Botol dingin menyentuh kulit pipiku, membuatku terlonjak kaget. Keningku mengerut melihat Tania tersenyum dan menyodorkan softdrink kepadaku.
Antara percaya dan tidak, aku menerima softdrink itu dan berpikir si Bawang Putih bakal pergi setelahnya. Akan tetapi, dugaanku salah. Dia bukannya pergi malah duduk di sampingku. Kuulangi lagi, Tania duduk di sampingku, di bangku kayu dekat tanaman bunga kertas. Sebentar lagi pasti hujan turun dengan lebat di musim kemarau ini.
"Kenapa sih kamu tuh kalau liat aku bisa penuh permusuhan gitu?" tanya Tania kepadaku.
Aku mendengkus kasar seraya menyimpan softdrink di tas ransel.
"Gara-gara Adnan?" tanya Tania lagi.
Jangan sebut nama terkutuk itu! raungku dalam hati. Nanti move on-ku gagal dua bulan ini.
"Ngapain kamu di sini?" Aku membuka suara ketika Tania akan bersuara lagi.
"Nemenin orang patah hati," jawab Tania enteng. "Takutnya dia bunuh diri. Kamu nggak akan bunuh diri, 'kan?
"Taik," umpatku lirih yang masih bisa didengar Tania.
Tania tertawa keras. Dia merangkul pundakku sok akrab. Namun, aku segera menepisnya dan menduga bahwa Tania sedang kerasukan roh. Apalagi, sore sudah menggantung di atas langit. Kata orang, sore-sore seperti ini, makhluk halus banyak yang keluar. Aku sih tidak percaya, tetapi melihat Tania seperti ini, sepertinya aku harus percaya.
"Adnan, tega juga, ya?" kata Tania yang malas kutanggapi.
Tania menatapku. "Tapi, biar dia tega, dia pernah cinta sama aku."
"Apaan sih?" kataku kesal.
Tania menyengir tanpa dosa. Aku menatapnya aneh, pasti ada syarafnya yang putus. Pandanganku mengedar ke sekeliling. Sekolah sudah sepi dan aku masih di sini. Duduk bersama orang aneh yang pernah membuat hatiku panas.
"Aneh nggak sih kita berduaan, padahal pernah musuhan?" tanyaku yang langsung kusesali. "Nggak usah dijawab. Diem aja diem."
"Kamu anggap aku musuh?" Tania tidak mengubris laranganku.
Aku malas menjawab.
"Sekarang masih?" Tania bersuara lagi.
"Oh jelas!" jawabku pada akhirnya, berharap dia bungkam.
Tania berdecak. "Nggak bisa dipercaya."
"Kamu nggak patah hati? Nggak marah?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
Kening Tania mengerut. "Sama?"
"Ng ...."
"Adnan?" tebak Tania tepat sekali.
Aku diam.
"Ya, nggaklah," ucap Tania, lalu tertawa sendiri.
Aku memasang wajah penasaran. "Kok?"
"Siapa juga yang cinta sama dia?" kata Tania, memutar bola matanya.
Kali ini keningku mengerut heran.
Tania memicingkan mata dan bersedekap. "Bukannya kamu udah tahu kalau aku hanya main-main dan Adnan cintanya sama kamu?"
"Hah?"
Tania membuat pengakuan dengan berapi-api. Dia mengaku tidak pernah mencintai Adnan. Dari jaman SMP tidak ada kisah apa-apa antara dirinya dengan Adnan. Kisah Adnan yang naksir dirinya sudah selesai sampai di situ. Kemarin-kemarin Tania hanya mau main-main setelah melihat kelakuanku yang mirip dengannya dulu (ngepepet cowok yang ditaksir) dengan memanfaatkan Adnan yang pernah naksir padanya.
Saat hari aku membanting Tania, gadis itu bilang, Adnan mencintaiku dan menolak ajakan Tania untuk memulainya dari awal. Saat itu, tujuan Tania baik. Katanya, dia ingin berdamai dengan cara membuat status dia dan Adnan jelas. Tania tahu aku berada di semak-semak bersama Mayang garis miring menguping. Yang membuat Tania heran, seharusnya aku senang mendengar pengakuan Adnan, tetapi kenapa aku malah membantingnya dan masih memusuhinya? Tania juga menambahkan, seharusnya aku merasa bersyukur karena cowok yang dicinta balik mencintaiku. Bukan sepertinya yang mengunduh kesakitan, tetapi masih mencintainya.
Aku meringis mendengarnya dan kuanggap angin lalu karena semuanya tidak ada artinya lagi.
"Aku jadi nyesel pernah main-main sama kamu," kata Tania setelah bercerita panjang, lalu menghela napas panjang penuh dramatis.
"Kenapa?"
"Soalnya pernah dibanting!" seru Tania tepat di wajahku. "Gila parah sumpah! Badanku sampai sakit-sakit semua!"
"Idih, dasar lemah," olokku.
Tania mendesis jengkel. Setelah itu, kami terdiam lama.
"Tahu nggak kenapa senja menyenangkan?" tanya Tania begitu aku berdiri seraya mencangklongkan tas di salah satu pundak, berniat pulang.
Aku tidak menjawab karena tak tahu mau menanggapi apa. Yang kulakukan hanya menatap Tania dengan satu alis meninggi.
"Kadang dia merah merekah bahagia. Kadang dia hitam gelap berduka," kata Tania tersenyum tipis. "Meski begitu, langit selalu menerima senja apa adanya."
Aku terdiam. Lagi-lagi tak tahu mau menanggapi apa.
Tania tersenyum lebar. "Semangat, Nurul."
Untuk sesaat aku terharu. Namun, untuk menutupi rasa itu, aku berdeham, mengibaskan tangan, dan berkata, "Ya ya ya, terserah kamu sajalah."
Ponselku berbunyi singkat. Tanda ada pesan masuk. Aku mengambil ponsel di saku kemeja batik dan mengeceknya. Ternyata pesan dari Alfa yang mengatakan dia sudah berada di gerbang sekolah.
Aku mengenggam ponsel dan berjalan menuju gerbang, meninggalkan Tania yang berteriak, "Kita temen, 'kan?"
"Bodo amat, njir!" jawabku tanpa menoleh.
"Yak! Aku nggak ada apa-apa sama Adnan. Woi, Nurul!"
Tanpa sepengetahuan Tania, aku tersenyum lebar mendengar ucapannya.
***
"Nggak ketemuan sama si Kutu, 'kan?"
Aku merengut mendengar tuduhan Alfa yang sedang duduk di atas motor. Kutu yang dimaksud kakakku itu adalah Adnan.
"Awas aja kalo berani. Kakak bakal kunciin kamu di kamar mandi," ancam Alfa sungguh-sungguh.
Aku tidak menjawab, memilih langsung duduk di belakang Alfa. Kakakku menstarter motor dan menjalankannya dengan kecepatan sedang.
Dari Citra, Alfa tahu apa yang sudah diperbuat Adnan padaku. Kakakku itu murka sampai-sampai membuat Adnan babak belur.
Sebulan sesudah aku putus dengan Adnan, Adnan putus dengan Citra. Aku tidak tahu alasan kenapa mereka putus dan tidak mau tahu juga. Sebisa mungkin aku memblokir informasi tentang Adnan dan tidak beredar di sekitarnya lagi karena terlalu menyakitkan hanya dengan melihat wajahnya saja.
Putusnya hubungan percintaanku dengan Adnan, membuat persahabatanku dengan Mayang putus juga. Walaupun secara sepihak. Mayang menjauhiku dan tidak lagi duduk semeja denganku. Semakin gencar usahaku mencoba mendekatinya, Mayang akan menghindariku sekuat tenaga. Jujur, ini menyedihkan. Kami sudah berjanji akan tetap bersahabat meskipun hubunganku dan Adnan tidak berhasil. Akan tetapi, Mayang mengingkari.
Mayang menjauh, Tania mendekat dengan cara yang menyebalkan. Dia sering menanyakan 'apakah aku mau bunuh diri?' lalu memberiku makanan atau minuman yang tak bisa kutolak karena Tania selalu punya cara agar aku menerima pemberiannya. Entah disimpan di kolong meja atau dimasukkan ke dalam tas tanpa sepengetahuanku.
Sementara Azka, dia masih sering mengungkapkan perasaannya meski dalam bentuk candaan yang berkali-kali kutolak. Meski demikian, Azka akan datang kembali kepadaku. Dia tidak berubah. Tidak pergi. Kami sering melakukan hal-hal menyenangkan bersama. Seperti jalan-jalan mengeksplore kota Kuningan. Tidak hanya berdua. Terkadang Feri dilibatkan di dalamnya. Pacar Feri juga sering ikut karena masih berpikir aku bakal ada sesuatu dengan Feri.
"Jadi, gimana? Ketemu nggak sama si Kutu?" tanya Alfa sedikit kesal.
"Nggak."
"Terus kenapa pulangnya sore banget begini?" tanya Alfa penasaran.
"Kena hukuman," jawabku lesu.
"Sama?"
"Bu Ngadiatmi," jawabku kesal.
"Kenapa?"
Aku menghela napas panjang. "Tidur pas pelajaran beliau."
"Makanya jangan bergadang! Jangan mikirin terus orang yang udah pergi. Nggak ada artinya. Nggak ada gunanya. Buang-buang waktu, tenaga. Alias Sia-sia. Toh, nggak ada jaminan dia mikirin kamu balik," kata Alfa menancap di hati.
"Siapa yang mikirin?" sahutku sengit, menutupi kebenaran dari ucapannya.
"Kamu."
"Sok tahu," jawabku.
"Belajar yang bener. Lulus dulu. Gapai cita-cita dulu. Nggak usah pacaran, ribet," kata Alfa.
Aku terdiam. Tidak tahu mau menanggapi apa.
"Contoh nih Kakak, nggak pernah pacaran," kata Alfa lagi.
Diam-diam aku mencibir di punggungnya.
Tahu kenapa?" tanya Alfa kemudian.
Karena nggak laku, kan? tebakku dalam hati.
Aku menggeleng, meski Alfa tidak melihatku. "Nggak."
"Supaya bisa kamu tiru," jawab Alfa, membuatku kaget seketika. "Kakak udah berusaha menjadi Kakak yang baik, meski nyebelin di mata kamu."
Aku memegang pinggiran kaus yang Alfa kenakan. Perasaanku menjadi tak keruan. Aku merasa bahwa aku memang mempunyai seorang kakak.
"Kamu itu adikku satu-satunya. Kakak sayang banget sama kamu. Nggak mau kamu disakiti sama orang yang nggak lama dikenal. Ibu, Bapak juga bakal sedih kalau mereka tahu. Jadi, nggak usah mikirin dia lagi. Jangan deket-deket lagi sama si Kutu. Nanti Kakak bisa khilaf, Nurul," aku Alfa lembut.
Tanpa kata, aku memeluk Alfa erat, lalu menyandarkan kepala pada punggungnya yang tegap. Walau Alfa sering mengusiliku, ternyata dia menyayangiku. Ingin menjaga dan melindungiku.
Mendengar pengakuan Alfa, mendadak perasaanku menghangat. Aku terharu karena tak menyangka dia bakal terbuka kepadaku.
"Aku nggak akan deket-deket lagi sama Adnan. Kalau untuk nggak mikirin dia lagi, kasih aku waktu, Kak. Someday, aku bisa mengingatnya tanpa rasa sakit. Aku janji, bakal belajar yang bener, lulus dengan nilai baik, akan mengejar cita-citaku sampai tergapai, dan aku juga sayang Kakak," cerocosku dengan suara serak. Sebab, air mata sudah mengenang di pelupuk mata.
"Baguslah. Kakak pegang janji kamu."
Aku mengangguk mantap. Aku yakin tidak akan menjadi anak yang mengecewakan orangtua dan kakak. Memang, nilaiku pas-pasan. Namun, sekarang aku akan berusaha untuk mendapatkan yang lebih memuaskan.
"Lupakan dan lepaskan. Jadilah pribadi yang lebih baik dari sekarang."
Aku mengangguk lagi. Bertekad merelakannya pelan-pelan. Saat ini aku masih belum bisa melupakan Adnan meskipun sudah putus. Cintaku kepadanya tak lantas berakhir hanya karena status kami berubah. Cintaku belum bisa berhenti karena hati sudah memilih. Sampai kapan? Aku tak tahu. Yang kutahu, aku harus bertahan. Tidak berlarut-larut dalam kesedihan.
Sedih dan bahagia adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Seperti roda yang berputar, aku akan menjemput bahagiaku sekarang. Walaupun tidak semua keinginan dalam hidup ini bisa terpenuhi sesuai dengan yang diinginkan. Aku akan terus berusaha dan berdoa.
Semua ada jalannya. Jalannya pun berbeda. Dalam waktu yang berbeda pula. Tidak selamanya langit itu gelap. Akan ada pelangi setelah hujan reda. Aku yakin waktu akan menjawab semuanya.
TAMAT
Indonesia latarnya eiy.. Keruen..... Jarang lho...
Comment on chapter Satu