Aku menghela napas panjang setelah berkelahi—ya, kalau hanya aku yang memukul dan menendang itu bisa disebut berkelahi—dengan Azka di belakang sekolah dan berakhir dengan kami berdua yang terkapar lelah di tanah sambil tertawa. Jujur, aku merasa bingung dengan aku yang masih bisa tertawa di saat dadaku sesak sekali dan ingin menangis, tetapi entah kenapa air mata yang kutunggu tak kunjung keluar.
"Lega?" tanya Azka.
"Boleh bohong?" Aku balas bertanya.
"Boleh."
"Ya, aku lega."
Untuk beberapa detik ke depan, kami hanya terdiam.
"Mau nangis ya, nangis aja," kata Azka memecah keheningan, lalu dia terduduk dengan meluruskan kedua kaki. "Nggak usah ditahan."
"Maunya sih gitu." Aku menutup kedua mata dengan lenganku. "Tapi, air mataku belum mau keluar."
Azka tidak berkomentar.
"Bukannya aku ya, Ka, pacarnya Adnan? Kok mesra-mesraannya bareng Citra?" tanyaku kecut.
Kudengar Azka menghela napas, sebelum berkata, "Dulu waktu kelas sepuluh sih rumornya mereka pacaran, tapi itu hanya rumor."
"Gimana caranya sih, Ka, mukul cewek ngetop tanpa terlihat memukulnya?" tanyaku.
Azka tidak menjawab.
"Ke dukun aja kali ya, Ka. Ngirim teluh gitu," kataku mulai ngawur.
"Atau, kamu mau nggak Ka, mukulin dia demi aku?" tanyaku melantur.
Azka mendengkus. "Nangis aja udah, nggak usah sok ditahan."
"Aku nggak terima, Ka." Aku menggigit bibir bawah keras. "Hatiku bener-bener nggak terima."
Aku mendengar Azka menghela napas panjang. "Nih, ya, kukasih tahu resep mengalah pada sebuah hati yang berada dalam titik ketidakterimaan," kata Azka serius, membuatku terduduk berhadapan dengannya.
"Ya pertama, sabar. Ini hukumnya wajib fardua'in." Azka terdiam sejenak untuk menyilakan kedua kaki. "Kedua, nggak mengutamakan emosi. Ketiga, nggak melawan. Keempat, tetap ramah. Tapi, ...." Azka menggantung kalimatnya, dia tampak sedang berpikir.
"Tapi?" tanyaku tak sabaran.
"Tapi, sekiranya kepepet, sikat aja." Azka mengendikkan bahu sok cuek.
"Jadi, aku nggak apa-apa nih mukul Citra?" tanyaku sedikit antusias.
"Nggak apa-apa. Asal tanggung sendiri resikonya," jawab Azka santai.
Sama saja bohong!
Aku menghela napas panjang dan mengembuskannya cepat. Kulakukan itu berkali-kali sampai perasaanku membaik. Namun, bukannya cepat membaik, sesak itu semakin menjadi.
"Ka, kenapa di kantin tadi kamu nolong aku? Biar aku nggak begitu terlihat menyedihkan ya, Ka?" Aku manggut-manggut menjawab pertanyaanku sendiri.
"Itu nggak gratis lho," kata Azka tanpa menatapku. "Kamu bisa membayarnya kapanpun."
"Emang aku harus keluar berapa duit?" tanyaku serius.
"Bukan dengan uang, oke?" jawab Azka masih tidak melihatku.
Keningku mengeryit. "Terus?"
"Bahagia, Nurul. Hidup bahagia." Azka menoleh padaku dengan menawarkan senyum.
Aku terdiam.
"Nggak apa-apa hari ini kamu sedih. Besok, besok, dan besoknya lagi jika masih sedih nggak apa-apa. Tapi, jangan terlalu lama. Kamu harus bahagia. Demi kamu sendiri juga," jelas Azka kemudian.
Aku hanya menatap Azka. Interupsi dari bel tanda jam istirahat sudah selesai, membuatku mengalihkan pandangan. Azka mengulurkan tangan kepadaku. Aku menatap tangan itu dan menyambutnya. Cowok itu menarikku berdiri dan mengajak berjalan menuju kelas.
Di koridor kelas satu, aku dan Azka berpisah. Langkahku sukses terhenti saat melihat seseorang yang berdiri tak jauh di depanku.
"Bisa bicara?" katanya.
"Bicara aja."
"Di gudang?" tanyanya.
"Oke."
Setelah kami sampai di gudang, lima belas menit berlalu tanpa ada pembicaraan. Kami sama-sama diam dengan gestur tubuh canggung.
Adalah aku yang berdeham untuk memecahkan kecanggungan yang menyesakkan.
"Aku dan Adnan sudah berpacaran dari kelas sepuluh," katanya sebelum kuminta.
Aku shock berat mendengar penuturannya. Tadinya kupingku hanya ingin mendengar bahwa yang di kantin itu hanya akting mereka untuk membuatku cemburu. Nyatanya, ini lebih dari pahitnya cemburu. Aku memejamkan mata, berusaha menetralisir pengap yang semakin mendesak.
"Kami nggak pernah menutupi hubungan kami, tapi seringnya semua orang menganggap itu hanya gosip. Bagiku dan Adnan itu nggak masalah. Toh, kami saling cinta."
Aku membuka mata, menatap lawan bicaraku dengan tajam. Saling cinta, ya? Terus kemarin saat Adnan bilang cinta kepadaku itu cinta yang seperti apa? Omong kosong? Atau hanya sebagai bumbu nafsu belaka? Sadar, aku mengusap kasar bibirku. Berusaha menghapus jejak Adnan di sana. Namun sayangnya, aku tidak bisa lupa. Sialan.
"Adnan terlalu baik dan lurus. Kami memiliki pengertian yang sama besarnya. Membuat hubungan kami terlalu datar. Nggak ada tantangan. Membuatku merasa hambar menjalani hubungan dengannya. Mungkin, hanya aku sendiri yang merasa seperti itu."
Cewek aneh! Otaknya di mana? Memangnya apa yang kurang dari cowok yang katanya terlalu baik dan lurus? Bukankah seharusnya dia bersyukur mendapatkan cowok macam begitu?
Kepalaku mulai pusing.
"Terus aku membuatnya nggak punya pilihan. Aku meminta dia berbuat nakal ...."
"Dengan memainkan perasaan cewek lain?" selaku cepat, napasku memburu.
"... atau hubungan kami putus."
Citra menatapku tanpa berkedip.
"Maaf," katanya lemah.
Maaf katanya? Aku mendengkus sinis.
Citra berdeham, kepalanya menunduk. "Awalnya aku nggak merasa apa-apa saat Adnan dengan gencarnya mengejarmu dan kamu berbalik mengejarnya. Toh, akhirnya Adnan kembali padaku. Tapi, saat kamu mentraktir teman-teman sebagai perayaan hari jadian kalian dan semuanya tahu hubungan kalian, aku mulai waswas. Takut kehilangan serta cemburu. Puncaknya, saat aku melihat kalian saling mengaitkan jari kelingking. Cara Adnan memandangmu dan interaksi lainnya saat kalian berdekatan itu mulai terlihat berbeda."
Aku terpekur. Mungkin benar apa kata orang bahwa cewek atau cowok dalam menjalin hubungan itu selalu membutuhkan kehadiran cewek atau cowok lain dulu untuk membuat diri mereka tersadar harus menghargai apa yang dimiliki sekarang.
"Karena Adnan berdiam di tempat, nggak berinisiatif mutusin kamu, aku menjadi kalap dan nekat menyebar nomer ponselmu ke acara radio. Berharap kamu cepat dapat pengganti dan kalian bubar, tapi sepertinya gagal." Citra tersenyum kecut.
Menyebar nomor handphone-ku ke radio? Maksudnya di acara Mars vs Venus jomlo waktu itu? Aku mengertakkan gigi geram.
Citra menghela napas panjang. "Begitu juga yang semalam. Aku yang menyuruh dua orang itu untuk menganggumu. Jujur saja aku kesal pas tahu kalo ternyata kalian berkencan di belakangku."
Tanganku terkepal erat di sisi tubuh. Keinginanku untuk memukulnya barang satu kali sudah memucuk di ubun-ubun.
Citra menjambak rambutnya sendiri. Wajahnya menyiratkan penyesalan. "Aku tahu, aku jahat banget dan kekanak-kanakkan. Dari sengaja menabrakmu sampai kamu jatuh. Mengatakan kesukaan Adnan dengan harapan kamu mengerti bahwa hanya aku yang tahu segalanya tentang Adnan. Bahwa Adnan memang udah ada yang punya."
Aku berjalan mendekati Citra.
"Jadi, aku minta tolong, mulai sekarang lepaskan Adnan." Citra menyatukan kedua tangan
"Anjing sia!" umpatku, persis di depan wajahnya.
Mata Citra membeliak kaget. Aku membalikkan badan, keluar dari gudang. Aku sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan mengotori tanganku untuk memukul manusia sebego sepertinya.
Merasa bodoh dan kalah telak, aku tertawa miris. Menoleh ke kanan, aku melihat Adnan. Hatiku nyeri luar biasa. Satu tetes air mata yang sudah kutunggu-tunggu jatuh membasahi pipi disusul satu tetes lagi dan lagi, yang saling bergantian mengejar satu sama lain.
Adnan mendekat ke arahku dan merengkuhku dalam pelukannya. Harusnya aku berontak, tetapi aku bergeming. Aku memejamkan mata. Sebentar saja, akan kubiarkan dia memelukku.
"Jika aku bersikap egois nantinya, yang perlu kamu ingat itu, aku sayang kamu. Cinta kamu juga."
Inikah maksud dari perkataannya yang akan bersikap egois terhadapku? Padahal dia bilang sayang dan cinta kepadaku?
Bullshit!
Adnan bohong! Pembohong! Aku tidak mau mengingat dia pernah mengatakannya!
Tangisku banjir. Aku terisak lirih. Sekali ini saja, biarkan aku menangis dulu.
Aku menelusupkan kedua tangan, membalas pelukan Adnan. Sepenuhnya tubuhku menyandar kepadanya, menyembunyikan wajahku yang basah kuyup oleh air mata di dadanya. Dan begini saja dulu, biarkan aku egois dulu. Memeluk orang yang benar-benar kucintai untuk yang terakhir kalinya.
Sakit. Ini benar-benar sakit.
***
Aku berjalan tergesa-gesa menyusuri koridor kelas dua belas ketika bel pulang berbunyi. Selama sisa pelajaran barusan, otakku tidak bisa mencerna apa-apa.
Selepas aku melepas pelukan Adnan, dalam hati aku mengucapkan selamat tinggal berkali-kali dan berani beriklar telah melepaskannya juga. Tanpa kata-kata perpisahan. Tanpa ada ajang Adnan harus memilih siapa yang paling dicintainya. Toh, menurutku itu tidak perlu karena Citra yang lebih dulu bersamanya. Akan tetapi, mendadak perasaanku tidak mau menerima begitu saja pada bayang-bayang indah saat bersamanya, pada canda tawanya, pada parasnya yang menghiasi benakku.
Pikiran dan hatiku berperang hebat. Beberapa quotes yang pernah kubaca, semuanya terasa munafik. Yang katanya; cinta sejati itu melepaskan. Cinta tidak selamanya tentang kepemilikan. Cinta itu tentang keikhlasan melihat orang yang kita cintai bahagia bersama orang lain.
Tetapi, bagaimana mungkin?
Bagaimana mungkin aku melepaskan jika hatiku masih terpaut padanya?
Bagaimana mungkin aku tidak ingin memiliki jika dengan memilikinya duniaku berwarna-warni?
Bagaimana mungkin aku ikhlas jika bahagiaku bisa bersama dengannya?
Jadi, bagaimana mungkin aku menghilang seperti buih, jika hanya padanya ....
Tiba-tiba tanganku dicekal dan disentak keras sehingga memutuskan jalan pikiranku. Ketika tubuhku berbalik, aku berhadapan langsung dengan Mayang yang ditemani Latifa.
"Jadilah cewek yang bodo amat!" raung Mayang.
Mana mungkin!
Aku memejamkan mata rapat-rapat dan mengerang lirih.
"Oke, ini pasti akan menambah rasa sakit kamu," kata Mayang terdiam sejenak untuk menghela napas panjang. Aku membuka mata, menatap sendu kepadanya. "Tolong, jangan temui Abangku," tambahnya, dia melepas cekalannya kepadaku. Kesepuluh jarinya kini saling meremas gelisah.
Aku diam. Menunduk.
"Tolong," rintih Mayang.
Aku mengangkat wajah, menatap Mayang dengan tatapan memohon untuk tidak meminta hal semacam itu padaku. Biarkan sekarang aku bertemu Adnan dulu. Aku ingin mengajaknya bicara. Jiwaku tak keruan jika abu-abu begini. Hanya itu.
"Aku minta sekarang kamu bunuh perasaanmu. Jangan suka apalagi cinta sama Abangku. Anggap dia nggak pernah ada," kata Mayang pahit.
Seketika tubuhku merosot ke bawah. Detak jantungku melemah. Aku tidak menyangka Mayang bisa setega ini. Membunuh perasaanku sama saja dengan menikam hatiku berkali-kali dengan sengaja.
"Mana bisa," lirihku nelangsa.
"Harus!" Mayang membungkuk, memegang kedua lenganku, memaksaku untuk berdiri. "Angkat dagumu! Berdiri, Nurul! Najis banget liat kamu kayak orang tolol gini!"
Aku diam.
Mayang mendesah frustasi. "Tolong Nurul, tolong. Abangku nggak pantes kamu giniin. Dia itu berengsek. Bajingan. Setan alas. Aku saja muak menatap wajahnya. Rasanya—"
"Oke."
Mayang terdiam. Aku mengangkat wajah, menemukan wajah tercenung sahabatku. Aku berdiri, mengedarkan pandangan berani kepada mereka yang menatapku dengan berbagai ekspresi. Penasaran, kasihan, iba, tidak peduli.
"Harus bunuh perasaan, kan, ya? Aku bilang, oke," kataku tegar, mengulas senyum lebar yang kupaksakan.
Mayang menatapku lama dengan matanya yang memerah. Kemudian, tak berapa lama tangisnya pecah. Dia berjongkok dan terisak hebat. Aku membiarkannya, berjalan melewatinya. Tidak jadi menemui Adnan.
"Sudah, May, Sudah," kata Latifa yang masih bisa kudengar.
"A-ku ja-hat ya, Fa? A-a-aku sa-ma ja-hat-nya, kan?"
Tidak kudengar jawaban atas pertanyaan Mayang yang masih menangis. Aku memejamkan mata sejenak. Mungkin semua ini tidak akan terjadi kalau bukan karena kesalahanku. Kesalahanku adalah tidak merasa bahwa tidak ada tempat untukku di hati Adnan.
Yakinkan aku Tuhan.
Dia bukan milikku.
Biarkan waktu.
Waktu.
Hapus aku ....
Sadarkan aku Tuhan.
Dia bukan milikku.
Biarkan waktu.
Waktu.
Hapus aku ....
(Nidji - Hapus Aku)
Indonesia latarnya eiy.. Keruen..... Jarang lho...
Comment on chapter Satu