inggih Pak, iki aku Arman. Anak lanange Lek Yusup.”22
Tergesa Ngatini menghampiri Arman, kemudian memandang Arman dengan linangan air mata. Pelan Ngatini berkata “Arman, tambah ganteng Kowe le. Tambah dukur.”23
Sigap Arman mencium tangan Ngatini Ibu tirinya, kemudian berkata “Emak sehat? Kok tambah kurus juga?”
Setelah itu orang-orang di pekarangan Lek Yusup saling melempar kata, berbisik, membicarakan Arman yang tak diduga kembali ke Jombang. Dan saat itulah ada satu wajah yang menahan amarah, melihat Arman ternyata kembali ke Jombang. Dengan kalap Soleh berkata “Aku ndak percoyo si Arman iki muslim.”
Membuat semua warga terdiam dengan kening merapat. Melihat Pajero Sport yang terparkir di pintu pekarangan rumah, Soleh menduga bahwa mobil mewah itu milik Arman yang telah menggadaikan imannya. Kemudian Soleh melanjutkan “Wah jadi hargane imanmu ikut padha mbek montor Man?”24
“Eh Cak, maksudte apa?” Tanya Darno.
“Man Kowe gak melu-melu kafir kan?”25 Tanya Soleh keras.
“Pak Dhe, jangan memfitnah.” Ucap Arman sopan.
“Loh siapa yang fitnah? Aku kan cuma takon.” Kata Soleh tegas.
Sejenak Arman menghela nafas, mencoba lebih menenangkan diri menghadapi Pak Soleh, Bapak dari Margiono yang pernah berkelahi dengan dirinya saat masih kecil. Hingga masalahnya berbuntut panjang, dan menyebabkan Bapaknya masuk penjara, padahal Arman yakin Bapaknya tidak melakukan yang dituduhkan oleh Pak Soleh.
Setelah itu sembari tersenyum Arman menjawab pertanyaan Pak Soleh “Alhamdulillah, aku masih yakin sama Gusti Allah. Tetap Islam Pak Dhe.”
Berat Soleh membuang nafas, kemudian bertaya “Apa buktine? Kalau Cuma ngomong aku Islam kabeh uwong ya iso Man. Kayak gawe KTP, tulis ae Islam.”26
Saat itulah Pak RW berkata “Sudah sudah Pak Soleh, Arman kan sudah mengatakan kalau Arman tidak pindah agama. Dan saya juga percaya yang dikatakan Arman, kenapa Pak Sholeh masih meragukan Arman?”
Seketika itu Soleh terdiam, sementara para warga terdengar saling bercakap pelan. Tapi tak lama kemudian Soleh kembali berkata “Kalau gitu Arman baca Quran di masjid. Bisa ndak baca Quran? Pasti gak bisa dan pinteran Margiono anakku, muridnya Haji Ramlan.”
Senyum sumringah langsung hadir di wajah Soleh, karena Soleh yakin Arman tidak bisa baca Quran seperti dulu. Walaupun mungkin Arman sudah belajar ngaji saat tinggal bersama keluarga angkatnya, tetapi Soleh masih tetap yakin kalau anaknya yang lebih bagus baca Qurannya, karena anaknya berguru pada Haji Ramlan.
Akhirnya disepakati pagi itu juga sebelum matahari bertambah tinggi orang-orang Kampung berbondong-bondong pergi ke masjid. Menyusul kemudian Arman bersama Bapaknya dan Ngatini. Tak lupa Arman juga mengajak Narwo bila nanti ada warga yang ingin bertanya tentang orang tua angkatnya, Arman akan meminta Narwo menjelaskan karena dialah yang lebih dulu bekerja pada keluarga Shahaja, jadi pasti Narwo lebih tahu.
Di masjid Kampung yang lumayan besar itu, beberapa pengurus masjid langsung menyiapkan alat-alat yang diperlukan. Tak lama kemudian Haji Ramlah masuk ke dalam masjid kemudian duduk di depan menghadap para warga. Yang Haji Ramlan dengar saat itu ada seorang warga yang mengabari bahwa di masjid ini akan ada lomba membaca Alquran, dan dirinya diminta untuk segera hadir. Setelah itu Soleh mengatakan bahwa sebenarnya bukan lomba membaca Alquran, tetapi untuk menguji Arman apakah Arman memang benar beragama Islam atau Arman masih tidak bisa membaca Quran, yang artinya dia tidak lagi bergama Islam atau disebut telah kafir, karena telah murtad.
Namun Haji Ramlan tak segera mengiyakan bahwa dirinya sependapat dengan perkataan Soleh. Haji Ramlan mempunyai pandangan sendiri yang sesuai dengan Quran, dalam menentukan seseorang kafir atau beriman. Tetapi dalam hati Haji Ramlan menyimpan rasa ingin tahu terhadap pemuda yang bernama Arman. Setahu Haji Ramlan, dulu sewaktu Arman masih sekolah di Ploso Jombang ini Arman adalah anak dari buruh sawah yang tidak bisa membaca Alquran. Yang Haji Ramlan dengar kedua orang tuanya tak mempunyai biaya untuk mengikuti kegiatan belajar ngaji atau baca Quran di masjid.
“Saya ikhlas Pak Haji, kalau semua orang percaya bahwa saya bukan kafir seperti yang mereka tuduhkan dengan membaca Alquran maka saya akan baca sekarang.” Ucap Arman sopan. Membuat Lek Yusup, Ngatini dan semua warga yang hadir tersentak kaget. Kemudian muncul pertanyaan dalam hati mereka “Apa benar Arman sudah bisa ngaji?
Sejenak Haji Ramlan mengangguk-angguk, tanda bahwa dirinya mengijinkan Arman membaca Alquran. Setelah itu Arman bersila di depan meja pendek di hadapan Haji Ramlan. Pelan tangan Arman menarik Alquran ukuran kecil pemberian Kyai Ahmad, kemudian meletakkannya di meja sementara kedua tangannya ganti mengambil microfon dan mendekatkannya pada kedua bibirnya. Saat tangan kanannya membuka lembar demi lembar halaman dari Alquran itu, kedua mata Haji Ramlan teliti melihat Alquran ukuran kecil yang sangat khas itu, karena cuma ada satu Quran seperti itu. Saat itulah Haji Ramlan teringat dengan mimpinya semalam, bahwa Quran yang dipegang Arman adalah Quran yang dipegang Kyai Ahmad dalam mimpinya. Quran itu hanya ada satu, yaitu milik Kyai Ahmad pemilik pesantren Al Fattah Ploso Jombang. Dalam mimpi itu Kyai Ahmad berdiri di hadapan seorang pemuda, yang saat itu Haji Ramlan tak dapat melihat wajah pemuda itu, karena pemuda itu berdiri membelakanginya. Namun terlihat jelas Kyai Ahmad memberikan Alquran ukuran kecil yang sama persis itu pada pemuda di hadapannya. Dan kini dia yakin pemuda itu adalah Arman, karena Arman yang memiliki Alquran milik Kyai Ahmad yang tak dimiliki siapapun.
Saat Arman hendak membuka kedua bibirnya, saat itulah Haji Ramlah berkata “Saya yakin Arman bukan kafir.”
Membuat Arman tak jadi membaca Alquran dan membuat warga yang hadir terheran-heran, apa maksud Haji Ramlan? Saat itu juga Soleh akan bertanya, namun perkataan Haji Ramlan mendahuluinya “Aku percaya Arman bisa ngaji, jadi ndak perlu di tes ngaji segala.”
“Kenapa begitu Pak Haji? kita semua....”
“Cuma Pak Soleh yang ndak percaya Arman bisa ngaji dan percaya Arman itu kafir.” Agak tegas Haji Ramlan.
Saat itu juga Soleh tiba-tiba terdiam, mulutnya seakan tak bisa membantah lagi perkatan Haji Ramlan. Setelah itu Haji Ramlan menceritakan mimpinya bertemu dengan Kyai Ahmad bersama seorang pemuda. Kepada semua warga yang hadir di masjid itu Haji Ramlan mengatakan alasan itulah yang membuatnya yakin bahwa Arman bisa ngaji, karena Arman pemuda dalam mimpinya itu, walaupun tak melihat wajah dari pemuda itu.
“Subhanallah....” Ucap semua warga sembari serius mendengar perkataan Haji Ramlan.
Sama seperti Haji Ramlan, para wargapun mulai percaya bahwa Arman bukan kafir dan bisa ngaji Quran. Saat itu juga warga memohon maaf pada Lek Yusup dan Ngatini,, terutama pada Arman. Mereka berharap Gusti Allah mengampuni kesalahan mereka, karena tuduhan mereka bisa menjadi fitnah yang dosanya lebih besar dari pembunuhan.
Rasa bahagia yang begitu besar dirasakan Lek Yusup, hingga membuat kedua matanya memerah karena menahan gempuran air mata. Andai tak banyak orang di dalam masjid itu Lek Yusup sangat ingin menangis, menangis karena bahagia mengetahui Arman bisa membaca Alquran dan mendapat peninggalan dari almarhum Kyai Ahmad. Dirinya berharap ini adalah akhir dari cibiran orang-orang Kampung terhadap dirinya dan keluarganya, seperti yang selama ini selalu dicap goblok karena tak bisa membaca Alquran. Semoga Allah mengangkat derajad keluarganya dengan Alquran Nul Karim.
Sedangkan Soleh yang awalnya tetap tak dapat menerima penjelasan Haji Ramlan, akhirnya menyadari tuduhannya salah saat mengingat Kyai Ahmad pemilik pesantren Al Fattah yang telah meninggal memiliki keistimewaan sebagai Kyai atau wali yang dicintai Allah. Seolah tak ingin mendapat kesialan, saat itu juga Soleh memohon maaf pada Lek Yusup, Ngatini dan Arman.
Hanya rasa syukur pada Gusti Allah yang terucap dalam hati Arman saat mendengar penjelasan dari Haji Ramlan. Apalagi Haji Ramlan mengatakan bermimpi bertemu Kyai Ahmad yang sudah meninggal. Saat itu juga dalam hatinya terlantun fatihah untuk Kyai Ahmad. Arman sangat yakin bahwa orang yang sudah meninggal dapat berjumpa dengan orang yang masih hidup dengan seijin Gusti Allah, yaitu lewat sebuah mimpi.
Mengingat semua yang dialaminya Arman hanya berharap para muslim tidak mudah mengucapkan atau menuduh kafir pada orang yang dibencinya. Karena boleh jadi orang mereka tuduh sebagai kafir padahal tidak kafir, lebih dicintai Gusti Allah. Semoga dirinya termasuk hamba yang dicintai Gusti Allah, walaupun tidak sepandai para pencari ilmu. Cukup “Aku bukan kafir!” yang terucap di hati dan kedua bibir setelah ucapan syahadat menjadi saksi kalimat yang akan menemaninya saat berjumpa dengan-Nya, saat Gusti Allah memberi balasan pada setiap diri.
TAMAT
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Mas, diminum dulu kopinya.
2. Eh So, sekarang cepat ke rumahnya Lek Yusup. Beritahu Lek Yusup harus siap-siap, sembunyi dulu sampai orang-orang tidak marah-marah . Nanti kalau sudah aman, baru kembali.
3. He So! Cepat berangkat!
4. Haa Mak Sarti selalu seperti ini! Tidak bilang-bilang ada masalah apa! Nanti kalau lek Yusup tanya aku bagaimana, aku malah yang kena marah seperti kemarin. Memang Mak Sarti ini!
5. Itu siapa Mas yang menabrak perdu?
6. Kudu = harus. Ndelik = sembunyi. Masalahe = masalahnya.
7. Sudahlah Lek nurut saja. Aku juga tidak tahu. Mak Sarti yang bilang, bukan aku. // duduk =bukan
8. Itu kata Mak Sarti, bukan aku.
9. Waduh, sepertinya itu...
10. Yang diomongkan semua orang.
11. Maksud kamu apa Leh.
12. Sudahlah Lek, tidak perlu pura-pura tidak mengerti. Semua orang di sini sudah mengerti, masak anda masih tanya.
13. Lek semua orang di sini sudah tahu Lek Yusup itu Cuma buruh sawah, tapi kita tidak mengerti jalan pikirannya Lek Yusup., kok tega Lek Yusup itu menjual Arman ke orang Cina, kafir lagi. Dibayar berapa Lek?
14. Alaah tidak perlu pura-pura tidak tahu. Buktinya Arman kemana sekarang?!
15. Biar aku yang bicara.
16. Semua orang di sini ingin Lek Yusup pergi, jangan tinggal di sini. Karena yang di sini malu punya tetangga seperti Lek Yusup, tega menjual anak demi mendapat uang, tega anaknya jadi kafir gara-gara diurus sama orang Cina kafir.
17. Benar, besok setelah Arman, anak kita yang dijual pada Cina kafir.
18. Pergi sana Lek, pergi yang jauh.
19. He Soleh jangan memfitnah kamu! // sapa sing= siapa yang // ngedol =menjual
20. Gak ana = tidak ada
21. Ada uang yang disembunyikan.
22. Iya Pak. Ini aku Arman. Anak laki-laki Lek Yusup.
23. Arman, tambah ganteng kamu. Tambah tinggi.
24. Man, kamu tidak ikut kafir kan?
25. Kabeh uwong iso Man= semua orang bisa. Kayak gawe= seperti membuat
Alhamdulillah finished! full story of "aku bukan kafir!".
hope you fine and enjoy, don't too busy, remember it!