“Saya terima nikah dan kawinnya Ngatini binti Suratman dengan seperangkat alat sholat dan uang 100 ribu rupiah dibayar tunai.” Ucap laki-laki memakai peci hitam sembari menjabat tangan sang penghulu.
Menyusul serentak suara saksi-saksi di rumah itu “Sah.”
“Alhamdulillah...” Ucap orang-orang yang hadir.
Sebelum bertambah riuh sang Penghulu bergegas memimpin doa dengan lantang, mendoakan Lek Yusup dan Ngatini diberi berkah rejeki, kesehatan, lekas diberi momongan bila Gusti Allah menghendaki, dan diberi keselamatan menjalani rumah tangga yang akan dimulai hari itu. Di sudut rumah reot terlihat Amar yang masih duduk di bangku SD kelas 6 hanya mendekap kedua lututnya sembari pandangannya sedikit menerawang. Tak lama kemudian dua Adik perempuannya yang masih kelas 3 dan 2 SD datang mendekati, duduk berhimpitan di sampingnya.
“Aku kangen Emak, Mas.” Ucap Ripah, Adik Arman yang paling kecil.
Arman pun menoleh, melihat Adiknya meneteskan air mata. Kemudian kedua tangannya mengusap air mata di pipi Ripah, dan berkata “Emak pasti sedih lihat Ripah nangis.”
“Tapi...”
“Udah udah, lihat tuh Mbak Yu-mu aja ndak nangis. Masmu ini juga ndak nangis. Masak Adik Mas sing paling ayu iki nangis.” Ucap Arman memaksa senyum. Sembari tersenyum Marianti ikut tersenyum memandang Adik bungsunya, kemudian mendekap Ripah.
Selesai berdoa, orang-orang di dalam rumah itu silih berganti mengucapkan selamat pada Lek Yusup dan Ngatini. Saat itulah kedua mata Lek Yusup meneliti rumah sembari sesekali mendongakkan kepala, mencari ketiga Anaknya. Namun, karena terlalu banyak orang di rumah reot yang sempit itu membuat pandangan Lek Yusup tak bisa menemukan ketiga Anaknya.
Hanya diam memandang suasana rumah yang semakin ramai, itulah yang dapat dilakukan Arman, Marianti dan Ripah. Saat itulah tiba-tiba kaca jendela di belakang Arman bersuara “Tek tek tek tek.”
Dengan penasaran Arman menoleh, kemudian keningnya merapat sembari menoleh pada jendela rumah yang berada tepat sedikit di atasnya. Suara ketukan di jendela itu kembali terdengar, hingga membuat Marianti dan Ripah saling menoleh, mengisyaratkan siapa yang berada di balik jendela.
“Sssttt.” Arman pelan pada kedua Adiknya. Kemudian Arman berdiri, membuka jendela dan sedikit melongok keluar jendela.
Sigap pandangan Arman meneliti sekitar rumahnya. Namun Arman tak menemukan apapun, hingga terdengarlah suara pelan memanggil namanya “Arman.”
Saat itulah sigap Arman menajamkan kedua matanya dan kedua pendengarannya. Namun lagi-lagi Arman tak menemukan apapun, membuatnya membuang nafas dengan berat kemudian berkata “Dasar tuyul, ndek omah iki gak ono duwik, kono ngalih!”1
Menyusul kemudian kerikil kecil melayang ke dagu Arman, hingga Arman sedikit mengaduh. Kemudian kedua matanya kembali meneliti, melihat sekitar rumahnya. Setelah itu terdengar suara tegas memanggil nama Arman “Man, Arman.”
Seolah mengenal suara yang memanggil namanya, Arman lebih melongok keluar jendela. Saat itulah seseorang dari bawah jendela menarik sarung yang melilit lehernya. Hingga kepala Arman sedikit merunduk, dan melihat Tejo duduk di bawah jendela rumahnya.
“Ooooh Kowe to Jo!”2 Suara Arman agak keras.
“Ssttt.” Tejo mengisyaratkan supaya tidak terlalu keras bersuara pada Arman.
Sejenak Arman menoleh ke belakang, melihat orang-orang di dalam rumahnya yang sempit masih mengobrol ditemani kepulan asap rokok dan pastinya deretan cangkir kopi hitam. Setelah itu Arman kembali melongok dari jendela, mendekatkan wajahnya pada Tejo yang duduk di bawah jendela dan bertanya “Apa Jo?”
Tanpa menjawab Tejo hanya menyeringai, kemudian mengusap-usap perutnya. Membuat Arman tersenyum melihat tingkah Tejo. Dirinya yakin Tejo ingin mencicipi kue-kue yang masih tersisa di dalam rumah. Tanpa berkata lagi Arman berbisik pada kedua Adiknya, meminta mereka untuk mengambil sedikit makanan yang masih tersisa di piring. Kemudian membawanya ke luar rumah, ke tempat seperti biasa.
Setelah itu Arman dan kedua Adiknya diam-diam mengambil makanan di piring, menyembunyikannya di balik baju. Barulah setelah itu bergantian mereka keluar rumah. Sedikit berjalan mereka menuju tempat di samping rumah reot itu. Tepatnya di bawah jendela kamar Arman dan kedua Adiknya, maklum di rumah itu hanya terdapat dua kamar yang sempit.
Saat itulah dengan senyum bahagia Tejo berdiri melihat Arman dan kedua Adiknya sedikit berlari. Tepat di samping Tejo Arman berhenti berjalan, menyusul kemudian Marianti dan Ripah. Sigap Tejo langsung bertanya setengah menodong “Man, kuenya mana?”
“Nih.” Kata Arman sembari mengeluarkan satu lemper yang dibungkus daun pisang.
Sedikit terkejut Tejo bertanya “Kok cuma satu?”
“Ya memang sisanya cuma ini.”
“Tenang Cak, aku juga bawa.” Kata Marianti sembari mengeluarkan dua kue apem dari balik bajunya.”
“Aku juga.” Sahut Ripah sambil menunjukkan pisang kebon yang besar berwarna kuning kehitaman.
Menyusul suara tawa dari Arman dan Tejo, saat mereka menyadari kebiasaan mereka setiap ada kenduri, atau syukuran, selalu berbagi tugas mengumpulkan makanan sisa di piring-piring untuk di makan bersama.
Dan malam itu acara kenduri atau syukuran diadakan di rumah Lek Yusup, Bapak kandung Arman, Marianti dan Ripah. Acara kenduri yang sederhana untuk acara pernikahan Lek Yusup dengan Ngatini yang tak lain adalah Adik Kandung dari Almarhumah Katmani. Bagi para tetangga pernikahan Lek Yusup dengan Ngatini memang terbilang cepat dan tidak direncanakan sebelumnya. Itu karena baru dua minggu sebelumnya istri dari Lek Yusup meninggal karena sakit. Tetapi setelah dipikir-pikir ada baiknya juga segera memperistri Ngatini, karena Ngatini sendiri bukan orang baru di keluarga dan bukan orang baru untuk anak-anak Lek Yusup. Ngatini yang masih perawan di usianya yang menginjak 35 tahun sudah menganggap anak-anak dari almarhumah Kakaknya sebagai anak kandung sendiri.
Sembari bersandar pada dinding rumah reot itu mereka Arman, Tejo, Marianti dan Ripah berbagi kue dan melahapnya. Sesekali senyum dan tawa terlempar di kegelapan malam. Hingga tak lama terdengar suara-suara sandal japit menjauh dari rumah itu. Menyusul kemudian suara laki-laki yang mereka kenal memanggil nama Arman, Marianti dan Ripah. Sedikit terkejut mereka mengintip dari samping rumah ke asal suara, melihat laki-laki yang memanggil namanya, Bapaknya sendiri Lek Yusup.
“Arman, Marianti, Ripah.” Suara Lek Yusup keras sembari meneliti di kegelapan malam.
"Man, suara Bapakmu tuh. Aku balik saiki yo." Sahut Tejo pelan.
Sejenak Arman mengangguk, kemudian Tejo lekas pergi sedikit berlari meninggalkan Arman dan kedua Adik kawannya itu.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Dasar Tuyul! di rumah ini tidak ada uang, sana pergi!
2. Oooh kamu Jo.