Pagi menjelang siang di pesantren Al Fattah Ploso Jombang terasa berkabut, walaupun sinar matahari perlahan meninggi. Mungkin karena kabar duka yang mendadak menyerang dan mengubah hari di pesantren itu. Hingga menenggelamkan tawa dan senyum di wajah para Santri dan pegawai pesantren. Namun yang masih membuat orang-orang pesantren tak percaya adalah kepergian yang sangat tiba-tiba tanpa ada firasat apapun dari Kyai mereka. Belum lagi keterlambatan pengumuman bahwa Kyai Ahmad yang memimpin pesantren Al Fattah telah mangkat1 dini hari tadi sebelum Azan subuh berkumandang. Hanya para Santri yang menyaksikan saat-saat Kyai Ahmad yang sedang duduk menanti Azan subuh di masjid sembari membaca dzikir langsung tertunduk lemas bersamaan tangannya berhenti menggerakkan tasbih.
Masjid yang megah di dalam pesantren itu masih saja penuh berjubel dengan orang-orang yang ingin menyolatkan almarhum. Semakin siang juga semakin terlihat panjang antrian mobil-mobil kerabat ataupun teman Kyai Ahmad. Bahkan harus dilakukan sholat jenazah sebanyak 6 kali di dalam masjid yang megah itu. Berita meninggalnya Kyai Ahmad pemimpin pondok pesantren Al Fattah terdengar juga ke Kampung-Kampung di sekitar pesantren. Saat itu juga orang-orang beriringan datang ke pesantren hanya untuk ikut bagian menyolatkan almarhum Kyai Ahmad. Rencana pemakaman almarhum akhirnya menjadi tertunda dari yang dijadwalkan semula, karena begitu banyaknya masyarakat yang ingin menyolatkan Kyai yang sangat dihormati dan disegani karena kelembutan, kesantunan dan ketulusannya itu.
Namun akhirnya pihak keluarga dan pesantren memohon maaf karena harus memutuskan untuk tidak melakukan lagi sholat jenazah bagi almarhum setelah 8 kali. Saat itu juga pihak keluarga dan pesantren memohon maaf, dan meminta dimengerti. Hingga terdengarlah bisik-sisik di sekitar pesantren, mungkin saja para malaikat sudah tak sabar menyambut Kyai Ahmad.
Berita mangkat-nya Kyai Ahmad juga terdengar ke telinga Ngatini yang tengah berjualan kelanting di pasar, saat sebagian orang-orang pasar saling melempar kata tentang meninggalnya Kyai yang dihormati di Kampung mereka. Sangat sedih sekaligus kaget hatinya kala mendengarnya, hingga ia tak mampu membendung air matanya. Seolah ingin melepaskan kesedihan hatinya saat itulah kedua tangannya merangkul Ripah yang pagi itu belum berangkat ke sekolah. Hanya Marianti yang tak terlihat karena kebagian jadwal belajar pagi di sekolahnya.
Dengan kening merapat Ripah yang heran melihat Mamaknya tiba-tiba menangis bertanya “Mamak kenapa nangis?”
Sejenak menghapus air mata di pipi Ngatini tak segera menjawab. Menyusul Ripah kembali bertanya dengan kedua mata berkaca-kaca “Apa Mamak kangen sama Cacak?”
Tanpa menjawab dengan hati tersayat-sayat Ngatini memandang anak tirinya. Saat itulah Ripah berkata “Aku kangen sama Cacak Mak, kapan Mas pulang? Apa Mas gak kagen sama Ripah? Kok Mas gak pulang-pulang?”
Saat itu juga hati Ngatini bertambah sedih, hingga air mata di kantung matanya yang mulai keriput kembali menetes, mengalir di kedua pipinya, bahkan semakin deras. Sigap tangannya mendekap Ripah erat-erat. Bagaimana tidak bersedih dan tak menangis, bagi Ngatini Kyai Ahmad adalah orang yang selama ini selalu membantu dirinya, saat dirinya sendiri harus mengurus ketiga anak suaminya, sementara suaminya harus menjalani tahanan selama 7 tahun lamanya. Karena perkataan Kyai Ahmad juga dirinya yakin dan nurut saat harus melepas Arman menjadi anak angkat Jianying, kerabat angkat Kyai Ahmad yang berbeda keyakinan. Kini ia baru tersadar, hingga tahun itu rupanya sudah begitu lama Arman pergi, hampir empat tahun semenjak Arman menjadi siswa SMP.
Dan kini dia bingung kemana dan pada siapa menanyakan tentang anak tirinya itu, Arman. Selama ini hanya Kyai Ahmad yang selalu memberitahu tentang Arman, apabila dirinya bertanya. Dan selama ini pula Kyai Ahmad selalu membantu mengurangi beban hidupnya dengan mengirimi amplop berisi uang 400 ribu terkadang 500 ribu. Namun selama itu pula dirinya tak berani menggunakan uang itu. Hingga amplop-amplop berisi uang itu selalu ia kumpulkan di dalam sebuah kelang biskuit.
Sementara itu di Karawang, Jianying yang mendadak pucat karena mendengar berita kepergian Kyai Ahmad bergegas pulang dari perusahaan properti miliknya. Hari itu juga dia memutuskan untuk terbang ke Surabaya, kemudian meluncur ke pesantren Al Fattah di Jombang sebelum Kyai Ahmad dikebumikan. Hanya bersama sang istri ia berangkat, sedangkan Koko dan Arman belum mengetahaui.
***
Jam kedua pelajaran Kimia menggantikan pelajaran Kesenian di kelas 10.6. Setelah mengucap salam guru yang telah mengajar keluar kelas. Menyusul kemudian masuk seorang guru perempuan berhijab sembari membawa beberapa buku Kimia. Setelah meletakkan bukunya di meja guru, sang guru mengucap salam sembari pandangannya meneliti siswa/siswi kelas itu.
Serentak semua siswa/siswi menjawab keras “Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakhatu.”
Kemudian sang guru yang bernama Husnul bertanya “Ada PR?”
“Ada Bu...” Jawab sebagian siswa/siswi.
Sejenak Bu Husnul meneliti kemudian pelan mengangguk-angguk sembari berkata “Kalau begitu dikeluarkan buku PR-nya sekarang.”
“Iya Bu...” Jawab beberapa siswa/siswi yang duduk di deretan bangku depan. Sementara itu terlihat semua siswa/siswi di kelas itu merogoh tas milik mereka, lalu mengeluarkan buku PR Kimia. Sementara Arman yang duduk di baris ketiga deretan tengah sejenak membatu dengan kening merapat sebelum tangannya merogoh tas ransel miliknya. Saat itu juga dia tersadar sembari mengucap pelan “Astaghfirullah haladziiim.”
Ternyata ucapan Arman terdengar oleh Galih teman satu meja. Sembari tersenyum Galih bertanya “Kenapa Man?”
Namun Arman tak menjawab, karena saat itu di dalam otakknya muncul banyak pertanyaan, sementara hatinya mendadak gelisah. Bagaimana dirinya bisa lupa kalau ada PR Kimia? Harus bagaimana sekarang? Apa aku harus berbohong kalau buku PR-ku tertinggal di rumah? Alasan yang selalu sama dengan semua murid sekolah saat tak mengerjakan PR.
“Arman, mana bukumu?” Tanya Bu Husnul di samping meja Arman.
Sedikit terkejut Arman menoleh, melihat guru Kimia di samping meja. Pelan Arman mengucap “Aaa....”
“Jangan bilang buku kamu tertinggal, padahal kamu belum mengerjakan PR.” Bu Husnul memotong tegas.
Namun Arman tak membalas, mulutnya masih rapat seakan tak bisa dibuka untuk berkata jujur apa yang menimpanya. Dirinya memang membawa buku PR, tetapi dirinya lupa belum mengerjakan PR Kimia. Setelah menarik nafas, Arman hendak berkata namun ketukan pintu kelas 1.6 yang terdengar memotong apa yang akan diucapkan. Saat itu juga pandangannya beralih pada seseorang di balik pintu kelas itu.
“Arman ayo jawab.” Bu Husnul mengulang tegas. Menyusul kemudian suara ketukan pintu terdengar lebih keras “Tok tok tok tok!”
Hingga membuat Bu Husnul mengalihkan pandangannya pada pintu kelas yang masih bersuara, kemudian berkata agak keras “Masuk.”
Setelah pintu itu terbuka, semua siswa/siswi di kelas itu bahkan Bu Husnul tahu yang berada di balik pintu. Dia adalah Koko anak kelas 10.2 yang bagi siswa/siswi bahkan sebagian guru menilainya siswa cerdas yang aneh karena memilih sekolah di sekolah Islam sementara yang mereka tahu Koko beragama Kristen.
Sebelum masuk ke dalam kelas sejenak Koko menganggukkan kepala pada Bu Husnul. Saat itu juga dengan kening sedikit merapat Bu Husnul melangkah ke depan kelas, bersamaan Koko melangkah masuk. Di depan kelas itu di hadapan siswa/siswi kelas 10.6 Koko menunjukkan sebuah buku sembari memberi isyarat pada Bu Husnul dan tangannya menunjuk pada Arman. Namun ternyata Bu Husnul masih tak mengerti yang diucapkan Koko. Saat itu juga Arman yang duduk di kursi memberi isyarat pada Koko untuk menulis apa yang ingin dikatakan pada Bu Husnul. Setelah itu sigap Koko pun menulis di lembar paling belakang dari buku yang dibawanya, menulis bahwa buku ini milik Arman, PR Kimia.
Setelah itu barulah Bu Husnul mengerti yang ingin dikatakan oleh Koko. Sementara siswa/siswi di kelas itu mendadak ribut, saling melempar kata dan bersorak. Saat itu juga terdengar celotehan “Tuh Man malaikat pelindungmu.”
“Kebalik Yan.” Kata Glori.
“Bukan, dia Cukongnya si Arman.” Celetuk seorang siswa agak keras.
“Periksa tuh KTP-nya.” Sahut siswa lain.
“Belum buat.” Kata siswa lain di baris tengah.
“Sudah sudah sudah jangan ribut.” Ucap Bu Husnul tegas. Setelah itu memanggil Arman untuk mengambil buku miliknya di depan kelas. Namun mendadak wajahnya menjadi kaku saat Arman sangat terkejut dengan yang dilihatnya.
“Kriiiing....kriiinggg....” Suara handphone di saku Bu Husnul. Sigap Bu Husnul merogoh saku roknya, kemudian melihat layar dan menjawabnya sembari pergi ke balik pintu kelas itu.
Saat itulah kening Arman merapat, sementara hatinya bertanya “Kenapa bukunya ada di sini? Dan kenapa sudah terjawab semua?”
Setelah itu dia melihat Koko yang masih di sampingnya. Tanpa berkata Koko hanya tersenyum pada Arman. Membuat Arman mengerti kemudian sigap melihat tulisan di dalam bukunya, tulisan yang sama dengan tulisan Koko. Saat itu juga Arman yakin bahwa Kokolah yang sudah menjawab PR soal-soal Kimia. Namun...., ia masih tak mengerti, bukankah buku PR Kimia miliknya seharusnya ada di dalam ransel miliknya? Bukan dibawa oleh Koko. Karena seingat Arman, dirinya sudah memasukkan buku PR miliknya ke dalam ransel di dalam kamarnya.
Setelah itu Koko menggerakkan tangannya, memakai bahasa isyarat pada Arman bahwa dirinya akan kembali ke kelas dan Arman bisa tenang kini. Saat itu juga Arman tersadar yang yang diucapkan tangan Koko, bahwa Koko yang telah mengerjakan PR Kimia miliknya. Senyum di wajah Arman akhirnya mulai mengembang saat siswa/siswi di kelas itu sibuk berceloteh tentang dirinya dan saudara angkatnya.
Saat Koko hendak balik badan dan melangkah, Arman sigap menahan tangannya. Kemudian dia berkata keras pada sesisi kelas 10.6 “Koko yang beragama Kristen ini lebih baik hatinya daripada kalian yang suka menghina.”
“Eh Man, Islam lebih baik daripada agama manapun! Itu yang ditulis dalam Alquran.” Bantah seorang siswa keras.
Menyusul siswa/siswi menyahut “Benar.”
Kemudian terdengar suara “Jangan-jangan Arman gak pernah baca Quran.”
“Gimana mau baca Quran, tiap hari dia diajak ke gereja.” Celetuk seorang siswi.
“Islam itu Rahmatan lil alamin, itu kata Kyaiku, Kyai Ahmad di Ploso Jombang.” Kata Arman tegas. Kemudian Arman melanjutkan saat siswa/siswi dalam kelas itu bersorak, seolah tak percaya dengan ucapan Arman dan sebagian lagi terkejut dengan ucapan Arman yang menyebut Kyaiku, Kyai Ahmad. “Kalian bisa baca Quran bisa hapal Quran, tetapi hati dan ucapan kalian gak bisa menjaga yang diajarkan Quran, yang diinginkan Gusti Allah. Kata Kyai, itu yang akan memberatkan kalian nanti setelah hidup ini.”
“Huuu.....” Sorak siswa/siswi.
Menyusul seorang siswa berkata “Eh Man, kau sendiri bisa baca Quran gak?”
“Atau malah gak bisa baca Quran.” Sahut seorang siswa di barisan paling belakang.
“Dan gak paham sama isi Alquran? Makanya kamu sekolah di sini sama Cukong kamu itu.” Suara Hayat keras.
“Tes ngaji, tes ngaji....” Ucap beberapa siswa/siswi keras.
“Kalau gak bisa berarti dia kafir.” Celetuk Hayat tegas. Menyusul beberapa siswa/siswi mengiyakan, bersamaan Bu Husnul membuka pintu kemudian masuk ke dalam kelas. Membungkam keramaian yang terjadi di dalam kelas itu. Saat itulah Koko meminta ijin untuk kembali ke kelasnya dan Arman kembali duduk.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Mangkat = meninggal