Read More >>"> Love Never Ends (Empat belas) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love Never Ends
MENU
About Us  

Hidupku tanpa cintamu.

 

Bagai malam tanpa bintang.

 

Cintaku tanpa sambutmu.

 

Bagai panas tanpa hujan.

 

Jiwaku berbisik lirih.

 

K uharus milikimu ....


Saat melakukan, aku mematung di tempatku berdiri, menatap ke bawah untuk memilih yang berjalan ke arahku. Mereka adalah Adnan dan Citra. Tampak bahagia dan membuat iri siapa saja yang melihat.

Hatiku terasa nyeri. Aku tidak bisa menerima kondisi hanya aku yang tidak bahagia, karena hanya aku yang masuk dalam patah hati.

Aku berjalan menghampiri mereka yang tertawa-tawa. Tawa mereka langsung lenyap tatkala peduli keberadaanku. Dengan paksa dan kasar, aku menarik Citra yang berada di samping Adnan. Gadis itu terpekik kaget. Tanpa peringatan, aku melayangkan satu pukulan ke pipinya. Aku tertawa puas lalu meraih tangan Adnan, mengajak laki-laki itu berlari bersamaku.

Akan tetapi, hanya satu dari sekian imajinasi liarku saja. Yang aku ciptakan sendiri di dalam pikiran. Aku, Nurul Arini, adalah seorang pengecut sejati. Aku tidak lagi memiliki keberanian besar untuk menghajar siapa yang dengan sengaja membuatku sengsara. Aku terlalu lelah dan ... kalah. Yang perlu kulakukan bersembunyi hanya tanpa sengaja berpapasan dengan pasangan yang sedang dimabuk cinta itu.

Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku.

 

Meski kau tak cinta ... kepadaku .

 

Beri sedikit waktu.

 

Biar cinta datang karena telah terbiasa .


Namun di hari yang lain, aku tidak menjadi sepengecut itu. Saat Adnan solo, aku akan beredar di sekitarnya. Mempertegas keberadaan bahwa ada. Aku akan menyapa dan tersenyum keras. Sebatas itu saja, aku cukup. Akan Adnan akan terbiasa tanpa merasa risih atau canggung karena kisah yang pernah terjadi di antara kami. Memang sedikit licik, tapi aku menikmatinya.

"Kamu ngapain di situ?"

Aku tidak menjawab pertanyaan tolol Alfa. Dia pasti lagi melihat sedang sedang tiduran di lantai sambil mencari ponsel yang sejak tadi berdiri di nomor satu. Nomor ponselnya Adnan. Sebenarnya, hanya perlu memencet tombol hijau untuk memulai, hanya mengatur kangen yang terus mengunung. Akan tetapi, aku tidak bisa.

Alfa berdecak-decak. "Ck! Ck! Ck! Suram banget sih."

Aku terus memikirkan Adnan. Walau hari ini aku membolos sekolah untuk pernikahan tidak melihat wajah Adnan, tetap pikiranku tertuju buang. Bayang akan sosoknya dan kisah kami yang pernah terjadi selalu setia menemaniku. Aku tidak bisa berhenti mengingat Adnan. Semakin aku berusaha mengenyahkan bayang-bayangnya, aku kewalahan.

"Mau es krim nggak, Rul?"

Kini aku menyadari perasaanku kepada Adnan, sudah sedalam -di.

"Mau bentuk apa? Semangka, mangga, lurusan, lonjong, bengkok, kotak, atau persegi panjang?"

Aku belum rela melepaskan Adnan meskipun dia telah hebatiku hebat. Aku masih belum bisa melepasnya.

"Yasudah kalo nggak mau," kata Alfa.

Aku meletakkan ponsel begitu saja di lantai, lalu beranjak bangun dari lantai yang dingin dengan satu kemantapan. Aku tidak akan menyerah atas Adnan.

"Mau," jawabku, menatap Alfa yang tersenyum lebar.

***


Mungkin kemantapan hatiku hanya sia-sia belaka. Aku melihat Adnan dan Citra berdiri di samping motor dan masuk ke minimarket . Adnan melihatku yang berada di depan kasir. Biasa saja. Kemudian Citra melihatku. Tampak kaget dan menuntut pergi. Akan tetapi, Adnan malah merangkul Citra. Mereka berjalan melewatiku. Tiba-tiba es krim yang dibelikan Alfa terasa pahit di dalam mulutku. Aku menjatuhkannya.

"Mau nambah apa? Mumpung masih di sini," kata Alfa yang tidak perlu kerusuhan di dalam hatiku.

Aku menggeleng dan merangkul lengan Alfa, mengajaknya segera pergi setelah cowok itu selesai membayar.

Kau membunuhku dengan kepedihan ini .

 

Kau hempaskanku ke dalam hati yang direbutnya .

 

Hingga air mata tak mampu .

 

Tuk melukiskan perih .

 

Yang kau ukir dalam hati ini.


Sakit hatiku bertambah ketika menyadari Adnan benar-benar selesai denganku. Saat kumenoleh ke belakang, tidak ada tanda-tanda Adnan akan menyusulku. Aku mendengus lirih, menyusulku? Adnan? Sudah gila, ya?

Aku menggigit bibir bawah. Ingin rasanya aku menangis saat ini juga.

Kau hancurkan diriku saat engkau pergi.

Setelah kau patahkan sayap ini.

Hinggaku takkan bisa.

Tuk terbang tinggi lagi.

Dan mencari bintang.

Yang dapat menggantikanmu.

Aku menghela napas berat. Menyandarkan kepala ke pundak Alfa.

Luka yang menganga ini benar-benar semakin parah. Sakitnya begitu menghujam. Adnan sudah terlampau jauh. Sudah tidak terjangkau lagi. Atau mungkin sebenarnya dari dulu memang Adnan tidak dapat kujangkau. Mungkin dalam pikiranku saja yang mengira aku sepenting itu dalam hidup Adnan, padahal tidak.

Sampai kini masih kucoba.

Tuk terjaga dari mimpiku.

Yang buatku tak sadar bahwa kau bukan lagi milikku.

Walau hati tak akan pernah dapat melupakan dirimu.

Dan tiap tetes air mata yang jatuh kuatkan rinduku.

Pada indah bayangmu ... canda tawamu ....

Pada indahnya duka dalam kenangan kita ....

Mataku memanas. Air mataku sudah waktunya dikeluarkan. Detik ini, aku harus mengakhiri perasaan sepihak ini. Luka ini. Karena aku berhak berbahagia. Terlihat sulit, tetapi harus kulakukan. Pelan-pelan saja. Mungkin pertama-tama dengan menangisi Adnan untuk yang terakhir kali.

Dan aku tidak bisa menahannya lagi. Sembari berjalan di samping Alfa, aku menumpahkan tsunami air mataku. Menangisi Adnan. Alfa panik. Dia bertanya, apa aku merasa kesakitan? Yang kujawab anggukkan kepala. Alfa semakin panik. Kakakku itu terlihat bingung. Dia menoleh kiri-kanan seperti mencari kendaraan karena kami datang ke minimarket itu dengan berjalan kaki. Atas kemauanku, tentu saja.

Orang-orang di jalan menatapku penuh rasa ingin tahu. Beberapa dari mereka menghampiri dan bertanya. Ada apa? Kenapa?

Adalah Alfa yang menjawab karena aku tidak kuasa mengeluarkan sepatah kata.

Ketika kumendongak, kutemukan wajah Adnan di antara orang yang mengerumuniku. Kemudian Adnan menawarkan tumpangan. Alfa yang belum tahu soal aku dan Adnan yang memiliki keruwetan perasaan, memohon kepada Citra agar meminjamkan Adnan untuk membawaku ke rumah sakit.

Aku menggeleng, tetapi tubuhku didorong untuk segera naik ke motor Adnan. Orang-orang yang mengerumuniku, menjadi kompor dengan dalih menolong sesama. Hingga akhirnya aku pasrah dan pergi dengan Adnan, masih dengan terisak-isak.

Seperempat perjalanan, aku menepuk pundak Adnan dan memintanya berhenti.

"Kita bicara," kata Adnan saat aku turun dari motornya.

Aku tersenyum. Senyum kekalahanku atas Adnan.

"Tapi nggak di sini," kata Adnan lagi, lalu dia menyuruhku naik ke motornya.

Aku bergeming. Antara bingung-tidak mau-mau-bingung lagi. Hingga akhirnya Adnan turun dari motor, menuntunku agar mau ikut dengannya.

Adnan menarik kedua tanganku untuk memeluknya. Kemudian dia menjalankan motornya menggunakan satu tangan, sementara tangan yang lain memegang tanganku yang mendekapnya.

Jadi, di sinilah kami berada. Duduk di sebuah batu sambil menatap keindahan Telaga Biru Cicerem. Dulu, saat aku menginginkan sebuah kencan dengan Adnan, aku ingin kencan di tempat seperti ini, setidaknya. Dan sekarang baru kesampaian, meskipun kami tidak sedang berkencan, meskipun kami sudah putus tanpa kata.

"Maaf," kata Adnan bersungguh-sungguh setelah kesenyapan meliputi kami. "Jangan nangis lagi, Nurul."

Aku menyusut air mataku cepat menggunakan punggung tangan. Aku juga tidak mau menangis, tetapi air mata ini terus mengalir dengan angkuhnya. Adnan menggenggam tanganku.

"Katakan sesuatu, Rul," pinta Adnan.

"Seperti apa?" Aku balas bertanya dengan suara serak.

"Apa aja," jawab Adnan.

Aku menunduk, melepaskan genggaman Adnan.

Hening kemudian.

"Aku—"

"Terima kasih sudah mau jadi pacarku," aku memotong ucapan Adnan. Kutatap wajahnya saksama lalu bibirku mengukir senyum pahit.

Adnan bergeming.

"Aku nggak tahu kenapa jadi cengeng gini." Air mata masih keluar dengan sombongnya, mengisyaratkan bahwa aku tidak baik-baik saja.

Adnan mengangkat tangan kanan seperti akan mengusap air mataku, tetapi tertahan di udara lalu jatuh ke pangkuannya dan saling bertautan dengan tangannya yang lain.

"Mungkin kenapa aku masih menangis karena baik kamu atau aku sama-sama nggak saling mengucapkan selamat tinggal," kataku tanpa mengalihkan pandangan.

Adnan terdiam.

"Sebenarnya aku nggak mau ngucapin selamat tinggal." Aku mengusap ingus menggunakan punggung tangan. "Aku juga sebenarnya masih mau jadi pacarmu, tapi aku juga sakit hati banget. Gimana, ya?"

Aku menangis lagi. Kali ini diselingi tawa yang kupaksakan.

Adnan memegang bahuku, tetapi segera kutepis.

Aku berdeham lalu menghela napas panjang. "Aku nggak nyangka kamu bisa setega ini sama aku. Aku terlalu odoh banget, ya?"

"Maaf," ucap Adnan lirih.

Aku menggeleng sambil tersenyum. "Mari saling mengucapkan selamat tinggal."

Adnan terdiam lama. Aku menunggunya mengucapkan hal itu seraya menatap wajahnya. Rambut ikalnya yang seperti itu, matanya yang seperti itu, hidungnya yang seperti itu, bibirnya yang seperti itu. Aku akan menyimpannya serapi mungkin. Di lubuk hatiku yang tersembunyi.

"Selamat, ya," kataku sambil menyodorkan tangan kepada Adnan. Berharap dia bereaksi.

Adnan menatap tanganku yang terulur.

"Teruslah sama-sama dengan Citra. Jangan ragu lagi. Jangan terpedaya dengan rasa nyaman sesaat," pesanku.

Adnan tidak menjawab. Dia membuang muka, menatap danau dengan tatapan sendu.

"Kasih aku waktu," kataku memantapkan hati. "Aku pasti bisa menghadapi sedih ini. Aku pasti bahagia."

Pandangan Adnan beralih menatap wajahku.

"Pada hari itu, aku akan benar-benar tersenyum padamu dengan perasaan lega." Aku mengusap air mata yang terus turun.

"Boleh aku peluk kamu?" tanya Adnan serak.

Aku tidak langsung menjawab.

"Yang terakhir kalinya," kata Adnan dengan pandangan penuh permohonan.

Aku meragu. Aku takut salah langkah. Aku cemas jika pelukan yang katanya terakhir ini membuatku lebih payah lagi.

"Tolong." Suara Adnan serupa bisikan.

Pada akhirnya, aku menganggukkan kepala. Mengizinkan Adnan memelukku untuk yang terakhir kalinya.

Adnan sendiri tidak membuang waktu. Dia membawa tubuhku ke dalam pelukannya yang hangat.

"Selamat tinggal," kata Adnan pelan.

Aku menganggukkan kepala keras berkali-kali. "Selamat tinggal."

Adnan mengeratkan pelukannya. Aku tidak membalas pelukannya. Bukan karena tidak mau. Aku hanya sedang berusaha memproteksi hati yang sudah menjadi serpihan agar bisa kususun lagi walaupun bentuknya tak akan sama.

Seperti kata Azka, nggak apa-apa hari ini kamu sedih. Besok, besok, dan besoknya lagi jika masih sedih nggak apa-apa. Tapi, jangan terlalu lama. Kamu harus bahagia. Demi kamu sendiri juga.

Ya, aku pasti bisa melewatinya. Ini hanya proses agar aku menjadi kuat. Jadi, aku tidak akan menyerah hanya karena hatiku patah dan cintaku musnah.

Kutarik bibirku membentuk senyuman. Selamat tinggal, Adnan. Selamat tinggal cinta pertamaku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • rara_el_hasan

    Indonesia latarnya eiy.. Keruen..... Jarang lho...

    Comment on chapter Satu
  • dede_pratiwi

    nice story, settingnya di kota Kuningan ya? storytellingnya asik dan luwes. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter Satu
Similar Tags
You Are The Reason
1958      780     8     
Fan Fiction
Bagiku, dia tak lebih dari seorang gadis dengan penampilan mencolok dan haus akan reputasi. Dia akan melakukan apapun demi membuat namanya melambung tinggi. Dan aku, aku adalah orang paling menderita yang ditugaskan untuk membuat dokumenter tentang dirinya. Dia selalu ingin terlihat cantik dan tampil sempurna dihadapan orang-orang. Dan aku harus membuat semua itu menjadi kenyataan. Belum lagi...
A You.
704      356     1     
Romance
Ciara Leola memiliki ketakutan yang luar biasa kepada Shauda Syeffar. Seorang laki-laki yang dulu selalu membuatnya tersenyum dan menyanyikan lagu-lagu cinta untuknya setiap hari. Ciara melanjutkan hidupnya sebagai orang asing di hadapan Shauda, sedangkan Shauda mengumpat kepada dirinya sendiri setiap hari. Lagu-lagu cinta itu, kemudian tidak lagi dinyanyikan.
Farewell Melody
214      143     2     
Romance
Kisah Ini bukan tentang menemukan ataupun ditemukan. Melainkan tentang kehilangan dan perpisahan paling menyakitkan. Berjalan di ambang kehancuran, tanpa sandaran dan juga panutan. Untuk yang tidak sanggup mengalami kepatahan yang menyedihkan, maka aku sarankan untuk pergi dan tinggalkan. Tapi bagi para pemilik hati yang penuh persiapan untuk bertahan, maka selamat datang di roller coaster kehidu...
Love 90 Days
1424      832     1     
Romance
Hidup Ara baikbaik saja Dia memiliki dua orangtua dua kakak dan dua sahabat yang selalu ada untuknya Hingga suatu hari seorang peramal mengatakan bila ada harga yang harus dibayar atas semua yang telah dia terima yaitu kematian Untuk membelokkan takdir Ara diharuskan untuk jatuh cinta pada orang yang kekurangan cinta Dalam pencariannya Ara malah direcoki oleh Iago yang tibatiba meminta Ara untu...
102
1945      797     3     
Mystery
DI suatu siang yang mendung, nona Soviet duduk meringkuh di sudut ruangan pasien 102 dengan raga bergetar, dan pikiran berkecamuk hebat. Tangisannya rendah, meninggalkan kesan sedih berlarut di balik awan gelap.. Dia menutup rapat-rapat pandangannya dengan menenggelamkan kepalanya di sela kedua lututnya. Ia membenci melihat pemandangan mengerikan di depan kedua bola matanya. Sebuah belati deng...
(Against) The Evolutionary
359      225     1     
Short Story
Pilihan Terbaik
4080      1271     9     
Romance
Kisah percintaan insan manusia yang terlihat saling mengasihi dan mencintai, saling membutuhkan satu sama lain, dan tak terpisahkan. Tapi tak ada yang pernah menyangka, bahwa di balik itu semua, ada hal yang yang tak terlihat dan tersembunyi selama ini.
Got Back Together
297      245     2     
Romance
Hampir saja Nindyta berhasil membuka hati, mengenyahkan nama Bio yang sudah lama menghuni hatinya. Laki-laki itu sudah lama menghilang tanpa kabar apapun, membuat Nindyta menjomblo dan ragu untuk mempersilahkan seseorang masuk karna ketidapastian akan hubungannya. Bio hanya pergi, tidak pernah ada kata putus dalam hubungan mereka. Namun apa artinya jika laki-laki hilang itu bertahun-tahun lamanya...
When Home Become You
384      286     1     
Romance
"When home become a person not place." Her. "Pada akhirnya, tempatmu berpulang hanyalah aku." Him.
My Reason
575      378     0     
Romance
pertemuan singkat, tapi memiliki efek yang panjang. Hanya secuil moment yang nggak akan pernah bisa dilupakan oleh sesosok pria tampan bernama Zean Nugraha atau kerap disapa eyan. "Maaf kak ara kira ini sepatu rega abisnya mirip."