Setelah lebih dari dua minggu akhirnya gue pulang ke rumah sehari sebelum tepat tiga minggu gue berada di rumah sakit. Nggak seperti biasanya si Vita kelihatan seneng banget melihat gue pulang ke rumah, tapi gue nggak mau berpikir jelek sama si Vita walaupun Vita sendiri bilang kalo dia seneng gue pulang ke rumah dan udah sehat karena akan ada yang selalu mengantar dan menjemputnya ke sekolah. Haaa dari dulu adik gue emang kayak gitu, selalu punya alasan buat jagain Kakaknya supaya nggak ada cewek-cewek yang mengganggu termasuk sahabat dekatnya, si Nilam.
Karena badan gue masih lemas dan kata Dokter nggak boleh banyak gerak, juga banyak pikiran jadinya pagi ini gue cuma menghirup udara segar di teras rumah, setelah itu gue masuk dan banyak nonton tv. Sejenak gue mengamati suasana rumah ini yang sepi banget, trus gue melihat jam yang nempel di dinding. Rasanya gue bosen di rumah terus, sendiri lagi...sendiri lagi...dan giliran ada temen, ketemunya Mang Encep lagi...Mang Encep lagi...yang selalu sibuk beres-beres rumah.
Nggak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu. Terlihat Mang Encep mau melihat ke depan, tapi gue bilang kalo gue yang akan menemui tamu yang datang. Mendadak senyum di wajah gue mengembang saat melihat tamu yang datang, ternyata si Aldo. Subhanallah...ternyata Allah mengabulkan doa gue, sahabat pertama gue datang juga. Setelah itu kita berdua ngobrol di kursi teras.
“Eh Deni, jadi lo sakit beneran? Gue kira bohongan.” Tanya Aldo.
Sejenak gue menghela nafas, trus menjawab tegas “Gue emang nggak sakit, tapi gue juga nggak bohong.”
“Maksud lo gimana sih? Katanya nggak sakit, tapi lo bilang nggak bohong. Wah jangan-jangan lo kehilangan daya cerna pikiran lo ya? Jadi nggak bisa nangkep maksud pertanyaan gue.” Suara Aldo nggak kalah tegas dari gue.
Gue nggak menjawab, tapi jadi sedikit manyun soalnya gue jadi ingat kesedihan di hati gue. Hingga mendadak wajah gue jadi terasa sendu. Dengan berat terdengar Aldo menghela nafas, trus menepuk-nepuk pundak gue.
Aldo bilang pelan “Gue udah tahu kalo lo....”
“Gue nggak apa-apa, gue cuma...” Gue memotong.
“Cuma sedih? Deni, jangan terus-terusan sedih. Lo pasti pernah denger kalo sedih yang berlebihan itu setan paling seneng, soalnya setan-setan pasti pingin elo putus asa dan jauh dari mengingat Allah yang memberi kekuatan dan yang selalu memberi harapan yang pasti untuk hamba-Nya. Jadi lo nggak boleh terus-terusan sedih kayak gini, yakin aja Allah udah menyiapkan jodoh buat elo. Dan terpaksa atau enggak, lo pasti bakal jatuh cinta sama jodoh lo nanti yang belum elo tahu.” Aldo memotong agak tegas.
Kening gue cepat merapat nih, soalnya baru kali ini Aldo ngomong bagus dan berarti banget. Hmm gue jadi curiga! Jangan-jangan yang ada di samping gue ini bukan Aldo, tapi malaikat yang menyamar jadi Aldo, yang mengingatkan gue supaya jangan putus asa dalam hidup karena masalah cinta ditolak atau lamaran ditolak. Juga mengingatkan gue jangan terus-terusan meratapi kesedihan dan jangan memikirkan cewek yang udah mau menikah atau udah menikah, karena Allah nggak suka dan itu dosa! Hmm dugaan gue semakin kuat nih, saat gue juga baru ingat kalo Aldo bakal pulang ke Jakarta dari tempat perantauannya seminggu sebelum bulan puasa. Nah ini kan belum mau bulan puasa, malah masih ada tiga bulanan lagi sebelum bulan puasa, kok Aldo malah pulang sih.
Sejenak gue menoleh dan meneliti wajah Aldo dengan seksama, membuat Aldo semakin heran sama gue.
“Eh Deni, kenapa lihat-lihat gue kayak gitu? Gue bukan jeruk dan masih normal!” Kata Aldo sambil melihat gue.
Gue nggak menjawab, tapi lebih mendekatkan kedua mata gue pada wajah Aldo, kemudian meneliti. Hingga akhirnya pelan gue manggut-manggut tanpa mengalihkan pandangan gue dari Aldo. Eh ternyata membuat Aldo malah terlihat semakin ketakutan, trus bilang “Den, kayaknya lo masih sakit deh dan harus banyak istirahat. Emm gue pulang dulu ya, jangan minum obat atau vitamin biar cepet sembuh.”
Aldo cepat bangkit, trus berjalan tergesa keluar pagar rumah, meninggalkan gue yang masih teliti memandang Aldo. Setelah menghidupkan motor bebek tahun 1975 warna biru tua, Aldo langsung cabut.
“Tuhkan Aldo maen pergi-pergi aja, udah ngilang aja, nggak kayak biasanya. Hmm jangan-jangan...”
“Tin tin....tin..” Suara klakson motor keras di depan rumah.
Setelah itu seorang laki-laki yang masih memakai helem warna orange berjalan mendekati pintu pagar, trus memandang gue sambil memukul-mukul pagar besi dengan bolpoin “Tek, tek, tek, tek”, menyusul suara “Pos...”
Dengan lemas gue menoleh dan melihat Pak pos yang bediri di depan pagar besi sambil menunjukkan surat dalam amplop putih. Dengan lemas juga gue bangkit berdiri dan berjalan menghampiri Pak Pos. Tanpa bertanya dan membaca surat termasuk kertas serah terima gue langsung tandatangan. Setelah itu gue menerima surat yang terbungkus rapat dalam amplop putih, tapi gue nggak membaca tulisan di depan amplop. Dengan lemas gue langsung balik badan dan berjalan lemas, lalu kembali duduk di kursi teras dan meletakkan surat di meja di samping kursi di dekat tanaman dalam pot.
“Tek tek tek.” Suara seseorang memukul pintu pagar.
Sejenak gue menghembuskan nafas, trus meneliti seseorang yang berdiri di depan pagar rumah, yang ternyata nggak gue kenal wajahnya apalagi namanya.
“Maaf Dek benar ini rumah Pak Sumantri?” Tanya laki-laki yang wajahnya lebih dewasa dari gue.
“Iya benar.” Jawab gue agak keras, trus berdiri.
“Ada undangan untuk Pak Sumantri.” Kata laki-laki itu sambil menunjukkan surat undangan warna putih.
Lemas gue berjalan menghampiri laki-laki itu di depan pagar besi rumah ini, trus menerima kartu undangan yang ternyata undangan pernikahan dari Doker Meyda. Setelah menerima udangan gue cepat balik badan dan tergesa masuk ke dalam rumah, tapi sejenak gue berhenti di tengah-tengah pintu rumah. Gue balik badan lagi, trus meletakkan undangan di atas surat tadi di meja teras, nggak lupa gue tindih sama pot bunga supaya undangan dan suratnya nggak terbang sama angin, nggak seperti cinta gue yang terbang dari hati Dokter Meyda.
Setelah itu gue tergesa masuk dan naik tangga, trus cepat masuk kamar dan menjatuhkan tubuh di kasur. Sedih banget hati ini hingga gue kembali menangis untuk kesekian kali.
“Ya Allah gue...kenapa gue selalu gagal Ya Allah? Hidup gue gagal, mulai dari kerjaan, naskah novel, trus cinta. Semuanya nggak ada yang berhasil, apa salah kalo gue menangisi hidup gue?” Ucap gue sambil menangis keras.
***
Azan maghrib hari ini akhirnya berkumandang indah dan menghiasi langit menjelang petang ini. Nggak seperti biasanya gue masih lemas terbaring di kasur, seolah nggak hirau sama suara azan yang selalu gue nanti kedatangannya. Nggak lama kemudian pintu kamar gue terbuka, setelah itu Nyokap duduk di tepi kasur di dekat gue.
Dengan ketus gue mendahului perkataan Nyokap “Deni tahu Ibu pasti mau nyuruh Deni ke masjid. Deni mau sholat di rumah aja, nggak mau ke masjid.”
Sejenak Nyokap menghela nafas, trus dengan santai bilang “Ooo ya udah kalau nggak mau ke masjid, nggak apa-apa.”
Setelah itu Nyokap bangkit berdiri, sedangkan gue malah terkejut mendengar jawaban santai dari Nyokap, nggak seperti biasanya yang selalu tegas menyuruh anak-anaknya ke masjid. Sebelum Nyokap melangkah gue cepat bangkit duduk di kasur dan bertanya pada Nyokap “Bu, kenapa...”
Nyokap balik badan, trus memotong perkataan gue dengan bilang “Kamu udah gede kan? Kalau udah gede berarti udah tahu mana yang baik dan mana yang buruk untuk kamu. Kalau menurut kamu nggak sholat ke masjid dan mendapat dosa dari Allah itu baik, ya udah Ibu nggak akan ikut campur. Toh semua dosa dan pahala kamu itu kembali ke diri kamu, untuk bekal kamu menghadap Allah.”
Sambil manyun gue langsung membatu dengan kening merapat. Nggak lama kemudian perlahan Nyokap kembali duduk di tepi kasur, trus tersenyum memandang gue. Pelan Nyokap bilang “Deni, Ibu minta maaf.”
Sejenak Nyokap menghela nafas, kemudian melanjutkan “Ibu minta maaf karena terlalu khawatir sama kamu, sampai Ibu lupa anak kecil Ibu yang sela...”
“Selalu Ibu gendong, selalu Ibu antar ke sekolah, selalu Ibu antar ke rumah sakit, nemenin main dan jagain Deni.” Gue memotong.
Terdengar berat Nyokap menarik nafas, trus mengeluarkannya perlahan. Setelah itu Nyokap tersenyum dan bilang dengan kedua mata berkaca-kaca “Iya, sekarang anak Ibu udah bujang, udah gede, tapi Ibu nggak sadar dan masih menganggap kamu anak kecil Ibu yang sangat Ibu sayang, yang sangat Ibu perhatikan, dan yang sangat Ibu lindungi.”
Nggak lama kemudian air mata jatuh dua tetes dari mata Ibu. Sejenak Ibu menghela nafas dan mengedipkan mata, mungkin untuk menahan air mata yang udah berkumpul di kantung matanya. Tiba-tiba aja gue sedih banget melihat Nyokap menangis, bahkan rasanya lebih sedih dari kehilangan Dokter Meyda. Nggak lama abis itu gue pun ikut meneteskan air mata dan menangis dipelukan Nyokap.
“Deni ngerti maksud Ibu, Deni yang salah dan harusnya Deni yang minta maaf sama Ibu. Maafkan Deni yang udah nggak patuh lagi sama Ibu. Deni janji nggak akan males lagi ke masjid dan patuh sama Allah. ” Ucap gue sambil menangis.
Dengan lembut Nyokap mengelus-elus rambut gue, sementara gue masih menangis, tapi bukan karena sedih kehilangan Dokter Meyda. Gue menangis karena gue mengerti kalo Nyokap pingin gue jadi anak soleh yang di sayang Allah, supaya gue bisa menjadi harta atau bekal buat Nyokap saat seluruh manusia di hadapkan pada Tuhan Semesta Alam.
Akhirnya petang ini gue sholat maghrib di dalam kamar, karena udah telat ikut sholat berjamaah di masjid. Walaupun masih sedikit sedih kalo gue kembali mengingat yang terjadi sama cinta gue, tapi perlahan gue udah bisa lebih ikhlas dan sabar menerima ujian dari Allah. Sepulang sholat isya berjamaah di masjid bersama Bokap dan Mang Encep, gue cepat turun ke lantai satu dan duduk di depan meja makan. Sebenarnya acara makan malam di keluarga gue itu setelah sholat maghrib, tapi malam ini di undur karena Bokap di undang Pak RT untuk rapat membahas pergantian RT/RW yang masa jabatannya akan berakhir, jadi Bokap nggak bisa ikut makan malam.
Setelah semua orang lengkap di depan meja makan, Bokap segera memimpin doa. Abis itu seperti biasa kegiatan ambil nasi selalu dimulai dari Nykap yang mengambilkan nasi untuk Bokap, setelah itu...ternyata Nyokap juga mengambilkan nasi untuk gue dan Vita. Hmm harum banget nih masakannya Mang Encep malam ini, bahkan kayaknya lebih harum dan sedap sejak malam ini deh. Eee mungkin karena gue baru selara makan dan baru pulang dari pelarian gue di rumah sakit.
Terlihat Mang Encep menghampiri Bokap sambil membawa dua surat. Sedikit terkejut gue ingat kalo tadi pagi gue yang menerima dua surat itu. Dalam hati gue bilang “Astaghfirullah haladziim, gue lupa nggak menyampaikan surat pada Bokap.”
Gue cepat bilang Bokap kalo tadi pagi gue yang menerima surat-surat itu, tapi gue taruh di meja teras. Tanpa ekspresi Bokap cuma manggut-manggut dan sejenak melihat surat di samping gelas, setelah itu Bokap melanjutkan makan.
Selesai makan Bokap langsung membuka surat pertama dan membacanya. Sementara Nyokap sama Vita masih melanjutkan makan, dan gue tiba-tiba aja jadi lemas saat mengingat satu dari dua surat itu adalah surat undangan pernikahan Dokter Meyda.
Selesai membaca surat pertama Bokap menghela nafas, trus melipat surat dan bilang “Bu, kita di undang di acara pernikahannya Dokter Meyda.”
Mendadak gue membatu, kembali sedih dan teriris lagi hati gue. Sejenak gue menghela nafas dan mengedipkan kedua mata, mencoba untuk ikhlas.
“Dan kamu Deni. Kamu siap-siap dari sekarang.” Suara Bokap tegas sembari tegas juga memandang gue.
“Siap-siap?” Gue mengulang heran. Nggak lama kemudian otak gue cepat menangkap maksud perkataan Bokap “Siap-siap.” Apa mungkin Bokap mau menjodohkan gue setelah Dokter Meyda menikah? Atau apa mungkin Bokap pingin gue jadi pagar bagus di acara pernikahannya Dokter Meyda?
“Astaghfirullah haladziim...nggak salah nih?” Ucap gue dalam hati sambil bengong.
“Eh Deni, kenapa? Kamu mau nangis lagi? Biar diketawain sama Vita kalo kamu sering nangis gara-gara patah hati. Nggak gentle itu, jangan cemen dong.” Suara Bokap tinggi.
“Ha! Jadi Kak Deni nangis?” Tanya Vita keras karena kaget sambil melihat gue.
Gue nggak menjawab dan langsung memasang wajah galak sama si Vita, soalnya gue nggak mau si Vita percaya omongannya Bokap, walaupun sebenarnya benar sih gue emang nggak berhenti menangis saat tahu Dokter Meyda nggak menerima cinta dan lamaran gue.
“Udah-udah, Pak jangan bilang gitu. Walaupun kemarin Deni sedih, tapi Deni nggak nangis kok. Itu karena Deni udah gede dan nggak pakai popok lagi.” Sahut Nyokap. Alhamdulillah...gue lega banget Nyokap ternyata menutupi kekurangan anaknya yang masih suka menangis walaupun udah gede dan nggak pakai popok lagi.
“Ooo gitu ya Bu...hmm kayaknya Bapak nih yang salah, asal nuduh.” Ucap Vita dan ujung perkataan Vita memandang Bokap.
Mendadak wajah Bokap terlihat lemas dan nggak membalas, lalu sejenak menggelengkan kepala. Setelah itu sejenak Bokap membaca tulisan di sampul depan amplop surat kedua, tapi mendadak kening Bokap berkerut rapat, trus tegas memandang gue yang sedang makan. Setelah itu Bokap cepat kembali membaca tulisan di sampul depan amplop surat kedua, lalu Bokap kembali memandang tegas pada gue.
“Deni, ini surat buat kamu. Kenapa nggak langsung kamu baca tadi?” Bokap tegas.
Mendadak gue berhenti mengunyah walaupun masih ada nasi dalam mulut gue dan sejenak membatu, sementara otak gue malah berlari. Dengan penasaran gue cepat merebut surat untuk gue dari tangan Bokap dan cepat juga membuka, trus membacanya.
“Ha! Gue nggak salah baca kan?” Ucap gue dalam hati dengan kaget, hingga kedua mata melotot dan mulut gue sedikit terbuka. Setelah itu gue membacanya sekali lagi, sekali lagi dan lagi, sampai empat kali.
"Ha!"