MAAF
“Ibray!” seru Bintang yang melihat Ibray berjalan sendirian, menuju kantin.
Ibray menoleh, kedua alisnya terangkat menatap Bintang yang berjalan mendekatinya. “Apa?” tanyanya kemudian.
“A ... anu ... itu ...”
“Ck, anu anu itu itu apaan sih? Yang jelas dong kalo ngomong.”
“Itu, gue mau ...”
“Cepetan ngomongnya, gue laper nih mau makan,” ucap Ibray tak sabaran.
“Nggak jadi deh, lain kali aja,” ucap Bintang kemudian lalu berbalik badan, berjalan cepat meninggalkan Ibray.
Ibray menatap kepergiannya dengan bingung. “Ngapain pula dia,” gumamnya lalu berjalan memasuki kantin sekolah.
Sudah satu minggu Bintang berusaha untuk meminta maaf ke Ibray, tetapi selalu gagal. Mungkin karena gengsinya yang tinggi. Dan hari ini dia sudah berhasil memberanikan diri untuk menemui nya, tetapi ujung-ujungnya gagal juga.
***
“Bin, gue lihat akhir-akhir ini lo suka murung deh,” ucap Loli saat dia, Bintang dan juga Siti sedang makan di cafe di salah satu mall dikota mereka.
Siti mengangguk, sependapat dengan ucapan Loli.
“Nggak, biasa saja,” elak Bintang.
“Murung Bintang. Kalo lo punya masalah cerita aja sama kita, siapa tahu bisa bantu.”
“Iya Bin,” ucap Siti yang kembali sependapat dengan Loli.
“Nggak ah, Loli ember.”
“Ck, kapan gue pernah ember sama rahasia yang berhubungan dengan lo?”
Bintang mengendikkan bahu. Memang Loli tidak pernah membocorkan rahasianya, tapi tabiatnya sebagai ratu gosip masih menempel erat pada dirinya, jadi sama sekali bukan ide yang baik jika menceritakan semua rahasia padanya walaupun Loli termasuk teman baik Bintang.
“Masa lo nggak percaya sama gue Bin?” tanya Loli memelas.
Bintang menghela nafas. “Janji jangan ngetawain, jangan ngeledek, jangan bercanda, dengerin baik-baik, kasih solusi baik-baik.”
“Siap Bos.”
“Gue mau minta maaf ke Ibray,” ucap Bintang akhirnya.
“Hah?” respon Loli dan Siti bebarengan.
“Hah hoh hah hoh,” ucap Bintang kesal.
“Minta maaf buat apa? Bukannya dia yang banyak salah sama kamu?” tanya Siti.
“Kayaknya ini semua berawal dari kesalahan gue sendiri, tapi gue nggak ngerti kenapa. Dan kata mama lebih baik gue minta maaf saja siapa tahu dengan begitu Ibray nggak benci gue lagi dan baik-baik sama gue. Ini bukan maksud dari apa-apa loh ya ... gue cuma capek berantem terus sama dia,” jelas Bintang panjang lebar.
“Capek apa capek?”
Siti segera menyikut lengan Loli. Sudah dibilang jangan bercanda kok malah bercanda.
Bintang menatap sebal ke arah Loli yang cengar cengir.
“Iya deh sorry.”
“Terus gue harus gimana?”
“Menurut saya kamu minta maaf saja Bintang, mungkin dengan begitu masalahmu dengan kak Ibray bisa segera terselesaikan, tidak baik juga berantem terus.”
Loli mengangguk. “Yah walaupun harga diri lo ntar bisa turun didepan Ibray, tapi nggak ada ruginya kan kalo buat niat yang baik?”
Bintang terdiam. Nah itu, harga dirinya bisa anjlok didepan Ibray. Mau ditaruh mana nanti mukanya jika Ibray justru akan menertawainya.
“Gue saranin ya Bin, mending lo minta maafnya jangan ditempat rame deh.”
“Maksud lo Lol?”
“Kalo nanti misalnya kak Ibray nolak buat maafin lo dan justru nertawain elo, dia kan nggak bisa secara langsung buat mempermalukan elo didepan banyak orang.”
“Sama saja Loli, kak Ibray punya seribu cara buat mempermalukan Bintang.”
“Iya ya?”
Siti mengangguk.
Bintang masih terdiam hingga beberapa saat. Makanan dihadapannya benar-benar tak tersentuh, sedang tak bernafsu dia. Sedangkan Siti dan Loli sudah kembali sibuk dengan makanan masing-masing.
“Minta maaf ke Ibray itu susah,” ucap Bintang akhirnya setelah menghembuskan nafas keras-keras.
Siti dan Loli kembali menatapnya.
“Buang gengsi lo jauh-jauh, pasti mudah pada akhirnya,” ucap Loli.
***
“Bintang, saya duluan ya,” ucap Siti.
“Duluan ya Bin,” ucap Loli.
Bintang mengangguk. Kemudian tak lama setelah itu ponselnya berdering.
“Hallo kak, ada apa?” Bintang mengemasi buku-bukunya kemudian dimasukkannya kedalam tas sambil mengangkat telepon dari Reno.
“Maaf hari ini aku nggak bisa nganterin kamu pulang, ada urusan mendadak.”
“Iya nggak apa-apa kok, aku pulang naik angkot aja.”
“Eh jangan, bareng Ibray aja ya, dia bawa mobil kok, aku juga udah bilang ke dia kalo nanti kamu bareng dia.”
“Nggak usah deh kak, aku naik angkot aja.”
“Jangan lah, bareng Ibray aja ya, aku sudah terlanjur bilang dan mungkin sekarang dia udah nungguin kamu loh.”
“Tapi_“
“Udah dulu ya Bin, aku bener-bener buru-buru, sorry,” potong Reno kemudian memutus sambungan telepon.
Bintang menatap layar ponselnya. “Kak Reno kok jadi semakin aneh gini ya,” gumam Bintang. Memasukkannya ponsel ke saku lalu berjalan keluar kelas. “Peduli amat dengan Ibray, gue mau pulang naik angkot aja,” batin Bintang. Berjalan dengan langkah cepat.
“Lama bener lo.”
Bintang terkejut, menghentikan langkah. Ibray ternyata benar sudah menunggunya, bersandar di tembok dekat gerbang sekolah.
“Siapa suruh nungguin gue.”
“Reno yang suruh.”
“Salah lo sendiri mau.”
“Ck.” Ibray menarik lengan Bintang.
“Lepasin Bray! Gue mau pulang naik angkot aja,” ucap Bintang di sela-sela pemberontakannya. Sekarang dia ditarik menuju mobil Ibray di parkiran sekolah.
“Enak aja, nggak bisa, gue udah nungguin lo dari tadi.”
“Gue mau pulang sendiri aja ...” rengek Bintang.
“Udah pulang sama gue aja, tinggal nebeng doang kok repot sih, seharusnya lo itu bilang makasih.”
“Lepasin Bray.”
“Bisa diem nggak!” Nada suara Ibray yang otoritas membuat Bintang terdiam.
Sia-sia Bintang memberontak, tenaganya justru terkuras. Ibray sulit untuk dilawan. Sekarang dia memilih menuruti Ibray saja, pasrah. Jika ada kesempatan untuk kabur tentu saja akan digunakannya.
“Masuk.”
Bintang menurut, sambil cemberut masuk kedalam mobil Ibray.
Ibray membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Jalanan kota yang tak begitu ramai membuatnya bebas meliuk-liuk. Sama sekali nggak ada kapoknya berkendara dengan kecepatan tinggi padahal habis terjatuh beberapa waktu yang lalu. Bintang yang duduk disampingnya benar-benar tegang. Berpegangan erat pada jok yang didudukinya.
“Pelan-pelan dong Bray!” seru Bintang yang ketakutan.
“Ini udah pelan,” jawab Ibray santai tanpa mengurangi kecepatan sedikitpun. Tak peduli dengan Bintang yang pucat pasi.
Bintang melirik Ibray sebal. “Ini orang sepertinya mau ngebunuh gue ini,” batin Bintang.
“Loh, kita mau kemana? Kok lewat sini?” tanya Bintang bingung. Dia baru menyadari jika Ibray tidak membawanya pulang justru menculiknya untuk diajak entah kemana.
“Nggak usah banyak nanya.”
Hingga pada saat sampai di jalanan yang agak sempit dan berbatu, Ibray mengurangi kecepatan mobilnya. Ternyata Ibray membawanya ke sebuah tempat di dataran tinggi. Di sepanjang jalan tadi Bintang terus bertanya-tanya didalam hati kemana Ibray akan membawanya pergi, namun dia diam saja, malas betanya lagi, toh dia sudah tahu Ibray tidak akan memberitahunya.
Bintang menatap takjub pemandangan disekitarnya.
“Lo nggak mau turun nih?”
“Hah?”
“Sekarang turun Alien, udah sampe.”
“Oh ....”
Bintang segera turun dari mobil Ibray. Sedangkan Ibray berbicara pada seseorang, menitipkan mobilnya pada orang itu yang sepertinya pengelola tempat ini, Pak Rudi. Lalu berjalan naik keatas atas bukit diikuti Bintang yang masih terkesima.
Hamparan pepohonan hijau yang benar-benar indah. Pohon pinus membentang begitu luas disekitanya. Udara siang yang begitu sejuk membuat suasana menjadi damai, tentram, sunyi.
Tiba-tiba Bintang tersadar bahwa tempat ini benar-benar sunyi, sepi, hanya satu orang tadi yang sudah tertinggal jauh dibelakang. Kemudian pikiran macam-macam berkelebatan di kepalanya.
BRAAKKK...
“Alien, ngapain nabrak-nabrak gue!” seru Ibray.
“Lo nya aja yang tiba-tiba berhenti,” ucap Bintang kesal. Kepalanya sakit karena tadi membentur punggung Ibray cukup keras.
“Makanya jangan jalan dibelakang gue, bego!” Ibray menarik Bintang untuk mendekat.
“Ngapain pegang-pegang?” Bintang mencoba melepaskan genggaman Ibray yang kuat. Benar- benar tak tahu cara memperlakukan perempuan dia, pikir Bintang.
“Kalo nggak dipegangi bisa-bisa ntar lo tertinggal, jalan aja lambat banget kayak siput. Terus nanti kalo lo tersesat atau digondol macan, gue yang bakal disalahin. Jadi nggak usah ke ge-er an kalo gue gandeng-gandeng,” jelas Ibray panjang lebar.
“Di sini ada macan Bray?” tanya Bintang polos. Membuat Ibray menahan tawa.
“Iya, makanya jangan banyak ribut. Ikuti gue aja,”
Mereka terus naik keatas bukit, udara semakin dingin. Hari sudah mulai sore.
“Capek Bray ... lo tuh mau bawa gue kemana sih?” keluh Bintang yang mulai kelelahan karena mereka berjalan cukup jauh. Puncak bukit cukup tinggi hingga membutuhkan perjalanan panjang.
“Ck, bentar lagi nyampe.”
“Gue capek ....” Bintang menghentikan langkahnya.
“Gue gendong?”
“Eh, nggak-nggak,” tolak Bintang cepat-cepat.
“Yaudah ayo!”
"Tapi gue beneren capek," ucap Bintang memelas.
Ibray menghela nafas. "Yaudah istirahat disini dulu."
Ibray asal duduk dibawah salah satu pohon, diikuti Bintang.
Bintang benar-benar tak mengerti. Sedari tadi sebenarnya kewaspadaannya terus meningkat. Memikirkan segala kemungkinan yang akan dilakukan Ibray padanya. Ngapain pula Ibray mengajaknya ke tempat sepi seperti ini. Bintang tahu Ibray tidak akan melakukan hal yang macam-macam, tetapi siapa yang tahu jika tiba-tiba Ibray sedang tak terkendali.
Ibray benar-benar rese pikir Bintang, menyebalkan. Kalau seperti ini mana bisa Bintang dengan mudah minta maaf padanya, yang ada malah rasa ogah semakin menjadi-jadi.
***
“Akhirnya ...” gumam Ibray kemudian setelah mereka sampai ke puncak bukit tepat saat matahari hampir menghilang di ufuk barat.
“Gila, keren Bray.”
“Dari dulu gue emang keren ...” ucap Ibray penuh percaya diri.
“Pemandangannya, bukan lo.” Mata Bintang berbinar-binar melihat pemandangan di depannya.
Ibray duduk di sebuah saung tua, membiarkan Bintang yang masih berdiri memandangi sekitar cukup lama. Sedangkan Bintang yang begitu takjub dengan sunset didepannya, telah melupakan rasa lelah dan kewaspadaannya.
“Alien.”
“Hm?” Bintang menoleh kebelakang
Ibray menggerakkan dagunya, menyuruh Bintang duduk disampingnya. Lalu Bintang berjalan mendekati Ibray dan duduk disebelahnya.
“Keren Bray. Gue nggak pernah liat pemandangan sebagus ini sebelumnya.”
Bintang menatap kedepan,matanya menerawang. Begitupun dengan Ibray. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Lo suka?” tanya Ibray setelah cukup lama kesunyian menyelimuti mereka.
Bintang mengangguk.
“Kita nginep disini aja kalo gitu.”
“APA?”
“Kita nginep disini.” jawab Ibray penuh penekanan.
“Lo gila ya Bray? Nggak ah, gue mau pulang,” ucap Bintang lalu berdiri dari duduknya.
“Terserah kalo berani.”
Bintang menghentikan langkahnya, kemudian menoleh ke Ibray meminta penjelasan.
“Terserah kalo lo berani turun sendirian, lo nggak liat udah mulai gelap?” ucap Ibray acuh saja.
Bintang menatap sekeliling. Benar sudah gelap. Semburat jingga di ufuk barat perlahan mulai menghilang.
“Emang kenapa kalo gelap?”
“Lo tahu, ini tempat paling aman dibukit ini. Di lereng sana, banyak binatang buas kelaparan yang berkeliaran dimalam hari. Lo mau dimakan sama binatang itu?”
Bintang kembali duduk di samping Ibray. Mana berani dia turun sendirian jika ceritanya sudah begitu.
“Anterin gue pulang Bray ...” rengek Bintang sambil menarik-narik lengan Ibray. Sudah macam anak kecil saja.
“Gue juga nggak berani turun kali. Besok pagi aja pulangnya.”
“Yah Ibray ....” Mata Bintang sudah berkaca-kaca sekarang.
Sebenarnya dalam hati Ibray sedikit merasa tak tega. Tetapi Ibray berusaha untuk mengabaikannya.
“Nanti mama nyariin Bray ....” ucap Bintang lelah.
“Sini HP lo.”
“Buat apa?” Bintang mengeluarkan ponsel dari saku.
“Sini.” Diambilnya ponsel dari genggaman Bintang dengan paksa.
Ternyata Ibray SMS mama Bintang
“Kok lo bilang gue nginep di rumah Siti?” tanya Bintang kesal tentu saja.
“Oh, salah ya? Seharusnya itu gue bilang lo tidur sama gue, iya kan? Gue SMS lagi deh.”
Bintang langsung merebut ponselnya. “Jangan gila ya lo.”
Ibray terkekeh. ”Gue mau tidur, lo pijitin kaki gue.”
Ibray berbaring di lantai saung.
“Nggak ah, emang gue tukang pijit?”
“Pijitin kaki gue!” Nada Ibray benar-benar tak terbantahkan.
Bintang benar-benar tak bisa menolaknya. Dengan enggan dia mulai memijit kaki Ibray. Dengan segala perlawanannya ke Ibray, sebenarnya Bintang takut jika Ibray sedang marah. Bintang benci jika Ibray marah padanya, yang kebanyakan tanpa alasan yang jelas.
“Yang bener pijitnya ...” ucap Ibray dengan mata yang masih terpejam.
“Ini udah bener ....”
“Salah bego! Itu namanya nyubit!”
“Terus bagaimana?”
“Udah-udah, nggak niat lo!” ucap Ibray kesal lalu bangkit dari tidurnya.
“Eh, lo mau kemana?”
“Kencing. Mau ikut?”
“Ih, ya nggak lah.”
Ibray berjalan menjauhi saung. Sedangkan Bintang merasa ketakutan karena terdengar suara-suara aneh disemak-semak.
“Bray, tunggu!” seru Bintang kemudian lalu berlari mengusul Ibray.
Ibray berbalik badan. Menatap Bintang tak mengerti.
“Ck, ngapain nyusul? Kan gue udah bilang mau kencing,”
“Nggak berani sendiri, ada suara-suara aneh ....”
“Udah sana balik,” perintah Ibray lalu berjalan cepat menuju semak-semak.
Bintang masih mengikutinya. “Gue ikut, nggak ngintip kok,”
“Halah, paling lo sebenarnya pengen ngintip, pake cari-cari alesan segala. Berhenti disini lo.”
Ibray menghilang dibalik semak-semak.
“Udah belom? Cepetan.”
Bintang terus waspada, merasa merinding. Suara hewan nokturnal mulai bersahutan. Banyak nyamuk. Gelap sekali disini, hanya ada cahaya dari bulan dan senter ponselnya. Apalagi udara bukit yang dingin membuatnya tambah merinding, menggigil.
“Ayo balik.”
“Atau lo mau sekalian kencing?”
Bintang menggeleng cepat-cepat.
“Lo nggak cebok Bray?”
“Mau cebok pake apa? Lo lihat disini ada air?” tanya Ibray heran.
“Nggak,” jawab Bintang cengar-cengir.
“Sekarang lo ngomong aja deh,” ucap Ibray setelah mereka tiba di saung. Kembali berbaring.
“Ngomong apa?”
“Yang kemarin anu-anu itu, ngomong aja disini,” jelas Ibray.
“Itu ...” Bintang menghela nafas, sebaiknya memang dia mengatakannya sekarang. Menguatkan diri. Ini saat yang tepat.
Ibray menatapnya dengan kedua alis terangkat.
“Gue minta maaf.”
“Hah?”
Bintang menghela nafas kembali. “Gue minta maaf jika gue pernah salah sama elo dan ngebuat elo jadi benci sama gue seperti sekarang,” ucap Bintang serius. Memberanikan diri untuk menatap Ibray walaupun tak begitu jelas wajah Ibray karena gelap.
Ibray juga cukup lama menatap Bintang lamat-lamat dengan posisi yang masih berbaring. “Sekarang tidur,” ucap Ibray akhirnya. Hatinya bergetar mendengar kata maaf dari Bintang.
“Lo maafin gue?” tanya Bintang takut-takut.
“Lo nggak salah, gue yang salah.” Entah kenapa Ibray tiba-tiba mengatakan itu, dia sendiri agak bingung.
Bintang menatapnya tak mengerti.
“Maaf” Justru kata itu yang diucapkan Ibray. Membuat Bintang bertambah bingung.
“Jelasin ke gue Bray, gue bener-bener nggak ngerti.”
“Nanti gue jelasin. Sekarang gue mau tidur, capek. Lo juga tidur.”
“Tidur disini?”
“Iyalah, dimana lagi? Kalo lo pengen cepet-cepet pagi, mending cepetan tidur.”
Bintang ikut merebahkan badan, di sisi yang paling jauh dengan Ibray tentu saja. Posisi nya benar-benar tak nyaman. Masih pake seragam sekolah dengan rok pendek pula.
Ibray melepas jaket yang sedari tadi dipakainya lalu dilemparkan ke Bintang.
“Buat apa?”
“Tutupin tuh paha lo, nafsu gue keluar ntar.”
Bintang cepat-cepat menutupi pahanya. Wajahnya memerah. Melirik Ibay dengan sebal.
Beberapa saat kemudian setelah berusaha memejamkan mata, akhirnya Bintang terlelap. Baru pukul delapan sebenarnya. Mungkin terlalu kelelahan hingga membuatnya tidur lebih cepat.
Sedangkan Ibray beberapa kali terbangun. Tidak bisa tidur dia sebenarnya. Akhir-akhir ini memang sedang kacau pikirannya, pusing, penat. Beberapa hari terakhir Bintang terus saja mengisi pikirannya, membuat sesak, hingga Ibray merasa tiba-tiba dihantui oleh rasa bersalah telah berbuat buruk ke Bintang selama ini.
Malam ini tiba-tiba rasa itu menyeruak, tanpa tanda, tanpa permisi, masuk begitu saja, merobek tembok pertahanan yang selama lima tahun terakhir telah dibangun Ibray mati-matian. Hingga Ibray tak bisa mencegahnya kembali. "Gue nyerah," gumam Ibray pelan sekali.
“Jujur, gue emang jahat karena mencampakkan Bintang, menjauhinya, menyakitinya disaat waktu itu dia berusaha memperbaiki persabahatan kita. Tapi gue tak sebenarnya ingin melakukan itu semua. Gue terpedaya oleh sisi kebencian yang ada. Gue benci pada diri gue sendiri, gue benci ayah, benci ibu, dan bahkan Bintang juga seharusnya menjadi salah satu orang yang bisa gue benci. Tapi ternyata dugaan gue salah, gue benar-benar tak bisa membenci Bintang setelah semua usaha yang gue lakukan selama ini. Kenyataannya, gue masih cinta ke dia, gue masih sayang ke dia. Dan sekarang gue bingung harus bagaimana, semua sudah terlambat, sudah berbalik, justru Bintang sekarang pastinya sedang berusaha menjauh. Gue nggak bisa nyakitin dia lagi, gue juga nggak bisa miliki dia, sulit karena sudah ada Reno yang bersamanya,” batin Ibray. Menerawang menatap langit-langit saung.