Sepulang sholat subuh dari masjid gue duduk di atas, lengkap masih memakai baju koko sama sarung plus peci. Bokap yang membelikan gue peci yang warnanya sama kayak punya Bokap, putih. Kata Bokap kalo sholat di masjid itu harus pakai peci, biar kita tambah ganteng di hadapan Allah, jadi Allah tambah cinta sama kita. Abis itu gue membuka Quran, trus gue membaca pelan walaupun suara gue nggak seindah Nyokap kalo membaca Quran. Selesai membaca Quran dan terjemahannya gue cepat mandi, trus pakai parfum dan memakai kaos oblong sama celana pendek di bawah lutut dikit. Setelah itu gue turun ke lantai satu. Sejenak gue tersenyum melihat Si Vita udah duduk di sofa ruang tengah, sedang serius baca-baca buku sekolahnya. Gue pergi ke garasi dan memanaskan scoopy bentar. Sejenak kedua mata terbang meneliti langit pagi.
“Langitnya udah terang nih, cepet banget ya. Padahal sekarang masih belum jam 6 pagi.”
Sorot mata gue bergerak lagi, lalu berhenti di pohon mangga di depan pagar rumah di dekat selokan. Lama gue memperhatikan pohon mangga yang masih segede pohon jambu batu, soalnya nggak gede-gede dari jaman gue sekolah SD. Gue jadi mikir kenapa ini pohon mangga ini nggak gede-gede, nggak pernah berbuah lagi!
“Hmm simbiosis yang merugikan. Pantes aja pohon mangga ini nggak gede-gede.” Ucap gue pelan saat tahu banyak benalu menempel di pohon mangga.
Sigap gue mengambil pisau besar di dapur, trus gue babat habis benalu-benalu di pohon mangga. Nggak lama kemudian Bokap keluar rumah sambil meregangkan kedua tangan dan berhenti di teras. Dengan kening berkerut Bokap heran melihat gue membawa pisau di depan pohon mangga.
“Deni. Kamu habis ngapain! Bawa-bawa pisau besar lagi.”
“Deni habis nolongin pohon mangga ini Pak.”
“Nolong gimana?”
“Nih Pak...tuh....banyak benalunya, pantes aja pohon mangganya nggak gede-gede, masih segede unyiiiiil aja.”
“Oooh baguslah, biar kamu banyak gerak. Nggak di kamar terus.” Di ujung perkataan Bokap tersenyum kecil, lalu meregangkan kedua tangannya.
Gue jongkok dan cepat memungut benalu-benalu yang berserakan di bawah pohon mangga. Tiba-tiba kening gue merapat saat otak gue memikirkan kata “Simbiosis”, cuma itu yang ada di kepala gue.
“Hmm simbiosis. Mungkin perjalanan hidup gue...eee semua manusia, Allah tetapkan ber-simbiosis. Mungkin itu yang mau dikatakan Allah dalam surat dalam Quran yang tadi gue baca. Surat apa tadi ya? Mmm pokoknya itulah, gue lupa.” Di ujung perkataan gue nyengir.
“Ternyata manusia juga ber-simbiosis.” Ucap gue sambil tersenyum dan manggut-manggut. Gue pun mengingat yang udah gue alami selama ini, mulai dari ketemu Pak Roy, mengantar Nyokap belanja dan membeli kue ulang tahun di langganannya, ketemu anak kecil gendut yang saudaranya mirip-mirip, ketemu Dokter Meyda yang cantik, ketemu Ibu-Ibu yang mengira gue pengemis, ketemu sama copet yang mau beraksi di pasar, bahkan berkali-kali ditolak Penerbit.
Dan sekarang gue mengerti, setelah gue mengambil hikmah dari yang udah gue alami dan dari Al Quran, bahwa manusia hidup itu ber-simbiosis dan mereka nggak bisa hidup sendiri. Jadi bukan cuma hewan atau tanaman, seperti yang sering dipelajari di bangku sekolah. Simbiosis yang diangkat dalam kehidupan manusia, ya interaksi sesama manusia. Dalam pelajaran ilmu pengetahuan alam, simbosis yang paling atas adalah simbiosis mutualisme, yaitu hubungan antar makhluk hidup yang saling menguntungkan, begitu juga dalam hidup kita. Allah udah menerangkan atau menjelaskan lewat alam semesta di sekitar kita. Dan kita cuma tinggal mengambil pelajaran dari mereka (alam semesta), tapi kebanyakan manusia itu males dan nggak mau mikir.
Ehmm kayaknya rasa kecewa gue jadi sedikit terobati. Gue mengerti kenapa Penerbit lebih mengutamakan Penulis yang udah tenar atau punya nama yang dikenal banyak orang, itu semua karena simbiosis mutualisme berlaku antara Penerbit dan Penulis. Penerbit cuma sekelompok manusia yang mempunyai naluri, naluri untuk mendapat keuntungan dan mengurangi rugi dalam dunia penerbitan. Jadi Penerbit nggak akan mencetak buku kalo ternyata buku yang akan dicetak belum dikenal Penulisnya atau tulisannya jelek. Karena kalo nggak seperti itu, pasti bukunya nggak akan laku, dan itu nggak salah juga. Karena yang gue tahu, Allah udah menjelaskan dalam Al Quran tenang muamalah atau menjalin hubungan dengan manusia dan cara menjalin kerja sama, nggak ada yang boleh dirugikan.
Tapi ada satu simbiosis yang nggak disukai Allah dan bisa menjadi dosa, yaitu simbiosis parasitisme, kayak benalu ini yang nempel di pohon mangga gue, jadi akibatnya pohon mangga gue nggak bisa gede, masih segede unyil aja. Soalnya benalu ini yang menyerap habis kandungan-kandungan penting buat pertumbuhan dalam pohon mangga. Jadi intinya simbiosis parasitisme itu cuma menguntungkan satu pihak dan pihak lain dirugikan. Simbiosis parasitisme yang sering kita dengar di kehidupan, kayak kasus penipuan dalam berbisnis, nyopet, nyuri, atau ngambil barang orang, termasuk korupsi dan suap menyuap dan kejahatan lainnya yang cuma menguntungkan satu pihak, tapi sangat merugikan pihak lain.
Dan simbiosis yang erat banget sama keikhlasan adalah simbiosis komensalisme, yaitu hubungan yang menguntungkan satu pihak, tapi pihak lain nggak dirugikan, dengan syarat pihak yang nggak dirugikan dan nggak mendapat untung harus ikhlas karena Allah. Kayak kita memberi sedekah, memberi makan orang miskin atau orang yang lapar, menolong sahabat atau orang. Kalo niat kita ikhlas berbagi dan menolong karena Allah, maka kita nggak akan rugi di dunia dan malah Allah akan meng[ganti yang udah kita keluarkan, berlipat lipat. Itu janji Allah dalam Al Quran. Tapi bagi orang yang terlalu menjunjung logika dan membanggakan hidup, simbiosis komensalisme dianggap merugikan.
Kalo kita baca Al Quran dan men-tadaburi-nya, kita akan tahu bahwa Allah suka banget membuat perumpamaan-perumpamaan untuk menjelaskan ayat-ayat-Nya dan selalu diulang-ulang. Itu karena Allah sayang sama kita manusia dan Allah pingin kita mengerti tentang simbiosis dalam hidup manusia yang diperumpamakan melalui makhluk-Nya di alam semesta selain manusia dan dijelaskan melalui ayat-ayat-Nya. Subhannallah....
“Terima kasih Ya Allah”.
Selesai sarapan gue naik scoopy dan mengantar Vita ke sekolah, soalnya hari ini dia ujian kenaikan kelas jadi gue berangkat lebih pagi dari biasanya. Gue santai memacu scoopy di jalanan yang nggak macet dan nggak berisik, Vita juga nggak ngomel-ngomel, jadi tenang banget. Di depan sekolah SMP gue berhenti, trus Vita cepat turun dan memberikan helemnya ke gue. Setelah itu dia cepat masuk ke dalam sekolah. Sedan hitam terlihat berhenti di depan gue. Setelah pintu terbuka, Nilam keluar dari mobil sedan dan jalan ke pintu gerbang sekolah. Sementara gue masih meneliti mobil sedan yang masih belum jalan. Kening gue berkerut saat mencoba meneliti nomor polisi sedan hitam itu.
“Kayaknya itu mobil...Bang Andi, suaminya Dokter Meyda.” Gumam gue pelan.
Nggak lama kemudian kaca samping kiri mobil perlahan terbuka. Dari dalam mobil melongok seorang perempuan berhijab, tapi kayaknya dia bukan Dokter Meyda.
“Nilam.” Panggil perempuan dalam mobil dengan suara keras. Hingga Nilam pun berhenti melangkah dan menoleh.
“Bukunya ketinggalan.” Suara perempuan berhijab keras sambil menunjukkan sebuah buku. Terlihat Nilam berlari mendekati, trus cepat mengambil bukunya.
“Makasih Kak Indah, Nilam masuk dulu. Dadaaaah...Kak Indah, Kak Andi.” Kata Nilam sambil tersenyum.
“Iya sama-sama...semangat ya...”
Gue mendengar Nilam menyebut nama Kak Indah dan Kak Andi. Kok Nilam bisa kenal mereka? Kan yang jadi Kakak sepupunya cuma Dokter Meyda, sok kenal banget sih si Nilam. Setelah itu sedan hitam perlahan melaju, menjauh dari gue yang masih duduk di atas scoopy. Sejenak Nilam melihat gue terpaku melihat sedan hitam berlalu, trus dia mendatangi gue.
“Kak Deni, Vita mana Kak?”
“Vita udah masuk.” Suara gue ketus.
“Ooo ya udah Kak. Aku mau masuk juga kalo gitu.”
“Iya.”
Nilam balik badan dan berjalan menuju pintu gerbang sekolah. Tiba-tiba otak gue berlari nih, kenapa gue nggak tanya Nilam aja? Siapa Kak Indah tadi? Trus hubungannya sama Kak Andi apa? Juga sama Dokter Meyda.
“Nilam tunggu.” Suara gue keras. Hingga Nilam berhenti dan menoleh, trus kembali mendatangi gue.
“Apa Kak?”
“Mmm...apa...” Gue nggak melanjutkan pertanyaan, soalnya gue nggak mau dibilang kepo, tapi...kalo gue nggak tanya, gue pingin tahu banget. Jadi gue harus gimana dong?
“Kak Deni! Mau nanya apa? Cepet nanti keburu bel.” Suara Nilam agak keras.
“Ehmm Ka...Kakak sepupu Nilam...ehmm gimana kabarnya?” Gue terbata-bata, tapi kaget sama pertanyaan gue. Soalnya pertanyaan itu nggak ada di otak gue, kenapa gue bisa tanya itu! Kakak sepupu si Nilam kan dokter Meyda. Dan sekarang dokter Meyda udah resmi jadi istri Bang Andi.
“Addduuuh udah bikin dosa gue. Maafin ya Allah...Maafin...nggak sengaja.” Ucap gue dalam hati sambil memukul-mukul helem yang gue pakai.
Ternyata Nilam cepat mengerutkan dahi, tapi akhirnya tersenyum lebar dan bilang “Ayooo ada apa niiiih Kak Deni nanyain Kak Mey...chuii...chuiiii pasti ada apa-apanya niiiih...”
Kayaknya mulut gue jadi rapat mendadak, susah dibuka. Jantung gue juga jadi deg-degan nggak karuan. Dan mungkin yang paling terlihat wajah gue jadi terasa kaku banget.
“Kak Deni suka ya? Sama Kak Mey?” Tanya Nilam sambil tersenyum.
Gue nggak menjawab, tapi dalam hati gue bilang “Gue emang suka sama Kak Mey kamu, Dokter Meyda. Tapi...Kak Mey udah nikah, masak gue mau merebut cewek yang udah nikah, bisa disentil gue sama Allah.”
Sejenak Nilam menghela nafas panjang, trus kembali tersenyum lebar.
“Kak Deni tenang aja, nanti Nilam sampaikan sama Kak Mey kalo Kak Deni suka, tapi...setelah itu Kak Deni harus ngomong sendiri. Soalnya yang Nilam tahu, Kak Mey itu....nggak mau pacaran. Jadi kalo Kak Deni beneran suka sama Kak Mey, lebih baik Kak Deni langsung datang ke rumahnya.” Suara Nilam tegas dan di ujung perkataan suaranya lebih tegas.
Gue kaget banget, hampir syok sambil cepat menatap Nilam dengan kedua mata terbuka lebih lebar. Apa gue nggak salah dengar? Gue jadi bingung.
“Kak Deni.” Suara Nilam lebih keras.
“Eh iya iya.” Gue kaget.
“Jadi Kak Deni beneran suka Kak Mey?” Tanya Nilam keras.
“Yaaaa sebenernya...iya, tapi....kan Kak Meyda udah nikah.” Suara gue pelan sambil menunduk.
Eh malah tiba-tiba Nilam tersenyum lebar, trus bilang tegas “Kak Meyda belum nikah.”
Gue kembali terkejut sambil cepat mengangkat kepala, menatap Nilam yang masih tersenyum. Dengan penasaran gue tanya “Trus yang kemarin nikah siapa?”
Sejenak Nilam menghela nafas, trus bilang “Kak Andi Adik Kak Mey. Yang nikah kemarin Kak Andi, bukan Kak Mey. Kak Andi nikah sama Kak Indah.”
Gue kaget banget dengan mata terbuka lebar, trus perlahan senyum di wajah gue berkembang. Perlahan juga jantung gue tenang banget berdetak dan hati gue kayak ditumbuhi banyak bunga, indah banget kelihatannya.
“Teeet...teeet...teeeet...” Bel masuk berbunyi keras. Membuat anak-anak SMP yang masih di luar gerbang dan di halaman sekolah cepat masuk ke dalam kelas.
“Nilam masuk dulu Kak udah bel.” Nilam berjalan cepat ke pintu gerbang.
“Nilam tunggu.” Gue cepat turun dari motor dan mengejar Nilam.
Keras gue bilang sebelum Nilam masuk ke dalam kelas “Kak Deni suka sama Kak Mey, Kak Deni harus gimana? Kak Deni bingung.”
Sejenak Nilam menoleh sejenak, trus bilang keras “Langsung aja datang ke rumah Kak Meyda.
“Trus Kak Deni harus ngapain?” Suara gue lebih keras.
“Kak Deni lamar Kak Mey, nanti keburu diambil orang.” Teriak Nilam sambil berjalan cepat menuju kelasnya.
Dari arah samping mendadak Satpam sekolah mendatangi gue dengan wajah garang. Membuat gue sedikit terkejut.
“Mas jangan teriak-teriak, di sini sedang ada ujian.” Kata Pak Satpam tegas.
“Iya iya maaf, maaf.” Gue pelan sambil tersenyum. Setelah itu gue cepat melihat Nilam lagi.
“Bilangin sama Kak Mey. Kak Deni mau ke rumah Kak Mey, Kak Deni Mau ngelamar.” Suara gue semakin keras pada Nilam.
Sejenak Nilam menoleh sambil tersenyum lebar. Sementara Pak Satpam yang garang melotot dan mengusir gue. Sigap gue cepat lari dan naik scoopy yang diparkir di pinggir jalan yang udah mulai ramai. Setelah menghidupkan scoopy gue langsung cabut.
Seakan nggak percaya dengan yang tadi gue dengar, selama perjalanan gue masih agak bengong. Kenyataannya gue emang nggak menyangka sama yang baru gue dengar, tapi yang pasti membuat gue seneng banget, bahkan gue merasa hati gue saat ini kayak ditumbuhi banyak bunga, subhanallah...indah banget. Mudah-mudahan bunganya nggak dipetik orang sebelum gue petik, jadi gue harus cepat melamar Dokter Meyda, biar nggak keduluan orang. Dan hari ini gue baru tahu juga ternyata Bang Andi itu Adik dokter Meyda, pantesan...mereka mirip banget. Gue kira mereka mirip karena jodoh. Hmm gue harus bersyukur nih sama Allah.
Scoopy hitam melaju lagi santai di jalan raya yang perlahan ramai. Sebelum pulang ke rumah, gue mampir ke tempat poto kopy, membeli kertas A4, soalnya kertas gue di rumah udah abis pakai nge-print naskah. Selesai membeli kertas gue mau mengantar naskah kelima atau judul kelima ke Penerbit. Sekarang emang masih jam 08.00, mungkin nanti sampai di Penerbit jam 08.25, kalo nggak macet.
Tiba-tiba aja gue jadi kepikiran sama perkataan dokter Meyda. “Allah berfirman dalam Al Quran, “Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dalam keadaan susah payah.” Bersabarlah dengan sakit kamu dan tetap optimis menjalani hidup. Lebih baik dekatkan dirimu pada Allah sesuai kesanggupanmu, agar kamu siap menghadap-Nya, saat jantungmu tiba-tiba berhenti berdetak.”
Gue lega banget dan harus bersyukur sama Allah, karena ternyata Dokter Meyda belum menikah. Karena Dokter Meyda nggak mau pacaran, insya Allah gue akan cepat melamar Dokter Meyda dan gue berharap Dokter Meyda mau menerima gue. Gue pingin cinta gue sama Dokter Meyda seperti simbiosis mutualisme. Gue berharap Dokter Meyda juga cinta sama gue, seperti simbiosis mutualisme yang saling mencintai, saling menjaga dan saling menghormati. Nggak ada yang disakiti dan dirugikan, sampai Allah memanggil kita berdua. Karena itu gue nggak mau dan nggak boleh menyerah sama sakit di jantung gue. Gue harus berjuang untuk hidup gue dan orang-orang yang gue cinta dan tetap istiqomah mencintai Allah dan Rasul-Nya.
“Gue harus bisa sabar dan gue nggak boleh nyerah. Gue yakin suatu saat nanti naskah novel gue bakal terbit dan mudah-mudahan langsung jadi best seller, bahkan mega best seller. Perbanyak doa aja dan selalu menulis tentang kebaikan, supaya Allah ridho.” Suara gue tegas.
Bersambung ke.....
Simbiosis mutualisme seri 2