11. Kebahagiaan
Selama ini, aku selalu mengira hidupku terlalu memilukan untuk dihidupi. Sebelum akhirnya kau datang membawa rasa bahagia yang membuat sedihku tak lagi berani memunculkan diri.
Rani mengaduk kembali es kelapa muda yang sudah dipesannya beberapa menit lalu. Dia menatap lamat ponselnya yang diletakkan begitu saja setelah menghubungi Tiara barusan. Akhir-akhir ini, perempuan itu sulit sekali dihubungi, bahkan bertemupun jarang meskipun berada dalam gedung fakultas yang sama. Dirinya dibuat heran dengan Tiara yang akhir-akhir ini sudah jarang menghubunginya. Kadang, Rani terpaksa meneleponnya, menanyai kabar Tiara yang dikhawatirkan Rani sedang tidak baik-baik saja.
Beberapa minggu lalu memang perempuan itu menceritakan soal Randi yang mengungkapkan perasaan suka padanya, dan memintanya untuk jadi pacar. Namun, Rani belum tahu kelanjutan ceritanya. Otaknya sedikit berpikir keras mengingat apa yang dikatakan Aldi saat bertemu di sebuah café beberapa hari lalu.
“Tiara udah jadi pacar Randi sekarang.” Aldi menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, lalu menatap gelas kopi hangatnya yang sudah mulai mendingin.
“Dia nggak cerita ke gue, Al.” Rani sedikit kecewa mendengarnya. Perempuan itu tidak meminta saran apa-apa padanya. Tapi.. kalau diingat-ingat, memang dirinya yang meminta Tiara untuk membuka hati. Kekecewaan Rani bukan ada pada Tiara yang sekarang sudah berpacaran dengan Randi. Melainkan ketidaklibatan dirinya dalam keputusan yang Tiara buat. Sebagai seorang sahabat, tentu Rani tidak ingin Tiara merasakan sakit pada akhirnya, karena pilihannya tidak sesuai apa yang dibayangkan.
“Gue titip Tiara ya, Ran?” Aldi kembali menegakkan posisi duduknya. Dia sudah memikirkan hal itu semalaman. Keputusannya sudah bulat untuk menjaga jarak dan tidak lagi berhubungan dengan Tiara.
“Memangnya lo mau kemana? Kok ada acara titip-titipan gini?”
“Dia udah ada Randi sekarang, jadi apa gunanya lagi gue ada di deket dia?”
Rani terdiam sejenak, menyipitkan kedua matanya. Dia berusaha mencerna setiap kata yang dilontar Aldi. “Jujur sama gue, lo ada perasaan sama Tiara?”
Aldi menelan ludah. Dia terdiam, tidak menjawab. Lebih tepatnya, dia tidak tahu jawaban apa yang harus diberi. Selama ini, memang dirinya berusaha keras untuk menutupi perasaannya, bahkan dari dirinya sendiri. Dia selalu mengabaikan perasaan itu, hanya untuk membuat Tiara tetap nyaman berada di dekatnya. Sulit baginya, untuk mengetahui apa yang dia rasa. Selama ini, dia hanya ingin terus menjaga Tiara, dan membuat perempuan itu bahagia. Lantas, kalau sudah seperti itu, apa bisa terbilang perasaan yang lebih dari sekadar sahabat?
“Al..” Rani kembali memanggil. Melihat Aldi yang terdiam seperti itu, membuat Rani semakin yakin dengan pertanyaannya. “Lo ada perasaan lebih sama Tiara?”
Aldi terdiam sejenak, lalu mengangguk tegas. Mungkin sudah waktunya perasaan itu diketahui oleh orang lain. “Gue udah nggak ada hak lagi untuk ada di samping dia. Itu sebabnya, gue mau lo selalu ada buat dia. Jangan biarin laki-laki itu buat Tiara sedih, apalagi nangis. Jangan sungkan untuk kabarin gue kalau ada apa-apa sama Tiara.”
“RANII!!” Seru Tiara yang berlari-lari kecil dari pintu masuk kantin. Membuat lamunan Rani kabur menjauh.
Rani menoleh. Perempuan yang ditunggu-tunggunya itu sudah datang, membawa beberapa buku diktat di tangan kirinya. Dia duduk di hadapan Rani, dan seperti biasa, memesan es kelapa muda, dan kali ini bukan semangkuk bakso sebagai pelengkapnya, melainkan sepiring nasi goreng tanpa timun.
“Maafin gue Ran..” Seru Tiara pelan, meletakkan buku diktat itu di hadapannya. “Akhir-akhir ini gue sibuk..”
Rani tersenyum. Dia tahu, Tiara tidak benar-benar sibuk. Selama ini, perempuan di hadapannya itu selalu bisa kapan saja bertemu dengannya, walaupun sibuk. Tiara selalu meneleponnya, atau pergi untuk sekadar menginap di rumahnya. Terkadang, mereka juga suka menghabiskan waktu bersama. Tapi sekarang, Rani tahu alasan dibalik kesibukan Tiara, yang sudah jelas bukanlah kesibukan kampus.
“Gimana hubungan lo sama Randi?” Rani berusaha bersikap santai, kembali mengaduk es kelapa mudanya, dan memesan semangkuk mie ayam. “Dengar-dengar udah ada yang jadian, nih.”
Tiara tertawa kecil. Wajahnya terlihat sedikit memerah. Dan Rani bisa melihat raut wajah bahagia itu. Belum pernah rasanya Rani melihat Tiara bersemangat seperti ini, dan malu-malu menceritakan hubungannya setelah membuka hati pada seseorang.
“Gue nerima Randi jadi pacar, Ran.” Ujarnya, santai. Lalu menyuapkan sesendok nasi pada mulutnya. “Hubungannya baik-baik aja. Dia laki-laki yang baik, dan gue seneng.”
Rani kembali tersenyum. Dia merasa senang melihat Tiara mengatakan hal itu. Kekhawatiran dan rasa kecewanya sedikit mereda dan terbayarkan dengan kata-kata yang Tiara lontarkan barusan.
“Minggu depan, Aldi ada pertandingan basket antar-kampus. Gue disuruh kasih tau ini ke lo, Ra.”
Tiara terdiam sejenak, lalu meletakkan sendoknya. Dia mengaduk es kelapa mudanya, dan meminumnya. Dahinya sedikit mengerut mendengar kabar itu. Biasanya, Aldi selalu memberitahu langsung pada Tiara, apabila ada pertandingan-pertandingan penting yang sedang laki-laki itu persiapkan. Dan, Aldi selalu meminta Tiara untuk datang menonton pertandingannya. Tapi, sekarang mengapa laki-laki itu hanya menitipkan pesan lewat Rani?
Beberapa kali Tiara meneleponnya, atau mengirimi pesan pada Aldi. Tapi sama sekali tidak ada jawaban. Laki-laki itu menghilang tanpa kabar, dan membuat Tiara merasa khawatir.
“Dia udah lama nggak ngehubungin gue..” Tiara menghela napas samar. Dia sedikit merasa sedih menyadari hal itu. “Nggak biasanya Aldi kayak gini.”
“Mungkin dia lagi sibuk sama persiapan pertandingannya, Ra.” Jawab Rani, berusaha menenangkan. Tentu dirinya tidak mungkin memberitahu yang sebenarnya. Entah sampai kapan situasinya akan seperti ini, dirinya pun tidak tahu. “Lo nggak usah khawatir, ya.” Sambungnya, memperlihatkan senyum yang meyakinkan.
***
Tiara melangkah keluar dari gedungnya. Kegiatannya hari itu cukup melelahkan dengan praktikum dan beberapa tugas yang harus dikerjakannya. Tiara mendongak. Menatap langit sore yang terlihat cantik dengan jingganya yang begitu menyala. Membuatnya tanpa sadar tersenyum dan berhenti melangkah.
Beberapa saat dia bergumam, lalu kembali melanjutkan langkahnya. Sore itu dia hendak pulang dengan bus umum, karena Randi pasti sedang sibuk dengan beberapa pekerjaan di kafenya. Tiba di luar gedung, Tiara dikejutkan dengan kedatangan Randi di hadapannya. Laki-laki itu sedang bersandar di pintu mobil, menunggu untuk menjemputnya.
“Hey,” Sapa Randi, tertawa kecil melihat Tiara berhenti melangkah di hadapannya. “Maaf aku nggak bilang-bilang dulu mau jemput kamu.”
“Randi?” Tiara sedikit cemberut. “Kamu bikin aku kaget!”
“Ayo, silakan masuk tuan putri.” Ledek Randi, menyingkir dari pintu mobil, dan membukakannya untuk Tiara.
Tiara hanya tertawa, lalu melangkah masuk ke dalam mobil, dan melihat Randi memutar untuk masuk ke kemudinya.
“Gimana kuliahnya hari ini?”
Tiara mengangkat santai kedua bahunya. “Sama seperti biasanya.”
“Tidak ada yang istimewa?” Randi menoleh, kembali bertanya.
“Tentu ada!” Tiara tertawa kecil. “Yang tiba-tiba menjemput aku ini yang membuat istimewa.”
Randi ikut tertawa, lalu mengelus rambut Tiara. Sore itu langit begitu indah sekali. Dia berencana mengajak Tiara untuk pergi ke suatu tempat. Sepertinya, hari ini tidak akan hujan.
“Kita mau kemana, Ran?” Tiara melihat Randi tidak membelokkan mobil menuju rumahnya.
“Ke suatu tempat.” Randi menoleh sesaat,lalu kembali melihat ke arah depan. ”Katamu hari ini tidak ada yang istimewa? Aku buat harimu ditutup dengan istimewa, ya?”
Tiara tersenyum, diam tak menjawab menatap Randi. Laki-laki di sampingnya itu selalu saja penuh kejutan. Sejauh ini, Tiara merasa bahagia sekali diperlakukan seperti orang yang sangat istimewa di hidupnya. Jawaban yang dia beri ternyata tidak salah. Kini, hatinya terlalu yakin untuk terus mendalami apa yang dirasakannya saat ini. Mengetahui ada seseorang yang menyayanginya, dan memperlakukannya dengan sangat istimewa, membuat Tiara begitu bahagia.
Langit sudah mulai menggelap saat Randi memutar kemudinya ke sebuah lapangan besar yang ramai sekali. Beberapa saat Tiara menatap keadaan luar, dari kaca jendela mobil.
“Pasar malam?” Tiara menoleh, bertanya pada Randi.
Randi mengangguk. Dia memarkirkan mobilnya di sebuah tempat yang sudah disediakan, dan menarik lengan Tiara untuk menikmati wahana-wahana yang ada di sana.
“Menyenangkan sekali..” Gumam Tiara, memerhatikan keadaan di sekitarnya. Beberapa orang tampak berlalu lalang. Ada anak kecil yang sedang menikmati permen kapasnya, bapak tua yang memberikan karcis untuk orang-orang yang ingin menaiki wahana, seorang anak perempuan yang sedang melempar sesuatu ke arah papan untuk mendapatkan hadiah bila mengenai target. Di pasar itu, juga ada perahu kora-kora dan bianglala. Tiara membiarkan tangannya digenggam Randi menuju wahana yang paling aman.
“Kita naik bianglala, ya?” Ajak Randi, lalu membeli dua karcis dan memberikannya pada bapak penjaga di pintu wahana. Mereka duduk berhadapan. Randi tertawa menatap Tiara yang menggenggam erat pegangannya. “Nggak usah takut. Ini nggak terlalu tinggi, kok.”
Dari atas sana, Tiara bisa melihat suasana pasar malam yang begitu menyala dengan lampu-lampunya. Orang-orang yang begitu menikmati wahana yang dinaikinya. Dia juga melihat langit yang gelapnya bisa membuat bintang-bintang terlihat jelas di mata Tiara. Ini pertama kalinya dia pergi ke pasar malam. Mungkin di dalam hidupnya pernah sekali atau dua kali pergi ke tempat ini bersama ibu dan ayahnya sewaktu masih kecil, tapi itu semua sama sekali tidak teringat di benaknya.
Tiara menyadari laki-laki di hadapannya itu tersenyum menatapnya, membuat dirinya menjadi salah tingkah. “berhenti melihat aku seperti itu, Ran.”
“Kenapa memangnya?” Tanyanya, membuat Tiara tidak menjawab dan memilih untuk mengabaikan tatapan itu.
Ah. Sungguh menyebalkan memang. Beruntung, mereka tidak terlalu lama berada di wahana itu. 15 menit kemudian wahana berhenti, dan merekapun mencari wahana lain.
“Tunggu dulu, Ra.” Randi menarik lengan Tiara untuk berhenti melangkah. Dia berlutut, menumpu sebelah kakinya, dan mengikatkan tali sepatu Tiara yang terlepas.
Tiara semakin gugup dengan apa yang dilakukan laki-laki itu padanya. Randi kembali berdiri, dan menggenggam tangan Tiara untuk mencari wahana lain. Langkahnya terhenti pada tempat yang menjual permen kapas. Dia membelikan satu untuk Tiara, dan kembali mengajak perempuan itu ke sebuah permainan ‘tembak boneka’. Kalau dirinya berhasil menembak salah satu boneka yang berjalan semakin cepat, dia bisa mendapatkan boneka yang ditembaknya itu.
Awalnya, Randi tidak berhasil menembak boneka itu. Berkali-kali dirinya menembak, namun selalu saja gagal. Tiara membujuk laki-laki itu untuk berhenti dan mencari wahana yang lain. Tapi, tetap saja, Randi masih penasaran dengan permainan itu. Dia kembali merogoh sakunya, mengambil uang, dan menembak boneka itu lagi.
“YA! DAPAT!” Teriak Randi, senang mendapat boneka yang diincarnya. Tentu saja boneka yang paling besar. Dia memberikan boneka itu pada Tiara yang masih memegang permen kapasnya. “Kamu senang?” Tanyanya, tersenyum.
Tiara mengangguk. Hatinya begitu bahagia. Bahagia yang sederhana, tapi tidak lagi terasa sederhana. Hanya itu yang bisa dijadikannya jawaban. Tersenyum selalu menjadi jawaban yang paling diandalkannya ketika tidak bisa mengeluarkan kata-kata untuk menjawab.
Randi mendekatkan tubuhnya pada Tiara, mengelus rambut perempuan di sampingnya itu. “Kamu cantik kalau sedang bahagia seperti ini.”
Kedua pipi Tiara menghangat. Rasa gugupnya tidak hilang begitu saja hingga tiba di rumahnya. Selama di perjalanan pulang, Tiara memilih memerhatikan suasana jalan lewat kaca jendela mobil. Hanya dirinya yang tahu seperti apa bahagia yang dirasakannya malam itu.
“Sampai kamar, kamu langsung istirahat, ya?” Seru Randi, saat sudah tiba di depan rumah Tiara.
Tiara mengangguk, lalu hendak membuka pintu mobil.
“Aduh!” Randi sedikit mengerang kesakitan memegang telapak kaki kirinya.
“Kamu kenapa, Ran??” Tiara sedikit panik, dan menyentuh kaki Randi yang kesakitan. “Seharian ini kamu pakai sepatu, ya? Kayaknya kaki kamu lecet. “Kamu bawa sandal, nggak?”
Randi mengangguk, menunjukkan tangannya ke bagasi belakang mobil. Tiara langsung membuka pintu mobilnya, dan mengambilkan sandal yang diletakkan Randi di bagasinya. Begitu membuka pintu bagasi, Tiara terkejut melihat sebuah boneka besar yang memegang setangkai bunga mawar, dan sekotak cokelat di sampingnya.
Refleks, Tiara menutup mulutnya, dan tersenyum lebar. Ada sebuah bando berwarna ungu menyala terpasang di wajah boneka beruang itu. Randi membuka pintu mobilnya, dan menghampiri Tiara yang terkejut dengan kejutan yang diberikannya itu.
“Kamu senang?” Randi ikut tersenyum menatap Tiara yang tampak terkejut. Dia mendekat, dan memeluk erat perempuan itu. “Aku menyayangimu, Ra.” Bisiknya, membuat Tiara tidak bisa lagi berkata apa-apa.