Hari-hari terlewati begitu aja, tanpa mau tahu kesibukkan gue yang masih dipusingkan sama naskah novel keenam, yang sekarang udah masuk tahap editing pada bab paling akhir. Seperti hari-hari kemarin, hari ini gue juga masih ekstra sabar dan ekstra konsentrasi di dalam kamar, soalnya hari masuk sekolah tinggal menghitung jam dari mulai sekarang jam 4 sore. Dan besok jam 6 pagi gue harus udah siap mengantar Vita ke sekolahnya, belum lagi besok pasti Nyokap ikut-ikutan repot alias belanja ini belanja itu, soalnya tadi Nyokap meminta gue menemani belanja, tapi gue memohon sama Nyokap supaya besok aja belanjanya karena nanggung liburan dan gue meyakinkan Nyokap kalo pasar juga masih banyak yang tutup, karena libur dagang. Sebenarnya sih gue nggak mau usaha gue dalam menyelesaikan naskah novel keenam ini jadi tertunda lagi, yang bisa menyebabkan gue gagal mendapatkan Dokter Meyda.
“Kak Deni...” Suara Vita dari depan pintu kamar gue, trus terdengar ketukan di pintu kamar. Walau mendengar tapi gue nggak menjawab, bahkan menoleh pun enggak dan kedua sorot mata gue masih serius meneliti ketikan di layar notebook.
“Kak Deni...buka dong pintunya...ada yang mau ketemu...” Suara Vita keras.
“Kak Deni sibuk, suruh besok aja datang lagi.” Kata gue keras tanpa menoleh.
“Haaa ya udah Vita makan sendiri aja kue dari Dokter Meyda.”
Mendadak gue kaget mendengar “Dokter Meyda”, menyusul hati gue langsung menyahut “Jangan-jangan yang mau ketemu gue Dokter Meyda.”
“Iya bentar Kak Deni turun.” Gue cepat bangkit, trus merapikan baju dan ngaca bentar.
Sigap gue bangkit dan membuka pintu kamar, lalu tergesa turun ke lantai satu. Sejenak gue berhenti di depan tangga, dengan nafas tersengal sorot mata gue meneliti rumah ini dan pendengaran gue meraba-raba suara. Tetapi ternyata gue nggak melihat siapapun dan nggak mendengar suara sedikitpun. Dengan cemberut gue menggerutu “Haaa kayaknya gue dibohongin nih sama si Vita.”
Gue mau balik badan, tapi nggak jadi saat mendengar suara mobil melaju di depan rumah. Saat itulah otak gue langsung menangkap perkataan hati gue yang belum sempat diucapkan, trus tergesa gue keluar rumah dan melihat bagian belakang HRV hitam yang melaju.
Kening gue langsung berkerut rapat sembari bilang pelan “Itu kan...mobilnya Dokter Meyda. Apa...yang nyari gue itu...Dokter Meyda.”
Sigap gue berlari dan menempelkan badan ke pagar besi, trus kepala gue melongok keluar pagar, meneliti HRV hitam yang ternyata udah hilang. Mendadak gue lemas dan mendadak juga wajah gue manyun, trus pelan gue bilang “Haaaa...patah hati lagi gue hari ini. Kenapa sih Dokter Meyda nggak mau nungguin gue.”
“Deni, kenapa kamu gelantungan gitu di pagar? Lihat siapa sih?” Suara Nyokap keras dari belakang gue.
Tanpa menjawab lemas gue balik badan, trus sedikit manyun melihat Nyokap yang tegas dan Vita yang senyum-senyum sambil bawa kardus kue. Melihat kue yang terbungkus kardus di tangan Vita, gue yakin nih, pasti kue itu dari Dokter Meyda.
“Ih apaan sih Kak Deni lihat-lihat kue Vita.” Vita tegas.
“Vita, bagi dong sama Kakakmu juga. Tadi kan Dokter Meyda bilang mau mengucapkan terima kasih buat Kakakmu, jadi kuenya kan punya Kakakmu.” Kata Nyokap.
“Ha! Jadi tadi beneran Dokter Meyda ke sini?” Tanya gue sambil melotot. Trus gue cepat mendekati Nyokap dan merebut kue dalam kardus di tangan Vita.
“Deni, Ibu mau bicara sama kamu. Ayo masuk.” Kata Nyokap tegas dan tegas juga menatap gue, trus Nyokap masuk ke dalam rumah. Gue nggak membalas, tapi cuma manggut-manggut pelan.
Setelah itu gue mengikuti Nyokap yang masuk leih dulu ke dalam rumah. Di depan meja makan Nyokap duduk dan menanti gue. Nggak lama kemudian gue ikut duduk di depan Nyokap, sementara si Vita juga ikut duduk sambil bawa pisau untuk memotong kue. Sejenak gue melirik si Vita yang masih menatap kue dalam kardus di dekat gue, tapi sigap gue mendekatkan kue yang belum dibuka ini ke depan dada gue. Eh....ternyata si Vita masih aja melirik kue dalam kardus ini.
“Deni, Ibu mau tanya sekarang, kamu pernah Ibu beri tugas beli martabak kan?”
Gue nggak menjawab, tapi gue cuma manggut-manggut.
“Trus...”
“Martabak kacang sama kejunya abis Bu, Deni nggak bohong. Uang buat beli martabak juga udah Deni kasihkan lagi ke Ibu, nggak kurang dan nggak lebih.”
Sambil menghela nafas sejenak Nyokap mengangguk-angguk pelan, tapi pandangannya nggak tertuju pada gue. Dengan berat Nyokap kembali menghela nafas, trus kembali memandang gue dengan padangan yang lembut. Membuat gue heran, tapi gue bersyukur, mungkin itu pertanda Nyokap nggak marah sama gue.
Sejenak Nyokap menoleh pada Vita, trus bilang “Vita, tolong tunggu Ibu sama Kak Deni di teras rumah.”
“Vita nggak nunggu Ibu sama Kak Deni kok, Vita kan nunggu kuenya dipotong Bu.” Kata Vita.
“Vita, tolong tunggu potong kuenya di teras. Nanti potong kuenya.” Suara Nyokap tegas.
Si Vita pun nggak bisa menolak lagi, soalnya itu perintah Nyokap yang tegas dan di rumah ini nggak ada yang boleh melawan perintah Nyokap. Membuat si Vita mendadak cemberut, trus pergi ke teras rumah sambil membawa pisau. Setelah itu Nyokap kembali menghela nafas, trus memalingkan wajah pada gue.
“Deni, Ibu tanya berapa umur kamu sekarang?” Tanya Nyokap lembut.
Gue nggak segera menjawab, tapi mengerutkan dahi. Dalam hati gue balik tanya ke diri gue sendiri “Kenapa Nyokap nanya gitu ya?”
Tegas hati gue balik tanya “Eh, Deni umur lo berapa? Jawab cepet yang tegas! Biar Nyokap lo tahu kalo elo udah gede, dan berhak suka sama Dokter Meyda.”
“Bener tuh Deni, ini kesempatan bagus. Cepet jawab!” Kata sisi hati gue yang lain.
Sedikit terperanjat gue kembali fokus menatap Nyokap, trus gue menjawab “Umur Deni...”
“23 tahun kurang 9 bulan.” Nyokap memotong agak tegas sambil menatap gue.
Akhirnya gue cuma bisa manggut-manggut pelan menjawab pertanyaan Nyokap. Sejenak Nyokap menghela nafas, terdengar berat seraya memandang gue. Sementara itu gue merasa kerutan di kening gue semakin tebal, soalnya gue bingung sama sikap Nyokap. Baru kali ini Nyokap ngomong serius sama gue selain ngomongin masalah jantung gue.
“Ha! Jangan-jangan...Nyokap mau bilang kalo umur gue tinggal menghitung hari. Apa itu yang dikatakan Dokter kemarin waktu gue sama Nyokap cek up ke rumah sakit? Cuma Nyokap sama Dokter yang bicara dan gue nggak tahu.” Tanya gue dalam hati dengan kaget.
Tiba-tiba kedua mata gue hampir berair, trus gue tanya “Apa...”
Tiba-tiba juga suara Vita keras dari teras depan “Ibu udah belum? Vita mau potong kuenya...”
Sedikit menoleh ke asal suara gue nggak melanjutkan pertanyaan gue. Sementara Nyokap nggak mengalihkan pandangannya dari gue, tapi cuma memberi tanda pada asal suara dengan tangan kirinya. “Aneh bin ajaib”, itu yang sering dibilang sama orang-orang yang percaya kalo seseorang punya kekuatan, dan kayaknya Nyokap juga punya kekuatan nih, soalnya suara si Vita tiba-tiba aja hening cuma dengan tangan, subhanallah...emang benar Allah Maha Adil dan Maha Bijaksana, memberi kekuatan pada para Nyokap untuk membuat anaknya diam dan nurut. Nggak lama kemudian Nyokap terlihat membuka mulut yang kayaknya mau ngomong.
“Ibu...ada Bu Marwah di depan...” Suara Vita mendadak keras dari teras rumah. Sejenak Nyokap menghembuskan nafas, trus geleng-geleng kepala soalnya suara si Vita membuat Nyokap nggak jadi ngomong. Sementara gue cuma melirik sana dan sini, saat gue lagi berpikir nih apa yang mau dilakukan Nyokap.
“Deni, nanti malam setelah makan malam Ibu mau ngomong sama kamu. Ehmm ah! Sama Bapak kamu juga.” Kata Nyokap tegas.
“Ehmm Vita...” Gue mau tanya.
“Vita juga boleh ikut, tapi cuma potong kue. Jadi kue dari Dokter Meyda ini biar Ibu yang simpan, nanti malam baru dipotong dan di makan.” Nyokap tegas memotong.
Di akhir perkataan Nyokap gue jadi lemas mendadak dan wajah gue sedikit manyun, trus sejenak kedua mata gue melihat kue yang masih terbungkus kardus putih. Entah kenapa hati gue jadi sedih saat mau dipisahkan dari kue pemberian Dokter Meyda, gimana kalo gue yang dipisahkan dari Dokter Meyda ya? Bisa masuk rumah sakit gue.
***
Sepulang sholat isya gue berjalan lemas di belakang orang-orang yang tadi ikut sholat berjamaah. Malam ini untuk pertama kalinya gue ke masjid dan pulang dari masjid tanpa Bokap, soalnya Bokap belum pulang dari kantor. Kata Bokap waktu telepon ke rumah sih, sewaktu pulang Bokap terjebak macet parah karena ada perbaikan jalan dan ditambah ada unjuk rasa dadakan. Akhirnya malam ini gue sama Mang Encep aja yang ke masjid, tapi seperti biasa Mang Encep selalu berjalan lebih cepat daripada gue dan Bokap, jadinya malam ini gue cuma berjalan sendiri.
Sejenak gue menoleh ke belakang, ternyata gue nggak melihat Dokter Meyda dan cuma terlihat beberapa Ibu dan Nenek yang berjalan pelan jauh di belakang gue. Lemas gue cuma bisa menghela nafas, trus berjalan lagi pelan. Sepertinya badan gue tambah lemas setelah tahu Dokter Meyda nggak ke masjid malam ini. Tadinya gue berharap bisa bertemu, soalnya gue mau tanya maksud kedatangannya ke rumah gue, sambil membawa kue segala lagi.
Akhirnya sampai juga gue di depan pintu pagar rumah. Sebelum masuk ke dalam rumah sejenak gue melihat jalan yang menuju ke rumah Dokter Meyda, setelah itu perlahan gue membuka pintu pagar dan masuk ke dalam rumah. Karena Bokap belum datang, Nyokap meminta gue menunggu Bokap dan berpesan ke gue jangan tidur dulu. Gue jadi tambah penasaran apa yang mau dikatakan Nyokap ke gue malam ini, sampai-sampai gue nggak boleh tidur dan harus dikatakan malam ini. Waduh, jangan-jangan Feeling gue bener nih! Nyokap mau bilang kalo umur gue tinggal menghitung hari. Dan Nyokap menunggu Bokap pulang untuk mengatakan semua itu pada gue, karena Nyokap khawatir gue pingsan.
Sebelum membuka pintu kamar sejenak gue menyentuhkan tangan kanan di atas dada kiri gue, merasakan detak jantung yang pelan. Mendadak wajah gue berubah saat gue teringat Dokter Meyda, trus gue bilang tegas “Deni, jangan mikir macem-macem. Lebih baik selesain editan naskah bab terakhir lo, trus kirim deh lewat email ke Penerbit. Inget, lo harus berjuang demi Dokter Meyda.”
Setelah itu sejenak gue manggut-manggut tegas, trus membuka pintu kamar. Setelah mengganti baju koko dan sarung gue langsung membuka notebook merah, trus gue menyalakan power-nya dan membuka satu dari deretan folder di volume E. Setelah menemukan folder naskah novel keenam, gue langsung klik dan membuka lembar office bab 13, bab terakhir di naskah novel keenam yang ber-genre komedi remaja tapi banyak mengandung unsur Islam yang menurut gue bagus dibaca bagi anak muda.
Dengan kening merapat gue serius membaca bab terakhir naskah novel keenam, hingga akhirnya gue bilang “Alhamdulillah...”, tanda kalo gue udah menyelesaikan editan semua bab dalam naskah novel keenam. Sejenak gue melihat jam beker, ternyata udah jam 10 malam. Mendadak gue tertegun, memikirkan Bokap yang belum pulang-pulang, padahal udah hampir tengah malam.
“Hmm Bokap ke mana ya? Masak macet dan terjebak dalam demo sampe berjam-jam?” Ucap gue pelan dengan kening merapat, trus gue menguap bersamaan suara klakson mobil keras berbunyi di depan rumah.
Akhirnya gue nggak jadi ngantuk nih, walaupun...sepertinya kedua mata gue udah berat nih. Hingga tanpa gue sadari kepala gue manggut-manggut karena ngantuk berat, tapi suara klakson mobil lagi-lagi mengagetkan gue, bahkan karena kaget gue sampai sigap berdiri di depan notebook gue dan sigap buka mata.
“Asstaghfirullah haladziim, kayaknya...suara klakson mobil itu sinyal dari Allah kalo gue harus bisa nyelesaiin malam ini juga dan cepet kirim ke Penerbit yang udah gue cari tadi. Gue nggak boleh ngantuk.” Di ujung perkataan gue pergi ke kamar mandi, trus gosok gigi dan cuci muka biar nggak ngantuk. Setelah itu gue kembali masuk kamar dan duduk di depan notebook, kembali teliti membaca bab 13, bab terakhir naskah novel keenam.
Semakin malam suasana di kamar gue semakin hening, cuma terdengar suara detak jam beker sebagai pengganti suara jangkrik atau kodok saat hujan turun di pedesaan. Setelah beberapa waktu alhamdulillah akhirnya selesai juga naskah novel keenam, tapi gue balik periksa lagi mulai dari bab 1, cuma gue baca sekilas aja untuk memastikan nggak ada kesalahan tanda jeda dan tanda baca, juga untuk memastikan penggunaan kalimatnya nggak kaku, kayak kesalahan gue saat mengirim naskah novel kedua, ketiga, keempat dan kelima, kecuali naskah novel pertama yang bahasanya nggak kaku. Tetapi setelah itu gue merubah-rubah lagi gaya tulisan, mmm untuk menemukan gaya tulisan yang paling enak dipahami dan nggak biasa dari novel-novel yang udah terbit. Dan akhirnya gue merubah lagi untuk kesekian kali setelah mendapat masukan dari Kak Fifi yang bersedia membantu memeriksa naskah novel gue beberapa minggu yang lalu.
Selesai memeriksa ulang sejenak gue menghela nafas, trus bilang pelan “Hmm kayaknya udah nggak ada masalah. Gue mau kirim juga malam ini ke Penerbit yang mau menerima naskah soft copy alias lewat email, jadi besok gue udah nggak kepikiran naskah novel lagi.”
Mendadak pandangan gue melemah, soalnya gue khawatir naskah novel keenam ini ditolak lagi. “Gue ikhlas Ya Allah kalo naskah novel ini ditolak lagi seperti naskah-naskah gue yang lain. Engkau pasti punya rencana yang lebih baik, supaya gue bisa berjodoh sama Dokter Meyda.”
Pelan gue menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan juga. Dengan mantap gue mengetik alamat email milik gue, trus gue ketik alamat email Penerbit yang gue tuju dan gue isi di kolom subjek “Pengajuan Naskah Novel Simbiosis Mutualisme”, terakhir gue melampirkan naskah novel yang udah gue ubah ke dalam bentuk RAR, yang kalo pakai bahasa gue untuk mengirim email dalam bentuk folder.
Setelah itu gue klik tanda kirim, sambil mengucap “Bismillahhirrohmannirrohim.” Dalam hitungan detik akhirnya terkirim juga bersamaan suara ketukan di depan pintu kamar gue, menyusul kemudian suara Mang Encep “Den, ditunggu Ibu sama Bapak di ruang tengah.”
Lemas gue menghembuskan nafas tanpa menjawab, soalnya....tadinya gue berharap bisa cepat tidur setelah mengirim naskah novel, tapi ternyata Nyokap sama Bokap memanggil gue. Haaa kenapa sih nggak besok aja kalo mau ngomong, kan masih ada hari esok yang menjadi awal kesibukan semua orang.
“Den...Den...ditunggu Ibu sama Bapak di ruang tengah Den, katanya penting. Neng Vita juga udah di ruang tengah.”
Gue tersentak kaget saat mendengar nama Vita, wah kayaknya beneran nih Vita mau motong dan makan kue dari Dokter Meyda. Setelah gue cepat menutup file-file dan mematikan notebook, gue cepat membuka pintu dan melihat Mang Encep yang masih setia menunggu gue di samping pintu kamar. Tanpa berpikir macem-macem gue cepat turun ke lantai satu, trus Mang Encep cepat mengikuti. Di depan ruang tengah di samping tangga, gue berhenti mendadak dengan pandangan mencari kardus kue dari Dokter Meyda, tapi suara Nyokap yang tegas menyadarkan gue kalo di ruang tengah Nyokap, Bokap sama Vita udah duduk menunggu gue.
Sedikit manyun akhirnya gue ikut duduk di depan mereka. Gue mau tanya, tapi si Vita mendahului bertanya “Bu, Vita boleh potong kuenya sekarang ya?”
Nyokap nggak menjawab, tapi cuma mengangguk. Nggak lama kemudian Mang Encep datang membawa beberapa piring kecil, gelas dan teko teh panas. Dengan senyum bahagia Vita membuka kardus kue, tetapi tiba-tiba Vita mengerutkan dahi saat melihat isi di dalam kardus kue. Kemudian Vita mengambil sepucuk surat dalam amplop warna merah jambu. Mendadak gue terkejut sambil memandang surat itu dan cepat merebut, tapi ternyata Nyokap lebih cepat bergerak merebut surat di tangan Vita.
Akhirnya gue cuma manyun dan kembali duduk lemas di sofa, sedangkan si Vita melanjutkan memotong kue dengan bahagia. Sejenak Nyokap menghela nafas, trus agak tegas tanya “Deni, umur kamu berapa?”
Gue yang masih manyun nggak menjawab, tapi hati gue bilang “Tadi kan Ibu udah jawab sendiri, masak harus diulang lagi. Dan kayaknya Ibu lebih hapal daripada Deni.”
“Deni, jawab pertanyaan Ibu kamu.” Kata Bokap.
“Tadi sore kan Ibu udah jawab, masak harus Deni jawab lagi umur Deni berapa.” Jawab gue sambil manyun.
“Iya, Ibu inget. Ibu cuma mau mastikan aja kamu nggak lupa, soalnya kamu sering lupa.”
Sejenak Nyokap kembali menghela nafas, trus bilang “Deni, Ibu....”
“Bapak bangga sama kamu Deni. Bapak udah dengar semuanya dari Ibu kamu, waktu malam kamu disuruh beli martabak. Sekarang Bapak percaya kamu udah gede, bukan anak kecil yang selalu Bapak khawatirkan.” Bokap memotong tegas, tapi di ujung perkataan Bokap meneteskan air mata.
“Semuanya?” Gue ganti tanya dengan sedikit kaget.
Bokap nggak menjawab, cuma terlihat mengangguk-angguk tegas dengan wajah yang tegas juga memandang gue. Sementara wajah Nyokap cuma terlihat datar dan nggak memandang gue. Seketika itu otak gue berlari dan hati gue bertanya “Apa mungkin Bokap sama Nyokap udah tahu kalo gue melamar Dokter Meyda, mmm pake martabak modern fruit dari Martabak Pelangi Una? Eh mmm nggak sengaja pakai martabak buah kesukaannya keluarga Dokter Meyda.”
Perlahan senyum di wajah mulai gue rasa, saat hati gue bilang “Apa semua ini tanda kalo lamaran gue diterima Dokter Meyda Ya Allah? Dan...kue, trus surat merah jambu itu jawaban semuanya, lamaran gue diterima Dokter Meyda.”
“Subhanallah...” Ucap gue pelan sambil tersenyum lebar dan memandang surat yang terbungkus amplop merah jambu di tangan Nyokap.
Sejenak Nyokap mengangguk-angguk pelan dan sedikit menoleh pada Bokap yang duduk di samping Nyokap. Nggak lama kemudian wajah Nyokap berubah jadi lebih lembut dan terlihat mengusap sudut matanya dengan jari kanan. Kemudian Nyokap mengedipkan mata dan kembali memandang gue. Nyokap bilang “Benar, rasanya baru kemarin Ibu gendong kamu, nganter kamu ke sekolah, dan nganter kamu ke rumah sakit, trus nemenin kamu main dan jagain kamu. Sekarang anak Ibu udah besar, Ibu nggak sadar kalo kamu udah segede ini.”
Nggak lama kemudian air mata jatuh dari kedua mata Nyokap. Sigap Bokap mengambil tisu di meja, lalu memberikannya pada Nyokap. Mendadak gue ikut sedih dan bingung, kenapa Nyokap ngomong kayak gitu?
Sambil mengelus-elus bahu Nyokap, Bokap mengangguk-angguk. Sejenak Nyokap kembali menghela nafas setelah mengusap air matanya dengan tisu. Kemudian kembali memandang gue dan bilang “Dokter Meyda sudah cerita semuanya, tentang kamu yang datang melamar Dokter Meyda.”
Senyum di wajah gue langsung mengembang, gue yakin ini pertanda kalo gue diterima Dokter Meyda. Dalam hati gue bilang “Subhanallah...alhamdulillah, terima kasih Ya Allah...akhirnya gue bisa meni...”
“Gimana kalau Dokter Meyda nggak menerima lamaran kamu Deni, apa kamu siap?” Nyokap agak tegas memotong perkataan hati gue. Mendadak senyum di wajah gue lenyap nggak berbekas, bahkan wajah gue sekarang terasa lebih kaku. Gue pun cuma bisa tertegun, nggak menjawab pertanyaan Nyokap.
“Deni, Bapak bangga sama kamu yang berani melamar Dokter Meyda sendiri dan Bapak juga akan bangga sama kamu kalau kamu bisa menerima apapun keputusan Dokter Meyda. Jangan jadi laki-laki cengeng, karena kamu bukan anak kecil lagi dan jangan mengeluh sakit, karena kamu sudah lebih kuat sekarang.” Kata Bokap tegas.
Gue nggak membalas perkataan Bokap, tapi entah kenapa hati gue kok jadi sedih ya? Apa gue terbawa suasana hati Bokap dan Nyokap yang malam ini terlihat melankolis semua, nggak seperti biasanya.
“Sekarang kamu baca surat dari Dokter Meyda ini, baca di sini.” Kata Nyokap sambil memberikan amplop surat merah jambu pada gue.
Nggak seperti tadi wajah gue tersenyum saat memandang surat dalam amplop merah jambu, kali ini wajah gue terasa kaku bahkan sampai kebawa ke tangan kanan rasa kakunya, hingga membuat tangan gue sedikit gemetar menerima surat dalam amplop merah jambu.
Setelah itu gue memegang surat ini dengan kedua tangan yang masih sedikit gemetar. Nggak lama kemudian jantung gue ikut cepat berdetak, rasanya deg-degan banget. Tangan gue mau memegang dada kiri, tepat di atas jantung, tapi nggak jadi saat gue ingat kalo Nyokap sama Bokap sering khawatir saat gue memegang dada sebelah kiri.
Sejenak gue manggut-manggut, trus bilang pelan “Apapun keputusannya gue nggak boleh sakit, dan gue harus kuat, soalnya gue udah gede.”
“Nggak boleh ada yang khawatir sama gue.” Ucap gue dalam hati.
Setelah itu perlahan gue membuka amplop surat warna merah jambu dan menarik selembar kertas di dalamnya. Pelan dan teliti gue membaca setiap kalimat dari tulisan tangan Dokter Meyda, yang rapi banget walaupun seorang Dokter yang biasanya tulisan tangan seorang Dokter itu membuat banyak orang bertanya-tanya dan kaget karena nggak bisa dibaca. Tetapi ternyata bagi gue membaca tulisan tangan Dokter Meyda yang rapi dan jelas banget ini membuat gue kedua mata gue bertambah lebar, hingga berkali-kali gue mengulang membaca tulisan di kertas ini. Keras gue bilang “Ha!”