Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love Never Ends
MENU
About Us  

Aku tersenyum senang menatap bungkusan yang kubawa. Satu kotak kecil berisi pukis aneka rasa dan satu kotak lagi berisi kue klepon. Malam ini aku berencana akan bertamu ke rumah Adnan. Katakanlah aku kurang puas melihatnya, padahal tadi pagi kami baru saja berkencan, tetapi memang iya sih. Satu jam itu menurutku sebentar.

"Eh, apaan nih?"

Aku terkejut sampai mulutku melongo menatap dua cowok di depanku. Salah satu dari mereka baru saja merebut bungkusan yang kubawa.

What the hell!

"Dari baunya sedep banget," kata cowok berambut gondrong. "Rejeki nomplok, Coeg!"

"Ih, apaan sih!" Aku merangsek ke depan, mencoba merebut kembali bungkusan milikku. Sialnya, tidak berhasil karena pergerakan si rambut gondrong sangat gesit dengan mengangkat bungkusanku tinggi-tinggi.

"Balikin, nggak?" gertakku garang karena semakin aku mencoba mengapai milikku, dia mempermainkanku dengan cara licik.

"Kalau nggak, mau apa emang?" tantang si rambut gondrong, tersenyum remeh. Wajahnya itu benar-benar membuatku muak.

Sekuat tenaga aku menginjak kakinya, membuat dia mengaduh dan meringis kesakitan. Kemudian, dia memberikan bungkusanku kepada temannya yang dengan santai memakan isinya dengan lahap.

Aku terperangah. Mataku mengedip beberapa kali. Itu cemilan untuk Adnan! Bisa-bisanya dia memakannya tanpa ada rasa berdosa sama sekali. Kurang ajar! Siapa sih mereka? Aku menatap keduanya secara bergantian. Mencoba mengingat. Siapa tahu kami pernah bertemu. Atau berteman. Namun, mana mungkin. Setelah aku pikir lebih dalam, aku tidak mengenal mereka. Kalau tujuan mereka itu meminta, kenapa tidak bicara secara baik-baik saja? Toh, aku akan membaginya walau hanya sebiji dibelah menjadi dua.

Tiba-tiba si rambut gondrong mencekal kerah bajuku dan berseru, "Harus sopan sama yang lebih tua!"

"Situ minta orang lain untuk sopan, tapi lupa sama diri sendiri yang nggak ada sopan-sopannya sama sekali," jawabku berani.

Si rambut gondrong mengetatkan rahang. Ada kemarahan di matanya. Ekspresi si rambut gondrong saat ini benar-benar menyeramkan. Aku memejamkan mata sejenak, menyugesti diri bahwa aku akan baik-baik saja, lalu membuka mata, menatap lurus ke manik mata si rambut gondrong.

"Sudah, sudah," lerai teman si rambut gondrong. Menepuk sekali pundak temannya, membuat cekalan pada kerah bajuku terlepas.

Diam-diam kuhela napas panjang dan melangkah mundur sekali untuk menciptakan jarak.

"Nih, kukembalikan," kata teman si rambut gondrong yang ternyata lumayan baik.

Aku mengulurkan tangan untuk mengambil bungkusanku. Namun, sesuatu yang tidak dapat kuprediksi terjadi. Teman si rambut gondrong meludahi makananku sebelum akhirnya menyodorkan kepadaku. Akan tetapi, seperti tidak niat, dia menjatuhkannya ke bawah.

Mulutku menganga lebar. Kutarik kembali kata-kataku yang mengira dia 'lumayan baik. Mataku menatap bungkusan dan kedua makhluk jadian-jadian yang kini tertawa dan ber-high five secara bergantian dengan gaya yang mengesalkan. Aku menipiskan bibir, menahan geram. Kukepalkan kedua tangan dan menonjok rahang teman si rambut gondrong, membuatnya mundur selangkah sambil mengaduh kesakitan.

"Aing salah naon ka maneh!" bentakku.

"Untung cewek, kalau cowok mah udah habis sia!" kata teman si rambut gondrong menaikkan suaranya beberapa oktaf.

"Apa? Mau berantem? Sini kalau berani!" tantangku nyolot. Sudah basah, mandi sekalian.

"Oke, ayo, siapa takut!" timpal si rambut grondong, dia meremas-remas jari-jarinya sampai bunyi, sementara temannya mengerak-gerakkan kepala.

Aku meneguk ludah yang terasa pahit. "Eh, bentar dong, aku telepon Ayahku dulu."

Keduanya tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut. Aku tahu jawabanku lucu sekali. Akan tetapi, kalau tidak kujawab begitu dan harus melawan dua orang, bisa dipastikan aku kalah telak pada detik ke lima.

"Nurul."

Suara super lembut seorang cewek membuatku menoleh kepadanya.

Eh? Citra? Sedang apa dia di sini?

"Nurul, kan? Bener, kan?" tanyanya, membuatku mengangguk linglung. Tidak menyangka seorang Citra tahu namaku. Ternyata, aku memang seterkenal itu. Ha-ha-ha.

"Mereka ganggu? Mau aku teleponin polisi?" tanyanya lagi, dia menatapku dan dua orang di depanku secara bergantian.

"Nggak usah baper," kata si rambut gondrong. Dia menoleh ke arah temannya dan berkata, "Cabut yuk, Coeg? Udah nggak asyik nih."

"Urusan kita belum selesai," kata teman si rambut gondrong, membuatku bingung. Harusnya, aku yang bicara seperti itu karena dia yang memulai duluan. Dasar bajirut.

Aku berjongkok, menatap nelangsa kepada bungkusan berwarna putih ketika kedua penganggu itu pergi. Bagaimana ini? Semuanya tidak layak untuk dimakan.

"Itu apa?" tanya Citra, ikut berjongkok.

"Pukis sama klepon. Buat Adnan," jawabku merana tanpa menatap Citra.

"Cie ... Nurul," ledek Citra lalu terkekeh. "Tapi, setahuku Adnan nggak suka yang manis-manis."

Aku dan Citra saling memandang satu sama lain untuk beberapa saat.

"Kata siapa?"

"Aku."

Aku mengerutkan kening. Masa?

"Kami sekelas," jawab Citra. "Pas kapan gitu teman sekelas ada yang bawa kue untuk dibagi-bagi karena dia ultah, terus Adnan nggak makan. Katanya, nggak suka manis, bikin enek."

Aku tidak langsung menjawab. Kalau Adnan tidak suka manis, kenapa dia dokoh banget makan lapis legit dan cake rasa strawberry yang katanya buatan ibunya itu di kencan kami tadi pagi?

"Lagian udah nggak bisa dimakan," kataku, mengambil bungkusan itu dan berdiri. "Duluan, ya."

Tanpa menunggu jawaban Citra, aku melenggang pergi. Aku mau menemui Adnan segera. Ketika mendapati tempat sampah, dengan berat hati aku membuang bungkusan itu ke sana.

"Adnan suka yang gurih-gurih, kalau kamu mau tahu. Dia suka kerupuk. Sangat suka!"

Teriakan Citra membuat langkahku terhenti. Aku menoleh, mendapati seulas senyum dari wajah jelitanya. Begitu, ya? Aku baru tahu. Ya, salahkan saja aku yang mempunyai sahabat yang juga merupakan adik pacarku, tetapi aku tidak bertanya ini-itu soal Adnan kepadanya.

 

***

 

"Tatap matamu
bagai busur panah
Yang kau lepaskan
ke jantung hatiku."

Sayup-sayup aku mendengar Adnan sedang bernyanyi dengan diiringi petikan gitar ketika berjalan menaiki tangga bersama Mayang. Yeah, akhirnya aku sampai juga meski tidak membawa apa-apa.

"Meski kau simpan
cintamu masih
Dekap napasmu
wangi hiasi suasana
saat kukecup manis bibirmu."

"Ternyata, suara pacarku boleh juga," komentarku kepada Mayang. Aku cukup terkejut karena Adnan menyanyikan lagu Roman Picisan ini dengan sangat baik dan menjiwai.

Mayang tersenyum dan mengangguk setuju.

"Cintaku tak harus ...
miliki dirimu
Meski perih mengiris ...
iris segala janji."

"Dari sekian banyak lagu, kenapa dia milih lagu ini?" tanyaku.

Mayang mengangkat bahu. "Kurang tahu. Pengin aja kali."

"Harusnya dia itu nyanyi lagu bertema cinta yang menggebu-ngebu, mumpung ada aku di sini nih," kataku mendramatisir akibat kencan tadi siang, membuat Mayang memutar bola matanya.

"Coba gih minta. Kali aja Abangku mau," jawab Mayang."

Aku tersenyum lebar menanggapi usulan Mayang. Dalam pikiran, sudah berderet berbagai judul lagu tentang cinta yang mendayu-dayu.

"Aku berdansa di ujung gelisah
Diiringi syahdu lembut lakumu
Kau sebar benih
Anggun jiwamu
Namun, kau tiada
menuai buah cintaku
Yang ada hanya sekuntum rindu."

Suara Adnan tidak terdengar lagi. Aku mempercepat langkahku. Sampai di depan kamar Adnan yang terbuka lebar, aku melongok. Terlihat Adnan sedang duduk di tepi ranjang menghadap balkon.

"Kok nyanyinya berhenti," kataku saat sudah berdiri di depan Adnan yang melebarkan mata.

Aku berdecak, beralih duduk di sampingnya dan merangkul pundaknya. "Lanjutin dong. Aku suka suara kamu. Suka orangnya juga. Suka sekali."

"Sakit," jawab Adnan singkat. Suaranya terdengar nelangsa.

Sakit? Siapa yang sakit? Apakah Adnan sedang sakit? Sakit apa? Apakah parah? Oh, tidak!

"Apanya yang sakit?" tanyaku mulai panik.

"Sakit," ulang Adnan.

"Di mana?" tanyaku lagi, masih panik.

Adnan menunduk, menepuk-nepuk dadanya. "Di sini."

Eh? Emang ada hubungannya bernyanyi dengan sakit yang dia tunjuk? Jangan-jangan Adnan mempunyai riwayat sakit jantung. Tidak, tidak, tidak boleh!

Aku kelabakan sendiri. Bingung mau berbuat apa. Memangnya aku harus berbuat apa pada orang yang berkemungkinan jantungnya sakit?

Adnan menoleh, menatapku dengan mata memerah. Satu tangannya terulur, menyentuh pipiku dan mengelusnya lembut. Tubuhku terdiam beku. Duh, melihat Adnan yang seperti ini membuat rasa khawatirku berlipat ganda.

Aku bergerak lagi, menoleh ke arah pintu. Mayang ke mana sih? Masa dari tadi tidak sampai-sampai ke sini? Memangnya, dia putri keraton yang kalau jalan seperti siput? Alon-alon-anggun-memesona.

"Sakit banget, ya?" kataku cemas, menggenggam tangan Adnan dan meremasnya. "Tahan bentar bisa? Aku ambilin obat."

Aku berdiri dan melepaskan genggamanku. Namun, Adnan kembali menggenggam tanganku, menarikku untuk kembali duduk. Aku mengerutkan kening heran dan menatapnya penuh tanda tanya.

Adnan mengedipkan mata. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Kemudian, dia mencubit satu pipiku keras, membuatku berteriak heboh. Apa-apaan sih Adnan ini?

"Ada apa? Ada apa?" tanya Mayang, datang tergopoh-gopoh, dia membawa tiga softdrink dan satu bungkus keripik pedas. "Tadi aku balik ke bawah dulu buat ambil cemilan. Nggak asik kalau ngumpul tanpa mulut mengunyah."

Oh! Memang benar apa kata Mayang. Makanya aku sempat membeli makanan ringan untuk menemani obrolan kami. Sayangnya, makanan itu sudah beristirahat dengan tenang di tong sampah. Pedih.

"Sedang apa kamu di sini?" tanya Adnan kepadaku, ekspresinya menyiratkan seperti dia baru menyadari keberadaanku.

"Kok tanyanya gitu sih?" gerutuku agak sebal. Bersamaan dengan Mayang yang berkata, "Maenlah."

"Oh," jawab Adnan singkat, lalu lebih memilih mengotak-atik gitar dan memetiknya sesekali. Mengabaikanku.

Mayang menyodorkan satu softdrink kepadaku yang segera menerimanya. Kemudian, dia merangkak ke ranjang dan sebelum tiduran di sana, kulihat Mayang mengambil ponsel Adnan yang tergeletak di atas nakas.

Aku menatap wajah Adnan. "Masih sakit?"

"Siapa yang sakit?" sambar Mayang, dia terduduk, menatapku.

"Pac—"

"Nggak ada yang sakit," sela Adnan cepat.

"Tadi bukannya kamu bilang sakit?" tanyaku, menatap bingung kepada Adnan.

"Salah denger kali," jawab Adnan datar.

"Tapi, tadi kamu bilang sakit," kataku ngotot.

Adnan berdecak lalu berujar, "Mau aku ajari main gitar nggak?"

"Mau," jawabku cepat, melupakan perdebatan kecil kami.

Adnan mengulurkan gitar kepadaku dan mulai mengajariku pelan-pelan. Mayang berdecak sebal tiga kali sebelum akhirnya menjatuhkan diri lagi ke ranjang. Kali ini dengan posisi tengkurap. Kemudian, dia membuka bungkusan keripik dan memakannya sendiri sambil memainkan ponsel Adnan.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • rara_el_hasan

    Indonesia latarnya eiy.. Keruen..... Jarang lho...

    Comment on chapter Satu
  • dede_pratiwi

    nice story, settingnya di kota Kuningan ya? storytellingnya asik dan luwes. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter Satu
Similar Tags
Gilan(G)ia
498      272     3     
Romance
Membangun perubahan diri, agar menciptakan kenangan indah bersama teman sekelas mungkin bisa membuat Gia melupakan seseorang dari masa lalunya. Namun, ia harus menghadapi Gilang, teman sebangkunya yang terkesan dingin dan antisosial.
KAFE IN LOVE
1607      950     1     
Romance
Ini adalah cerita mengenai Aura dan segudang konfliknya bersama sahabatnya Sri. Menceritakan Kisah dan polemik masa-masa remajanya yang dia sendiri sulit mengerti. belum lagi, kronik tentang datangnya cinta yang tidak ia duga-duga. Lalu bagaimanakah Aura menyelesaikan konflik-konflik ini? Dan bagaimanakah akhir kisah dari cinta yang tak diduga?
Delilah
9259      1992     4     
Romance
Delilah Sharma Zabine, gadis cantik berkerudung yang begitu menyukai bermain alat musik gitar dan memiliki suara yang indah nan merdu. Delilah memiliki teman sehidup tak semati Fabian Putra Geovan, laki-laki berkulit hitam manis yang humoris dan begitu menyayangi Delilah layaknya Kakak dan Adik kecilnya. Delilah mempunyai masa lalu yang menyakitkan dan pada akhirnya membuat Ia trauma akan ses...
Kisah yang Tak Patah
14998      2396     5     
Romance
Kisah cinta pertama yang telah usai. Sebuah cerita untuk mengenang pada suatu waktu yang menghadirkan aku dan kamu. Meski cinta tidak selalu berakhir luka, nyatanya aku terluka. Meski bahagia tak selalu ada usai sedih melanda, memang nyatanya untuk bahagia itu sulit meski sekedar berpura-pura. Bagaimanapun kisah yang ada memang akan selalu ada dan takkan pernah patah meski kadang hati sedikit ...
ALVINO
4561      2025     3     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
TRIANGLE
11903      1867     3     
Romance
"Apa pun alasannya, yang namanya perselingkuhan itu tidak bisa dibenarkan!" TRIANGLE berkisah tentang seorang gadis SMA bernama Dentara dengan cerita kesehariannya yang jungkir balik seperti roller coaster. Berasa campur aduk seperti bertie botts bean. Berawal tentang perselingkuhan pacar tersayangnya. Muncul cowok baru yang berpotensi sebagai obat patah hati. Juga seorang dari ...
Summer Rain
217      174     0     
Fan Fiction
Terima kasih atas segala nya yang kamu berikan kepada aku selama ini. Maafkan aku, karena aku tak bisa bersama dengan mu lagi.
Lukisan Kabut
561      403     4     
Short Story
Banyak cara orang mengungkapkan rasa sayangnya kepada orang lain. Hasilnya tergantung bagaimana cara orang lain menerima perilaku ungkapan sayang itu terhadap dirinya.
Verletzt
1494      682     0     
Inspirational
"Jika mencintai adalah sebuah anugerah, mengapa setiap insan yang ada di bumi ini banyak yang menyesal akan cinta?" "Karena mereka mencintai orang yang tidak tepat." "Bahkan kita tidak memiliki kesempatan untuk memilih." --- Sebuah kisah seorang gadis yang merasa harinya adalah luka. Yang merasa bahwa setiap cintanya dalah tikaman yang sangat dalam. Bahkan kepada...
Sebelas Desember
4694      1353     3     
Inspirational
Launa, gadis remaja yang selalu berada di bawah bayang-bayang saudari kembarnya, Laura, harus berjuang agar saudari kembarnya itu tidak mengikuti jejak teman-temannya setelah kecelakaan tragis di tanggal sebelas desember; pergi satu persatu.