5. KEKHAWATIRAN
Membuat orang lain yakin akan keputusanmu bukanlah suatu hal yang mudah. Bila kau percaya, aku akan sangat bahagia sekali mendengarnya.
“YA AMPUN!” Tiara menepuk dahinya, menahan kekesalan atas kecerobohan dirinya sendiri yang pada hari itu lupa membawa tugas praktikum. Berkali-kali Tiara memeriksa isi tasnya, mengeluarkan barang-barang yang ada di dalamnya, dan tidak juga dia temukan buku bersampul biru yang dicarinya. Tugas praktikum yang sudah diberikan pak Galih minggu lalu harus dikumpulkan hari itu juga.
Tiara terduduk lemas. Jantungnya berdegup kencang. Dia tahu, pak Galih bukanlah dosen yang bisa memberikan toleransi untuk mahasiswa ceroboh seperti dirinya. Tiara sudah mengerjakan tugas itu semalaman, dan dia lupa memasukkan buku itu ke dalam tas. Dan sekarang, buku itu tertinggal di meja belajar kamarnya.
Pandangan Tiara menatap ke arah jendela kelas. Langit terlihat gelap pekat dan mulai mengeluarkan rintik hujan. Tiara semakin gelisah. Perasaannya sama sekali tak tenang. Dia mengambil ponsel dari dalam tasnya, dan ragu memilih keputusan yang sangat merepotkan orang lain ini.
Tiara ingin menghubungi Aldi untuk meminta tolong mengambilkan buku tugas praktikumnya di rumah. Tapi..dengan cepat dia mengurungkan niat. Kasihan Aldi kalau harus hujan-hujanan mengambil buku tugas itu di rumah, Batinnya.
Pikirannya masih menimang cara yang lain. Namun nyatanya tidak ada. Tiara harus segera menghubungi Aldi untuk meminta tolong. Dengan hati penuh rasa bersalah melihat rintik hujan semakin turun deras, Tiara mengetikkan sebuah pesan yang langsung dibalas oleh laki-laki yang selama ini selalu membantu kesulitan-kesulitan di hidupnya itu.
***
Aldi yang sedang memainkan pulpennya, tampak enggan mendengarkan dosen yang menjelaskan mata kuliah komunikasi strategis. Ponselnya bergetar. Ada pesan masuk dari Tiara yang namanya tertera di layar ponsel.
Al, aku tahu aku benar-benar ceroboh dan merepotkan. Buku tugas praktikum punyaku tertinggal di kamar, dan di luar hujan. Aku nggak tahu harus minta tolong ke siapa..
-Tiara-
Buru-buru Aldi membalas pesan Tiara, mengetuk jemarinya di atas layar ponsel, dan menyampirkan tasnya di bahu. Dengan sembunyi, Aldi menyelusup ke pintu keluar kelas, dan bergegas menuju parkiran. Di luar memang hujan cukup deras, tapi sama sekali tidak mengurungkan niat Aldi untuk membawakan buku tugas Tiara yang tertinggal di rumahnya.
Aldi merapatkan jaket jeans hitamnya, memasang helm, dan mengambil kecepatan tinggi dengan motornya menerobos hujan yang sama sekali tidak dia pedulikan. Dalam hati yang menyiratkan sebuah rasa, Aldi senang menjadi satu-satunya orang yang Tiara percaya untuk membantunya. Semenjak kejadian empat tahun yang lalu itu terjadi, Aldi memang selalu meminta Tiara untuk menghubunginya ketika butuh bantuan.
“Ra,” Panggil Aldi pada Tiara yang sedang tersenyum memandangi suasana kota Jakarta di malam hari dari atap gedung.
Tiara menoleh, mengangkat kedua alisnya, menunggu apa yang akan laki-laki itu katakan.
“Jangan pernah sungkan bilang gue kalau lo butuh bantuan, ya?”
“Aku nggak suka merepotkan orang lain.”
“Sama sekali nggak merepotkan. Lo akan jadi orang pertama yang gue prioritaskan.”
Tiara tertawa, menganggap itu adalah lelucon. “Nggak usah bercanda, deh!”
Aldi tersenyum. Tidak ada yang tahu, bahwa dirinya sama sekali tidak sedang bergurau. Permintaannya itu benar-benar kesungguhan yang selama ini selalu dikhawatirkannya. Dia ingin selalu ada menemani Tiara, menjaganya, dan selalu membuat perempuan itu tersenyum merasakan kebahagiaan di tengah hidupnya yang terasa memilukan.
Dan benar. Tiara ikut tersenyum. Seakan beban yang selama ini dirasakannya tak terlihat lagi oleh Aldi. Perempuan di hadapannya itu tersenyum. Senyum yang membuat Aldi merasa kagum dengan apa yang selama ini gadis itu alami, dan baginya Tiara adalah perempuan yang hebat.
Hujan masih terasa derasnya. Suara tusukan rintik yang terdengar dari helmnya meng-iya-kan hal tersebut. Aldi semakin mempercepat kecepatan motornya. Kebetulan, memang jalanan tidak macet, dan memudahkan Aldi menyelip mobil-mobil yang berjalan terlalu lambat. Sampai di perempatan jalan menuju rumah Tiara yang semakin dekat, motor yang Aldi kendalikan dengan kecepatan rendah hampir bersenggolan dengan mobil yang sedang diparkirkan oleh seorang laki-laki di depan toko bunga yang sudah tak asing lagi baginya. Beberapa kali, Aldi membeli bunga kesukaan Tiara di toko itu.
Namun kali ini, senggolan yang cukup mengagetkan, membuat Aldi hampir terjatuh dari motornya. Dia memberhentikan motornya, lalu membuka kaca helm untuk melihat laki-laki yang sembarangan memarkirkan mobilnya itu. Benar-benar menjengkelkan menyadari pemilik mobil itu memarkirkan mobil seenaknya.
Aldi bisa melihat laki-laki itu turun dari mobilnya, membawakan payung untuk seorang perempuan cantik yang sedang sibuk memilih bunga di toko tersebut. Aldi mengurungkan niatnya menghampiri pemilik mobil itu, dan kembali menancap gas karena Tiara pasti sudah menunggu kedatangannya.
***
Hanya butuh waktu 20 menit Aldi mengambil buku tugas milik Tiara yang kini sudah ada di genggamannya. Dia memarkirkan motornya di tempat parkir samping gedung fakultas kedokteran. Perempuan itu pasti sudah menunggunya di kelas.
Dengan rambut dan baju yang sudah terlihat basah, Aldi sama sekali tidak peduli. Dia mengambil ponsel dari dalam saku celana dan meminta Tiara datang ke tempat Aldi memarkirkan motornya. Tidak butuh waktu lama, Tiara datang dengan payungnya. Sementara Aldi turun dari motor, melepas helm, dan mengibaskan air dari rambutnya yang basah.
“Aldi..” Tiara memasang raut muka bersalah. Dia melihat rambut dan baju Aldi yang benar-benar basah. Di tangan laki-laki itu, sudah ada buku tugas miliknya yang dibalut dengan jaket jeans hitam.
“Ini bukumu.” Aldi mengulurkan buku yang dia balut dengan jaket miliknya. Selesai dari rumah Tiara tadi, Aldi langsung melepas jaketnya untuk membungkus buku itu agar tidak basah terkena hujan.
“Baju kamu basah, Al..” Ujar Tiara dengan suara pelan. Hatinya benar-benar merasa bersalah dan tidak enak dengan Aldi. Ini semua akibat dari kecerobohannya.
“Hey, bukannya bukunya harus cepat-cepat dikumpulkan? Jadi kenapa masih berdiam di sini?” Aldi mengabaikan kekhawatiran Tiara, lalu mengusap rambutnya sekali lagi.
“Kamu tunggu di sini 10 menit, aku mau kumpulkan buku ini, habis itu langsung pulang.” Tiara melangkah pergi menuju kelasnya. Dia langsung mengumpulkan buku tugas itu, menandatangani absensi bagi mahasiswa yang sudah mengumpulkan tugasnya, lalu mengambil tas untuk bergegas pulang. Langkahnya kembali menuju parkiran menghampiri Aldi yang langsung memberikannya helm.
Hujan sudah mulai reda, menyisakan genangan air dan sekilas warna menarik di atas langit. Perasaan bersalah di hati Tiara masih saja terasa, bahkan saat Aldi juga mengantarkannya pulang ke rumah. Bukan hanya soal buku tugasnya, tapi juga kecerobohannya semalam yang lupa membawa ponsel, sehingga laki-laki itu meninggalkan banyak panggilan yang tidak terjawab olehnya.
Selama ini, Tiara selalu berusaha memberi kabar pada Aldi kemanapun dirinya pergi. Itu semua karena Tiara tidak ingin membuat Aldi merasa khawatir. Semenjak kejadian empat tahun lalu, laki-laki itu sudah sangat baik selalu menjaganya, dan Tiara tidak ingin membebaninya dengan rasa khawatir.
Selama perjalanan menuju rumahnya pun, Tiara merasa kalau Aldi hanya diam saja. Entahlah, biasanya Aldi selalu bertanya pada Tiara tentang kuliahnya hari itu, sudah makan atau belum, ada tugas atau tidak, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Dan sekarang, hingga tiba di depan rumahnya pun, laki-laki itu tetap diam saja.
“Al, masuk dulu, yuk? Kasian kamu pasti kedinginan. Nanti biar Bik Minah yang siapkan handuk dan teh hangat. Mau, ya?” Tiara memberikan helm yang dikenakannya pada Aldi saat sudah turun dari motor.
Aldi terdiam sejenak, lalu menggeleng. “Nggak usah, Ra. Aku langsung pulang aja.”
“Pokoknya kamu harus masuk dulu ke dalam.” Kali itu Tiara tidak membiarkan dirinya mengalah. Dia tidak bisa membiarkan hatinya terus dihantui rasa bersalah. Tiara menarik lengan Aldi untuk masuk ke dalam, sehingga laki-laki itu terpaksa mengikuti. “Ayo!”
“Di sini aja, Ra.” Aldi menunjuk kursi tamu yang ada di depan rumah Tiara, lalu duduk dan melepas satu kancing bajunya yang basah.
“Tunggu di sini sebentar ya, aku ambilkan handuk dulu.” Tiara langsung masuk ke dalam rumah, lalu membawakan handuk putih dan dua cangkir teh hangat untuk mereka berdua.
Beberapa saat, mereka hanya terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing, membuat Tiara merasa kecanggungan yang selama ini tidak pernah dirasakannya ketika bersama Aldi. Dirinya sibuk meniup cangkir tehnya yang tidak terlalu panas, dan Aldi sibuk membersihkan badannya dengan handuk.
“Jadi, semalam kamu pergi ke mana? Ponselnya nggak di bawa.” Aldi meletakkan handuk itu di atas meja, lalu menatap Tiara yang masih sibuk meniup tehnya yang sudah tidak lagi panas. “Aku tanya Rani, dia juga bilang nggak tahu kamu ke mana.”
Semalam, memang Aldi menghubungi Tiara untuk meminta perempuan itu menemaninya latihan basket. Tapi Tiara tidak menjawab panggilan teleponnya, sampai kesekian kali Aldi menghubungi pun sama sekali tidak ada jawaban. Dia benar-benar merasa khawatir.
“Aku juga datang ke rumahmu, Bik Minah bilang kalau kamu pergi keluar, tapi tidak tahu kemana.” Sambung Aldi, masih menatap Tiara dengan tatapan matanya yang tajam.
Tiara meletakkan cangkir tehnya di atas meja, lalu berusaha menatap kedua mata Aldi agar laki-laki itu percaya dengan jawabannya. “Kamu ingat, nggak? Waktu aku cerita tentang Randi, laki-laki yang menolongku di taman? Dia mengundang aku datang ke kafenya.”
Aldi terdiam sejenak. “Lalu kenapa panggilanku sama sekali nggak kamu jawab?”
“Aku lupa bawa ponsel, Al.. tertinggal di kamar.” Tiara kembali menjawab dengan suara yang pelan.
“Semalam dia antar kamu pulang?” Aldi bertanya lagi. Perempuan di hadapannya itu langsung menyambutnya dengan sebuah anggukan, membuat Aldi kembali diam dan tenggelam dengan pikirannya sendiri. Rasa khawatirnya bukan lagi hilang, melainkan semakin bertambah mendengar hal yang sebetulnya sama sekali tak ingin dia dengar. Aldi tahu, cepat atau lambat akan ada seseorang yang menggantikan posisinya. Tapi.. entahlah. Bahkan, dia sendiri pun tidak tahu bisa membiarkan orang lain merebut posisinya atau tidak.
Jadi, siapa laki-laki itu?