Setelah Vita masuk ke dalam rumah gue masih tertegun di depan garasi, memandang scoopy hitam manis yang sedikit kucol, kurang kinclong. Siang ini gue belum mengajar les anak-anak SMP, soalnya mereka masih ujian kenaikan kelas. Gue juga sengaja meliburkan mereka selama ujian, supaya mereka bisa fokus belajar dan lebih rileks pikirannya.
Sejenak gue menggelengkan kepala dan dengan mata berkaca-kaca gue bilang pelan “Kasihan banget scoopy kesayangan gue harus ikut menjalani susahnya hidup gue.”
Akhirnya gue putuskan siang ini gue isi sama kegiatan memandikan scoopy kesayangan gue di depan garasi. Gue semprotkan air dari selang, trus gue pakai sabun cair dan gue gosok-gosok pakai lap khusus untuk motor dan mobil, namanya kanebo plas chamois, lama...banget, biar bersih. Terakhir gue bilas lagi pakai air, trus gue lap lagi pakai kanebo.
“Astagfirullah haladziiim...lecet dari mana nih? Eh mmm goresan.” Suara gue tinggi saat tahu bagian body scoopy sebelah kiri tergores.
Sejenak gue manggut-manggut dengan kening merapat, trus bilang “Pasti ini karena jatuh, dikejar anjing eh si Beki. Huu uu, gara-gara si Beki sih!”
Seraya menghela nafas gue bangkit berdiri dengan kedua mata masih memandang scoopy hitam manis yang sekarang lebih kinclong dan wangi, nggak kayak yang punya, soalnya gue belum mandi. Pelan gue ngomong “Pake apa ya? Biar goresan di scoopy ini hilang dan kelihatan mulus lagi.”
“Puteun Den, Mang Encep lewat bade miceun sampah.”1 Kata Mang Encep sambil membawa keresek hitam, cukup besar.
“Mang Encep, panggilnya yang lengkap dong, Deni bukan Den.” Di ujung perkataan, suara gue tegas.
“Oh iya Den.” Mang Encep tersenyum sambil mengangguk.
“Addduuuuh Mang bukan Den, tapi D-e-n-i, Deni.” Di awal perkataan gue geregetan dan di akhir gue tegas.
“Deni...” Suara Nyokap keras dari dalam rumah.
“Nah, kayak gitu Mang Encep.” Gue tegas sambil menunjuk arah suara Nyokap.
“Deni...ada telepon...” Suara Nyokap lebih keras.
“Iya Bu...” Jawab gue sambil cepat memasukkan lap ke wadahnya dan menaruh di bawah jok scoopy, trus gue cepat masuk ke dalam rumah.
Gue cepat menghampiri telepon rumah yang tergeletak, trus gue jawab “Assalammualaikum.”
“Waalaikumsalam, dengan Deni ya?” Tanya si penelepon dengan suara tegas dan sopan.
“Ehhmm iya, tapi saya bicara sama siapa ya?”
Sejenak terdengar suara tarikan dan hembusan nafasnya yang berat, trus si penelepon yang nggak gue kenal menjawab dengan suara yang berbeda “Ya elaaah, baru ditinggal beberapa bulan lo udah lupa.”
Kedua mata gue terbuka cepat dan bilang keras “Aldo! Lo bener Aldo kan?! Ayo ngaku! Kalo nggak ngaku lo nggak bakal dapat pacar dan susah kawin!”
“Hmm iya iya! Dari dulu lo selalu nyumpahin kayak gitu dan cuma elo yang nyumpahin gue kayak gitu. Jadinya sampe sekarang gue belum punya pacar! Apalagi kawin.” Suara Aldo langsung sewot.
“Eh, bukan salah gue dong...salah elo yang bohong sama gue. Justru malah gue yang nolong elo, supaya lo nggak jadi pembohong alias pendusta. Soalnya hukumannya dari Allah berat banget Do, buat para pembohong, pendusta, tukang ingkar janji. Lo belum ngerasain mati sih..., yaaa gue juga siiih, tapi gue nggak suka bohong kayak elo.”
“Haaa gue emang belum mati dan jangan sampe itu juga jadi sumpah lo buat gue.” Celetuk Aldo tegas.
Sambil duduk bersandar di sofa sejenak gue nyengir, trus sejenak menghela nafas dan bilang “Tenang Do, lo kan tahu kalo elo itu sahabat gue yang paling-paling deket kayak kata naskah novel pertama elo, Bajing Luncat Kecil. Mmm tapi setelah scoopy hitam manis gue.”
Setelah itu gue tersenyum lebar, sementara tegas si Aldo langsung bilang “Iya-iya, gue percaya dan nggak apa gue jadi yang kedua. Lo emang sahabat gue yang paling setia dan baik sama gue sampai kapan pun. Karena itu...”
“Karena itu apa? Jangan bilang kalo lo mau jadi Penulis lagi dan lo mau gue jadi tutor menulis elo!” Tanya gue tegas sambil menegakkan badan. Ternyata Aldo nggak segera menjawab, tapi malah terdengar hembusan nafasnya.
“Ayo jawab Aldo!”
“Eh Den, lo kok jadi kayak gue sih! Segitu sewotnya, padahal gue kan belum selesai ngomong.”
Gue tersentak kaget, trus kening gue merapat dengan kedua mata bergerak di langit-langit. Dalam hati gue bilang “Astaghfirullah haladziim...iya ya, kenapa gue jagi kebawa si Aldo kalo lagi nodong jawaban dari gue.”
“He Deni! Kenapa diem! Ayo jawab!”
“Mungkin karena otak gue udah merekam gaya lo saat nodong gue.” Jawab gue datar.
“Ehmm masuk akal juga...”
“Udah udah udah. Lo nggak biasanya nih nelepon gue ke nomer rumah, lo lagi banyak uang ya?”
“Gue masih ngumpulin uang biar bisa jadi orang kaya.” Jawab Aldo tegas.
“Trus kenapa telepon ke nomer rumah? Kan tambah mahal Do tarifnya. Kenapa nggak ke hp aja, trus cari waktu yang gratisan. Lo kan suka cari yang gratisan.” Di ujung perkataan suara gue tegas.
“Ini juga gratis, soalnya gue telepon elo pake nomer kantor. Jadi gue nggak keluar uang.”
“Wah, gawat lo Do. Itu sama aja lo korupsi biaya telepon. Hati-hati lo bisa ketangkap KPK eh CCTV kantor, trus dilaporin ke KPK yang sering memakai telepon perusahaan untuk kepentingan pribadi bukan untuk kepentingan pekerjaan.”
“Masak cuma telepon doang sampe ditangkap KPK, apa hubungannya? Gue kan pegawai di kantor gue, jadi gue punya hak dan bebas dong mau telepon siapa aja dan berapa lama?” Aldo sedikit tegas.
“Lo kebanyakan nonton berita nih, Pejabat-Pejabat korup yang ditangkep KPK.” Celetuk Aldo.
“Terserah elo deh, yang penting jangan bawa-bawa gue kalau suatu hari nanti lo ada masalah sama perusahaan tempat lo kerja karena masalah pemakaian telepon! Atau singkatnya penyalahgunaan pemakaian telepon kantor untuk kepentingan pribadi!” Di ujung perkataan suara gue tegas.
“Wah! Kok gitu? Ehmm gue jadi takut ketangkep nih. Ya udahlah gue tutup teleponnya.”
“Tuuut...” Suara telepon dimatikan Aldo.
Gue langsung membuang nafas sambil menggelengkan kepala dan melihat telepon di tangan. Setelah itu gue meletakkan telepon ke tempatnya, trus gue balik badan, tapi gue nggak melangkah saat ingat Aldo mau bilang apa tadi ya? Kenapa dia telepon gue siang-siang. Sejenak gue melirik jam dinding, udah jam 14.40 siang. Mendadak gue sedikit tersentak kaget, saat telepon rumah tiba-tiba kembali berdering keras.
“Astaghfirullah haladziim...ngagetin aja! Nggak sopan banget sih.” Celetuk gue sambil menoleh dan melihat telepon rumah yang masih berdering.
Dengan malas gue mengangkat telepon dan tegas menjawab “Halo.”
“Den, ini Aldo. Gue cuma mau bilang kalo gue balik ke Jakarta sebelum puasa.” Kata Aldo pelan.
“Tuuut...tuuut...tuuut...” Telepon ditutup Aldo.
“Kalo mau balik, balik aja...” Gue mengerutkan dahi sambil melihat gagang telepon yang belum gue taruh. Setelah itu baru gue meletakkan gagang telepon di tempatnya. Gue balik badan, tapi tiba-tiba telepon rumah di belakang gue kembali berdering keras. Tegas gue balik badan lagi, kemudian kedua mata gue tegas memandang telepon rumah yang masih berdering.
“Ngapain sih Aldo telepon bolak-balik, bikin capek aja.” Suara gue tegas.
“Halo, apalagi Do!” Jawab gue tegas.
“Gue lupa bilang, kalo..., ah tapi...mmm..., tapi entar ajalah kalo gue ke Jakarta gue omongin.” Setelah itu Aldo menutup telepon.
Kesal gue menghela nafas, trus kesal juga meletakkan gagang telepon dan bilang “Dasar Aldo, dari dulu lo itu plin-plan. Sebentar mau ngomong, sebentar enggak.”
Setelah meletakkan gagang telepon, kedua mata gue meneliti jam dinding dan gue kaget, udah jam 3 kurang 5 menit. Gue cepat naik ke lantai dua, trus cepat juga siap-siap mau ke masjid, bersamaan azan asyar berkumandang.
***
Sepulang sholat isya gue langsung masuk kamar. Sebelum mengganti baju koko dan sarung juga belum melepas peci putih, gue berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Gue keingetan perkataan Nilam sebelum gue diusir sama Satpam sekolah di depan sekolahnya, kalo Dokter Meyda belum nikah dan kemarin yang nikah itu adiknya, Bang Andi. Kata Nilam juga, Dokter Meyda itu nggak mau pacaran. Jadi kalo suka sama Dokter Meyda harus langsung datang ke rumahnya.
“Hmm gue harus cepet nih, jangan kayak dulu. Hampir aja jantung hati gue lepas.” Ucap gue pelan dan tegas.
Mendadak gue berhenti berjalan, tapi kening gue masih berkerut dan malah terasa makin tebal. Soalnya gue sedang memikirkan bagaimana caranya gue bilang sama Bokap dan Nyokap, kalo gue suka dan mau serius sama Dokter Meyda. Kalo gue udah bilang sama Nyokap dan Bokap kan enak dan lega, soalnya gue udah dapat ijin. Dan yang paling enak malah si Vita kayaknya, soalnya dia kan jadi saudaraan sama Nilam.
“Kayaknya...gue harus beranikan diri bilang sama Nyokap dan Bokap. Mmm besok pagi aja, lebih cepat lebih baik. Kan ini juga ibadah, mengatakan niat yang baik harus disegerakan.”
Sejenak gue melihat jam beker, trus gue mengganti baju koko dan sarung. Gue juga melepas peci putih dan gue taruh di dekat bantal di kasur. Setelah itu gue duduk di depan notebook merah kesayangan gue. Sebelum gue menyalakan power-nya, mata gue melirik naskah-naskah novel yang ditolak Penerbit, tertumpuk rapi di ujung meja. Tangan kanan gue mengambil satu naskah, trus gue baca-baca sekilas sambil terus membuka setiap halaman. Seelah gue taruh lagi, gue mengambil naskah yang lain. Gue juga membacanya sebentar di setiap halaman. Selesai membaca kilat dua naskah, gantian naskah ketiga gue baca.
Pelan kening gue merapat, memikirkan bahasa dalam naskah-naskah gue yang semuanya berbeda. Sejenak gue menghela nafas, trus bilang “Gue udah coba gonta-ganti gaya tulisan, tapi naskah novel gue masih ditolak juga. Kalo dari tema cerita kayaknya naskah novel gue belum ada yang nyamain. Kalo dari segi pengalaman menulis dan nama besar, gue cuma punya pengalaman dari sering ditolak Penerbit, tapi gue selalu belajar dari pengalaman gue, belajar menulis yang baik dan membuat cerita. Gue juga emang masih pemula banget dan belum punya nama. Haaa...boro-boro Penulis pemula, niat jadi Penulis aja nggak pernah terlintas di otak gue dan nggak pernah ada di hati gue. Soalnya gue menulis novel gara-gara pingin bantuin Aldo, yang memaksa dan mengancam gue harus jadi tutornya menulis, padahalkan gue nggak bisa menulis, apalagi membuat cerita. Eh ternyata Aldo keterima kerja di luar kota dan ninggalin gue, sedang gue malah keasyikan menulis cerita, karena terlanjur menulis juga dan penasaran sama naskah novel yang diterima Penerbit.”
Dengan lemas gue menghela nafas lagi. ”Kenapa jadi susah berhentinya ya? Dan kenapa juga hati gue saat ini jadi nggak rela kalo gue berhenti menulis naskah novel, walaupun berkali-kali ditolak Penerbit dan berkali-kali sakit hati, soalnya Penerbit yang gue kirimi nasakah novel nggak memberi masukan atau perkataan lain tentang tulisan gue selain “Maaf. Kita belum berjodoh, kami belum bisa menerbitkan naskah novel anda. Jangan patah semangat, semoga kita bisa bekerja sama lain kali”. Apa...semua Penerbit itu kayak gitu ya? Mereka pelit ngasih ilmu ke Penulis baru alias pemula yang belum punya nama di dunia perbukuan.”
Dengan kening berkerut dan wajah serius sejenak gue manggut-manggut. “Hmm gue punya feeling nih, kayaknya...naskah keempat sama kelima yang baru gue kirim juga bakal ditolak deh. Haaa alamat nih...kayaknya perjuangan gue masih panjaaaang banget. Trus gimana gue mau bilang kalo gue mau melamar Dokter Meyda? Masak penganguran kayak gue pantes buat seorang Dokter Meyda.”
Mendadak wajah gue lemas, cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala. Mendadak juga perut gue bunyi “Kruuuk...krruuuk...”, tanda kalo gue lapar lagi.
“Ternyata masih ada yang mau dengerin curhat gue malam ini.” Ucap gue sambil mengusap-usap perut.
Gue bangkit berdiri, trus keluar kamar dan turun ke lantai satu. Terdengar suara tawa menggelegak di ruang tengah di samping tangga, tapi gue nggak mau tahu yang sedang dilakukan Bokap, Nyokap sama Vita. Mungkin mereka lagi nonton TV acara stand up komedi, yang suka bikin orang ketawa. Gue langsung pergi ke dapur, melihat meja makan yang ternyata udah bersih, bahkan nggak ada satupun piring, gelas, apalagi makanan. Gue cepat membuka kulkas, yang ternyata juga nggak ada isinya. Trus gue melihat kompor yang udah steril dari penggorengan dan panci, yang ternyata udah menggantung dan bersih.
“Kok nggak ada makanan sih! Tadi kan masaknya banyak. Huu uu pasti nyokap bagi-bagi makanan lagi nih, dan nggak disisain buat yang di rumah. Haaa...”
“Kruuuuuk...krrruuuk.” Suara perut gue. Sigap kedua tangan gue memegang perut.
“Makan apa ya?” Ucap gue pelan. Hati gue ikut ngomong “Udah nggak usah pake mikir, beli roti aja di luar, daripada elo pingsan. Cepet! Mumpung belum jam 10 malam.”
“Kayak Deni Derela aja sampe jam 10 malam.” Gue menggerutu pelan. Kemudian hati gue tegas melanjutkan dengan kening merapat “Kalo sampe jam 12 kan Cinderela!”
“Cepet berangkat Den!” Sentak sisi hati gue yang lain.
Tanpa banyak berpikir lagi akhirnya gue cepat naik ke lantai dua dan masuk ke kamar. Gue cepat mengganti celana panjang dan memakai jaket, trus gue ambil dompet dan langsung memasukkannya ke dalam saku jaket. Setelah itu gue cepat turun ke lantai satu. Sebelum gue keluar rumah, sejenak gue melongok ke ruang tengah di samping tangga dan bilang “Bu, Deni mau keluar sebentar.”
“Iya, pulangnya jangan lebih dari jam 10 malam, trus bawa hp, pakai jaket dan helem.” Suara Nyokap tegas tanpa mengalihkan sorot matanya pada tv.
“Iyaaa.” Jawab gue lemas, trus cepat mengambil hp di kamar gue. Setelah itu gue cepat turun lagi, mengambil kunci motor di dekat kulkas. Trus gue pergi ke garasi, memakai helem dan menghidupkan scoopy.
Setelah menutup pintu pagar, scoopy pun melaju ke warung terdekat di kompleks ini, warungnya Bu Bagio. Sejenak scoopy berhenti di depan warung Bu Bagio, sambil pandangan gue meneliti warung yang udah sepi dan malah ternyata udah tutup. “Haaa..., masya Allah...kok udah tutup sih...”
Akhirnya nggak ada pilihan lagi, gue harus keluar kompleks nyari roti sebelum gue pingsan. Sampai di pos Satpam kompleks ini, scoopy melaju pelan dan sejenak gue menoleh ke pos Satpam yang terlihat sepi, trus gue membunyikan klakson. Ternyata suara si Beki yang membalas keras dengan gonggongannya, yang membuat gue kaget dan cepat memutar gas, keluar dari gerbang kompleks ke jalan raya. Sambil melaju dengan waspada gue melihat spion, soalnya gue khawatir si Beki mengejar gue lagi nih.
Setelah gue rasa cukup aman, akhirnya gue bisa lega dan tenang melaju, sambil sesekali kedua mata gue melihat deretan toko di pinggir jalan. Gue bingung nih, beli roti di mana yang agak murahan. Sejenak gue berhenti di lampu merah di paling depan. Sambil menunggu lampu hijau, sorot mata gue pergi ke seberang jalan di depan gue. Kepala gue manggut-manggut saat melihat minimarket di seberang jalan. Setelah lampu hijau menyala gue langsung tancap gas melaju ke minimarket itu.
Akhirnya scoopy ini berhenti di depan minimarket “Olala”, trus gue parkir di halaman minimarket yang nggak luas. Setelah turun dan melepas helem gue masuk ke dalam minimarket, tapi sejenak pandangan gue meneliti di mana tempat roti di pajang. Ehmm ternyata di paling pojok depan dekat dinding kaca. Gue berjalan lagi sampai di rak roti-roti, trus sejenak memilih roti-roti di yang dipajang rak. Setelah mengambil satu roti yang kayaknya lumayan enak dan besar gue melangkah ke meja kasir, tapi sebelumnya gue mengambil susu kotak UTRA rasa coklat kemasan 250 ml. Setelah itu baru gue pergi ke kasir. Sigap kasir cewek berkerudung mengecek harga, sementara gue merogoh dompet di saku jaket.
“Asstaghfirullah haladziim....” Ucap gue pelan dengan wajah kaku mendadak dan mulut sedikit terbuka, soalnya gue kaget banget melihat isi dalam dompet gue.
“Semuanya jadi dua puluh delapan ribu tiga ratus lima puluh rupiah.” Kata Kasir sambil menyodorkan roti dan susu kotak yang udah dibungkus kresek putih.
“Oh, ahmm...” Gue bingung mau bilang apa, soalnya uang di dompet gue cuma goceng alias 5000 rupiah, masya Allah.
“Kenapa Pak, kita terima kartu kredit kok.”
“Oh, ahmm kalo kartu debet?”
“Debet juga bisa. Di sebelah sana ada ATM bersama, silahkan.”
“Oh, ahmmm.”
Gue cepat merogoh handphone, trus cepat membuka inbox dan pura-pura membaca SMS. Trus gue cepat bilang ke kasir “Oh, maaf Mbak, roti sama susunya yang tadi dibatalkan saja. Soalnya Ibu saya baru SMS kalo udah beli roti sama susu buat adek saya.” Dalam hati gue bilang “Ya Allah gue nggak bermaksud bohong, tapi gue cuma punya 5000, nggak lebih. Maafin gue Ya Allah.”
“Oh gitu.”
“Iya, maaf-maaf Mbak. Saya harus cepat pulang.” Di akhir perkataan gue cepat keluar dari minimarket sambil melipat dompet dan memasukkan handphone ke dalam saku jaket.
Sejenak gue tertegun di depan scoopy hitam di depan minimarket, trus membuka dompet gue. Dengan sedih dan lemas gue mengeluarkan selembar uang goceng alias lima ribu. Sambil memandangnya dengan mata yang layu, pelan gue bilang “Astagfirullah haldziim... cuma ada goceng, bisa pake apa uang segini?”
“Permisi Nak.” Kata seseorang di samping kiri gue.
Gue cepat menoleh dan melihat laki-laki tua membawa karung di tangan kiri dan besi cukup panjang di tangan kanan. Gue ganti tanya “Kenapa Kek?”
“Motornya bisa dimajukan sedikit ke depan? Supaya saya bisa ambil botol plastik di bawah ban motor.”
Kedua mata gue cepat melihat ke bawah ban belakang scoopy. Ooohhh...ternyata benar ada botol plastik di bawah ban scoopy. Setelah itu gue cepat memajukan scoopy ke depan dan si laki-laki tua itu segera mengambil botol, trus memasukkannya ke dalam karung.
“Terima kasih Nak.” Ucap si laki-laki tua sambil tersenyum, trus pergi.
“Subhanallah...udah malem banget begini, tapi Kakek itu masih mencari rejeki-Mu Ya Allah. Mohon berilah kelapangan untuknya mencari rejeki, biar keluarganya bisa makan ya Allah dan nggak khawatir sama si Kakek yang belum pulang-pulang, padahal udah malem banget.” Ucap gue sambil melihat si Kakek pergi, trus hilang di tikungan.
Mendadak kening gue berkerut, trus melihat selembar uang goceng di tangan dan bilang “Kenapa nggak gue kasih aja uang ini ke si Kakek tadi? Daripada sama gue nggak bisa pake beli roti, mungkin tuh Kakek bisa beli nasi uduk sama uang segini.”
Gue cepat berjalan mengejar si Kakek sampai di tepi jalan raya. Sementara pandangan gue juga ikut mencari ke mana si Kakek pergi, tapi ternyata si Kakek benar-benar udah hilang.
“Cepet amat jalannya tuh Kakek, atau gue yang lemot mikir ya? Dasar Deni hati lo kurang bersih sih, makanya sering telat mikir untuk kebaikan.” Celetuk hati gue tegas. Sejenak gue menghela nafas, trus melihat lagi uang goceng di tangan gue.
“Maaf Nak, Ibu minta sedikit rejekinya.” Kata seseorang di samping kanan gue.
Ternyata seorang Ibu agak tua memakai kerudung lusuh dengan selendang tua melilit di badannya berdiri sambil menengadahkan tangan kanan di samping gue. Sejenak gue kembali melihat uang goceng di tangan, trus gue kasih ke Ibu.
“Alhamdulillah...terima kasih Nak, semoga Allah membalas kebaikan Nak muda.” Ucapnya sambil tersenyum.
“Amiin.” Gue mengusapkan kedua tangan ke wajah.
Setelah itu sang Ibu pergi ke arah kiri gue. Sementara kedua mata gue masih mengikuti si Ibu yang semakin jauh, abis itu gue menghampiri scoopy. Gue cepat naik dan memakai helem, trus gue putar kunci kontak. Setelah bergemuruh, gue putar balik scoopy dan melaju di jalan raya. Perlahan gue menarik rem tangan dan memelankan laju scoopy, saat melihat Ibu tadi sedang makan nasi uduk dengan si Kakek pemulung tadi. Hati gue langsung komentar “Ooo ternyata si Ibu tadi istrinya si Kakek. Subhanallah...romantis banget makan berdua, gue jadi terharu nih. Semoga mereka dilindungi Allah, mengawal sampe pulang ke rumah. Amiin.”
“Tiiiinn!!!!” Gue sedikit kaget saat suara klakson dari mobil di belakang gue berbunyi keras. Tanpa mikir dan ngomel gue langsung tancap gas, soalnya gue yang salah jadi patung di tengah jalan. Tiba-tiba perut gue bunyi “Krruuuukk...kruuuukk...krruuuk...”
“Haaa makan apa...Ya Allah...” Ucap gue pelan sambil tangan kiri mengelus-elus perut gue.
Scoopy ini terus melaju di jalanan yang malam ini masih terlihat ramai sama motor dan mobil yang seliweran. Hingga semakin lama laju kendaraan di jalan ini semakin padat, jadi gue nggak bisa cepat memacu scoopy, tapi alhamdulillah nggak sampai macet total alias berhenti total. Kedua mata gue pun bisa jalan-jalan dengan scoopy yang melaju pelan, melihat kesibukan orang-orang di tepi jalan. Mendadak kening gue kembali merapat saat melihat banyak orang yang antri di sebuah bangunan seperti kios yang nggak begitu besar dengan satu pintu cukup besar dan tiga jendela. Gue membaca nama yang tertulis di depan kios itu “Martabak Pelangi ‘Una’.”
“Subhanallah...beli martabak aja sampe ngantrinya panjang amat, emang martabak rasa apa ya? Dan harganya berapa?” Kata gue palan.
Sambil menangguk-angguk pelan gue bilang “Gue jadi penasaran sama martabaknya. Mmm cuma lihat doang sebentar, syukur-syukur kalo dapat martabak gratis dari-Mu Ya Rab.” Di akhir perkataan gue tersenyum lebar.
Akhirnya scoopy hitam ini belok ke halaman yang nggak luas, trus gue parkir di samping Nissan putih, soalnya halaman ini hampir penuh sama mobil dan motor. Gue turun bersamaan sebuah Freed hitam belok dan berhenti tepat di samping kanan gue. Sejenak gue melihat mobil ukuran keluarga itu, setelah itu gue melangkah bersamaan pintu mobil terbuka dan cepat keluar seorang Ibu eh Tante kayaknya, yang gendut dengan make up tebel banget. Sejenak si Tante melirik gue tajam, nggak ada ramah-ramahnya dan malah kelihatan jutek banget.
“Ayo cepat Pah... nanti kehabisan...” Seru si Tante sambil cepat berjalan lebih dulu dan menjinjing tas, mendahului gue yang masih terpaku.
“Tunggu Mam...dompet Papa jatuh di mobil.” Suara suaminya keras dari dalam mobil yang pintunya terbuka.
Gue masih terpaku mendengar kedua pasangan yang paling berimbang itu saling sahut, tapi tiba-tiba gue tersentak kaget mendengar suara Tante gemuk yang kembali mendatangi suaminya di dalam mobil yang terparkir di samping scoopy gue.
“Pah cepat nyari Dompetnya, nyalakan dong lampunya biar kelihatan.” Suara si Tante keras sambil melewatiku.
“Astaghfirullah haladziim.” Ucap gue sambil mengelus dada, trus sejenak menghela nafas.
Setelah itu gue berjalan pelan dengan kedua mata mengamati kios unik Martabak Pelangi Una. Ternyata semua orang yang antri udah bubar, sedangkan sebagian orang yang lain masih asik ngobrol dan makan martabak di dalam kios. Tepat di depan pintu masuk gue berhenti melangkah, tapi kedua mata gue masuk ke dalam kios yang lumayan luas dan ramai. Tiba-tiba seseorang menepuk pundak gue dari sebelah kiri. Gue pun cepat menoleh dan melihat seorang laki-laki memakai topi merah, kaos kuning dan celana krem sedang tersenyum pada gue.
“Mas yang terakhir ya?” Tanyanya dengan logat Jawa.
“Ooo...”
“Mas sangat beruntung, ini kupon terakhir dan paling spesial.” Potongnya sambil menyodorkan kertas kecil ke hadapan gue.
Mendadak gue bingung hingga membuat mulut gue bisa berkata apapun, tapi tanpa sadar kedua tangan gue menerima kertas kecil yang disodorkan laki-laki di hadapan gue ini. Sejenak gue membaca kertas di tangan gue. Ooo ternyata ini kupon Martabak Pelangi Una tipe martabak manis klasik max. Tapi gue masih bingung apa maksudnya?
“Ehmm ini kupon martabak?”
“Iya Mas. Silahkan masuk dan tunjukkan kartu ini, trus ambil martabaknya sesuai tipe di kupon itu.”
Perlahan senyum di wajah gue mengembang nih, terus semakin lebar dan bertambah lebar. Gue cepat tanya “Apa....”
Belum selesai gue ngomong, laki-laki di hadapan gue cepat bilang “Gratis tis tis, 100 persen Mas.”
“Subhanallah...” Ucap gue dengan senyum mengembang.
“Ben, saya pulang dulu. Jangan lupa kalo kuponnya udah habis langsung buat laporan.” Suara cewek dari belakang gue.
“Iya Mbak. Pulangnya hati-hati Mbak.” Kata laki-laki di hadapan gue.
Sejenak gue menoleh dan melihat cewek berkerudung berjalan menjauh. Gue cepat menoleh dan mau tanya, tapi si Mas di depan gue cepat bilang “Ayo Mas silahkan masuk.”
“Oh, iya.” Setelah itu gue masuk ke dalam kios yang masih ramai.
Sejenak pandangan gue meneliti, mencari tempat menukar kupon martabak gratis ini. Akhirnya gue mendatangi Kasir aja dan tanya “Mbak, kalo mau nukar kupon...”
“Kupon martabak manis? Bisa lihat kuponnya Mas, sama KTP-nya.”
Gue cepat menyerahkan kupon dan merogoh dompet, trus menunjukkan KTP gue. Sambil tersenyum si Mbak Kasir dengan papan nama Retno bilang “Silahkan Mas tunggu sebentar, disiapkan dulu martabak tipe klasik max-nya.”
“Iya Mbak.” Gue tersenyum sambil mengangguk pelan.
Setelah itu Mbak Kasir alias Mbak Retno menyerahkan kupon itu pada temannya. Sambil celingukan gue mencari tempat duduk kosong, tapi haaa ternyata nggak ada kursi kosong, jadi terpaksa gue berdiri. Bosen diam jadi patung, akhirnya gue melihat-lihat menu martabak yang ditempel di dinding.
“Wooow martabak jaman sekarang udah makin maju, keren-keren, banyak macemnya. Kalo dulu waktu gue masih SD, cuma ada dua rasa dua macam, kacang sama keju.” Di ujung perkataan gue tersenyum lebar.
“Krruuuk...kruuuk...krruuukk...” Suara perut gue lagi nih. Kedua tangan gue sigap dan cepat memegang perut gue, trus gue bilang pelan “Sabar ya...bentar lagi makan martabak enaaaak banget.”
Pandangan gue berlaih ke tempat lain, pada tulisan di dinding “Say no to drug and no to alcohol”, “AGATA anak gaul Jakarta love, peace, calm and smile”, “Islam is Rahmatan lill alamin”, “Utamakan orang tua, anak-anak dan perempuan. Love from us AGATA MUSLIM”, “Use our mind before speaking, use our mind before doing, use our faith before thinking and while thinking.”
“Mas Deni Sumantri.” Suara cewek agak keras dari belakang gue, yang ternyata Mbak Kasir memanggil gue. Gue cepat mendatanginya, setelah itu Mbak Kasir memberikan KTP gue dan memberikan martabak yang dibungkus dalam kardus putih dan kresek putih. Hmmm wanginya sampai tercium, padahal belum gue buka dan kreseknya juga terasa hangat, mungkin martabaknya baru matang. Membuat perut gue semakin nggak sabar dan tambah berisik.
“Alhamdulillah...” Ucap gue dalam hati sambil melangkah keluar.
Melihat Mas tadi yang memberi kupon tadi mau masuk ke dalam kios, membuat langkah gue sedikit belok menghampiri si Mas. Trus gue bilang “Mas, saya pulang dulu. Terima kasih Mas buat kupon dan martabaknya.”
“Iya Mas, sama-sama.”
Setelah itu gue melangkah, tapi langkah gue terhenti saat hati gue tanya “Kok gue belum pernah melihat dan mendengar Martabak Pelangi Una di Jakarta? Padahalkan gue orang Jakarta, walapun gue nggak pernah keluar malam, kecuali sangat mendesak. Soalnya Nyokap melarang gue kongkow-kongkow kayak anak muda jaman sekarang karena khawatir sama jantung gue.”
Gue cepat balik badan dan untungnya si Mas masih ngecek-ngecek barang di luar.
“Mas mau tanya, apa Martabak Pelangi Una itu baru ya di Jakarta?”
“Iya Mas, memang baru di Jakarta. Baru beberapa bulan kemarin buka di Jakarta Barat ini sama di Jakarta Timur, tapi cabang kok Mas. Aslinya dari Surabaya, trus buka-buka cabang di Jawa tengah dan terakhir di Jakarta ini.”
“Ooo gitu...baru buka tapi udah bagi-bagi martabak gratis ya...apa nggak rugi? Atau untuk promo Mas?”
Sejenak si Mas di depan gue tersenyum, sementara hati gue ikut ngomong “Eh Deni, lo kepo amat sih! Mau tahu aja! Yang penting kan dapat martabak gratis dan halal. Jangan lupa lo doain, supaya Martabak Pelangi Una tambah rejekinya.”
“Yaaa kalau dibilang promo mungkin bisa, tapi...kata yang punya usaha Martabak Pelangi Una ini, bagi-bagi martabak gratis dalam rangka ulang tahun ke 7 usaha Martabak Pelangi Una, sekaligus syukuran dan ucapan terima kasih pada pelanggan dan pegawai.”
“Ooo...”
“Pusat Martabak Pelangi Una di Surabaya menyediakan 700 kupon dan tiap cabang menyediakan 500 kupon martabak manis gratis untuk tipe klasik mid, dan kupon paling terakhir yang paling spesial. Sepesial karena tipe klasik max alias porsi jumbo untuk keluarga besar, bukan mid atau mid+.”
“Subhanallah.... Martabak Pelangi Una. Una nama pelanginya ya Mas?”
“Oh bukan Mas. Una itu namanya yang punya usaha Martabak Pelangi ini, Mbak Una yang tadi pamitan pulang waktu Masnya terima kupon.”
“Ooo gue kira nama pelangi..., yang pakai...” Ucap gue pelan, tapi di ujung perkataan agak keras.
“Yang pakai kerudung, yang agak kecil, tapi imut.” Potong Mas di hadapan gue lagi.
“Ayo Pah cepat! Nanti nggak kebagian, tadi mama udah telepon kalo sisakan kupon terakhir buat mama.” Suara seseorang keras dari belakang gue, yang kayaknya gue kenal nih sama suaranya.
Gue cepat menoleh ke asal suara, dan ternyata benar, itu suara Tante gendut tadi yang berjalan tergesa di depan suaminya yang gendut juga. Dengan nafas tersengal si Tante gendut itu berhenti di samping gue, trus dengan tegas tanya sama si Mas di hadapan gue “Mas Mas, kalo mau ambil kupon terakhir Martabak Pelangi Una di mana ya?”
“Maaf Bu, kuponnya sudah habis. Mas ini orang terakhir yang dapat kupon martabak gratis.” Di akhir perkataan si Mas menunjuk gue.
Dengan tegas si Tante menoleh pada gue, trus tegas juga melihat gue. Sigap gue memeluk martabak gratis yang gue dapat, sambil mata gue waspada tertuju pada si Tante.
“Mas, saya pulang dulu. Udah laper pingin makan martabak.” Kata gue cepat, trus cepat balik badan dan melangkah pergi, berpapasan sama suami si Tante gendut tadi.
“Tapi saya sudah telepon Manajernya kalo kupon terakhir itu harus punya saya, soalnya saya langganan paling sering ke sini dan suka belanja paling banyak.” Suara si Tante keras.
“Maaf Bu, saya Manajer sekaligus yang mengelola Martabak Pelangi Una di cabang Jakarta Barat ini, tapi saya tidak merasa mendapat telepon dari Ibu. Malah Mbak Una yang pesan jangan ada yang mengatur masalah kupon martabak gratis.”
“Oh, anda Manajernya? Trus tadi yang angkat telepon dari saya siapa ya?” Ucap si Tante agak pelan tapi terdengar.
“Udahlah Mah, Papa udah lapar pingin martabak. Tuh tuh tuh mmm wanginya sampe sini Mah...” Kata suaminya.
“Nggak bisa Pah. Kita kan pelanggan paling sering dan paling banyak belanja martabak, harusnya dapat gratisan juga dong. Dan anda sebagai Manajer di sini harus ngerti dong.”
“Iya Bu, kata Bu Una insya Allah kalau untuk pelanggan paling sering belanja ada bagiannya sendiri. Jadi kalau Ibu memang pelanggan setia tinggal tunggu kabar baiknya saja.” Kata laki-laki bertopi merah yang ternyata Manajer Martabak Pelangi Una di Jakarta Barat.
Mendengar obrolan mereka makin kencang, membuat gue semakin cepat berjalan sambil terus mendekap erat martabak di depan dada gue. Di depan scoopy gue berhenti melangkah dengan nafas terengah-engah, trus sejenak menoleh, melihat si Tante gendut tadi yang masih marah-marah sama Pak Manajer eh si Mas Manajer. Sebelum gue naik motor, sejenak gue mengintip martabak manis dalam kardus ini. Begitu gue buka...wooow asapnya langsung keluar dan martabaknya benar-benar max, alias porsi besar. Mmm kalo dihitung atas bawah, soalnya dua tumpuk sepasang...kayaknya lebih dari 30 potong, wooow.
“Jadi yang dimaksud klasik itu martabak dengan toping kacang atau keju. Soalnya di tengah-tengah potongan martabak di dalam kardus besar ini toping-nya sebagian kacang dan sebagian lagi keju. Hmmm tahu aja nih, kesukaan gue banget martabak keju.” Gue teliti melihat toping di tengah-tengah martabak yang ditumpuk dan di ujung perkataan gue tersenyum.
“Kayaknya kalo gue makan satu nggak apa nih, buat ganjel perut, biar nggak semakin rewel.”
Setelah itu gue duduk di palang besi yang pendek di depan scoopy, trus gue mengambil satu potong atau satu tumpuk alias sepasang martabak manis toping keju, klasik max. Sebelum gue lahap martabak ini, lagi-lagi gue kagum nih sama dagingnya eh ehmm martabaknya, subhanallah benar-benar tebal, trus taburan keju alias toping keju di tengah-tengah martabaknya juga tebel atas bawah dan pastinya susu kentalnya sampai meleleh, tapi nggak seperti air atau sirup. Hmm membuat perut gue semakin berontak dan mulut gue semakin meleleh alias ngiler. Setelah itu gue baca “Bismillahirrohmannirrohiim.”
Dan kayaknya mulut gue harus mangap maksimal nih, supaya martabak keju ini bisa masuk ke mulut gue. Pelan gue membuka mulut lebar-lebar, dan...sepotong martabak keju ini pun masuk ke dalam mulut gue, trus gue kunyah pelan sambil merasakan nikmatnya martabak gratis dari Allah. Alhamdulillah...
Selesai makan satu potong, pelan dan tegas gue bilang “Mantap.” Sedikit terperanjat mendadak gue kaget mendengar suara seseorang yang gue kenal banget, sigap gue menoleh. Ternyata si Tante gendut dan suaminya sedang jalan sambil ngomel dan menenteng martabak ke mobil mereka di samping scoopy. Gue cepat berdiri dan naik scoopy, trus mengaitkan kresek martabak dan menghidupkan scoopy. Si Tante gendut sedikit terkejut saat melihat gue, trus pandangannya berubah jadi tajam. Nggak pakai lama gue langsung cabut sama scoopy hitam manis.
Sepanjang perjalanan gue nggak berhenti mengucap syukur. Soalnya gue benar-benar merasakan pertolongan Allah, di saat nggak ada satupun manusia yang bisa membantu gue. Gue jadi teringat sama perkataan Dokter Meyda waktu dia mengisi acara pengajian di masjid kompleks gue, walaupun gue nggak ikut pengajiannya sih, soalnya cuma kaum hawa yang boleh ikut. Tapi dengan seijin Allah gue mendengar sedikit ceramahnya, saat gue ke masjid mau sholat maghrib berjamaah dan berangkat sebelum azan, walaupun yang gue dengar cuma sedikit dan dari luar masjid.
Dokter Meyda bilang “Kalo Allah nggak memberi yang kita inginkan tetapi Allah memberi yang kita butuhkan.” Seperti yang gue alami tadi, gue lapar dan gue butuh makan. Jadinya Allah memberi gue makanan, bukan memberi gue uang, walaupun dengan uang gue bisa beli makanan. Tapi itulah sayang-Nya Allah sama gue atau sama kita, karena Dia nggak mau gue capek dan pusing mikir makanan lagi, jadi Dia langsung memberi makanan yang gue atau kita butuhkan.
Bahkan makanan yang gue dapat malam ini paling spesial, martabak jumbo rasa keju. Martabak favorit gue yang udah lama nggak gue cicipi dan yang nggak cuma buat perut gue tapi juga buat Nyokap, Bokap dan Vita yang lagi nonton tv di rumah, juga pastinya Mang Encep yang sekarang jadi bagian dari keluarga gue semenjak Bokap sama Nyokap memilih Mang Encep bantu-bantu mengurus rumah.
Dan satu lagi yang gue dapat malam ini dari si Kakek dan si Ibu agak tua tadi, yang ternyata istrinya. Mungkin Allah ingin memberi tahu gue, rejeki itu nggak akan ketuker kalo Allah sudah menetapkan. Jadi jangan khawatir, takut, sedih dan putus asa nggak bakal dapat rejeki dari Allah. Yakin aja selama kita berdoa dan berusaha, insya Allah Allah selalu menyiapkan jalan untuk menjemput rejeki kita, seperti si Kakek dan si Ibu tadi. Semoga Allah mengasihi orang-orang seperti mereka, amiiin.
Sejurus waktu scoopy berhenti di depan pagar besi bercat hitam. Sebelum gue membunyikan klakson seperti biasa, handphone di saku jaket berbunyi keras. Gue cepat merogoh dan melihat layar, yang ternyata Nyokap menelepon gue. Gue menjawab bersamaan Mang Encep keluar dari pintu depan dan cepat membuka pagar rumah.
“Assalammualaikum.” Jawab gue.
“Waalaikumsalam, Deni di mana sekarang! Ini udah jam 10 malam. Cepat pulang!” Suara Nyokap tegas.
“Deni di depan rumah, di depan pagar yang udah dibuka Mang Encep, Bu.”
Nyokap nggak membalas, trus tiba-tiba Nyokap keluar rumah dan melihat gue di depan pintu rumah.
“Ya udah syukur, cepat masuk.” Kata Nyokap di telepon.
Gue sama scoopy langsung masuk ke garasi yang juga udah dibuka Mang Encep. Setelah itu gue turun bersamaan Mang Encep selesai mengunci pintu pagar, sementara Nyokap masih menunggu di depan pintu rumah sambil memandang gue. Dengan senyum bahagia gue bilang ke Nyokap “Deni bawa...”
“Udah nanti ceritanya, sekarang cepat masuk nanti masuk angin. Mang Encep nanti kunci pintu.” Nyokap memotong tegas, setelah itu masuk lebih dulu.
“Siap Bu.” Suara Mang Encep tegas.
Sejenak gue menghela nafas dengan lemas, trus gue masuk dan langsung ke ruang tengah, soalnya gue yakin Bokap sama Vita pasti masih nonton tv. Sedikit kaget dan kecewa saat gue nggak melihat Bokap dan Vita, karena ternyata ruang tengah sepi. Sebelum Nyokap masuk kamar gue cepat tanya “Bu, Bapak sama Vita mana? Kok sepi...”
“Vita udah tidur di kamarnya abis belajar, besok kan masih ujian. Bapak juga udah tidur, katanya udah ngantuk. Kamu cepat tidur, besok jangan kesiangan, abis antar Vita temani Ibu belanja.” Jawab Nyokap, trus sejenak menguap dan masuk ke dalam kamar.
Pelan gue menghembuskan nafas dan lemas. Tiba-tiba Nyokap keluar kamar lagi, trus tanya “Deni, tadi kamu mau bilang apa?”
“Ooo Deni bawa martabak jumbo, tapi...semua udah tidur...” Di ujung perkataan gue lemas.
“Martabak? Jadi kamu keluar tadi beli martabak?”
“Ehmm enggak, ini gratis dari Martabak Pelangi Una. Sebenarnya...dikasih Allah.”
“Oooh alhamdulillah...” Setelah itu Nyokap masuk ke dalam kamar. Sementara itu gue tambah manyun sambil bawa kresek martabak.
“Ya udah Deni bakal makan martabak sendiri, eh emmm Mang Encep tolong ambilkan piring sama gelas dan air mineral ke ruang tengah. Kita makan martabak berdua.” Suara gue tegas.
“Siap Den.” Mang Encep tegas, trus menguap dengan lemas.
Akhirnya malam ini gue sama Mang Encep makan martabak bareng di ruang tengah di atas karpet tebal sambil nonton tv. Mang Encep memang bisa diandalkan dalam situasi apapun. Gue tahu Mang Encep itu sebenarnya ngantuk berat, bahkan makan martabak aja sambil nguap-nguap terkadang merem dan terkadang sigap buka mata. Lama-lama guepun jadi ikut ngantuk nih.
“Mang Encep, itu martabaknya yang di tangan habiskan dulu.”
Sigap Mang Encep cepat membuka mata, trus bilang “Oh iya Den.”
“Besok pagi jangan lupa angetin martabaknya ya Mang Encep. Dikukus aja sebentar, jangan di oven.” Setelah itu gue menguap dan mata gue pun semakin berat.
“Iya Den.” Jawab Mang Encep lemes, trus ketiduran.
Sejenak gue menguap lagi bahkan lebih lebar, trus badan gue semakin lemes. Kayaknya malam ini gue bakal mimpi Martabak Pelangi Una deh, tipe klasik max.
----------------------------------------------------------
1. Punteun Den =permisis Den (juragan). Bade miceun = mau buang