Jakarta, 14 April 2015.
-Gue tidur? rasanya selalu ada yang nunggu gue bangun.
Selain keluarga dan sahabat.
Gue rasa ada seseorang yang lebih penting yang nunggu gue bangun.
Seseorang yang, membuat gue yakin kalo gue bakal bangun.
Seseorang yang, menghangatkan, mungkin.-
Sudah hampir 2 minggu sejak kejadian kecelakaan yang menimpa Retta di hari ulang tahunnya. Ibu Retta belum pernah pulang ke rumah sejak hari pertama Retta masuk rumah sakit ini, ia ingin menjadi orang pertama yang melihat putrinya sadar dari koma. Ayah dan Una sudah mencoba membujuknya untuk beristirahat di rumah, tetap saja tidak bisa. Bagaimanapun juga Retta adalah anak satu-satunya.
Dokter bilang, Retta mengalami sedikit benturan di kepalanya. Untungnya tidak sampai berakibat fatal, hanya saja kemungkinan Retta mengalami trauma sehingga ia belum juga sadar selama 12 hari ini.
“Ibu tidur aja ya, biar Una yang gantiin jaga Retta.” Ucap Una kepada bu Ratih-ibunda Retta-saat datang menjenguk.
Bu Ratih tidak menjawab, ia hanya mengangguk pasrah, dengan wajah lelah ia berjalan menuju sofa dan mulai berbaring. Una tidak tega melihat keadaan ibu dari sahabatnya itu. begitupun dengan ayah Retta. Una pernah memergoki ayah Retta sedang menangis sambil memeluk tubuh Retta yang masih saja terdiam.
Una memalingkan wajahnya ke arah Retta yang masih saja menutup matanya, “Re, lo bangun dong…gue kesepian di sekolah,” Una tidak tahu apakah Retta bisa mendengar atau tidak, ia hanya berharap sahabatnya itu cepat sadar. “Re, lo tau gak? Gue udah jadian loh sama Kevin, nanti gue traktir lo asalkan lo bangun ya...maaf, harusnya waktu itu gue gak ninggalin lo sendirian, harusnya gue-“ ucapan Una tertahan, ia tak kuat menahan tangisnya dan berlari keluar kamar, takut apabila suara tangisnya mengganggu tidurnya bu Ratih.
Una terduduk di kursi depan kamar inap Retta dan menangis. Retta bukan satu-satunya sahabat yang ia punya, hanya saja Retta sudah seperti keluarga.
Tepat saat Una keluar, seseorang di dalam sana mengambil alih situasi. Ia menggenggam tangan Retta, dan berbisik-
“Retta, semua orang kangen sama lo, semua orang butuh lo di sini,” ada jeda diantara ucapannya, “termasuk gue, gue butuh lo re…walaupun kalo tidur gini, lo keliatan lebih manis.” Ia tersenyum sendiri menyadari apa yang baru saja ia ucapkan tepat di telinga Retta.
“Re, bangun ya, gue nunggu.” Ucapnya sekali lagi.
Tepat setelah kata-kata ajaib itu diucapkan, jari tangan Retta mulai bergerak, bola matanya mulai bergerak seperti bersiap untuk menyesuaikan diri dari cahaya yang akan menerjangnya. Dan anehnya, bibirnya seperti ingin tersenyum, namun tertahan oleh rasa tak perdaya karena terlalu lemah. Sampai akhirnya, mata itu benar-benar terbuka, dan mengerjap, menyesuaikan dengan cahaya.
“Selamat pagi, manis.” Samar-samar Retta mendengar seseorang berbicara, orang yang saat ini berada di sampingnya dan menggenggam tangannya ini. Retta ingin tahu ia siapa, namun sepertinya otak Retta masih belum bisa diajak berpikir keras.
Retta kembali menutup matanya, mencoba untuk mengumpulkan beberapa kekuatan untuk benar-benar tersadar. Dan saat matanya kembali terbuka, Orang itu sudah tidak ada. Hanya ada Una yang saat ini memandangnya dengan mata membulat sempurna, kemudian berlari keluar ruangan.
“DOKTER….SUSTER….RETTA UDAH SADAR!!!”
Samar-samar Retta mendengar teriakan Una. Kemudian mendapati dirinya dipeluk oleh ibu. Orang yang selama ini menunggunya terbangun. Dan samar-samar Retta kembali mendengar suara itu.
“Gue seneng liat lo bangun, tambah manis.”
***