JUS TOMAT
“Woi ... gila lo ya!”
“Maaf, Kak ....”
“Iya, nggak apa-apa kok.”
“Heh cewek gila, jalan itu pakai mata!”
Bintang mendongak. “Elo itu yang gila. Mana ada jalan pakai mata, jalan ya pakai kaki!” balasnya tak mau kalah.
“Eh ... eh, bisa nggak lo berdiri dulu? Berat.”
Bintang yang baru tersadar segera bangkit. Wajahnya merah karena malu. Tadi dia terpeleset, terjatuh menimpa Reno. Tumpang tindih jadinya. Siapa suruh lantainya licin.
”Maaf Kak ....”
“Maaf-maaf, enak saja ngomong maaf, tanggung jawab dong!” seru Ibray kembali.
“Brisik, gue nggak ngomong sama lo!” ucap Bintang kesal.
“Lo itu nggak tahu sopan santun ya! Berani-beraninya sama gue!”
“Emang lo siapa?” tantang Bintang sambil mengangkat dagu. Memberanikan diri.
“Gue itu senior lo!” ucap Ibray penuh penekanan.
“Lalu?”
Ibray membelalakkan mata. “Lo itu bener-bener_ ”
“Sudah lah Bray, yang jatuh kan gue, kenapa jadi lo yang marah-ma_ ” ucapannya terputus saat menyadari sesuatu. “Eh, baju lo kenapa Bray?” tanya Reno bingung.
“Ya ini ... gue marah karena ini, bukan karena lo yang jatuh,” kata Ibray kesal dengan menunjuk-nunjuk bajunya yang kotor.
Reno hanya cengar-cengir saja.
“Waduh ... mampus gue. Sejak kapan jus tomat gue melayang ke baju Ibray?” batin Bintang.
Ibray mencium bajunya. “Bau banget lagi,” ucap Ibray. Rautnya pengen muntah segala.
“Ti, ke kelas yuk,” bisik Bintang ke Siti yang sedari tadi hanya diam menyaksikan.
“Sekali lagi maaf ya, Kak,” ucap Bintang pelan kepada Reno.
Reno mengangguk. “Iya.”
Bintang dan Siti melesat saja sebelum Ibray menyadari. Ibray masih sibuk dengan baju seragam putihnya yang sudah berubah warna menjadi orange. Lengket pula.
“HEH GILA, KOK LO NGGAK MINTA MAAF KE GUE!” teriak Ibray saat tersadar Bintang melariakan diri.
Bintang mengabaikannya saja. Berlari-lari kecil malah.
“WOI ... JANGAN KABUR LO!”
Ibray hendak mengejar saat Bintang sampai di belokan menuju koridor utama, tetapi ditahan Reno.
“Sudahlah Bray, biarkan saja.”
“Lo kok malah belain dia sih?” tanya Ibray kesal. “Apa-apaan Reno ini,” batinnya.
“Bukan ngebelain, bentar lagi jam masuk, lo mau masuk kelas dengan tampang menjijikkan kayak gitu?”
Ibray menatap Reno meminta penjelasan.
“Mending bersihin baju lo deh, daripada buang-buang waktu ngejar Bintang,”
“Iya ya? Ya udah, sekarang lo bantuin gue,” ucap Ibray lalu berjalan keluar kantin.
***
“Bantuin apa?” tanya Reno kemudian setelah sampai di toilet.
“Bersihin baju gue lah, apa lagi?” ucap Ibray sambil melepas bajunya.
“Wah ... rese lo.”
“Loh Bos, sejak kapan berubah jadi makin jelek? Rambut awut-awutan kek gitu, baju dibuka pula, untung tidak telanjang,” ujar Tobi yang tiba-tiba muncul di ambang pintu dengan nada mengejek.
Ibray melempar bajunya ke arah Tobi. “Sialan lo. Kemana saja tadi?”
Tobi menangkap baju itu dengan sigap sebelum mengenai wajahnya. “Biasa,” jawabnya santai sambil cengar-cengir.
“Ngejar-ngejar cewek lah Bray, kemana lagi?” celetuk Reno.
“Siapa?” tanya Ibray tak mengerti.
Yang ditanya malah senyum-senyum tidak jelas. Garuk-garuk kepala. Punya malu juga tampaknya si Tobi.
Ibray menggeleng-gelengkan kepala. Heran dengan kelakuan temannya yang satu ini.
“Siapa Ren?”
“Mana gue tahu,” jawab Reno mengangkat bahu.
“Gue kayaknya benar-benar sedang jatuh cinta,” gumam Tobi masih dengan senyum anehnya. Menerawang, membayangkan sesuatu yang indah mungkin.
“Bener-bener gila ini anak,” ucap Reno geli.
“Tinggalkan saja,” ucap Ibray. Berlalu keluar area toilet diikuti Reno.
“Baju lo gimana Bray?”
“Biar, kotor begitu mana bisa dipakai.”
“Lhah ... terus lo mau pakai apa?”
“Pakai kaos daleman ini saja.”
Reno mengangguk.
***
Disaat bersamaan, di tempat yang berbeda, Bintang menghela nafas lega berkali-kali. Duduk di bangkunya sambil mengipas-ngipas wajahnya yang berkeringat setelah berlari-lari kecil tadi.
“Selamat gue hari ini,” ucap Bintang. Mengusap dadanya.
“Selamet itu bapak aku Bintang,” ucap Siti.
“Selamat Ti, bukan Selamet,” jawab Bintang penuh penekanan. Heran juga dengan Siti, tiada hentinya untuk bercanda.
“Kalau diingat-ingat tadi kamu dengan kak Reno romantis tenan lo, seperti di sinetron,” ujar Siti melupakan gurauannya yang tadi. Logat jawanya ketara sekali.
“Ih, apaan sih lo,”
Ada sebersit rasa senang sebenarnya di hati Bintang. Tadi itu kebetulan yang menyenangkan, jatuh menimpa Reno. Yah walaupun harus kehilangan segelas jus tomat kesukaannya dan juga harus kembali berurusan dengan Ibray.
“Kak Ibray juga ganteng tenan ....” Mata Siti berbinar-binar.
“Tampan lo Bilang? Merem lo ya? Cowok bandel, jelek lo bilang tampan?” tanya Bintang. Tidak terima dengan pendapat Siti.
“Lha emang kok. Cowok itu emang kudu bandel lagi.”
“Tapi dia itu bandelnya berlebihan, berandal akut,”
“Itu yang membuat kak Ibray tambah keren ....”
“Terserah lo ah,” ucap Bintang kesal.
Bandel emang boleh pikir Bintang. Bahkan, Bintang cenderung suka dengan cowok yang sedikit bandel. Tetapi jika bandelnya kayak Ibray itu sudah masuk dalam kategori dilarang keras. Cowok berandal, suka tawuran, suka balapan liar, suka bolos, suka ngelawan guru, suka tidur di kelas, suka kejam sama Bintang, pokonya semua yang jelek-jelek ada pada Ibray.
“Kak Reno itu juga sama berandal.”
“Berandalnya kak Reno itu nggak separah Ibray. Dan yang paling penting kak Reno nggak kejam sama gue.”
“Susah ngomong sama kamu Bin,” ucap Siti kesal.
“Siapa suruh?” ucap Bintang. Menjulurkan lidah. Membuat Siti semakin kesal saja.
***
Seisi kelas tertawa serentak begitu Ibray memasuki kelas, kelasnya sendiri tentunya, XII IPA 3, lalu duduk di bangkunya. Ibray cuek saja, tak mengerti apa yang ditertawakan teman-temannya.
Tawa Reno tiba-tiba meledak setelah duduk di bangkunya sendiri, di belakang Ibray tepatnya. Ketika itulah Ibray baru tersadar jika mereka semua sedang menertawakannya.
“Apa?” tanya Ibray yang masih tak mengerti. Mengedarkan pandangan ke seluruh temannya. Meminta penjelasan. Tetapi mereka masih sibuk saja tertawa.
Ibray menoleh ke belakang, “Heh Ren, apaan sih?”
Reno sama saja, masih sibuk tertawa. “Itu, punggung lo ... Hahahaha ....”
“Apa? Heh, bisa diem nggak lo, gue timpuk sepatu nih!” ancamnya pada Reno dengan hendak melepas sepatu dari kakinya.
“Lihat tuh tulisan di punggung elo,” ucap Reno setelah tawanya mereda. Berusaha ditahannya agar tidak meledak kembali tentu saja. “I Love You Mom Emmuach,” tambah Reno memperjelas apa yang dimaksud. Setelah itu tanpa bisa dicegah, tawa Rendy meledak kembali, begitupun dengan yang lain.
Ibray yang baru menyadari tentang kaos yang dipakainya merasa kesal, marah. Terlebih Ibray marasa marah karena menyadari bahwa tak seharusnya dia menggunakan kaos yang bertulisakan kata yang selalu berhasil membuatnya sensitif.
Dia berdiri lalu tangannya menggebrak meja begitu keras. “Bisa diem nggak kalian!” teriaknya.
Nada Ibray yang otoritas membuat suasana berubah hening, tegang. Siapa pula yang tidak takut jika pentolan sekolah yang satu itu sedang mengamuk. Bisa bisa hancur seisi kelas.
“Sial ... sakit,” gumam Ibray pelan setelah menyadari tangannya terasa sakit.
Ibray berjalan meninggalkan tempat duduknya. Diambil taplak meja dari meja guru, digunakan untuk menutupi kaos yang dipakainya. Dengan berusaha meredam emosinya, dia berjalan cepat menuju kamar mandi berniat mengambil seragam yang ditinggalkannya tadi.
Seisi kelas bertanya-tanya kenapa Ibray bisa begitu marah. Biasanya tak sampai seperti itu. Bahkan dia justru yang lebih sering mempermalukan temannya.
Tak lama Reno kemudian menyadari apa yang membuat Ibray menjadi semarah itu. Ibray suka sensitif jika ada suatu hal yang mampu mengingatkan dirinya akan ibunya. Hanya orang yang dekat dengan Ibray yang tahu akan itu. Reno berfikir nanti dia akan meminta maaf. Jadi merasa tak enak.
***
“Tobi!” teriak Ibray kaget.
Terlihat Tobi dengan kondisi yang mengenaskan. Bukan mengenaskan tepatnya, tetapi menjijikan. Bersandar pada pintu toilet, senyum-senyum seperti orang gila. Memeluk baju milik Ibray. Yang paling parah, Tobi tak sadar bahwa Ibray berteriak padanya dan mungkin juga tak mendengar bel masuk beberapa saat lalu. Entah apa yang ada dalam lamunannya.
Ibray menepuk pipi Tobi keras-keras, berfikir itu akan dapat menyadarkan Tobi. Benar, ide itu manjur, tetapi bukanlah ide yang bagus. Tobi yang terkejut tiba-tiba melompat ke Ibray, memeluknya dengan erat. Ibray yang merasa jijik, menjatuhkannya ke lantai.
“Apa sih Bray, ganggu aja lo. Kaget gue,” ucap Tobi kesal setelah bangkit dari jatuhnya. Menepuk-nepuk celananya yang kotor.
“Apa-apa, lo itu yang apa? Udah gila lo ya? Pakai meluk-meluk gue segala lagi,” ujar Ibray masih dengan ekspresi jijik.
“Maklum lah ... sedang jatuh cinta ini, salah lo juga ngagetin.”
“Bener-bener gila. Sini baju gue.” Diambil bajunya dari tangan Tobi
“Loh, baju lo kenapa kotor begitu?” tanya Tobi. Baru tersadar jika baju Ibray kotor ternyata.
“Kelakuan si Alien ini,” jawab Ibray bersungut-sungut. Kesal mengingat kejadian tadi.
“Siapa? Oh ... Bintang? Anak kelas XI IPA 4 itu?”
“Siapa lagi?” ujar Ibray seraya melepas kaos dalemannya tadi.
Dipakainya baju seragam yang sudah dibersihkan asal-asalan dengan air. Tidak bersih malah tambah menjijikkan. Tetapi mau bagaimana lagi?
“Kenapa kaosnya dibuang Bray?”
Tobi menatap heran Ibray yang membuang kaosnya ke tempat sampah. Dan malah memilih memakai bajunya yang kotor.
“Sobek,” jawab Ibray asal.
Tobi mengangguk, tak banyak tanya.
“Ayo balik.”
Mereka berjalan menuju kelas. Jam pelajaran sudah dimulai karena jam istirahat telah usai sepuluh menit yang lalu. Saat mereka sampai di ambang pintu kelas, terlihat Bu Ida sudah mengajar Bahasa Inggris. Mereka saling pandang, tersenyum, ini mah urusan gampang pikirnya. Setelah itu berjalan santai memasuki kelas.
“Ibray, Tobi, darimana kalian?” tanya Bu Ida galak.
Ibray dan Tobi menghentikan langkahnya. “Eh ada Ibu Guru cantik,” ujar Ibray sambil tersenyum. Menggoda guru yang cantik itu. Menurutnya ini adalah hal yang menyenangkan. Itung-itung melepas penat di kepalanya.
“Darimana kalian?”
“Dari toilet, Bu,” jawab Tobi santai.
“Ngapain di toilet?”
“Yah Ibu pasti sudah tahu lah, masa harus saya jelaskan secara detail ... ” ujar Bray kali ini.
Bu Ida selalu naik darah jika meladeni mereka. “Kalian ini ya selalu saja bikin onar!” bentaknya.
Walaupun Bu Ida masih sangat muda, tetapi termasuk tipikal guru yang galak. Namun jika sudah berhubungan dengan Ibray, galak itu tidak akan berarti apa-apa. Bahkan siswa lain yang awalnya takut padanya jadi berani melawannya jika ada Ibray. Lebih sering siswa laki-laki yang satu kelas dengan Ibray, ikut menggodanya.
“Kan saya hanya ke toilet, Bu?” tanya Tobi. Ekspresinya dibuat-buat.
“Wah, jangan-jangan sekarang ada aturan baru Bi, ‘Dilarang ke toilet saat di sekolah.’ Tetapi kita tidak tahu,” ucap Ibray. Masih dengan bibir tersenyum.
Bu Ida capek sendiri. “Sudah sana duduk! Ibu pusing meladeni kalian.”
“Nah gitu dong, Bu ... ” ucap Ibray. Berjalan menuju tempat duduknya setelah sebelumnya mengedipkan sebelah mata kepada Bu Ida yang hanya dibalas dengan gelengan kepala dan tatapan kesal.
Teman-teman Ibray hanya bisa menatap tak mengerti. Benar-benar tak habis pikir dengan kelakuannya. Teman Ibray yang cowok sebenarnya sebagian besar sama saja, suka bikin onar. Tetapi tidak sampai melawan guru sampai segitunya.
Yang didengar oleh teman-temannya, Ibray itu dari keluarga yang berantakan, ayah dan ibunya bercerai sejak dia masih kecil. Sekarang dia tinggal dengan ayahnya yang super sibuk dan tidak pernah memperdulikannya. Sedangkan ibunya menikah lagi dan tidak tahu sekarang tinggal dimana. Mungkin itu yang menyebabkan Ibray menjadi bandel seperti sekarang. Para guru sudah capek memperingatkannya berkali-kali. Dihukum seberat apapun tidak akan mempan.
“Bray, sorry buat yang tadi ya,” ucap Reno setelah Ibray duduk dibangkunya.
“Udah, lupain aja.”
“Apa sih?” tanya Tobi yang tak mengerti.
“Knowing every particular object,” jawab Ibray.
Reno terkekeh.
“Ck, menyebalkan kalian.”
Di tengah-tengah penjelasan Bu Ida tiba-tiba Tobi teringat sesuatu. “Waduh, gue belum ngerjain PR Fisika Bray,” bisik Tobi panik.
“Ya’elah tenang aja kali, gue juga belum.”
“Tenang bagaimana? Abis ini pelajaran Pak Paijo, bisa dibunuh ntar gue.”
“Ya udah sini buku lo, gue kerjain.”
Tobi menyerahkan buku tulisnya. “Lhah, kenapa nggak ngerjain di buku lo dulu?”
“Gue nggak nyatet soalnya kemaren.”
“Gue ntar contekin ya,” Celetuk Reno tiba-tiba setelah mendengar percakapan mereka.
Tobi menoleh ke belakang. “Enak saja, kerjain sendiri,”
“Lo aja nyontek,”
“Ini bukan nyontek,”
“Sama saja bego!” Reno menjitak kepala Tobi. Akibatnya jadi saling jitak-menjitak.
Tanpa mereka sadari, semua mata tertuju kepada mereka. Ternyata percakapan yang dimulai dari bisik-bisik tadi berubah menjadi keributan kecil yang membuat Bu Ida kembali kesal.
“Tobi, Reno, kenapa ribut-ribut?” seru Bu Ida.
“Tobi kentut, Bu.” Ibray yang menjawab. Menutup hidung. “Bau banget kentut lo, Bi.” Ibray sengaja menjahili Tobi.
“Gue nggak kentut, Bray,” ucap Tobi kesal.
“Udah lah, Bi, nggak usah bohong, tadi gue denger suaranya kok, kalian juga nyium bau-bau tak sedap kan?” tanya Ibray ke teman-temannya dengan ekspresi yang dibuat serius.
Dibalas dengan anggukan serentak.
“Iya, Bray. Gila, baunya tajam banget,” celetuk Reza sekarang, teman sebangku Reno. Bahkan disertai dengan ekspresi pengen muntah.
Seisi kelas tertawa. Benar-benar menjadi ricuh sekarang.
“Gue nggak kentut,” ucap Tobi sekali lagi. Masih berusaha membela diri. Wajahnya memelas.
“Tega kalian berdua,” gumam Reno yang sedang menahan tawa.
“Sudah-sudah!” Seru Bu Ida sambil memukul-mukul meja dengan penggaris. Mencoba menenangkan keadaan. “Sekarang fokus lagi sama Ibu. Dan kamu Ibray, jika masih bikin keributan, ibu pindah tempat dudukmu!”
“Yah ... kok ancamannya jadi pisah ranjang sama Tobi, Bu ... ini mah sama saja dengan melarang seseorang untuk melanjutkan keturunan,”
“Iya nih, tega bener Bu Ida,” ucap Tobi ikut-ikutan. Tak rela jika dipisah dengan idolanya.
Seisi kelas kembali ricuh, semakin parah.
“Asli, gila lo, Men,” celetuk Fino kali ini. Disertai tertawa terpingkal-pingkal.
“Lhah emang benarkan?” ucap Ibray.
“Diam!” bentak Bu Ida. Wajahnya merah padam.
Suasana menjadi hening, tetapi tidak bertahan lama.
“Duh, Ibu, jangan galak-galak dong ... nanti cantiknya hilang loh,” goda Ibray kembali. Benar-benar tidak ada rasa takut dia.
“Diam kamu, Bray, ibu pindah beneran ini!”
“Ah Ibu ... ” ucap Ibray akhirnya. Sudah cukup untuk menggoda Bu Ida kali ini. Bukannya takut dengan ancamannya. Ibray tiba-tiba lebih tertarik memikirkan rencana untuk memberi pelajaran ke Bintang sekarang.
Akhirnya kelas kembali tenang. Bu Ida kembali menjelaskan materi ketika emosinya sudah mereda.
***
“Bin, kenapa sih kamu benci sekali dengan kak Ibray?” tanya Siti.
Sekarang waktu bubaran sekolah. Mereka berjalan di koridor utama menuju gerbang. Bintang menatap awas sekitar, waspada jika suatu saat Ibray muncul lalu memberinya perhitungan. Kelas Ibray berada di pojok paling barat, sedangkan kelas bintang agak ke timur, lebih dekat dengan gerbang. Jadi peluang Bintang untuk terus menghindari Ibray lumayan besar sebenarnya, kecuali jika di kantin.
“Bintang!” seru Siti kesal karena Bintang mengacuhkan pertanyaannya.
“Hm?” Bintang masih saja celingak-celinguk. Tengok belakang, samping kanan, samping kiri, belakang lagi. Bahkan hingga menjulurkan lehernya panjang-panjang, berusaha memperluas area pengintaiannya.
“Apa lo celingak-celinguk begitu? Nyari gue?”
Bintang terkejut, hampir terjengkang ke belakang tadi. Bahkan Siti juga terkejut. Ibray tiba-tiba muncul tepat di hadapannya dengan kedua tangan yang terlentang, menghalangi celah Bintang untuk kabur.
Ibray menahan tawa. Dia sudah menyusun rencana agar bisa mencegat Bintang di sini. Keluar kelas lebih awal saat jam pelajaran terakhir, mengabaikan Pak Cecep yang meneriakinya, bertanya kemana dia hendak pergi.
“Ikut gue,” ucap Ibray dingin. Menarik tangan Bintang dengan paksa.
Namun mereka tetap berdiri di tempat. Bintang memberontak. Mencoba melepaskan genggaman Ibray yang begitu kuat. Mana mungkin Ibray bisa membawa cewek ini pergi dengan situasi seperti ini, kecuali menyeretnya. Ibray tidak sekejam itu dengan perempuan.
“Lepasin Bray!” pekik Bintang.
Semua mata yang melihat mereka hanya bertanya-tanya tak mengerti, berlalu begitu saja walaupun dalam hati sangat penasaran. Ini urusan Ibray, mereka enggan ikut campur. Sama saja cari mati.
Ibray semakin memperkuat genggamannya karena Bintang semakin memberontak. Tangan Bintang yang bebas pun ikut digenggam Ibray karena tadi terus memukulinya keras-keras.
“Bisa diam nggak!”
“Eh Siti bantuin dong, malah bengong ....” ucap Bintang memelas.
Siti sedari tadi hanya menyaksikan dengan bingung. Tak mengerti harus bagaimana. Ingin membantu Bintang tetapi takut dengan Ibray. Serba salah.
Bintang terfikir sesuatu. “Selamat siang Pak Woko....”
Ibray menoleh ke belakang, mencari-cari sosok yang disapa Bintang. Hal itu menjadikan genggaman di lengan Bintang menjadi melemah.
Ibray masih sibuk mencari-cari keberadaan kepala sekolah itu. Ini menjadi kesempatan Bintang untuk kabur. Bintang menginjak kaki Ibray kuat-kuat hingga refleks Ibray melepaskan genggamannya.
“SITI LARI!” teriak Bintang yang berlari sekuat tenaga. Siti yang mengetahui maksud Bintang segera mengikutinya.
“WOI ALIEN ... JANGAN KABUR LO!”
Ibray mengejar Bintang, namun kalah cepat, Bintang dan Siti yang lebih dulu naik bus yang kebetulan pas lewat di depan halte sekolah.
Ibray menghentikan larinya. “Awas lo ya, tunggu pembalasan gue!” Batin Ibray. Benar-benar kesal dia kali ini. Bisa-bisanya dikibulin Bintang. Sebenarnya tadi dia berencana membawa Bintang ke kantin, balas menyiramnya dengan jus tomat, atau jika kebetulan ada air comberan juga boleh itu.
Bintang tahu jika Ibray itu agak sedikit patuh ke Pak Woko. Pak Woko tidak pernah keras ke Ibray, baik malah jadi mau tidak mau Ibray juga harus sedikit menghargainya. Menurut Pak Woko percuma mengerasi Ibray, lebih baik di bimbing dengan cara baik-baik siapa tahu suatu saat Ibray benar-benar luluh dan bisa berubah. Apalagi Ibray merupakan murid yang jenius. Perlu dijaga baik-baik potensi itu.
“Abis ngejar maling Bray?” Tanya Reno yang tiba-tiba muncul di belakang Ibray.
“Lebih dari maling, perampok.” Jawab Ibray kesal.
Reno menahan senyum. “Perampok hati?” Reno tahu jika Ibray habis mengejar Bintang. Tadi dia tak sengaja melihatnya saat hendak menuju parkiran.
“Sialan lo.”
Ibray dan Reno berbalik, berjalan keparkiran untuk mengambil sepeda motor masing-masing.
“Gue duluan,” ucap Ibray kemudian melesat dengan sepeda motornya sebelum Reno sempat menjawab.
Ibray menembus jalanan kota yang tak begitu ramai. Bebas mengebut, meliuk-liuk. Dia sedang malas pulang kerumah sekarang, sepi. Ditepikan motornya di suatu ruas jalan. Dikeluarkan ponsel dari sakunya lalu dikontaknya Reno.
“Ren, gue kerumah lo ya, lo udah sampe?”
“Gue kesana sekarang,” ucap Ibray setelah mendengar jawaban Reno dari seberang sana. Memutuskan sambungannya lalu kembali memacu motornya.
***
Rumah Reno berada di kawasan perumahan mewah. Dan benar rumahnya memang besar dan mewah, tetapi masih mewah rumah Ibray. Keluarga Reno sebenarnya harmonis, namun karena ayah dan ibunya yang seorang pengacara benar-benar penggila kerja membuat Reno merasa muak. Dia sama seperti Ibray, anak semata wayang yang kesepian, teracuhkan. Maka dari itu Ibray sering ke rumah Reno, begitupun sebaliknya, saling membutuhkan hiburan.
“Lo di sini juga Bi?” tanya Ibray setelah sampai dikamar Reno.
Yang ditanya tidak menoleh, sibuk main PS. “Dirumah brisik, pusing gue,” ucap Tobi dengan ekspresi kesal.
Ibray terkekeh.
Tobi mah berbeda. Jika dipikir-pikir dia paling beruntung diantara mereka bertiga, walaupun hanya dari keluarga yang sederhana. Orang tuanya asik, rumah selalu ramai, karena memang Tobi memiliki empat orang adik, tiga cowok satu cewek yang paling bungsu. Dia anak sulung. Namun karena malas mengurus adik-adiknya yang katanya bandel sekali, Tobi juga sering ikut main ke rumah Reno dan Ibray. Kehidupan yang serba salah memang.
“Ikutan main dong.”
Ibray melempar tas sekolahnya sembarangan lalu duduk disebelah Tobi, ikut asik main PS. Tak lama kemudian Reno muncul dengan beberapa gelas minuman dingin dan cemilan.
“Loh, tumben lo bawa sendiri, mbok Ipeh kemana?”
“Pulang kampung, ada saudaranya yang menikah katanya.”
Ibray mengangguk.
Mbok Ipeh itu asisten rumah tangganya Reno, yang sudah berpuluh-puluh tahun kerja di rumahnya. Bahkan malah sudah seperti Ibu Reno sendiri karena dia yang merawat Reno dari kecil jika ibunya sibuk bekerja.
“Gue nginep ya Ren, pinjem juga seragam lo yang satunya.” ucap Ibray. Benar-benar sedang tak ingin pulang. Suasana hatinya sedang tak baik.
“Siap Bos.”
“Gue juga dong,” celetuk Tobi.
“Sip, temenin gue main sampe pagi,” ucap Ibray.
“Hah?” Tobi melongo.
Reno terkekeh.
“Gue pulang aja kalo gitu.”
Tobi hendak pergi. Tetapi Ibray mencegahnya.“Eits ... nggak bisa. Ntar gue traktir pizza deh ...”
“Dua porsi?”
Ibray mengangguk.
“Nah gitu dong ...” ucap Tobi senang. Enak juga punya dua temen tajir.