10. Mengakui Rasa
Tidak selamanya baik menyembunyikan rasa yang sudah sepatutnya kau akui keberadaannya. Katakanlah, bila itu bisa membuat keadaan tak lagi menjadi rumit.
Tiara sudah beberapa kali mematut diri di depan cermin. Dia tidak ingin sedikitpun ada kekurangan dari penampilannya, karena pagi ini, Randi akan mengajaknya ke Bandung untuk menghabiskan hari minggunya. Dan di hari ini juga, Tiara akan memberi jawaban pada Randi atas apa yang diungkapkan laki-laki itu padanya beberapa hari lalu. Tiara merasa cukup yakin dengan jawaban yang akan diberikannya nanti.
Sweater cokelat dipadu dengan dark wash jeans dan black angkle boots, cukup membuat Tiara puas melihat penampilannya di depan cermin. Dia menyunggingkan senyum yang paling indah pagi itu. Jam di dinding kamarnya sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Tepat saat pandangannya melirik jam, laki-laki yang ditunggunya sudah datang membunyikan klakson mobilnya.
Tiara sedikit gugup, dan jantung berdebar. Ini menjadi kali pertama baginya menghabiskan hari libur dengan orang lain, selain Aldi dan Rani. Tiara langsung menyampirkan slingbagnya di bahu, dan segera turun menghampiri Randi yang sudah menunggunya di depan rumah. Hari itu, dia hanya pamit ke Bik Minah karena ayahnya sedang tidak ada di rumah. Ada beberapa pekerjaan yang harus diurus ayahnya, dan Tiara sudah terbiasa dengan itu.
“Selamat pagi.” Sapa Randi saat Tiara menutup pintu mobil. “Kamu cantik hari ini.”
Tiara tersenyum, dan mulai merasakan panas di kedua pipinya. “Selamat pagi juga.”
Laki-laki di sampingnya itu membalasnya dengan senyum, memasang persneling dan memutar balik mobil. Jalan di dekat rumahnya pagi itu memang sedang ada perbaikan.
“Kamu pakai sweater juga? Ngikutin ya!” Ledek Tiara, melihat Randi yang juga mengenakan sweater hitam dan digulung di bagian lengannya.
“Di bandung dingin, Ra. Untung semalam aku ingetin kamu pakai sweater.”
Tiara manggut-manggut. “Memangnya di Bandung kamu mau ajak aku kemana?”
“Ke beberapa tempat yang kamu pasti suka.” Randi menoleh, lalu mengelus rambut Tiara dengan lembut. “Hari ini kita habiskan waktu bersama, ya?”
Tiara merasakan hangat di kedua pipinya. Dia merasa gugup, dan jantungnya semakin berdebar. Semesta.. ini benar-benar mengganggu. Ada apa dengan dirinya? Tiara tidak pernah seperti ini. Dia tidak pernah merasa gugup apabila ada orang yang memujinya, tersenyum padanya, atau mengelus rambutnya. Alhasil, Tiara hanya menjawab dengan sebuah anggukan, dan mengalihkan pandangannya ke jendela mobil. Dia hanya ingin memandangi jalan, menatap lamat-lamat orang yang berlalu lalang.
Perjalanan menuju Bandung kurang lebih memakan waktu selama empat jam. Hari libur di akhir pekan membuat kemacetan di beberapa titik tertentu. Membuat Tiara lebih memilih tidur selama di perjalanan, sementara Randi fokus menyetir. Setelah melewati empat jam yang tidak terasa bagi Tiara, karena dirinya terlelap tidur, mereka akhirnya tiba di Bandung. Randi menjelaskan tempat-tempat yang baru saja mereka lewati, membuat Tiara larut dalam penjelasannya. Laki-laki di sampingnya itu seakan sudah mengenal Bandung. Di luar perkiraan Tiara yang mengira kalau Randi juga baru pertama kali berkunjung ke tempat ini.
“Kamu pasti heran ya, kenapa aku bisa tahu tempat-tempat ini?” Mereka tiba di jalan Asia Afrika, tempat yang baru saja disebutkan Randi pada Tiara. “Ini kota kelahiranku, Ra.”
Tiara yang daritadi menatap jalanan Bandung lewat kaca jendela mobil, menoleh pada Randi. Dia sedikit terkejut saat tahu ini adalah kota kelahiran Randi.
“Aku sengaja ajak kamu ke kota kelahiranku. Ini kota yang sangat istimewa bagi aku, Ra.” Randi menoleh senyum pada Tiara, lalu kembali fokus menyetir. “Jalan Asia Afrika ini sangat bersejarah dalam pembentukan kota Bandung. Kita sekarang ada di tengah-tengah kota.”
Tiara mendengarkan dengan baik apa yang dibicarakan Randi padanya. Hatinya senang sekali mendengar Randi menceritakan banyak hal yang belum banyak dia ketahui.
“Nah, kalau itu namanya Tugu Dasasila Bandung.” Randi menunjuk ke sebuah tugu yang di dindingnya tertulis nama-nama negara yang mengikuti Konferensi Asia-Afrika.
Sepanjang jalan Asia Afrika, Tiara melihat di sepanjang trotoarnya berdiri kursi-kursi taman yang memberikan kesan cantik di matanya. Di sisinya, juga ada pot-pot bunga, bola-bola dunia, dan lampu-lampu yang dirancang mirip dengan jalan-jalan di Eropa. Setelah melewati Tugu Titik Nol Bandung, Gedung Merdeka, dan Jalan Braga, mereka tiba di Cikapundung Riverspot. Randi memarkirkan mobilnya di tempat yang sudah disediakan. Di dalam area tempat itu, Tiara melihat deretan bangku persegi empat berwarna merah menyala, yang membuat dirinya ingin sekali singgah untuk duduk bersantai di sana.
Begitu mobilnya sudah terkunci, Randi mendekat pada Tiara yang diam-diam memerhatikan suasana di dalam tempat itu. Dia tersenyum, lalu menggenggam tangan Tiara, dan mengajaknya untuk masuk ke dalam.
Tiara terkejut saat tahu tangannya digenggam oleh Randi. Dirinya refleks menoleh, namun laki-laki itu memperlihatkan raut wajah yang santai, membuat Tiara sedikit bisa menghilangkan kecanggungannya.
“Wah..” Tiara bergumam, memperlihatkan kekagumannya dengan suasana tempat itu. Pada lantainya, ada undakan yang meliuk-liuk dan lampu-lampu beraneka warna. Randi mengajak Tiara untuk duduk di salah satu bangku, dekat sebuah air mancur. Mereka duduk berhadapan, dan pandangan Tiara masih belum lepas dari suasana yang ada di sekitarnya.
Randi menatap Tiara cukup lama, memerhatikan perempuan yang ada di hadapannya itu sedang menoleh pada air mancur, lalu dia tersenyum. “Kamu senang sekali kelihatannya?”
Tiara mengalihkan pandangannya pada Randi, tanpa sedikitpun menghilangkan senyumnya yang merekah. “Bukan senang lagi. Aku rasanya mau tinggal di sini aja, boleh?”
Randi tertawa, lalu sedikit mendekatkan kepalanya pada Tiara, dan berbisik pelan. “Sst, nanti ada yang merasa kesepian di Jakarta.”
“Siapa?” Tiara mengerutkan dahinya.
“Laki-laki yang ada dihadapanmu.” Jawab Randi, lalu tertawa kecil. “Kalau malam hari, air mancurnya menyala, loh, Ra. Cantik, pasti kamu suka lihatnya.”
“Ah,” Tiara menghela napas samar. “Aku jadi mau lihat, Ran..”
“Kata Ayah kamu, nggak boleh pulang malam-malam.”
Tiara kembali menghela napas. Pandangannya menyapu ke sekeliling tempat itu, mencari sesuatu yang bisa dimakannya. Perutnya memang belum diisi apapun sejak berangkat dari rumah tadi.
“Kamu belum makan, ya?” Tanya Randi, yang masih memerhatikan gadis di hadapannya itu. “Tunggu di sini, ya? Jangan kemana-mana!”
Dahi Tiara mengerut, melihat Randi beranjak dari hadapannya, dan berlari keluar menuju tempat parkir. Dia tidak tahu laki-laki itu pergi ke mana. Mungkin membeli makanan untuk dirinya yang sekarang merasa lemas karena belum terisi tenaga. Tiara menopang dagunya dengan sebelah tangan. Dia memikirkan jawaban yang ingin diberikannya pada Randi, apakah saat ini waktu yang tepat?
Sampai detik ini, Randi memang belum mengungkit apa-apa tentang ungkapan perasaannya beberapa hari lalu. Tapi, Tiara tidak ingin menggantung harapan seseorang. Dia mengerti seperti apa rasanya ada di posisi berharap, namun pada akhirnya dikecewakan.
Dari pintu masuk, Tiara melihat sosok Randi yang kembali berlari menuju tempatnya duduk. Laki-laki itu membawa sebuah rantang susun berwarna kombinasi dan dua buah minuman botol di tangan kanannya. Senyum Tiara mengembang. Randi sudah mempersiapkan bekal itu dari rumahnya.
“Aku sengaja bawakan ini dari rumah. Aku tahu kamu pasti nggak makan dulu sebelum berangkat tadi.” Ujar Randi, membuka tutup lunch box yang dibawanya, dan menaruh semuanya di hadapan Tiara. Dia membukakan tutup botol minuman yang dibawanya, dan mengulurkannya pada gadis di hadapannya itu. “Kamu minum dulu.”
Tiara menurut. Dia mengambil botol minum yang disodorkan Randi padanya, dan mulai menyantap makanan yang begitu menggiurkan di penglihatannya. “Ini semua mamamu yang masak?”
Randi tersenyum mengangguk. Dia mengambilkan sepotong ikan untuk Tiara, dan menuangkan sayur sop ke dalam box nasinya. “Makan yang banyak ya? Biar gendut!” Ledeknya.
“Kamu nggak makan?” Tanya Tiara, mulai menyuapkan sendok ke mulutnya.
“Aku makan roti aja. Tadi di rumah udah makan kok.”
Tiara menelan makananya. Dia sempat berpikir untuk memberi jawabannya saat itu juga. Mungkin sekarang waktu yang tepat.
“Ran..” Seru Tiara pelan, lalu sedikit berdeham. “Aku mau kasih jawabannya sekarang..”
Randi terdiam sejenak, seakan dengan otomatis ingatannya kembali berputar, dan mengerti ke mana arah pembicaraan ini.
“Maaf aku terlalu lama memikirkannya..” Sambung Tiara, berusaha menekan rasa gugup yang menjalar hingga ke ujung kakinya. Dia menatap mata Randi yang masih terdiam di hadapannya, menunggu jawaban apa yang akan dia beri. Selama ini, Tiara memang belum pernah merasakan jatuh cinta. Namun, laki-laki dihadapannya itu seakan mampu menghilangkan kekosongan di sudut ruang hatinya. Sebuah rumah kosong yang sudah lama dibiarkan sunyi, kini didatangi oleh seorang tamu yang mampu memberi warna di tiap sudutnya. “Aku juga menyukai kamu, Ran.”
Randi sontak berdiri dari duduknya. Dia memperlihatkan raut wajah yang begitu gembira, membuat Tiara ikut tersenyum malu melihatnya. Laki-laki itu kembali duduk dan menatap Tiara tak percaya. Dia meminta Tiara mengulangi ucapannya lagi.
“Aku mau jadi pacar kamu.” Ucap Tiara, membuat Randi tersenyum lebar dan mengenggam erat kedua tangannya.