Sudah hampir seminggu Retta melewati hari dengan rasa takut. Mungkin benturan dikepalanya membuat Retta merasa takut di dalam kegelapan, dan saat dalam ruangan sepi. Bahkan sudah dua hari ini ia meminta Una menginap di rumahnya. Untungnya Una mau menemaninya.
Seperti beberapa hari yang lalu contohnya, Retta tiba-tiba terbangun pada jam dua malam ketika ia merasa ada seseorang yang memandanginya tidur. Tapi tentu saja tidak ada siapa-siapa di dalam kamarnya. Bahkan Retta selalu menyalakan TV di kamarnya setiap malam, agar dirinya tidak merasa sendirian saat tidur. Selain itu Retta juga sering mendengar suara-suara barang jatuh. Seperti malam kemaren, saat Una sudah tertidur tiba-tiba saja pengharum ruangan di kamar Retta terjatuh, tidak ada angin, tidak ada hewan. Retta lelah dengan ini semua, ibu dan ayahnya hanya menasihatinya agar rajin ibadah, mungkin benar karena Retta kurang dalam hal ibadah sehingga pikirannya menjadi penuh halusinasi seperti ini.
Retta tidak pernah mau sendirian di satu ruangan, bahkan saat mandi pun ia membawa musik box, agar tidak merasa sepi. Di sekolah pun seperti itu. Seperti sekarang, Retta meminta Una menemaninya ke perpustakaan untuk mencari buku referensi tugas pelajaran biologi.
“Na, kok perpusnya sepi gini ya?” tanya Retta.
“Sepi gimana? Banyak orang gini,” jawab Una sampai melihat sekeliling kebingungan.
“Maksud gue kok gak rame gitu.”
“Emangnya lo datang ke acara musik harus rame? hahaha.”
“Una lo jangan jauh-jauh dari gue ya.”
“Iya iya bawel, buruan cari bukunya.”
Retta menyusuri perpustakan mencari buku yang ia butuhkan, dengan Una yang setia mengikutinya di belakang sambil memainkan handphone nya, maklum, Una sedang kasmaran.
Akhirnya Retta menemukan buku yang ia cari, saat Retta mengambil buku tersebut, ia melihat seorang laki-laki di sisi lain dari rak buku itu, sedang menatapnya, tepat saat buku yang Retta dibawa dan meninggalkan celah yang menjadi pemisah antara Retta dan laki-laki itu. Retta tertegun, seperti pernah melihat laki-laki itu, tapi siapa? Mengapa ia terus melihat ke arah Retta? Apa ia menginginkan buku yang tadi Retta ambil?
“Emmm lo mau minjem buku ini?” tanya Retta memulai pembicaraan dengan sedikit mengintip karena celah antara mereka hanya setebal buku biologi yang Retta bawa. Diam. Tidak ada jawaban, laki-laki itu tetap menatap lurus ke arah Retta. Sejujurnya Retta merasa takut. “Kalo lo mau boleh ko lo pinjem, gue bisa nyari yang lain.”
Una menoleh ke arah Retta, “lo ngomong sama siapa?”
Retta spontan menoleh ke arah Una, “sama laki-laki ini,” jawab Retta sambil menunjuk ke celah yang ada. Una ikut mnegintip namun tidak ada siapa-siapa.
“Laki-laki mana?”
Retta ikut mengintip, tidak ada siapa-siapa di sana. “Tadi ada laki-laki ngeliatin gue dari sana, kayanya dia mau minjem buku ini tapi keburu dibawa sama gue.”
“Trus sekarang orangnya kemana?”
Retta hanya mengangkat bahu.
“Yaudah deh, lo udah nemu bukunya?” Retta mengangguk sambil mengacungkan buku yang ia ambil, “nanti gua minjem ya udah lo,” ucap Una, “Yu pulang!”
Retta mengikuti Una berjalan menuju meja untuk mendata buku yang akan ia pinjam, sesekali ia melihat sekeliling untuk mencari laki-laki tadi, namun tidak ada. Retta takut saat melihatnya, auranya beda, hanya saja tatapannya menenangkan, dan Retta ingin bertemu lagi dengannya.
Laki-laki itu memandang Retta dari balik rak buku, bersembunyi, ia selalu bersembunyi. “Waktunya belum pas,” pikirnya.
***