Aku bersandar di gerbang sekolah dengan kepala mendongak menatap langit kota Kuningan yang berwarna biru cerah. Hari ini, aku sengaja memesan pagi untuk memastikan satu hal. Semalam, aku mendapat pesan WA dari Mayang, sahabatku, calon adik iparku yang isinya membuat hatiku macet. Dia bilang, Adnan, sudah punya gebetan. Tetangga baru seberang tempat yang langsung dinobatkan sebagai cewek supercute . Sialan! Bukannya aku yang super duper pakai ekstra imut ?
Aku mengatur napasku yang mendadak gusar. Tak lama kemudian, terdengar suara mobil yang sudah kukenal. Mitsubishi Pajero Sport berwarna hitam berhenti di depan gerbang sekolah. Aku menegakkan tubuh. Menatap lekat mobil itu. Aku bisa melihat Mayang tersenyum kepadaku sambil melambaikan tangan. Dia duduk di bangku samping pengemudi. Setelah berpamitan — kupikir begitu — dan mencium punggung tangan supirnya alias papanya, Mayang keluar, lari kecil menghampiriku.
"Tumben dateng pagi," selorohnya saat sudah berhadapan denganku. Aku mengendikkan bahu sok tidak peduli.
"Oh, aku tahu," kata Mayang menyengir lebar. "Kamu nungguin Abang, kan?"
Aku diam. Ekspresiku lekat pada cewek entah siapa yang ada di samping Adnan.
Kutatap dengan sengit cewek itu. Cewek yang berani-beraninya menumpang di mobil keren calon mertuaku dan berangkat bareng cowok yang kutaksir. Sumpah, aku iri banget.
Kotoran! Cewek itu tersenyum manis kepada Adnan. Dan dua kali lipat! Adnan membalas senyum itu. Teramat manis. Membahayakan. Serius. Senyum Adnan bisa berubah bagi semua orang di dunia ini.
Berdua, mereka berjalan bersisihan dan melewatiku jadi saja. Oke, aku menjelma menjadi seorang murid tembus? Aku tidak sudi.
Langkahku berderapadies Adnan. Tanpa basa-basi, aku menyambar lengannya, membuat dia berhenti, berbalik, dan menatapku dengan ekpresi yang aneh. Saat aku menginstal senyum mematikan. Berharap Adnan terpesona.
"Hai, Adnan," sapaku manis.
Adnan tidak membalas senyum atau sapaanku. Dia diam saja. Sakit-sakit-sakit.
Aku meringis dan mempersembahkan tanganku yang terparkir di lengan Adnan, saat cowok itu menepis tanganku.
Aku bergumam panjang. Bingung mau memulai percakapan apa. Mendadak semua kosakata yang aku tahu raib begitu saja.
Oh-em-ji! Ini memalukan.
"Tania ... kenalin, ini Nurul Arini. Dia sahabat baikku." Ini adalah ucapan Mayang. Dia mengamit manja lengan kiriku, membuatku menoleh keras. Mayang balik menoleh sambil cengar-cengir tidak jelas kepadaku. Idih.
Aku beralih menatap Tania yang sedang menatapku sambil tersenyum. Aku menaikkan satu alisku sengak seraya mengangkat dagu tinggi-tinggi, memasang wajah tidak bersahabat. Harus aku aku cukup cukup manis saat tersenyum. Hanya cukup.
"Tania." Cewek itu menjulurkan paksaaku ke situ.
Aku diam tidak merespon. Mayang mencubit lenganku pelan, memberi kode agar segera menyambut tangan Tania. Ogah gila! Hanya ada waktu.
Tania terlihat kikuk karena interaksi belum kusambut juga.
Adnan berdeham sekali. "Ayo, Nia, aku antar kamu ke ruang Kepala Sekolah."
Aku melongo takjub dan sekarang pasti mukaku beloon banget. Apa aku tidak salah dengar? Adnan bersuara lembut ke Tania? Tidak bisa dipercaya.
Tania mengangguk. Kesulitan melenggang pergi meninggalkanku yang masih menganga. Apa-apaan itu? Aku menutup mulut rapat. Spontan, menyusuri tubuh sendiri, kemudian menatap kembali Tania. Menilai.
Cewek itu tidak ada apa-apanya dibandingkan denganku. Wajahku cantik, masih ada sisa-sisa keturunan barat sedikit. kata mama, kakek dari kakeknya kakekku orang belanda. Kulitku putih bersih, hidungku mancung, mata dan rambutku berwarna cokelat, tinggi kurang lebih Tujuh Tujuh puluh senti, dan gayaku modis . Ya, meskipun belum luar biasa, tapi aku yakin cowok-cowok pasti ngiler melihatku.
Sementara si Tania itu ....
Aku tidak ingin menghina, tapi dia hanya cewek biasa ala bawang putih. Tidak ada yang menarik. Dia tidak cantik-cantik banget. Dandanannya kuno dan tinggi ... aduh, dia cebol.
Aku yang bak putri jelita ini, tidak pantas bersaing dengannya. Tania tidak selevel denganku. Itu membuatku tak habis pikir mengapa Adnanoleh dengan makhluk? Apa bagusnya dia coba?
Ada rasa sakit di sini — melenggang dengan tangan kananku terangkat naik untuk cermin dada kiri — nyeri banget, nyerinya, rasa rasa sakit, kompas, punggung tanganku. Dipukul pakai rotan oleh Mama kompilasi dengan orang-orang yang tinggal di rumah tiga bulan yang lalu.
"Kamu lebih baik dari dia, kamu pekerja tak tertandingi," hibur Mayang sambil merangkul bahuku.
Aku melirik hakim keras. Bisa-bisanya Mayang samakan aku dengan slogan iklan. Mayang cengar-cengir salah tingkah dan sejurus kemudian dia meringis sambil memiringkan tugas sedikit.
***
Seperti pada umumnya, suasana kantin di jam istirahat pasti ramai. Aku dan Mayang lebih memilih tidak duduk di sana. Kami hanya akan membeli beberapa makanan dan minuman, tetapi memilih duduk di pinggir lapangan sekolah. Saat ini, aku sedang mencoba untuk melihat gambar-gambar kecil, sementara Mayang lagi asyik dengan makanannya.
Setelah selesai, aku menyapukan pensil warna dan sesekali sampai ke tengah tanah. Aku tahu Adnan sedang bermain bola bersama teman-di sana.
"Nggak akan ada badai kok, tapi gambarmu tetep bagus," kata Mayang sambil menyuapiku sepotong cilok.
Mulutku mengunyah konkret dan terdiam tidak berhubungan dengan Mayang. Mataku mencermati gambar yang kubuat. Memang benar, hari ini Cuaca sangat cerah. Namun, gambarku terlihat tidak seperti cermin. Aku mewarnai langitku lebih gelap jika akan turun hujan atau apa.
Mungkin aku tahu apa yang terjadi ini. Seorang cewek ala bawang putih yang sangat menyebalkan. Sekelas memasuki negara yang membuat saya sakit kepala. Membersihkan dia duduk tepat di depanku. Pemandangan benar-benar yang jelek dan gelap.
Aku menatap ke tengah lapangan lagi. Menangkap Adnan yang sedang menatapku. Kupikir begitu, tapi tidak. Semuanya hanya khayalan. Adnan menatap ... aku menoleh ke belakang. Terlihat Tania sedang berjalan. Langkahnya bergerak riang. Tidak peduli keberadaanku atau pun Mayang. Dia terus berjalan hingga berhadapan dengan Adnan. Aku memutar bola mataku. Sial!
"Oh, gebetannya Abang." Terdengar suara Mayang yang nikmat disambung dengan suara menyeruput minuman.
Aku menatap sengit ke dua makhluk yang ada di lapangan sana. Mereka terlihat sangat akrab. Saling lempar senyum, tertawa bahkan mungkin karena terlihat gerak-gerik si putih yang tersipu malu.
Aku marah. Teramat sangat. Refleks, aku terkait dengan pensil yang ada di tangan dan ajaibnya itu pensil bisa patah. Cukup sudah. Aku kehabisan buku foto, lepaskan semua alat gambarku, dan berderap pergi. Aku tidak menghiraukan Mayang yang memanggil-manggil namaku.
Jika ada yang mengira aku pergi ke sekolah untuk meraung-raung, meratapi diri sendiri yang begitu jelas, itu salah besar. Aku pergi menghampiri Adnan dan Tania, maka yang kulakukan adalah menumpahkan jus alpukat — yang aku sambar sebelumnya dari tangan Mayang — ke kepala Tania. Tentu saja secara sengaja.
Aku melihat semua anak di sekitarku terperangah. Tania megap-megap. Aku pura-pura kaget berat.
Membuang gelas plastik, aku menepuk sekali pundak Indah. "Busyet, panas banget, kan?" kataku kalem sambil mengipasi diri sendiri dengan tangan. "Tapi, kamu udah aku dinginin tuh. Kurang baik apa coba?"
Aku tersenyum mendengkus, menyibakkan rambut, dan menyesuaikannya, tapi mau terlihat elegan pergi begitu saja menuju kelas.
***
"Heran deh. Abang aku tuh pake jampi-jampi apa, kok manjur bener bikin kamu uring-uringan nggak jelas gini?"
Aku tidak memedulikan ucapan Mayang dan mengambar bunga di buku tulis khusus coretan.
"Dulu aja waktu Abang aku deketin kamu, kamu lari terbirit-birit tuh. Kamu bilang Abang aku sok narsislah, tampangnya nggak okelah, udiklah, kampunganlah. Sekarang? Kamu pasti kena pelet, Uyung."
Mayang mabuk!
Mungkin, ini yang disebut karma. Ah, bukan! Aku pernah membaca buku yang mengatakan dalam agama Islam tidak mengenal karma. Hanya ada pepatah manusia yazra 'yuhshud yang berarti siapa yang menanam, dia akan memetik.
Aku menghela napas panjang. Memang benar dulu aku membatasi Adnan, tetapi bukan berarti sekarang dia balik kebebasanku, bukan?
Saat ini, aku dan Mayang sudah berada di kelas. Aku duduk persis seperti supir yang sedang makan di warteg sambil mencoret-coret buku yang kasar dengan mulut mengerucut dan hati terlindas truk. Pecah berantakan.
"Nurul, salahku apa sama kamu?"
Tanganku berhenti bergerak. Kepalaku menoleh ke Mayang yang tergagap. Tanpa menoleh ke samping pun, aku tahu itu milik siapa. Cewek ala bawang putih.
"Lebih baik kamu pergi dari sini deh," ketusku tanpa menoleh ke cewek itu. "Aku lagi laki-laki ngeladenin kamu. Kamu itu hanya cew—"
Ucapanku tertahan karena Mayang membekap mulutku.
Mayang tertawa garing. "Nia, sori. Kayaknya Nurul sedang PMS."
Aku mendelik.
"Nia, sudahlah. Sebaiknya, kamu bersihin dulu tubuhmu."
Itu suara Adnan. Dengan kekuatan penuh, aku mencari tahu apa yang sedang terjadi Tania yang tampangnya suram banget. Mungkin, dia sakit hati atas perlakuanku. Ta-pi-si-a-pa-yang-pe-du-li.
Aku melepaskan bekapan Mayang.
"Kamu kenapa sih, Adnan? Kok kamu sebegitunya sama cewek lintah itu? Kamu pasti dipelet!" bentakku jadi saja.
Terdengar dengungan keras di penjuru kelas. Aku berdeham tidak peduli. Mata Tania berkaca-kaca siap menumpahkan air mata. Mayang bergumam lirih menyebut namaku terus-menerus seperti mantra, sementara Adnan menatapku tajam. Sudah mandi sekalian.
"Apa sih bagusnya dia lewat denganku?" Mataku naik turun tahu rendah Tania. "Dia kuno, lokasi nggak cantik dan pendek."
Aku mendengar suara tawa tertahan di sana-sini.
"Apa alasanmu sebegitunya dengan dia? Aku pikir kam—"
"Masih suka padamu? Bercanda, ya?" Adnan memilih muka yang lalu menatapku dingin. "Kamu nggak sebanding dengan Nia. Aksimu itu sok putri raja. Putri raja bahkan mungkin malu diibaratkan sama kamu."
Aduh, aku sakit hati!
Adnan membuka mulutnya sedikit mengucapkan sesuatu, tetapi urung karena Mayang membentaknya,
"BANG! ABANG TUH YA."
Jadi, begini akhirnya?
"Oh ... terus yang persis seperti putri raja itu cewek seperti itu?" Aku menunjuk Tania. Nada suaraku mencemooh. "Cih! Rendahan amat."
"Uyung ...," ucap Mayang sambil menempatkan lenganku gemas.
Aku tahu, memanas hingga suasana kelas menjadi hening sehening-heningnya.
Adnan cukur muka. Tak disangka dan terpisah, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja Tania tercium pipi Adnan.
Aku mendelik kaget. Sontak seisi kelas berhisteria tertahan. Adnan tersentak kaget, tubuh terlihat menengang, sementara Mayang, aku tidak tahu apa yang dia pasang. Mungkin melongo.
"Ini balesan atas tuduhan, perbuatan, dan hinaanmu yang nggak mendasar itu padaku," kata Tania tenang, setenang danau yang menenggelamkan.
Apa katanya?
Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat, mengangkat dagu tinggi-tinggi, berjalan, dan menabrak kasar bahu Tania hingga tubuh cewek itu menabrak meja di belakang dan terjatuh. Aku memilih benci yang meringis kesakitan, tertawa mendengkus lalu beralih ke Adnan yang menatapku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Teman-teman sekelasku bersorak sambil bertepuk tangan. Menyebut-nyebut namaku. Mereka terlihat menikmati acara ini.
Aku keluar kelas, masih mendengar Mayang yang tidak jelas di belakang karena suaranya harus bersaing dengan yang lain.
Di depan kelas, aku berhenti, menghirup oksigen sebanyak mungkin dengan rakusnya.
Berengsek!
Kalau saja waktu itu Adnan tidak melihatku yang dipukul Mama, aku tidak akan pernah melihatnya. Kalau saja Adnan tidak mengobati lukaku, aku tidak akan pernah merasakan perasaan hangat terhadapnya dan mulai memperhatikannya.
"Bereng—" Aku tidak umpatanku karena ada mata yang menatapku tajam. Mata milik Adnan.
"Selalu begini," ucapnya lirih.
Bayangan Tania yang mencekik Adnan terlintas. Mendadak hatiku panas. Aku memilih muka. Tidak mau menatap Adnan yang pipinya sudah tak suci lagi.
Adnan melepaskan tanganku. "Boleh jadi apa yang didengar atau dilihat itu nggak seperti yang dipikirkan. Jangan cepat memvonis apa yang belum tentu benar."
Apa katanya?
"Jadi? Kata-kata kamu tentang aku itu hanya opini omong kosong? Terus kamu sama Tania nggak ada hubungan?" tanyaku menatap Adnan.
"Kalau tentang kamu sih fakta. Aku dan Tania juga ada hubungan," jawab Adnan tersenyum bocah.
Hatiku tertusuk uang golok. Terluka, terkoyak, dan berdarah-darah.
"Oh," jawabku berupa bisikan sambil mengalihkan pandangan ke mana saja asalkan tidak untuk mata Adnan.
Koridor sepi. Itu aneh. Bel masuk saja belum berbunyi. Mataku menangkap beberapa anak yang sedang mengintip dari dalam jendela kelas. Saat mata kami bertemu mereka bersembunyi.
"Hubunganku dengan Tania bisa dibilang cukup manis. Kam—"
"Bisa diem nggak!" potongku, tidak bisa mengendalikan suaraku yang terdengar sangat terluka.
Cerdas , Nurul! cemoohku dalam hati.
Kali ini Adnan menyunggingkan senyum manis. "Oke."
Aku mengerang. Dasar tidak peka! Aku menghentakkan kaki, lalu melangkah. Namun, tiba-tiba saja Adnan menghadangku, membuatku terhenti.
"Kalo jadi cewekku bisa buatmu lebih baik, kenapa kita nggak pacaran aja?" kata Adnan kemudian.
Seketika tubuhku membeku. Detak jantungku bergemuruh. Kami saling bersitatap dalam diam untuk beberapa saat.
"Jadi, kamu mau nggak pacaran denganku?"
Kenyataan bahwa Adnan mengajak pacaran, membuatku tergagap saat akan menjawab. Aku sendiri tidak paham aku sedang bicara apa. Neraka, ya!
Adnan menatapku bingung sesaat, menghela napas, meraih tanganku dan menggenggamnya. "Aku anggap itu artinya kamu setuju."
Indonesia latarnya eiy.. Keruen..... Jarang lho...
Comment on chapter Satu