Malam ini gue langsung masuk ke dalam kamar dan langsung membuka notebook merah di meja, trus menyalakannya. Setelah folder naskah novel terbuka, gue membuka file sinopsis, trus sejenak gue membaca sinopsis dari naskah novel keenam. Gue nggak mau membuang waktu lagi, gue harus bisa menyelesaikan naskah novel ini sebelum si Vita masuk sekolah dan akhirnya jadi gangguan buat gue, dan gue juga harus minta ijin sama Kak Fifi nggak bisa membantu Kak Fifi di sisa minggu terakhir liburan ini.
Dan ini adalah malam ke-5 semenjak gue mendapat masukan dari Bokap dan Nyokapnya Dokter Meyda, sebaiknya gue emang mengirim naskah novel lewat email ke Penerbit soalnya gue nggak punya banyak waktu kalo kirim dalam bentuk print out alias sudah dijilid rapi, mulai dari menulis naskah yang berbab-bab, trus ngedit dan ngedit lagi karena nggak bisa kalo cuma sekali ngedit, trus nge-print, trus dibaca sendiri, dan ternyata harus ada yang dibenerin lagi, haaa maklum mata gue cuma dua dan cepet capek kalo harus lihat tulisan-tulisan yang sama yang gue ketik sendiri.
Dengan berat hati gue meminta ijin sama Kak Fifi, soalnya nggak bisa membantu di kegiatan bagi-bagi ilmu gratis sama anak-anak kurang mampu di sisa liburan. Dan eh ternyata Kak Fifi malah nggak marah, tapi mendukung gue menulis naskah novel dan malah bilang “Jangan kapok ditolak Penerbit, walaupun rasanya ditolak Penerbit tanpa embel-embel nasehat untuk naskah yang ditolak bagaikan sakit gigi yang rasa sakitnya lebih sakit dari sakit hati, jadi mending ditolak cinta alias patah hati daripada ditolak Penerbit.”
Mendadak pandangan gue kaku dan kedua tangan gue berhenti bergerak di atas papan notebook saat teringat ucapan terakhir kata-kata Kak Fifi “Mending ditolak cinta daripada ditolak Penerbit.”
Nggak lama kemudian kedua mata gue melemah, trus air mulai berkumpul di kantung mata gue. Hingga akhirnya gue menangis saat air mata gue jatuh berkali-kali. Gue cepat bangkit dan jalan ke kasur, trus langsung menjatuhkan tubuh gue di kasur dan gue pun menangis keras.
“Gue baru sadar, kalo ternyata itu feeling terakhir eh kedua Bokapnya Dokter Meyda buat gue. Gue bakal ditolak Dokter Meyda, tapi naskah novel gue bakal diterima Penerbit.” Ucap gue dengan air mata berlinang.
Tapi tiba-tiba gue berhenti menangis, trus kening gue merapat dan kedua mata gue bergerak, soalnya gue baru ingat kalo yang bilang “Mending ditolak cinta daripada ditolak Penerbit” itu Kak Fifi bukan Bokap atau Nyokapnya Dokter Meyda. Kenapa gue malah yakin cinta dan lamaran gue ditolak Dokter Meyda? Apa hubungannya? Malah Bokap sama Nyokapnya Dokter Meyda kelihatan ramah banget dan ngasih masukan buat ngirim naskah novel lewat email.
Sejenak gue menghembuskan nafas, trus menggelengkan kepala dan bilang “Kok gue jadi gampang sensi gini sih?” Trus tegas gue bilang “Harusnya gue yakin dong, harus optimis cinta dan lamaran gue bakal diterima Dokter Meyda, soalnya Bokap dan Nyokapnya Dokter Meyda nggak mempermasalahkan pekerjaan gue dan mendukung gue menulis, malah ngasih gue masukan. Gue jadi ketiban rejeki, gara-gara datang ke rumah Dokter Meyda sambil bawa martabak buah dari Martabak Pelangi Una.”
Akhirnya gue berhenti menangis, disusul kedua tangan gue cepat mengusap air mata di pipi dan di sekitar mata. Gue bilang “Gue harus yakin kalo keduanya bakal diterima. Naskah novel gue bakal diterima Penerbit dan lamaran gue bakal diterima Dokter Meyda. Jadi gue nggak boleh cengeng, dan harus terus berjuang.”
Dengan semangat membara gue bangkit dan kembali duduk di depan notebook, melanjutkan cerita dari pengalaman gue yang selalu ditolak Penerbit. Mendadak gue tertegun lagi dan jari-jari gue juga ikut berhenti lagi. Ada perkataan yang terbaca di otak gue nih “Gue kan udah ngedit naskah yang ditolak Penerbit yang gue kirim naskah print out! Kenapa nggak naskah itu aja yang dikirim pertama lewat email?”
“Ooo iya ya, bener juga! Biar nggak buang waktu, dan karena penasaran juga kenapa nggak gue kirim aja naskah-naskah novel gue yang udah gue edit ke Penerbit yang mau menerima naskah novel dalam bentuk email?”
“Haaa...lo sih Deni telat mikir, sedikit amal sih lo.” Gerutu hati gue tegas.
Akhirnya gue menghentikan dulu melanjutkan kelanjutan naskah novel keenam yang tinggal satu bab terakhir. Sebagai gantinya gue cepat membuka internet pakai handphone biar cepat mencari daftar Penerbit yang bersedia menerima naskah dalam bentuk email. Lama gue mencari dan teliti gue membaca daftar Penerbit, hingga akhirnya gue menemukan beberapa Penerbit, ehmm 3 Penerbit yang bersedia menerima naskah dalam bentuk soft coppy alias email. Setelah membaca latar belakang Penerbit akhirnya gue pilih salah satu dari 3 Penerbit, trus gue catat di komputer. Abis itu gue siapkan naskah yang mau gue kirim lewat email, gue rubah dalam bentuk RAR dulu soalnya naskah gue terdiri dari beberapa bab alias file, jadi mau gue jadikan satu. Caranya gampang cukup clik add to archive di folder naskah novel, trus setelah terbuka tulis nama archive name trus pilih RAR, trus klik OK.
Setelah naskah siap dalam bentuk RAR, gue membuka email gue. Pertama gue tulis alamat email Penerbit yang gue tuju, trus di bagian subjek gue tulis; pengajuan naskah novel “Bukan Geng Merah Jambu.” Trus di isian atau badan email gue sisipkan naskah novel dalam bentuk RAR tadi. Setelah itu tinggal klik kirim, tapi sebelum benar-benar gue kirim, sejenak gue membatu nih soalnya jantung gue jadi deg-degan. Gue khawatir kalo naskah gue kirim ini nggak sampai ke Penerbit, tapi sampai ke orang jahat dan dimanfaatkan. Gue khawatir naskah novel gue yang masih belum terbit ini, mendadak terbit dengan nama orang lain. Gue khawatir sama diri gue yang pasti nggak bisa tidur kalo ternyata seperti itu, bisa lebih stres kayaknya daripada ditolak cinta, soalnya gue menulis naskah novel dengan susah payah, sampai habis waktu dan tenaga. Haaa...astaghfirullah haladziim...semoga aja Allah melindungi gue dari orang-orang jahat. Bismillah aja deh...
“Bismillahhirrohamnnirrohim...” Ucap gue sambil tangan gue mengklik tanda kirim di layar notebook. Setelah itu muncul keterangan di layar komputer pada akun email gue “Terkirim.”
Sejenak gue menghela nafas, memaksa senyum, kemudian melanjutkan menulis naskah keenam. Nggak terasa jam terus berlari hingga tengah malam, tapi alhamdulillah “Akhir kejar tulis” menulis naskah novel keenam berkahir malam ini, plus bonus dari Allah, yaitu malam ini juga gue mengirim naskah novel pertama lewat email ke Penerbit yang bersedia menerima naskah novel dalam bentuk soft copy.