4. RASA INGIN TAHU
Aku selalu berharap memiliki intuisi yang tak pernah salah. Lalu apakah pantas hal itu dimiliki seseorang yang bahkan belum mengenal apa itu cinta?
Tiara melepas sheet-mask yang sudah dikenakan di wajahnya sejak 30 menit yang lalu. Malam itu, tidak ada tugas kuliah yang mengganggunya, sehingga Tiara bisa sejenak mengistirahatkan diri setelah begitu banyak tugas perkuliahan yang menumpuk sejak kemarin.
Usai dari kamar mandi dan hendak mengambil handuk untuk mengeringkan wajahnya, notifikasi ponsel Tiara berkedip. Ada nomor yang sama sekali tidak dia kenali mengiriminya pesan. Namun beberasa saat setelah membuka isi pesannya, Tiara sama sekali tidak menduga kalau yang mengiriminya pesan adalah laki-laki itu..
Dia dapat nomorku darimana? Pikir Tiara. Alisnya sedikit terangkat saat kembali membaca ulang isi pesan itu.
Malam, Tiara. Kamu lagi sibuk? Boleh datang ke kafeku sekarang? Ada yang ingin aku bicarakan. Maaf tidak bisa menjemputmu karena ada beberapa pekerjaan yang harus kuselesaikan.
-Randi
Tiara melirik jam dinding yang ada di dekat jendela kamarnya. Masih jam 7, Pikirnya. Entah apa yang ingin laki-laki itu bicarakan padanya, Tiara benar-benar penasaran. Tiba-tiba saja pikirannya teringat dengan foto yang ada di atas meja kecil di samping pintu masuk kafe. Foto ketika dirinya sedang duduk di taman membaca buku dan mendengarkan lagu dari ipodnya. Untuk apa Randi mengambil foto dirinya dan dipajang di kafe?
Buru-buru Tiara memoleskan sedikit bedak di wajahnya, menyemprotkan parfum, dan mengenakan cardigan abu. Beberapa kali Tiara mematut diri di depan cermin, lalu mengambil mini clutch mocca dan menyampirkannya di bahu.
Kafe terlihat cukup ramai ketika Tiara tiba di sana. Dari dinding kaca, dia bisa melihat beberapa orang sedang menikmati secangkir kopi dan disibukkan dengan laptopnya. Beberapa yang lain terlihat berbincang dengan temannya, dan ada juga yang menyendiri di sudut kafe dengan buku dan minuman latte nya.
Tiara merasa ragu untuk masuk ke dalam. Kali ini, tidak ada Rani yang menemaninya datang ke tempat itu. Dia harus masuk seorang diri dan bertemu dengan Randi yang sudah menunggunya di dalam. Tangan Tiara hendak merogoh ponsel dari mini clutch nya untuk menghubungi Rani, karena dia benar-benar merasa takut. Lebih tepatnya, dia tidak tahu apa yang terjadi dengan perasaannya. Selama ini, Tiara hanya memiliki hubungan dekat dengan satu laki-laki. Hanya Aldi. Mungkin ini adalah hal yang wajar ketika dirinya merasa takut untuk bertemu dengan Randi.
Ah, sial. Tiara lupa memasukkan ponselnya ke dalam tas ketika hendak berangkat tadi. Dia terlalu terburu-buru dan meninggalkan ponselnya di atas tempat tidur. Baiklah. Mungkin memang hari itu adalah hari kesialannya. Tiara harus menghadapi ini seorang diri. Dia berusaha meyakinkan diri, lalu melangkahkan kaki menuju pintu masuk.
Seorang pelayan langsung menyambutnya, dan menyuruhnya menunggu di ruang kerja Randi karena laki-laki itu sedang berada di luar. Sebuah ruangan ber-AC yang tidak begitu luas, namun cukup membuat nyaman dengan beberapa sofa berwarna hitam, rak berukuran sedang yang dipenuhi buku, meja kerja, dan beberapa barang lainnya. Tiara tertarik untuk melihat buku-buku yang ada di rak itu. Dia penasaran dengan Randi yang pernah mengatakan kalau dirinya juga menyukai buku yang sama dengan yang Tiara baca saat itu. Pandangan Tiara menyusurinya, dan ternyata benar. Tangan Tiara terulur pada sebuah buku yang sama seperti buku miliknya. Buku Pramoedya Ananta Toer yang dia baca di taman waktu itu. Tiara tersenyum tipis. Di antara buku-buku bertopik manajemen yang ada di rak itu, Randi menyimpan beberapa judul buku yang Tiara juga menyukainya.
“Tiara?” Panggil seseorang dari arah pintu, membuat Tiara sedikit terkejut dan menoleh ke belakang.
“Eh? Ran? Maaf aku lancang melihat-lihat bukumu di rak ini..” Tiara merasa bersalah. Dia bisa melihat Randi dengan sweater maroonnya membawa sebuah plastik putih berisi makanan.
Randi tersenyum lebar, menutup pintu dan meletakkan plastik itu di atas meja. “Nggak usah pasang wajah kayak gitu, Ra. Santai aja.”
Tiara kembali duduk di sofa, mengikuti Randi yang juga duduk di hadapannya. Dia merasa sedikit canggung karena tidak tahu harus mengawali dengan pembicaraan apa.
“Ada yang ingin aku bicarakan. Kita sambil makan, ya?” Randi membuka sebuah bungkus nasi goreng, memberikannya pada Tiara, lalu membuka satunya lagi untuk dirinya.
Tiara tersenyum. “Kamu sudah punya kafe sendiri, tapi masih suka jajan di luar?”
“Makanan di luar nyatanya lebih enak, Ra. Ini tempat langgananku, kamu harus coba!”
“Oh, iya.. ada yang ingin aku tanyakan.” Tiara sempat berpikir sejenak untuk tidak bertanya, namun dia merasa harus tahu jawabannya. “Kamu dapat nomorku darimana?”
Randi yang mulai mengaduk nasi gorengnya, menoleh pada Tiara. “Aku dapat dari Rani. Kebetulan memang tadi pagi aku ke rumahnya, dan menanyakan alamat rumahmu. Tapi karena tidak sempat, jadinya aku minta nomormu ke Rani.”
Tiara mengangguk mengerti. Dia menatap bungkus nasi goreng yang ada di hadapannya “Jadi, ini nasi goreng kesukaanmu? Kalau ternyata rasanya nggak enak menurutku, kamu harus buatkan aku kopi, ya?” ledek Tiara.
Randi tertawa. “Kamu bilang enakpun, pasti aku buatkan kopi, kok.”
Tiara membuka bungkus nasi goreng itu, dan mulai mengaduknya. “Jadi, kamu mau bicara apa, Ran?”
“Soal fotomu yang dipajang di dekat pintu masuk..” Randi meletakkan sendoknya, dan mulai serius membicarakan apa yang hendak diutarakannya. “Aku ingin minta maaf, Ra, tidak meminta izin lebih dulu.”
“Memangnya kenapa harus fotoku yang diambil?” Dengan nada suara santai, Tiara menikmati suapan pertama nasi gorengnya yang memang terasa enak.
“Karena aku selalu kagum melihat perempuan yang menurutku berbeda dari yang lain.” Randi kembali memakan nasi gorengnya.
Tiara mengangkat kedua alisnya. “Berbeda?”
“Waktu aku melihat kamu menyendiri, dengan sebuah buku, mendengarkan lagu, membuat aku ingin mendekat. Dan menurutku, kamu berbeda.”
Suasana menjadi hening sejenak. Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan Tiara malam itu. Untuk pertama kalinya, ada seorang laki-laki memuji dirinya. Pipinya yang mulai terasa memerah, berusaha dia tutupi dengan pengalihan topik. “Nasi gorengnya ternyata enak. Jadi, kamu mau membuatkanku kopi?”
Randi tersenyum lebar. “Memangnya kamu sudah memaafkan aku?”
“Aku nggak mempermasalahkan itu, tahu! Kamu mau mengambil fotoku sedang makan nasi goreng juga nggak masalah, kok.” Tiara meledek, membuat Randi tertawa.
“Kamu tunggu di sini, aku buatkan kopi dulu, ya.” Randi bangkit dari duduknya, lalu melangkah menuju mini-bar coffee making yang juga ada di dalam ruang kerjanya.
Dari tempatnya duduk, Tiara bisa melihat Randi menggulungkan lengan kemejanya, dan mulai membuatkan kopi dengan French Press Coffee Maker. Laki-laki itu tampak menuangkan air mendidih setelah memasukkan kopi ke dalamnya. Dari gerak-geriknya, Tiara bisa melihat kalau Randi memang sangat menyukai minuman berkafein itu, sampai-sampai menyediakan tempat khusus untuk membuat kopi di ruang kerjanya. Memang terlihat mengagumkan, Tiara akui itu. Pesona Randi benar-benar terlihat dan memberikan kesan menarik bagi Tiara, membuatnya tak bisa melepas pandangannya dari laki-laki itu.
“Aku jadi ragu kalau kamu ini atasan kafe. Pasti kamu barista di kafe ini, kan? Ayo ngaku.” Tiara meledek lagi ketika Randi datang membawakan kopi yang sudah dibuatnya. Laki-laki itu hanya tersenyum, lalu menyuruh Tiara untuk segera mencoba kopi buatannya itu.
“Bagaimana rasanya? Enak?” Randi penasaran. “Aku buatnya pakai hati tuh.”
Tiara menyesap kopinya, berusaha merasakan kenikmatan dari minuman yang sebetulnya tidak terlalu sering menjadi temannya. “Enak.”
Satu kata pujian yang keluar dari mulut Tiara cukup membuat Randi terlihat bahagia sekali. Laki-laki itu tersenyum lebar. “Kapan-kapan aku buatkan kopi lagi, ya?”
Tiara mengangguk, lalu tersenyum tipis. Dia melirik jam tangan yang dikenakannya, dan pada saat itu Tiara menyadari kalau dia harus pulang, karena waktu sudah semakin malam. “Senang bisa bertemu dengan kamu, Ran. Kamu teman berbincang yang menyenangkan.” Puji Tiara, kembali menyesap kopinya.
“Biar kuantar pulang, ya?” Randi menawarkan diri, lalu mengambil kunci mobilnya, beranjak menuju tempat parkir yang sebentar lagi akan tutup. Laki-laki itu membukakan pintu mobil untuk Tiara, membuat perempuan itu merasa sedikit canggung. Namun, Tiara merasa patut mengapresiasi diri karena bisa melewati malam itu dengan baik. Tiara bisa menutupi kecanggungannya, dia bisa menghilangkan rasa takutnya untuk membuka diri. Lebih tepatnya, sedikit membuka diri. Tiara merasa belum waktunya untuk semakin dekat dengan Randi. Dirinya perlu mengenal lebih jauh. Randi memang laki-laki yang baik. Tiara akui, dirinya menyukai laki-laki yang memiliki sifat itu.
Dari balik kaca jendela mobil, Tiara hanya ingin berinteraksi dengan hatinya sendiri. Setiap orang pasti pernah memiliki sebuah rasa yang membingungkan, pemiliknya pun belum tahu mana yang paling baik. Begitupun dengan Tiara, dia merasa tidak tahu dengan apa yang terjadi. Kenyataan seakan mendukung permintaan Rani tempo hari agar dirinya membuka hati. Lalu, ketika apa yang terjadi menjadi sejalan dengan yang diharapkan, apakah ini yang dinamakan kesempatan? Entahlah. Bagi seseorang yang belum pernah merasakan jatuh cinta, Tiara merasa tak bisa menjawabnya.
Hingga tiba di kamar pun, Tiara masih berkutat dengan pikirannya. Dia memikirkan semua yang terjadi sejak pertemuan yang tak pernah disangka.
“Nanti kita bertemu lagi, kan?” Ucap Randi saat sudah tiba di depan rumah Tiara, mengantarkan perempuan itu sampai ke rumah.
Tiara tersenyum mengingat kata-kata yang Randi ucapkan tadi saat tiba di rumahnya. Tiara hanya bisa mengangguk tanpa tahu apa jawaban yang sebetulnya dia berikan.
Malam yang begitu melelahkan, batinnya. Tiara mengulurkan tangan mencari ponselnya yang tadi tertinggal di tempat tidur. Degup jantung Tiara begitu terasa ketika melihat ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Aldi. Laki-laki itu pasti mengkhawatirannya karena selama ini Tiara tak pernah sekalipun tidak menjawab panggilannya..