12. Seseorang yang Baru
Jika ada orang lain yang datang, dan membuatmu tak lagi bisa melihat keberadaanku, mungkin memang sudah waktunya rasa itu harus kuberi pada seseorang yang baru
Tidurmu nyenyak tadi malam?
Tiara menatap layar ponselnya, tersenyum membaca pesan yang dikirimkan Randi padanya. Jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi, dan saat membaca pesan itu membuat paginya terasa berbeda. Tiara ingin sekali menarik kembali selimutnya. Tapi, dia mengurungkan niat, dan beranjak dari tempat tidurnya. Sesaat dirinya berdiri dan meregangkan otot-otot tubuhnya yang semalam terasa begitu lelah. Pandangannya menatap ke arah jendela, hendak membukanya dan menghirup udara segar di pagi hari. Namun, dirinya begitu terkejut saat melihat Randi ada di depan pagar rumahnya dengan setelan jogging. Laki-laki itu berdiri menghadap jendela kamarnya, dan tersenyum lebar.
Ah, yang benar saja. Tiara mengucek kedua matanya, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lalu pandangannya beralih pada jam dinding yang masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Laki-laki itu sudah ada di depan rumahnya sepagi ini?
Randi mengacungkan ponselnya pada Tiara. Memberi kode kalau perempuan itu harus segera mengecek ponselnya. Tiara berbalik badan ke tempat tidurnya, mengambil ponsel dan membaca pesan yang dikirimkan Randi barusan.
Aku mau ajak kamu lari pagi. Yuk? Aku tunggu di sini.
Tiara tersenyum tipis. Dia beranjak mengenakan celana training dan kaos putihnya. Langkahnya langsung menuju dapur, menyiapkan infused water, mengambil handuk kecil dan mengenakan sepatu olahraganya. Tidak butuh waktu lama, Tiara langsung menghampiri Randi yang sudah menunggunya di depan rumah. Laki-laki itu sedang melakukan sedikit pemanasan di kakinya.
“Sudah siap lari pagi, tuan putri?” Ledek Randi, yang masih meregangkan otot tangannya. “Kamu nggak jawab pesan yang aku kirim.”
Tiara mengernyitkan dahinya, berpikir mengingat-ingat. “Pesan yang mana?”
“Yang tidurmu nyenyak atau tidak semalam.”
“Oh, yang itu.” Tiara menaruh ujung telunjuknya di dagu, memperlihatkan wajah menyebalkan yang sedang berpikir keras. “Sepertinya tidak nyenyak.”
Randi berhenti melakukan pemanasannya. Dia berdiri tegak, dan mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa bisa nggak nyenyak?”
Tiara dengan cepat menjawab, “Tapi, bohong!” ledeknya, lalu berlari cepat lebih dulu meninggalkan Randi yang masih mendengus sebal mendengar ledekannya. Laki-laki itu ikut berlari mengejar Tiara dari belakang, berusaha menyamai langkahnya.
“Ayo, kejar aku kalau bisa!” Seru Tiara, menoleh ke arah Randi yang masih tertinggal di belakangnya. Dia tertawa melihat ekspresi Randi barusan.
“Ayo, siapa sekarang yang memegang posisi pertama? Kita lihat pemenangnya!” Randi yang langkah kakinya mulai sejajar dengan Tiara, mempercepat kecepatannya dan meninggalkan Tiara di belakangnya. “Ayo, kejar aku!”
Tiara tertawa, dan mempercepat lagi kecepatan larinya. Dia memasang earphone nya dan menyusul Randi yang mulai meninggalkannya cukup jauh. Rasanya, sudah lama sekali Tiara tidak berolahraga seperti ini. Tugas-tugas kuliah yang selalu saja menumpuk setiap harinya, membuat dia hampir tidak punya waktu untuk sekadar berlari pagi seperti ini. Kadang, dirinya bangun lebih siang karena semalaman begadang mengerjakan tugas.
Napas Tiara mulai tersengal. Dia berhenti sejenak dan meminum infused waternya. Randi yang menyadari Tiara tidak lagi mengejarnya di belakang, memilih berhenti berlari dan menungguinya. Di ujung jalan sana, ada bangku-bangku taman yang biasa dijadikan tempat untuk beristirahat sejenak bagi orang-orang yang sedang berolahraga seperti dirinya.
Tiara kembali berlari, dengan kecepatan langkahnya yang sedang, dirinya berhasil menyusul Randi yang menungguinya di depan sana.
“Kamu capek?” Randi memegang lengan Tiara. “Kita istirahat di sana ya.” Ujarnya, menunjuk bangku taman yang sudah terlihat dari tempatnya berdiri.
Mereka duduk bersampingan. Melihat suasana pagi dengan orang-orang yang juga sedang berolahraga di atas rumput taman. Embun pun masih terlihat menempel di pucuk-pucuknya. Tiara menarik napas samar, lalu menghembuskannya. Dia selalu senang menghirup udara pagi yang masih segar dan belum terkontaminasi asap-asap kendaraan. Kota Jakarta memang tidak pernah lepas dari halnya asap. Membuat Tiara merasa momen ini begitu jarang dia lakukan semenjak memasuki dunia perkuliahan.
“Kamu lagi dengar lagu apa?” Randi menoleh pada Tiara yang sedang menatap orang-orang yang berlalu lalang.
“Lagu kesukaanku. Kamu mau dengar?” Tiara memberikan sebelah earphonenya pada Randi, dan membiarkan laki-laki itu ikut mendengarnya.
Randi memasang sebelah earphonenya, dan mulai mendengar lagu yang diputar. Dia menoleh, dan sudah mengerti alasan Tiara sangat menyukai lagu itu. Sepulang dari Bandung beberapa minggu lalu, Tiara sudah menceritakan semua padanya.
“Mulai sekarang, lagu ini juga jadi kesukaanku.” Randi menatap Tiara, yang pandangannya masih melihat ke arah depan. Perempuan di sampingnya itu menoleh, lalu tersenyum.
***
“Tangkep, Yog!” Aldi melempar bola basketnya pada Yoga, lalu mengambil botol minumnya yang ada di pinggir lapangan, dan duduk meluruskan kedua kakinya. Sudah dua jam dirinya menghabiskan waktu untuk latihan persiapan pertandingannya dua hari lagi. Beberapa terakhir ini memang dirinya begitu menyibukkan diri di lapangan basket seusai jam kuliah. Sebetulnya, bukan itu yang menjadi alasan Aldi menyibukkan diri seperti ini. Ada hal yang sedang berusaha dilupakannya. Tentu saja perasaannya sendiri.
“Lo lagi ada masalah? Permainan lo nggak setangkas biasanya.” Yoga menghampiri Aldi yang duduk di pinggir lapangan, sedang meregangkan otot kedua kakinya.
“Lagi kecapean aja.” Aldi menjawab singkat. Tentu saja bukan itu jawaban yang sebenarnya. Kekalutan pikirannya belum menemukan ujung. Dia tidak menyangka hal itu memengaruhi kemampuan bermainnya di lapangan.
Yoga menggeleng. Dia tahu Aldi. Temannya itu tidak pernah menjadikan lelah sebagai alasan.
“Kalau lo ada masalah, cerita sama gue.” Seru Yoga, dengan nada bicara santainya, dia mengambil botol minum dan membukanya. “Tapi, setelah itu, lo kesampingkan dulu masalah lo itu, ya? Gue gamau permainan lo jelek nanti.”
Aldi menepuk bahu Yoga, meletakkan kembali minumnya, dan berdiri untuk melanjutkan latihannya. Di pintu masuk gedung, Aldi melihat kedatangan Putra, berlari-lari kecil membawa tas perlengkapan basketnya.
“Duh, sorry banget gue telat!!” Putra mendekat ke pinggir lapangan dan meletakkan tasnya. “Tadi gue kejebak macet. Sumpah, nggak bohong.” Sambungnya, memperlihatkan jari telunjuk dan jari tengahnya.
Yoga hanya tertawa dengan sikap santainya. Dia berdiri dan menepuk pundak Aldi. “Santai. Ayo, latihan!”
“Oiya! Al! Tadi gue liat ada cewek nungguin lo di depan. Dia mau ketemu lo di luar.”
Aldi yang sudah siap dengan bola basketnya, mengernyitkan dahi mendengarnya. Siapa perempuan yang dimaksud Putra? Apa mungkin Tiara yang menunggunya di luar?
Hati Aldi mulai memunculkan harap. Dia melempar bola basketnya pada Putra, dan langsung berlari keluar gedung. Pandangannya mencari-cari sosok perempuan yang dimaksud Putra tadi. Dia mencari-cari keberadaan Tiara yang mungkin sedang menunggunya latihan di sini.
“Aldi?”
Seseorang memanggil Aldi dari arah samping. Aldi menoleh, dan terdiam melihat seorang perempuan yang berdiri di hadapannya.
“Aku Salma.” Ujarnya, mengulurkan tangan pada Aldi yang masih diam terpaku. “Perempuan yang selama ini diam-diam menaruh bunga dan mengagumi kamu tanpa kamu tahu.”