Read More >>"> Love Never Ends (Tiga) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love Never Ends
MENU
About Us  

Aku turun dari angkutan dan berlari sekencang yang aku bisa. Di depanku, dua anak cowok juga melakukan hal yang sama sepertiku. Aku tahu mereka itu satu sekolahan denganku karena seragam kami sama.

Aku bangun telat dan terlambat seperti ini gara-gara Alfa. Semalaman, aku terpaksa bergadang dengan kakakku untuk mengerjakan tugas matematika setelah selesai sesi interogasi segala tetek bengek yang menyangkut Adnan. Sebagian besar aku berbohong padanya. Alfa ini tidak begitu menyukai Adnan. Entah kenapa. 

Dan sialnya, adegan romantis ala Oh Ha Ni dan Baek Seung Jo garis miring tertidur bersama saat belajar terjadi padaku dan Alfa. Benar-benar tidak sesuai ekspetasi. Rasanya itu menyebalkan sekali sampai pada taraf ingin memakan orang.

"Woi! Lewat sini!"

Aku mendengar teriakan cowok dan mengabaikannya. Aku merasa seruannya bukan tertuju untukku. Aku berhenti dan memegang kedua lutut, mencoba mengatur napasku yang ngos-ngosan. Dadaku sakit, aku tidak kuat berlari lagi. Aku berkedip, menfokuskan pandangan ke depan. Bodoh! Kenapa juga aku harus berlari kalau tahu terlambat? Harusnya aku jalan santai saja. Toh, tidak ngefek juga. Aku tetap akan kena hukum.

Sialan! Mabok matematika nih makanya kepinteran otakku menurun! umpatku dalam hati.

"Hoi! Nurul, sini cepetan!"

Mendengar namaku disebut, aku menegakkan badan dengan pandangan mengedar. Mereka yang tadu di depanku berhenti. Salah satunya melambaikan tangan ke arahku. Keningku mengernyit. Aku tidak merasa mengenal mereka, tetapi aku menurut saja dan menghampiri keduanya. Mungkin mereka tahu jalan masuk ke dalam sekolah tanpa harus melewati gerbang depan yang berkemungkinan besar harus siap menghadapi pak satpam yang gembira kalau ada murid SMA Merdeka yang terlambat. Ketika sudah berada tepat di depan mereka, sejenak aku tertegun.

Whoa! Mereka cakep pake banget, anjir! Alamak ... kok aku bisa ngelewatin yang bening-bening gini sih? Aku membatin histeris.

"Kok tahu namaku?" tanyaku begitu sadar ketika salah satu di antara mereka berdeham.

"Siapa sih yang nggak kenal Nurul?" Cowok berponi balik bertanya dengan senyum lebar menawan, gaya rambutnya mirip Seok Park di komik Lookism.

Aku mendengkus. "Aku nggak tahu bakal seterkenal ini."

Keduanya terkekeh geli. Aku menyipitkan mata tak suka.
Apa mereka gila?
Iya.
Memangnya ada yang lucu?
Tidak.
Duh! Cakep-cakep kok gila.

Aku meringis lirih. Tanpa berkata apa-apa, mereka berjalan meninggalkanku. Aku mencebik sebal, merasa diabaikan. Ogah-ogahan aku mengikuti mereka juga. Lebih karena penasaran.

Tanpa kuduga, salah satu dari mereka berbalik dan berjalan mundur. Aku berjengit kaget.

"Cewek galak dan sadis, hanya ada satu di SMA Merdeka, yaitu kamu ...."

Mataku melotot tidak terima. "Aku nggak gitu, ya! Sembarangan!"

"... tapi, apa pun tentangmu, kamu tetap cantik di mataku dan aku cinta kamu, Nurul."

Aku menjulingkan mata, membuat cowok itu tertawa dan membalikkan badan berganti dengan cowok satunya lagi menoleh dan berkata, "Aku juga cinta kamu, Nurul."

Gemblung!

Aku memutar bola mataku malas.

"Ladies first."

Aku menatap ngeri tembok yang di atasnya dililiti kawat berduri, meski ada celah yang lumayan lebar. Aku mengasumsikan bahwa celah itu dibuat dengan sengaja. Aku mengaruk alisku yang tidak gatal. Kalau cari mati begini, lebih baik aku bolos saja. Atau berhadapan one by one dengan pak satpam.

Aku beralih menatap kedua cowok tadi. Mereka kelimpungan mencari sesuatu. Aku sempat mendengar kata hilang dan dicuri.

"Aku balik aja deh," putusku, membalikkan badan.

Seseorang mencekal lenganku, membuatku menoleh. Ternyata si Seok Park kawe. Uh! Aku melirik nama yang terbordir di seragam. Ferian Abimanyu.

"Nggak keburu," katanya. "Tangganya hilang, tapi udahlah nggak masalah. Ayo, naik."

Oh, ternyata mencari tangga. Tunggu! Maksudnya naik itu naik ke mana? Ketika aku melihat teman Feri yang sedang berjongkok dengan kedua tangan menempel di tembok, aku memincingkan mata, curiga.

"Ogah! Kalian modus! Kalian cuma pengin ngintip dalam rok aku, kan?" tuduhku kejam.

"GR! Aku cowok terhormat! Nggak bakal kek gitu!" jawab Feri tersinggung.

"Banyak cincong! Buruan geh!" timpal cowok satunya yang entah siapa namanya.

Aku mendesah. Mungkin aku harus mencoba hal se-ekstrem ini agar bisa dikenang di kemudian hari. Lagi pula, aku memakai celana pendek. Kalau mereka mengintip, aku bakal cari perhitungan. Aku menepis tangan Feri, berjalan menuju temannya.

"Aku berat lho," kataku seraya menaikan satu kaki di pundak kanan. "Namamu siapa sih?"

"Azka."

"Pegangannya apa ini?" tanyaku agak panik.

"Jambak aja rambutnya si Azka," sahut Feri enteng.

"Gila! Jangan! Kamu bisa pegangan tembok," sambar Azka terdengar horor.

"Temboknya datar gini," sunggutku kesal.

Azka mendengkus. "Cepet sih! Bawel!"

Aku terngangga tak percaya.
Apa katanya? Bawel? Yang benar saja! Penuh kekuatan, aku memberi beban pada pundak kanan Azka dan mengangkat kaki kiriku untuk nangkring di pundak kirinya seraya kedua telapak tangan menempel ke tempok seolah permukaan tanganku memiliki daya tempel seperti halnya Spiderman.

Ketar-ketir aku mencoba berdiri dan berhasil meski peluh bercucuran dengan tidak biasa. Pelan-pelan Azka mengangkat tubuhnya.

Belum juga tubuh Azka tegak lurus, teriakan seseorang membuatku bergerak tak terduga dan mengakibatkan tubuh Azka goyah, sehingga menciptakan jeritan dari mulutku, tentu saja, saat tubuh terbanting keras dan mencium aspal.

"Kalian betiga, kemari!"

Suara bentakan penuh ketegasan terdengar di telinga. Tubuhku menegang. Hati-hati aku mengalihkan pandangan. Mataku membeliak kaget dengan jantung berpacu cepat memperoleh kenyataan bahwa pemilik suara itu ternyata kepala sekolah.

 

***

 

"Kok tadi telat sih?"

Aku mengambil baju olahraga dari dalam tas dan mulai menganti seragam sekolah sesantai mungkin.

"Pengin aja," jawabku singkat.

Hanya ada aku dan Mayang di kelas. Semua teman di kelasku berganti baju di toilet dan sudah selesai. Jujur, aku benci sekali dengan mata pelajaran ini, tetapi karena jam olahraga kelasku dengan kelas Adnan sama, sedikit membuatku terhibur.

Suara peluit tiga kali, tanda untuk kumpul berbaris, membuatku mengerang sebal. Aku melipat baju seragamku asal-asalan, meletakkannya di atas tas dan bergegas menuju lapangan bersama Mayang.

"Semuanya, lari tiga kali putaran!" perintah Pak Wawan setelah meniup peluit.

Belum sampai barisan, aku dan Mayang membaur berlari bersama teman-teman yang lain. Namun, suara peluit yang beruntun, membuatku dan Mayang berhenti. Aku dan Mayang bersitatatap sejenak lalu berbalik, berlari-lari kecil menghampiri Pak Wawan.

"Lima kali putaran!" perintah Pak Wawan sebelum aku menyerangnya dengan beberapa alasan.

"Oke, Pak!" jawabku dan Mayang bersamaan. Percuma saja berkelit.

Aku dan Mayang kembali berlari. Maksudku, berlari yang benar-benar tidak berlari. Tahu lari ala anak cewek? Sedikit-sedikit berhenti dan jalan kaki sambil mengobrol dengan yang lain, tertawa, bercanda, banyak gaya.

Namun, ketika aku sendirian berlari karena Mayang selesai lebih dulu dan teman-temanku yang lain sudah berbaris, melakukan pemanasan yang dipandu ketua kelas, lesu mulai melanda.

"Hei, dihukum?"

Aku menoleh, mendapati Adnan yang ikut berlari di sampingku. Seketika lesuku menguap, senyumku mengembang sempurna.

"Hei juga pacar," sapaku di sela napas yang terenggah.

"Semangat, ya!" Adnan mengacak-acak rambutku. "Habis ini kita ke kantin bareng deh."

Aku menganggukkan kepala penuh semangat. Adnan berhenti berlari. Dia berbalik dan menghampiri dua temannya yang berjalan menuju gudang sekolah.

Benakku membayangkan beberapa adegan romantis yang nanti akan terjadi. Saling suap dan mengusap sudut bibir, misalnya. Aku menggelengkan kepala, masih tidak percaya kalau sudah punya pacar.

Aku langsung membuang muka, lanjut berlari, kali ini diusahakan kencang, begitu tahu Pak Wawan ternyata memperhatikanku dengan mata melotot.

"Hari ini, kita akan latihan lempar tangkap bola basket."

Aku mendengar suara Pak Wawan.

"Abid, Maun, Sandi, Ilham dan Angga tolong ambil bola basket di gudang, lalu kita akan mulai latihan," lanjut Pak Wawan.

Lima teman cowokku berlari menuju gudang. Aku masuk dalam barisan. Mayang menyenggol lengannya ke lenganku. Maksudnya itu kode kalau aku ini pasangannya.

"Di sini ada beberapa teknik mengoper atau passing. Yang pertama, operan setinggi dada, chest past. Kedua, operan bola melalui pantulan, bounce pass. Ketiga, operan melalui atas kepala, over head pass, dan terakhir operan bola dari samping atas dekat kepala, bass ball pass," jelas Pak Wawan. "Untuk bisa mempraktikannya, kita tunggu teman kalian di lapangan basket."

Pak Wawan mengiring kami ke lapangan basket. Sebagian teman-teman ber-title cewek berjalan sambil cekikikan. Aku hanya menyimak malas. Beberapa saat kemudian, Abid, Maun, Ilham, Angga, dan Sandi datang membawa bola basket.

"Oke!" Pak Wawan menepukkan tangannya sebagai tanda pelajaran akan dimulai. "Mulai cari pasangan dan ambil bola."

Semua anak ribut cari pasangan dan sebagian mengambil bola. Mungkin hanya aku yang hanya melihat dan mendesah.

"Sudah semuanya?" tanya Pak Wawan seraya menatap kami.

"Sudah, Pak," jawab kami semarak.

"Baik, kita mulai operan setinggi dada. Dari sikap berdiri, dengan kedua kaki melangkah dan kedua lutut agak rendah," jelas Pak Wawan. Dia memberi jeda sejenak untuk memperagakan. "Sedang kedua tangan memegang bola di depan dada. Dorongkan bola dengan kedua tangan ke depan secara serentak dan bola lepas dari tangan ketika kedua tangan lurus." Pak Tulus melempar bola sembarang karena beliau tak punya pasangan. Kasihan.

"Nah, coba kalian praktikan," kata Pak Wawan lagi.

Aku mencoba melakukan seperti yang Pak Wawan katakan. Namun, karena benar-benar payah dengan pelajaran olahraga, aku melempar bola itu terlalu semangat sehingga Mayang tidak bisa menangkapnya, membuat bola itu terbang dan mengelinding jauh. Mayang mengerutu pelan dengan mata menatap bete kepadaku. Aku memalingkan pandangan, menangkap Pak Wawan yang ternyata memperhatikanku. Beliau menggelengkan kepala. Aku meringis.

"Untuk cara menangkap, kalian berdiri dengan kedua kaki dibuka dan kedua lutut direndahkan, sementara gerakan kedua tangan menyongsong datangnya bola, kemudian setelah bola menempel pada kedua telapak tangan, bawa bola mendekati badan," terang Pak Wawan sambil berjalan dan membantu posisi beberapa anak yang salah. Pak Wawan menatap jam yang ada di pergelangan tangannya, lalu. "Oke, semuanya, ayo lakukan."

Aku menghela napas panjang, menatap Mayang. Kami melakukan lempar tangkap sesuai arahan Pak Wawan, tetapi karena aku pintar, jadi semauku saja. Beberapa kali Pak Wawan membantuku dengan sabar. Namun, lama-lama beliau mendesah pasrah dan berlanjut menjelaskan serta mempraktikan teknik mengoper yang lain.

Waktu seakan berjalan lambat sampai aku merasa kenyang melakukan passing dengan berbagai teknik dan hasil yang sama saja.

Pak Wawan meniup peluit. Beliau menyuruh murid perempuan untuk duduk-duduk cantik dan lebih melatih dengan serius murid laki-laki. Mereka berpasangan dan berganti melakukan passing seraya berjalan lalu berlanjut memasukan bola ke dalam ring.

Tepuk tangan berbunyi nyaring ketika tampak dua orang yang menonjol. Angga dan Ilham karena mereka sudah lama ikut club basket.

Teriakan histeris membahana terdengar riuh begitu Pak Wawan ikut andil dalam memasukan bola ke dalam ring. Gayanya itu keren banget kayak yang sudah setara dengan Michael—siapalah.

Saat bel istirahat berbunyi, Pak Wawan mempersilakan kami beristirahat. Cepat-cepat aku menjejalkan bola basket kepada Mayang dan pergi dari tempat itu menuju lapangan sepak bola. Dari kejauhan, aku melihat Adnan juga baru selesai, dia sepertinya habis melakukan pertandingan. Kelihatan capek dan jalannya pelan.

"Pacar," sapaku begitu berada di depan Adnan.

Adnan tersenyum tipis. Dia memegang kedua pundak dan membalikkan tubuhku. Aku mengernyit, lalu kurasakan Adnan mendorong tubuhku untuk bejalan ke kantin. Aku tersenyum malu-malu, tahu dia melakukannya sampai kami berada di kantin, membeli makan serta minum, dan duduk berdampingan. Duh, serasa lagi duduk di pelaminan.

"Aaaaaa ...." Mulutku mangap dan tangan terulur untuk menyuapi Adnan dengan sesendok penuh nasi soto.

"Jangan aneh-aneh deh," keluh Adnan terlihat risih.

"Kan, mau nyuapin," kataku santai.

Adnan mendengkus. "Emang aku bayi?"

"Emang nggak mau disuapin?" tanyaku penuh harap.

"Nggak!" jawab Adnan sadis.

"Ya udah," sahutku manyun dan menyuapi diriku sendiri.

Bete. Niatnya mau romantis-romantisan pun hilang. Ingin rasanya aku mencubit geram kedua pipi Adnan dengan penjepit jemuran, tetapi aku bisa apa? Bisa meratapi nasib. 

"Aku nggak tahu versi pacaran menurut otakmu dan mau kamu itu kaya apa," kata Adnan, membuatku menatapnya. "Yang aku tahu, kamu suka aku, aku suka kamu dan kita bareng kaya gini. Itu sudah cukup."

Perlahan senyumku merekah. Ya, pelan-pelan saja dulu.

Adnan membalas senyumku, kemudian tanpa perlu ijin dulu, aku mulai bercerita, menumpahkan segala keluh kesah yang kualami sejak kepala sekolah memergokiku telat yang pada akhirnya kena hukuman dengan melakukan baris-berbaris. Adnan menyimak. Sesekali dia akan menimpali dengan tertawa dan  mencibir tentang kelakuanku.

"Lima menit lagi bel masuk berbunyi," kata Adnan, melihat jam di pergelangan tangannya. "Sebaiknya kita ganti seragam."

"Bareng?" Aku menyeringai.

Adnan menyentil keningku. "Pikiranmu."

Aku terkekeh. "Kirain."

"Udah sana," usir Adnan kejam seperti ibu tirinya Cinderella. "Jalan ke kelas masing- masing, kan, beda."

"Nggak mau anterin aku sampai depan kelas gitu?" tanyaku manis, kali saja Adnan akan berbuat khilaf dengan berkata, "Oke, Sayang."

"Nggak!" tolak Adnan cepat.

Aku mendengkus, melambaikan tangan yang tidak dibalas oleh Adnan dan berlalu pergi.

Nggak perlu jaim, keles.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • rara_el_hasan

    Indonesia latarnya eiy.. Keruen..... Jarang lho...

    Comment on chapter Satu
  • dede_pratiwi

    nice story, settingnya di kota Kuningan ya? storytellingnya asik dan luwes. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter Satu
Similar Tags
SERENA (Terbit)
16576      2826     14     
Inspirational
Lahir dalam sebuah keluarga kaya raya tidak menjamin kebahagiaan. Hidup dalam lika-liku perebutan kekuasaan tidak selalu menyenangkan. Tuntutan untuk menjadi sosok sempurna luar dalam adalah suatu keharusan. Namun, ketika kau tak diinginkan. Segala kemewahan akan menghilang. Yang menunggu hanyalah penderitaan yang datang menghadang. Akankah serena bisa memutar roda kehidupan untuk beranjak keatas...
Lost In Auto
1215      440     1     
Romance
Vrinda Vanita, adalah seorang remaja putri yang bersekolah di SMK Loka Karya jurusan Mekanik Otomotif bersama sahabatnya Alexa. Di sekolah yang mayoritas muridnya laki-laki, mereka justru suka pada cowok yang sama.
Into The Sky
366      232     0     
Romance
Thalia Adiswara Soeharisman (Thalia) tidak mempercayai cinta. Namun, demi mempertahankan rumah di Pantai Indah, Thalia harus menerima syarat menikahi Cakrawala Langit Candra (Langit). Meski selamanya dia tidak akan pernah siap mengulang luka yang sama. Langit, yang merasa hidup sebatang kara di dunia. Bertemu Thalia, membawanya pada harapan baru. Langit menginginkan keluarga yang sesungguhnya....
Are We Friends?
2829      880     0     
Inspirational
Dinda hidup dengan tenang tanpa gangguan. Dia berjalan mengikuti ke mana pun arus menyeretnya. Tidak! Lebih tepatnya, dia mengikuti ke mana pun Ryo, sahabat karibnya, membawanya. Namun, ketenangan itu terusik ketika Levi, seseorang yang tidak dia kenal sama sekali hadir dan berkata akan membuat Dinda mengingat Levi sampai ke titik paling kecil. Bukan hanya Levi membuat Dinda bingung, cowok it...
Special
1276      698     1     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.
Love is Possible
102      96     0     
Romance
Pancaroka Divyan Atmajaya, cowok angkuh, tak taat aturan, suka membangkang. Hobinya membuat Alisya kesal. Cukup untuk menggambarkan sosok yang satu ini. Rayleight Daryan Atmajaya, sosok tampan yang merupakan anak tengah yang paling penurut, pintar, dan sosok kakak yang baik untuk adik kembarnya. Ryansa Alisya Atmajaya, tuan putri satu ini hidupnya sangat sempurna melebihi hidup dua kakaknya. Su...
CALISTA
295      229     0     
Fantasy
Semua tentang kehidupan Calista, yang tidak hanya berisi pahit dan manis. Terdapat banyak rasa yang tercampur di dalamnya. Ini adalah kisah dimana seorang Calista yang mendapatkan pengkhianatan dari seorang sahabat, dan seorang kekasih. Disaat Calista berusaha menyelesaikan satu masalah, pasti masalah lain datang. Akankah Calista dapat menyelesaikan semua masalah yang datang padanya?
Semanis Rindu
15334      2882     10     
Romance
Aku katakan padamu. Jika ada pemandangan lain yang lebih indah dari dunia ini maka pemandangan itu adalah kamu. (Jaka,1997) Sekali lagi aku katakan padamu. Jika ada tempat lain ternyaman selain bumi ini. Maka kenyamanan itu ada saat bersamamu. (Jaka, 1997) Jaka. nama pemuda jantan yang memiliki jargon Aku penguasa kota Malang. Jaka anak remaja yang hanyut dalam dunia gengster semasa SM...
Veintiséis (Dua Puluh Enam)
711      382     0     
Romance
Sebuah angka dan guratan takdir mempertemukan Catur dan Allea. Meski dalam keadaan yang tidak terlalu baik, ternyata keduanya pernah memiliki ikrar janji yang sama sama dilupakan.
Story of time
1990      774     2     
Romance
kau dan semua omong kosong tentang cinta adalah alasan untuk ku bertahan. . untuk semua hal yang pernah kita lakukan bersama, aku tidak akan melepaskan mu dengan mudah. . .