“Krrriiiiinggg!!!!” Suara jam beker begitu keras dari kamar paling ujung di lantai dua rumah bertipe modern minimalis. Kemudian suaranya lenyap seketika dalam hitungan detik.
Menyusul suara seorang wanita dari lantai satu terdengar “Armaaaan, ayo turun....”
Tak lama berselang pintu kamar itu terbuka sedikit keras, kemudian remaja berkulit coklat keluar sembari mengalungkan ransel di pundak kiri, sementara kedua tangannya bergerak mengancingkan seragam, lalu memasukkan ujung seragam ke dalam celana dan merapatkan gesper di pinggang. Hingga akhirnya ia sampai di lantai satu di meja makan rumah itu.
Tersengal ia duduk di depan meja, kemudian meraih gelas tinggi berisi susu putih, mengucap basmallah dan menenggaknya. Sementara itu semua orang yang duduk di meja makan itu tak berhenti tersenyum, bahkan hampir tertawa melihat Arman yang kali ini lebih parah daripada hari-hari sebelumnya.
Dengan kening merapat Jianying alias Shahaja berkata sembari melihat jam tangannya “Hari ini telat 2 menit.”
Setelah itu Shahaja kembali melahap nasi goreng, kemudian mengunyahnya sembari tersenyum dan sesekali melirik Arman. Sementara Feng atau Tjitji istri dari Shahaja mengambilkan nasi goreng, telur dan ayam pada piring. Kemudian menyodorkannya ke hadapan Arman sembari berkata “Arman, habiskan.”
Sigap Arman meraih sendok dan garpu, kemudian melahap nasi goreng di piring, sangat lahap. Hingga membuat Koko tersenyum lebar melihat saudara angkatnya yang selalu seperti biasa, sangat lahap makan bila ada perintah “Habiskan.”
Tak lama kemudian terdengar gemuruh Mitsubisi Pajero Sport warna hitam di depan garasi rumah itu. Saat itulah Narwo memang sedang memanaskan mobil itu sekaligus mengecek mesinnya.
“Jadi Papa mau mengantar Koko dan Arman ke sekolah?” Tanya Tjitji pada Shahaja.
“Ya iya Mah, Papa kan harus tahu sekolah barunya Koko dan Arman. Dan memastikan semuanya bisa menerima Koko.”
“Apa....tidak sebaiknya Koko mengundurkan diri saja dari sekolah sekarang Pah? Soalnya Mamah khawatir Ko...”
“Sudahlah Mah, tenang saja semua akan baik-baik saja. Sekolah yang Papah pilih ini juga atas saran dari Kyai Ahmad, dan menurut Papah sekolah Islam akan membentuk pribadi seseorang memiliki sikap tegas, pengasih dan mandiri asalkan orang tua membantu guru mengawasi dan mengarahkan anak-anak. Lagi pula sekarang kan ada Arman yang selalu menemani Koko.”
Setelah itu Tjitji hanya mengangguk-angguk pelan dengan kening sedikit merapat. Sementara itu Koko meminta bekal roti di tempat terpisah untuk dirinya dan Arman, karena melihat Arman sudah selesai makan. Sedikit terkejut Tjitji menoleh, melihat piring Arman yang bersih tanpa satu butirpun nasi. Kemudian ia tersenyum dan berkata “Sepertinya Mamah harus menambah roti di bekal Arman.”
Membuat suasana di meja makan kembali riuh dengan suara tawa, kecuali Arman yang bisa bernafas lega karena telah menghabiskan nasi goreng, telur dan ayam. Tak lama berselang jam dinding di rumah itu bersuara “Teng....teng....teng....”
Pertanda sudah jam setengah tujuh pagi, dan waktunya berangkat ke sekolah bagi Koko dan Arman. Setelah memasukkan wadah bekal berisi roti ke dalam tas Koko mendapat pelukan dan ciuman dari kedua orang tuanya. Berikutnya Arman dengan mencium tangan Shahaja dan Tjitji. Setelah itu barulah mereka keluar rumah, menuju mobil di depan garasi. Tetapi Koko menghentikan langkah Arman saat hendak masuk ke dalam mobil, kemudian jari telunjuknya menunjuk pada kaki Arman yang hanya memakai kaos kaki.
Membuat Arman tekejut karena dirinya lupa memakai sepatu. Saat itu juga sigap Arman balik badan, hendak mengambil sepatu, tetapi saat itu juga sepasang sepatu melayang cepat ke arahnya. Untunglah kedua tangan Arman lebih sigap menangkap sepatu hitam itu.
“Besok jangan lupa pakai sepatu saat mau makan, biar tidak lupa lagi.” Kata Shahaja pada Arman.
Tak ada yang dapat dikatakan Arman selain “Iya.”
Itu karena selama ini Arman selalu menolak memakai sepatu di dalam rumah, walaupun Pak Shahaja dan Bu Tjitji mengijinkan selama akan pergi ke sekolah. Begitu juga dengan Mbok Inah yang selalu berkali-kali mengingatkan “Sepatunya pakai saja Man, gak apa-apa. Udah kerjaan si Mbok ngepel, jadi tenang aja.”
Akhirnya Mitsubisi Pajero Sport itu meluncur juga meninggalkan rumah mewah bertipe modern minimalis di daerah Karawang. Sepanjang perjalanan itu seperti biasa tak ada percakapan, saat Koko sangat serius membaca buku dan Arman membuka kitab Alquran ukuran kecil pemberian Kyai Ahamad sebelum memutuskan untuk menerima tawaran dari Pak Shahaja menjadi anak adopsinya. Sejenak Arman memandangnya lekat-lekat, kemudian keningnya sedikit merapat. Tak lama kemudian Arman kembali memasukkanya ke dalam saku seragam. Setelah itu ia mengeluarkan sebuah buku bertulis “IQRA’”
Hingga tahun itu Arman memang belum lancar membaca Alquran, walaupun dia selalu belajar setiap hari di dalam kamarnya seusai shalat subuh atau di tempat-tempat tak ada orang yang melihat dirinya. Karena itu Arman selalu menyetel alarm jam beker tepat pukul setengah tujuh kurang 5 menit pagi, saat itulah Arman harus segera mengakhiri belajar membaca Alquran di kamarnya. Selama itu juga Arman tak pernah bercerita pada Pak Shahaja tentang keinginannya untuk bisa membaca Alquran, sehingga dengan begitu Pak Shahaja akan mencarikannya guru ngaji untuk mengajarinya membaca Alquran. Itu dilakukan Arman karena tak ingin menambah kesibukan orang tua angkatnya hanya untuk dirinya. Bagi Arman adalah sebagai teman bahkan saudara angkat Koko merasakan bahagia dan bisa memahami perbedaan di antara mereka.
Tak lama kemudian Pajero Sport itu masuk ke dalam sebuah bangunan bercat hijau muda. Sebuah sekolah Aliyah, walaupun sangat berbeda dengan Koko yang memiliki latar belakang keyakinan yang berbeda. Pak Shahaja menuruti saran Kyai Ahmad, menyekolahkan Koko dan Arman di Aliyah. Dengan seperti itu, Koko dan Arman memiliki pandangan tentang “Rahmatan lil alamin” yang selalu digaungkan umat Islam terdahulu, bahkan Rasulullah menjadikan kalimat itu sebagai pondasi untuk menyebarkan Islam.
Setelah berhenti mobil berhenti Shahaja turun lebih dulu, menyusul kemudian Arman dan Koko, sementara Narwo memindahkan mobil itu ke tempat lain. Sekolah yang cukup besar dan asri dengan pepohonan di depan deretan ruangan. Terlihat siswa/siswi dengan seragam yang sama berjalan masuk, berterbaran di sepanjang lorong, sedangkan beberapa terlihat bercengkrama di depan deretan kelas.
Setelah sejenak berbincang dengan Kepala sekolah dan melihat sekolah baru anaknya, Shahaja kembali meluncur meninggalkan sekolah itu bersama Narwo. Sementara Arman dan Koko harus mengikuti Upacara bendera pertama di hari pertama masuk ke sekolah. Hingga akhirnya Upacara pengibaran bendera merah putih selesai dilakukan tepat pada pukul 8 kurang 15 menit. Saat itulah seluruh siswa/siswi kelas 11 dan 12 berhamburan, meninggalkan lapangan. Sementara yang tersisa hanya para murid baru kelas 10. Saat itulah Koko yang berada di depan Arman sedikit menoleh, melirik Arman yang tak henti memandang sekolah itu.
Setelah itu semua siswa baru masuk ke dalam kelas yang sudah ditunjukkan. Menjalani hari pertama masuk sekolah pada masa oritentasi siswa Arman dan Koko berada dalam kelas yang sama, bahkan duduk di satu meja yang sama. Setelah melewati perkenalan siswa/siswi baru, siswa/siswi yang satu kelas dengan Arman dan Koko akhirnya mengetahui bahwa Koko memiliki keyakinan yang berbeda dengan mereka. Menepis anggapan mereka sedari awal melihat, bahwa Koko adalah keturunan Cina yang menjadi mualaf.
Perbedaan dan pilihan yang selalu menjadi tanda tanya siswa/siswi bahkan para guru di sekolah Negeri Islam atau Aliyah. Menurut meraka bisa saja Koko dan orang tuanya memasukkan Koko ke sekolah Negeri tanpa predikat Islam, atau memasukkan Koko ke sekolah Kristen sesuai dengan keyakinan Koko.
Namun Koko yang sedari awal sudah mengerti tentang Islam, karena sejak kcil sering diajak Papahnya mengunjungi pesantren Al Fattah tidak menanggapi rasa penasaran siswa/siswi di sekolah ataupun para guru. Koko yang memiliki keterbatasan karena tak dapat berbicara semenjak kecil menjadi lebih kuat dan yakin akan orang-orang baik selalu ada di dekatnya semenjak Arman menemani Koko.
Hingga hari-hari Masa Orientasi bagi siswa baru terlewati, artinya kesibukan anak sekolah sudah dimulai. Namun sayang, Arman dan Koko tidak lagi berada dalam satu kelas, sesuai dengan pembagian dari para pihak Tata Usaha sekolah itu yang disesuaikan dengan jumlah siswa/siswi baru. Arman yang kurang pandai berada di kelas 10.6 sedangkan Koko yang cerdas walaupun menderita tunawicara berada di kelas 10.2.
Siang itu bel pulang sekolah keras berbunyi. Tak lama berselang suara gaduh saling menyahut, terlempar ke sana kemari bersamaan suara langkah-langkah memadati setiap pintu kelas dan pintu gerbang sekolah. Saat itulah Arman yang belum selesai mencatat materi di papan tulis bertambah gelisah dengan wajah sedikit memerah sembari sesekali sorot matanya dilempar ke luar kelas.
“Man, aku duluan.” Ucap Raka sembari menepuk pundak Arman, lalu berlalu.
“Eh, Man cepat nulisnya, kasihan tuh saudaramu pasti nunggu kamu.” Celetuk Ani sembari tersenyum.
“Tenang aja Ni, secepatnya malaikat pelindung akan datang.” Sahut Glori sembari tersenyum lebar.
Namun Arman tetap tak membalas ocehan teman-teman satu kelasnya. Dia memilih melanjutkan mencatat dua kalimat terakhir di whiteboard. Saat itulah Teguh yang baru kemarin dipilih menjadi Ketua Kelas menghampiri Arman sebelum keluar kelas, kemudian bertanya “Man, jadi kamu mau ikut ekskul apa?”
Lagi-lagi Arman tak menanggapi, tetapi memilih melanjutkan menulis dua kata terakhir. Hingga tangan itu berhenti bergerak saat Arman sudah menyelesaikan mencatat materi di whiteboard. Setelah itu Arman bertanya “Tanya apa tadi Guh?”
Dengan berat Teguh menghela nafas sebelum menjawab, merasakan sedikit kesal pada Arman. Kemudian dia mengulang pertanyaannya “Kamu itu mau ikut ekskul apa Man? Biar kucatat.”
Sembari memasukkan buku-bukunya ke dalam tas Arman menjawab dengan logat Jawa “Lha aku saja masih ndak tahu apa saja ekskulnya, gimana mau milih.”
“Loh kan tadi udah diedarkan isian sama daftar ekskul, masak gak lewat di mejamu?”
Saat itu juga kening Arman merapat, kemudian pelan mengucap “Ehmm, tadi gak ada edaran yang mampir ke aku kok.”
“Kok bisa?”
“Ya sudahlah, aku pulang dulu, sekalian mau ke kelas 10.2.” Ucap Arman sembari berlalu ke pintu.
“Eh Man!”
Namun Arman tak menoleh dan tetap melangkah keluar kelas sembari pandangannya meneliti nama-nama kelas yang tertera di atas pintu kelas. Hingga tulisan 10.2 terlihat jelas, saat itulah Arman mempercepat langkah, setengah berlari menuju kelas 10.2, kemudian masuk ke dalam. Namun alangkah terkejutnya ia saat melihat Koko sedang dirundung oleh teman-temannya.
“Hei kalian singkirkan tangan kalian!” Ucap Arman keras sembari melotot pada empat siswa baru. Hingga empat siswa terkejut sembari menoleh pada Arman yang sangat marah.
Saat itulah Koko tersenyum memandang Arman, menumbuhkan keberanian dalam diri Koko. Sigap Koko melepaskan tangan mereka dari pundak dan kerah bajunya. Setelah itu Koko berlari menghampiri Arman yang masih menatap tajam empat siswa baru teman satu kelas Koko. Kemudian Koko mengisyaratkan dengan tangannya, supaya Arman dan dirinya lekas pergi dari kelas ini.”
Tanpa berkata lagi Arman akhirnya keluar kelas bersama Koko. Saat itulah Dani berkata “Kasihan dia cuma jadi babu.”
“Cukongnya Cina, eh babunya.” Sahut Ardan sembari tersenyum.
“Harus ditanya tuh, apa masih bisa baca syahadat?” Celetuk Iman.
“Alaaah udah yuk pulang, biar sajalah urusan mereka. Urus masing-masing saja.” Sahut Wawan.