Read More >>"> Love Never Ends (Dua) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love Never Ends
MENU
About Us  

"Jangan mau jadi cewek tolol!"

Aku menonyor kepala Fanisa, anak tetangga rumah. Tawaku menyembur seketika melihat wajah Fanisa yang hampir menangis. Tadi, saat aku akan memasuki rumah, tidak sengaja melihat gelagat Fanisa yang mencurigakan. Jadinya, alih-alih pulang, aku berbelok mengikutinya.

"Dari pada kasih duit buat cowok, mending duitnya buat aku sini!" perintahku, mengadahkan satu tangan. Kemudian mataku melirik tajam ke arah cowok yang bersama Fanisa dan berkata, "Dan, you!" Aku menunjuk menggunakan tangan kiri. "Pergi sana sebelum aku teriak histeris habis kamu copet."

Cowok itu menatapku mengancam sebelum akhirnya mundur selangkah, berbalik, dan pergi. Setelah itu, Fanisa menaruh uang ke tanganku yang masih menengadah.

"Oh, trims." Aku mulai menghitung uang Fanisa.

Seratus. Dua ratus. Tiga ratus. Empat ratus.

Mataku melotot. Dengan uang sebanyak ini, bisalah buat jalan-jalan.

Lima ratus. Enam ratus. Tujuh ratus.

"NURUUUUUUUUL!"

Aku melempar uang yang belum selesai kuhitung begitu mendengar teriakan orang yang kukenal. Kutolehkan kepala dan melihat Mama melepas sandal, mengacungkannya padaku.

Oh my god!

Mama berlari ke arahku lalu menjewer kupingku.

"Aduh, duh, duh, Ma. Sakit, Ma," kataku sambil memegang tangan Mama.

Mama menyeretku pulang. Di dalam rumah, Mama mengamuk dan menceramahiku panjang lebar. Kutundukan kepala dalam-dalam, tidak berani menentang. Setelah satu jam mengoceh dan memberi hukuman, Mama menyuruhku ke kamar.

"Maafin Mama ya, Rul."

Aku mengangkat wajah, menatap Mama bingung. Aku baru selesai mengganti baju.

"Udah jewer kamu," kata Mama lagi.

Oh!

"Oke, maaf diterima." Aku nyengir sambil membuat bulatan dari jari telunjuk dan jempol.

Mama mencubit lenganku. "Kamu sih, kenapa suka sekali ganggu Fanisa?"

"Ya Allah, Mama, itu emang disengaja," jawabku jujur seraya menggosok lengan bekas cubitan Mama.

"Ya Allah, Nurul, itu nggak boleh." Mama menjewer telingaku lagi. Padahal tadi baru minta maaf.

Aku meringis kesakitan. "Ya Allah, Mama, Fanisanya bego sih."

"Ya Allah, Nurul!" seru Mama gemas seraya menepuk pelan mulutku. "Sudah, kamu makan dulu sana. Soal Fanisa, kamu jangan suka gangguin dia lagi. Awas kalo berani, Mama pites kamu."

Aku memutar bola mataku malas. "Ya, ya, ya."

"Janji?"

"Hm."

Tiba-tiba terdengar dering ponsel yang sudah tidak asing di telingaku. Aku membiarkannya. Mataku mengikuti pergerakan Mama yang keluar kamar. Begitu sosoknya tak terlihat, segera aku menyambar ponsel.

"Ada apa?" Aku menjawab panggilan dari Mayang.

"Sedang apa?" tanya Mayang. "Oh, aku tahu, kamu pasti lagi mikirin Abang. Dia baik kok. Terima kasih, ya?"

Aku mendengkus sekali dan tanpa sadar mengulas senyum. Otakku langsung memunculkan sosok Adnan yang sedang berdiri menyamping seraya memasukkan satu tangan ke satu jaket. Pose yang membuatku jatuh hati.

"Aku jadi lupa kenapa aku telepon kamu," kata Mayang kemudian. "Ah ... pertama, selamat ya udah jadi pacarnya Abang. Kedua, aku mau ngaku bahwa Tania itu sebenarnya bukan gebetan Abang. Dia itu cinta pertama Abang, tapi belum kelar."

Apa?

Tidak mungkin!

Rasanya aku mendadak tidak enak badan. Panas dan mataku berkunang-kunang.

Aku mendengar suara Mayang yang memanggil-manggil namaku. Terdengar kesal.

"Kamu telepon aku cuma mau bilang itu?" tanyaku yang terkesan tidak peduli.

"Kamu ingin aku tanya apa kabar hatimu?" Mayang balik bertanya.

Aku tertawa mengejek walaupun hatiku seperti ditaburi irisan bawang, menangis. Mayang kemudian menutup teleponnya sepihak ketika aku tak menyahutinya lagi.

Aku mendesah. Tidak mungkin Adnan dan Tania nantinya bersama. Cowok itu sudah sah menjadi pacarku. Kalaupun di antara mereka ada yang belum selesai itu urusan ... tidak, itu gawat. Malapetaka.

Didera kalut yang tidak berkesudahan, ide cemerlang tiba-tiba mampir di otak. Aku menyeringai lebar. Harus dipertegas. Sudah kuputuskan. Moto hidupku sekarang adalah rawe-rawe rantas malang-malang putung.

***


Aku menatap rumah yang ada di depanku dengan senyum secerah matahari. Kata siapa cewek yang berusaha tetap ngepepet cowoknya itu murahan? Terus apa dong artinya emansipasi wanita kalau begitu? Cewek itu harus seperti ini. Berani. Tidak perlu malu-malu mendatangi cowok terlebih dulu. Toh, tidak dengan telanjang.

Aku memencet bel. Beberapa saat menunggu, Mbok Ijah membukakan gerbang dan mempersilakan masuk karena beliau sudah mengenalku. Aku berjalan riang melewati halaman rumah. Mengangkat tangan dan menyapa Mang Usman, sang tukang kebun.

Di teras depan, Mama Adnan tersenyum melihatku datang. Beliau sedang merawat bunga—entah apa—di dalam pot. Aku menyalami punggung tangan wanita itu dan berakting menanyakan keberadaan Mayang. Padahal, aslinya ingin langsung menanyakan Adnan, tetapi tidak berani. Belum saja. Namun, jawaban Mama Adnan setelahnya membuatku mendesah kecewa. Mama Adnan bilang, Mayang pergi ke rumahku. Ha-el-ah! Itu anak.

"Ngapain?"

Aku menoleh ke belakang. Menggigit bibir bawah sekuat mungkin untuk menyembunyikan senyum. Adnan berdiri dengan sikap cool-nya. Cowok itu masih lengkap memakai seragam sekolah. Sepertinya, dia baru pulang.

"Adnan," tegur Mama Adnan. Pandangannya menajam seperti memberi isyarat untuk lebih baik dalam menyambut tamu. Memang, tadi suara Adnan terdengar ketus dan tidak suka melihatku.

"Ngapain?" ulang Adnan mengubah intonasi suaranya lebih terdengar biasa saja meski tidak sepenuhnya berhasil.

"Mau ngerjain tugas matematika yang pas Pak Slamet izin nggak ngajar," jawabku sepolos mungkin. "Tapi, Mayang nggak ada."

Adnan mendengkus. "Emangnya Mayang bisa ngajarin kamu?"

Tidak. Mayang itu sebelas dua belas mirip denganku. Ketika masih di sekolah dan diterangkan, kami bisa paham sepaham-pahamnya. Namun, ketika sudah sampai rumah, melupakannya begitu saja.

Aku bengong. Tidak mempunyai jawaban. Haruskah aku pulang? Tidak rela. Aku harus bagaimana supaya tetap bertahan di sini? Mau tidak mau, aku memaksa kerja otak supaya lebih cepat. Sayangnya, tidak ada satu ide pun yang muncul.

"Ayo masuk ke dalem." Adnan menjentikkan jarinya di depan mukaku, wajahnya tampak kesal. Kenapa dia kesal? "Ngapain sih bengong di situ? Nanti ayam tetangga pada mati."

"Adnan!" tegur Mama Adnan lagi, beliau menatapku memohon maklum untuk kelakuan anaknya.

"Ya, dari tadi dipanggil-panggil nggak denger," jawab Adnan, mencium punggung tangan mamanya.

Oh.

Adnan mencengkeram tas yang kugendong dan menariknya kuat, membuatku menjerit keras karena berjalan mundur. Sekelebatan, kulihat Mama Adnan terkikik dan menggelengkan kepala.

Adnan membalikkan tubuhku, membuat jeritanku terhenti. Aku mengerutu pelan dan memanyunkan bibir. Kupandangi punggung Adnan yang menjauh. Dia tidak mau repot-repot menungguku. Aku bergegas, mencoba mensejajari langkahnya.

"Tunggu di sini," seru Adnan, membuatku mengerjapkan mata. "Aku ganti baju dulu."

Aku mengangguk patuh. Kuedarkan pandangan. Sekarang, aku berada di sebuah ruangan. Ada bangku panjang dan mainan—tidak begitu berantakan—berserakan di lantai. Adnan datang lima menit kemudian. Dia memakai kaus berwarna putih bergambar metalica dan celana pendek—kurang lebih dua sampai lima sentimeter—di bawah lutut.

"Kok masih berdiri?" tanya Adnan heran. "Duduk, Nurul."

"Ya, tadi cuma disuruh tunggu," jawabku menyeringai.

Adnan mendesah. Dia duduk santai di bangku panjang. Aku ikut duduk di sampingnya. Beberapa detik kami lalui dalam diam. Merasa tidak nyaman, keberanikan diri menoleh padanya. Adnan sedang menatapku, tetapi seperti tidak menatapku. Aku membuang muka sejenak dan kembali menolehkan kepala. Keadaan Adnan masih sama. Aku mengaruk alisku yang tidak gatal.

"Aku cantik banget ya, sampai sulit memalingkan muka?" godaku sambil melambaikan tangan di depan wajah Adnan.

"Jangan mulai," sahut Adnan datar. "Dari tadi, aku nunggu kamu ngeluarin tugas matematika."

"Ah." Aku mangut-mangut, lalu cengengesan tidak jelas sambil membuka tas dan mengeluarkan buku paket matematika. Sialan! Ini sih bukan ide cemerlang, tetapi senjata makan tuan. Padahal, niatku akan mengerjakan tugas matematika dengan cara menyontek punya Udin, teman sekelasku yang pintar.

"Pacar, kita nanti kencan pertama ke mana?" tanyaku terselubung bahwa aku sedang mengingatkan Adnan tentang hubungan kami.

"Jangan mikirin yang nggak-nggak dulu deh," sahut Adnan dengan lirikkan judes. "Kerjain dulu tugasnya."

"Nggak asyik ah," jawabku, membuka buku paket matematika yang ada di atas pangkuan.

Mendadak mataku buram. Aku segera menutup buku paket dan menatap dalam Adnan.

"Pacar, apa kita sehabis belajar nanti bakal ketiduran berdua?" tanyaku absurd. "Terus Mama kamu motret kita yang lagi tidur. Romantis banget nggak sih?"

Adnan memincingkan mata, curiga. "Kayak pernah tahu."

Pasti pernah tahu dari Mayang. Atau Adnan juga menonton drama korea, dorama, dorami—mi atas mi bawah mi depan mi belakang? Oke, kembali ke topik. Ya siapa yang tahu bahwa aku dan Adnan bisa senasib seperti Oh Ha Ni dan Baek Seung Jo di drama korea Naughty Kiss. Meski jika nanti begitu, jangan samakan aku dengan Oh Ha Ni, aku tidak segoblok dia. Kami hanya sama-sama cantik.

Adnan mendekatkan diri padaku. Dia mengambil dan membuka buku paket matematika yang tadi kututup. Seketika jantungku berdebar-debar tak karuan memukul-mukul rongga dada. Takut bisa mengakibatkan mati mendadak, aku merosot turun dari bangku panjang, lalu duduk di lantai.

Adnan meletakkan satu bundel lembaran kertas berisi seratus soal latihan yang kuselipkan di buku paket sejajar dengan buku paket matematika di hadapanku. Dengan kejam, Adnan menyuruhku untuk segera mengerjakannya. Cowok itu menyodorkan pensil kepadaku. Aku menatap pensil dan Adnan bergantian dengan memasang tampang bodoh. Adnan menyuruhku menerima pensil melalui isyarat mata, membuatku terpaksa mengambilnya.

Aku menghela napas panjang dan mengembuskannya gusar. Adnan benar-benar tidak asyik. Seharusnya, berduaan seperti ini, dimanfaatkan dengan berpacaran ria. Bukannya mabuk dengan soal-soal yang mendadak membuat mataku mengantuk.

Aku mengaruk-ngaruk kepala yang tidak gatal. Melirik Adnan yang ternyata mengamatiku. Maksudku, mengamati lembaran soal. Mungkin karena aku tidak menulis, akhirnya dia menangkap lirikanku.

"Kerjakan," katanya dengan mengendikkan dagu.

Aku mencebik sebal. Mulai melihat buku paket matematika kembali.

"Pacar," panggilku seraya menatap Adnan. "Aku mau kalau nanti kita kencan, pake baju couple, terus makan es krim bareng, saling gandengan tangan, senyum, naik motor biar aku bisa meluk kamu, ter—"

Adnan memutar bola matanya. "Tugasnya dulu dikerjain."

Aku mencebik dan kembali menghadap soal-soal yang langsung membuat kepalaku pusing tujuh keliling.

"UYUUUUUNG!"

Aku mendengar suara Mayang. Aku mengembangkan senyum. Meletakkan pensil begitu saja, aku segera berdiri dan berjalan untuk menyongsong sang penyelamat.

"Mau ke mana?" tanya Adnan, membuatku berhenti dan menoleh padanya.

"Mau ke Mayang dong," jawabku tersenyum manis. "Kamu nggak denger dia ngejerit histeris gitu?"

Kening Adnan mengernyit. "Tugasnya?"

"Gampanglah nanti." Aku mengibas-ngibaskan tanganku. "Dadah, pacar."

Aku melakukan kiss jauh yang dibalas dengkusan tak percaya dari Adnan dan wajah horor-nya. Aku meringis lirih, menghadap ke depan, berjalan kembali. Yeah, meskipun tidak ada adegan romantis macam Oh Ha Ni, yang penting aku selamat dari soal-soal ter-empet itu. Sementara memang karena bagaimanapun juga aku harus mengerjakan tugas matematika itu. Namun, untuk sekarang aku akan bersyukur. Orang beriman, kan, memang harus banyak-banyak syukur.

***


"Ayo, aku anterin kamu pulang."

Aku terlonjak kaget mendapati Adnan yang berada di depan kamar Mayang. Kenapa dia di sini? Apa jangan-jangan dia menungguiku? Tidak mungkin! Yang lebih masuk akal, Adnan berniat mengusirku pulang. Sudah jelas, bukan?

"Nggak usah deh," jawabku, melirik Mayang, berharap dia mengatakan sesuatu tentang dirinya yang akan mengantarku pulang. Namun, gadis itu diam saja. Dasar tidak peka.

Adnan menghela napas. "Ini udah malem."

Justru ini sudah malam. Berdua dengan Adnan, aku takut khilaf.

"Aku tunggu di depan," tambah Adnan mengabaikan keengananku.

Mayang mengantarku berpamitan dengan orangtuanya. Mamanya sempat terkejut dan memintaku untuk makan dulu karena saat makan malam tadi aku dan Mayang tidak ikut karena keasyikan menonton film. Aku menolak permintaan itu secara halus.

Aku melambaikan tangan singkat kepada Mayang dan menghampiri Adnan yang duduk di atas motor matic-nya. Dia mengulurkan helm. Aku menerima dan mengenakan helm, lantas duduk dibelakangnya. Tanpa basa-basi yang berarti seperti menyuruhku berpegangan, Adnan melajukan motornya perlahan.

Dalam perjalanan, aku mengalami dilema besar antara mau memeluk dan menyandarkan kepala ke punggung Adnan atau tidak. Masalahnya, aku belum seagresif itu, takutnya Adnan bakal marah dan memutuskan hubungan. Untuk cari amannya, aku hanya berpegangan pada besi di belakang.

"Turun."

"Hah?"

"Udah sampai," kata Adnan, menoleh kepadaku seraya membuka kaca helm.

Tanpa kata, aku segera turun dari motor, melepas helm, dan menyodorkannya kepada Adnan yang langsung menerimanya.

"Trims," kataku sambil menatap Adnan yang sedang membungkuk menyelipkan helm yang tadi kupakai di sela motor.

Aku merapikan poni, menyisir rambut yang kusut dengan jari. Tiba-tiba Adnan sudah berada di depanku. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu menyibak poniku dan menahannya. Aku tersentak, ikut mencondongkan tubuh ke belakang agar jarak kami tidak terlalu dekat.

"Ma-mau apa?" tanyaku gugup.

Mungkinkah akan ada adegan romantis seperti Rangga dan Cinta setelah mereka pergi nge-date garis miring ciuman bibir?

"Tugasnya jangan lupa dikerjain," katanya kalem. "Nanti dikumpulin, kan?"

Aku meringis. Suara dehaman membuatku dan Adnan menoleh, mendapati Alfa Habiandra, kakakku, dengan kedua tangan di depan dada dan tatap mata yang terlihat seperti marah tertuju kepadaku.

Kenapa?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • rara_el_hasan

    Indonesia latarnya eiy.. Keruen..... Jarang lho...

    Comment on chapter Satu
  • dede_pratiwi

    nice story, settingnya di kota Kuningan ya? storytellingnya asik dan luwes. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter Satu
Similar Tags
You Are The Reason
1958      780     8     
Fan Fiction
Bagiku, dia tak lebih dari seorang gadis dengan penampilan mencolok dan haus akan reputasi. Dia akan melakukan apapun demi membuat namanya melambung tinggi. Dan aku, aku adalah orang paling menderita yang ditugaskan untuk membuat dokumenter tentang dirinya. Dia selalu ingin terlihat cantik dan tampil sempurna dihadapan orang-orang. Dan aku harus membuat semua itu menjadi kenyataan. Belum lagi...
A You.
704      356     1     
Romance
Ciara Leola memiliki ketakutan yang luar biasa kepada Shauda Syeffar. Seorang laki-laki yang dulu selalu membuatnya tersenyum dan menyanyikan lagu-lagu cinta untuknya setiap hari. Ciara melanjutkan hidupnya sebagai orang asing di hadapan Shauda, sedangkan Shauda mengumpat kepada dirinya sendiri setiap hari. Lagu-lagu cinta itu, kemudian tidak lagi dinyanyikan.
Farewell Melody
214      143     2     
Romance
Kisah Ini bukan tentang menemukan ataupun ditemukan. Melainkan tentang kehilangan dan perpisahan paling menyakitkan. Berjalan di ambang kehancuran, tanpa sandaran dan juga panutan. Untuk yang tidak sanggup mengalami kepatahan yang menyedihkan, maka aku sarankan untuk pergi dan tinggalkan. Tapi bagi para pemilik hati yang penuh persiapan untuk bertahan, maka selamat datang di roller coaster kehidu...
Love 90 Days
1424      832     1     
Romance
Hidup Ara baikbaik saja Dia memiliki dua orangtua dua kakak dan dua sahabat yang selalu ada untuknya Hingga suatu hari seorang peramal mengatakan bila ada harga yang harus dibayar atas semua yang telah dia terima yaitu kematian Untuk membelokkan takdir Ara diharuskan untuk jatuh cinta pada orang yang kekurangan cinta Dalam pencariannya Ara malah direcoki oleh Iago yang tibatiba meminta Ara untu...
102
1945      797     3     
Mystery
DI suatu siang yang mendung, nona Soviet duduk meringkuh di sudut ruangan pasien 102 dengan raga bergetar, dan pikiran berkecamuk hebat. Tangisannya rendah, meninggalkan kesan sedih berlarut di balik awan gelap.. Dia menutup rapat-rapat pandangannya dengan menenggelamkan kepalanya di sela kedua lututnya. Ia membenci melihat pemandangan mengerikan di depan kedua bola matanya. Sebuah belati deng...
(Against) The Evolutionary
359      225     1     
Short Story
Pilihan Terbaik
4074      1265     9     
Romance
Kisah percintaan insan manusia yang terlihat saling mengasihi dan mencintai, saling membutuhkan satu sama lain, dan tak terpisahkan. Tapi tak ada yang pernah menyangka, bahwa di balik itu semua, ada hal yang yang tak terlihat dan tersembunyi selama ini.
Got Back Together
297      245     2     
Romance
Hampir saja Nindyta berhasil membuka hati, mengenyahkan nama Bio yang sudah lama menghuni hatinya. Laki-laki itu sudah lama menghilang tanpa kabar apapun, membuat Nindyta menjomblo dan ragu untuk mempersilahkan seseorang masuk karna ketidapastian akan hubungannya. Bio hanya pergi, tidak pernah ada kata putus dalam hubungan mereka. Namun apa artinya jika laki-laki hilang itu bertahun-tahun lamanya...
When Home Become You
384      286     1     
Romance
"When home become a person not place." Her. "Pada akhirnya, tempatmu berpulang hanyalah aku." Him.
My Reason
575      378     0     
Romance
pertemuan singkat, tapi memiliki efek yang panjang. Hanya secuil moment yang nggak akan pernah bisa dilupakan oleh sesosok pria tampan bernama Zean Nugraha atau kerap disapa eyan. "Maaf kak ara kira ini sepatu rega abisnya mirip."