Saat gelap malam datang mengikis terang, Bimo menyalakan mesin mobil sedan tua dari dalam bagasi rumahnya. Dan Laras yang lagi di kamarnya sedang membaca buku sambil tidur telentang mendengar suara mesin mobil yang menderu.
Laras pun langsung beranjak dari kasur dan berjalan mendekati jendela kemudian membuka sedikit tirai lalu mengintip dari celah-celah, dan ia melihat mobil sedan tua yang keluar dari dalam bagasi rumah Bimo, melesat kencang di ruas jalan yang sangat hening.
Di rumah itu, Bimo hanya tinggal sendiri. Ibunya telah tiada saat ia masih berumur tujuh tahun karena menderita sakit, sementara ayahnya telah tiada saat ia masih duduk di bangku SMA karena bunuh diri akibat depresi berat.
Orang tuanya meninggalkan warisan sebuah rumah yang bangunannya sudah usang serta sebuah mobil sedan tua yang selalu ia gunakan untuk pergi bekerja dan ke kampus. Sambil kuliah, Bimo bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik pemotongan sapi.
Setelah itu, Laras menutup tirai jendela lalu kembali ke kasurnya melanjutkan baca buku. Dan beberapa menit kemudian, ponselnya berdering dari nomor Wanda, sahabatnya, kemudian Laras mengangkat telepon.
“Halo, Ras, lo lagi ngapain?.” tanya Wanda dengan suara lirih.
“Biasa nih, gue lagi baca buku aja,” jawab Laras. “Ada apa, Nda?”, tanya Laras.
“Gue.…,” ujarnya dengan suara yang terbata-bata, lalu hening seketika, Wanda menjauhkan ponselnya sambil menangis terseguk-seguk.
“Lo kenapa, Nda?”, tanya Laras dengan heran tapi tidak ada jawaban sementara Wanda terus menangis. “Halo, Nda, lo masih di situ, kan?”, tanya Laras lagi.
Kemudian Wanda mendekatkan kembali ponselnya sambil berkata, “Gue habis di pukuli sama Rico, Ras.” Wanda kembali menangis.
“Hah!.” Laras sangat kaget saat mendengar hal itu. “Kok bisa sampai begitu?”, tanyanya.
“Awalnya gue cuma nanya cewek yang ada di ponselnya tapi tiba-tiba dia langsung marah dan gue bertengkar hebat dengan dia, kemudian dia langsung pukuli gue,” ujar Wanda dengan mata kiri yang lebam berlinang air mata membasahi pipinya.
“Ya ampun, Nda, itu sih udah keterlaluan banget! mending lo putus aja, deh,” ujar Laras. “Gue sebagai sahabat lo, ikut ngerasain sakit banget, Nda.”
Wanda terdiam sesaat sambil menahan tangis, lalu bertanya, “Gue nggak ganggu lo, kan, Ras?.”
“Ya ampun, Nda, lo tuh sahabat gue,” jawab Laras. “Gue akan selalu ada buat lo.” Wanda pun semakin terisak-isak.
“Saat ini, gue butuh lo banget, Ras,” ujar Wanda dengan suara lirih yang terbata-bata. “Gue pengen meluk lo, Ras,” tambahnya sambil menangis.
Laras pun ikut meneteskan air mata saat mendengar isak tangis sahabatnya, lalu berkata, “Maafin gue, Nda, kalau saat ini jauh dari lo.” Sambil menyapu air mata yang menetes di pipi dengan jari telunjuknya. “Gue sebenarnya juga kangen banget sama lo, Nda.” Wanda semakin menangis terseguk-seguk.
“Terus keadaan lo sekarang gimana, Nda?”, tanya Laras tapi tidak ada jawaban dari wanda. “Halo, Nda! halo!.” Wanda langsung memutuskan sambungan telepon, kemudian Laras mencoba menghubunginya lagi hingga beberapa kali tetapi tidak di angkat.
Laras menjadi gelisah, ia langsung bangun dari kasur lalu membuka lemari dan mengambil sebuah kotak kecil dari dalam laci. Kemudian ia duduk menyandar di dekat lemari sambil membuka kotak kecil yang berisikan foto kenangan bersama Wanda.
Ia mengambil beberapa lembaran foto tersebut lalu memandanginya dengan air mata yang berlinang dan bergumam, “Gue benar-benar minta maaf, Nda. Gue tahu kalau saat ini lo butuh kehadiran gue, tapi gue sama sekali nggak bisa hadir di hadapan lo.” Air matanya terus berlinang dan ia sapu lagi dengan jari-jarinya.
Persahabatan Laras dan Wanda sudah terjalin sejak mereka masih duduk di bangku SMP hingga SMA. Mereka selalu saling membantu ketika salah satunya sedang ada masalah. Laras sering main ke rumah Wanda, begitu juga sebaliknya, sehingga kedua orang tua mereka mengenal Laras dan Wanda.
Dan saat Laras lulus dari SMA, ayahnya ditugaskan dari kantor yang ditempatkan di luar kota. Laras dan Wanda terpisah oleh jarak dan mereka berkomunikasi hanya melalui telepon.
Tak lama kemudian, ibunya naik ke lantai dua lalu membuka pintu kamar Laras yang tertutup rapat dan melihat Laras yang sedang duduk menyandar sambil menangis, ibunya pun menghampiri lalu berkata, “Kamu kenapa, Laras?.” Sambil berdiri di depannya.
Dan Laras langsung berdiri lalu memeluk erat ibunya sambil berbisik, “Wanda, mah.”
“Wanda, kenapa?”, tanya ibunya sedikit panik, lalu mendudukkan Laras di tepi kasur dan ibunya duduk di sebelahnya. “Ada apa dengan Wanda?.” tanyanya lagi sambil memegang wajah Laras yang berlumur air mata.
“Wanda habis dipukuli Rico, mah,” jawab Laras dengan suara lirih dan menangis terseguk-seguk.
“Ya ampun, kurang ajar sekali anak itu!”, ujar ibunya dengan geram, lalu menyapu air mata laras dengan jari-jarinya.
Setelah itu, Laras kembali memeluk erat ibunya dengan menangis lalu berkata, “Laras, kangen banget sama Wanda, mah.” Dengan suara yang terbata-bata.
Lalu ibunya mengusap-usap punggung dan kepala Laras untuk menenangkan keadaan sambil berkata, “Ibu mengerti apa yang sedang kamu alami, kamu yang sabar, ya, menghadapi ini semua.” Sambil ikut bersedih.
“Saat ini Wanda butuh Laras, mah, tapi Laras nggak bisa ada di sampingnya,” ujar Laras lagi.
Kemudian ibunya merenggangkan pelukan Laras dan kembali memegang wajahnya yang berlumuran air mata, ibunya kembali berkata, “Iya, ibu mengerti kok, sayang, sebaiknya kamu berhenti menangis, ya.” Sambil menyapu air mata Laras.
“Sekarang, kamu istirahat saja, ya, beberapa hari lagi kamu sudah mulai masuk kuliah, lho,” tandas ibunya, perlahan Laras berhenti menangis lalu merentangkan dirinya di kasur dan ibunya membantu menyelimuti Laras.
Setelah itu, ibunya mematikan lampu kamar dan berjalan keluar meninggalkan Laras. Sementara itu, ia coba mengirimkan pesan kepada Wanda tapi tidak mendapat balasan dan Laras kian gelisah terhadap sahabatnya.
waiting for next episode, pingin tahu apa terjadi sama teman laras, bimo nya kemana lagi, huhu next.. Next...
Comment on chapter Sahabatku Malang