Loading...
Logo TinLit
Read Story - Simbiosis Mutualisme seri 1
MENU
About Us  

Sepulang dari masjid gue langsung menyalakan notebook. Gue melanjutkan ngedit dan ngetik naskah kelima atau judul kelima, walaupun naskah keempat (judul keempat) belum ada keputusan dari Penerbit. Tapi gue punya firasat, kayaknya...naskah keempat juga bakal ditolak, soalnya gue udah cek lagi ternyata masih ada salah ketik dan nama-nama yang kebalik. Dan gue semakin heran sama diri gue, gue nggak teliti banget, padahal gue udah semaksimal mungkin periksa naskah, eeeh...ternyata masih ada salah ketik. Jadi sebelum naskah keempat ditolak, gue mau mengirim naskah kelima yang udah siap dan udah gue cek lagi dan lagi, berkali-kali sampai mata gue pegel.

Di naskah kelima ini tulisan gue udah jauh lebih baik, dari naskah-naskah sebelumnya dan semoga nggak ada salah ketik lagi. Tapi gue belum tahu, apa jumlah halaman perbab dalam naskah kelima ini udah sesuai sama keinginan Penerbit yang sama, yang menolak naskah-naskah gue. Kalo naskah kelima atau judul kelima ini ditolak lagi, gue udah siap. Dan setelah mengirim naskah atau judul kelima, gue harus siap menulis judul keenam dan yang penting gue udah bisa menulis naskah novel. Menurut gue setiap judul yang gue tulis juga belum ada di pasaran buku-buku novel. Gue nggak buat blog seperti yang disarankan sama Penulis di salah satu surat kabar, tapi gue pakai cara manual, kirim naskah langsung ke Penerbit, walaupun resikonya ditolak berkali-kali karena gue Penulis pemula, belum punya pengalaman menulis atau menerbitkan buku dan belum punya riwayat menulis. Tapi jujur, kalo gue ditanya Penerbit “Udah punya pengalaman belum?”, gue akan menjawab tegas “Saya punya pengalaman. Pengalaman ditolak Penerbit. Bukan cuma satu kali, tapi berkali-kali. Tapi dari pengalaman ditolak, saya belajar. Belajar menulis yang lebih baik dan lebih bagus lagi, belajar berimajinasi menemukan tema-tema yang belum ada, dan belajar mencari inspirasi dari sekitar.” Jadi sekarang gue semakin pede menulis.

Gue semakin serius menulis novel dan semakin menikmati menulis naskah novel. Soalnya gue selalu menyangkutkan naskah novel yang gue tulis sama nilai-nilai kehidupan, tapi gue berusaha membuat cerita yang nggak menjenuhkan. Seperti kata Aldo “Gue ingin menulis karya yang bukan cuma dibaca dan menghibur doang, tapi juga bisa memberi hikmah, manfaat buat hidup manusia. Biar kalo gue udah mati, karya-karya gue bisa jadi amal buat gue dan nemenin gue di alam kubur nanti, karena perbuatan baik selalu ada balasannya.”

Gue jadi teringat sama ayat Al Quran yang tadi gue baca. Abis pulang sholat subuh dari masjid tadi, gue sempatkan membaca Quran. Walaupun gue anak gaul, tapi gue anak gaul yang pingin punya kebanggaan dalam hidup gue. Dan agama dalam diri gue adalah suatu kebanggaan. Menjalankan perintah Allah adalah suatu harapan dan bukti cinta gue sebagai muslim sejati, harapan kalo gue masih punya kesempatan berjumpa sama Allah kelak. Dan cuma ibadah yang ikhlas dan dijalani dengan rasa cinta yang bisa mengantar gue melihat wajah Allah. Nggak semua manusia bisa melihat wajah Allah nanti. Subhannallah...semoga gue termasuk orang yang diberi ampunan dan kesempatan sama Allah.

Bukti cinta sebagai muslim sejati itu tanda muslim yang nggak setengah-setengah beragama, yang kadang sholat kadang enggak, yang kadang baca Quran kadang enggak, yang sedikit ingat sama Allah dan banyak lupa sama Allah, yang kadang buat dosa kadang tobat kalo udah kepepet. Jadi sholat, baca Quran, patuh dan cinta sama Allah adalah bukti cinta gue sebagai muslim sejati.

Gue cepat mengambil Quran terjemahan di rak, trus gue cari surat yang gue baca tadi. Maklum gue belum hapal Quran, walaupun gue sering membaca Quran alias mengaji.

“Nah ketemu.” Ucap gue tegas, lalu membuka halaman di Quran yang tadi gue baca, surah Lukman ayat 10. Dalam surat ini ada nasihat-nasihat Lukman untuk anaknya. Ada satu nasihat yang paling dekat sama...perkataan si Aldo, kalo dia ingin menulis sesuatu yang bisa memberi hikmah, manfaat pada manusia. Dan gue pun setuju banget sama Aldo.

Allah berfirman dalam surah Al-Lukman, ayat ke 10. “Dirikanlah sholat dan suruhlah manusia mengerjakan kabaikan dan cegahlah mereka dari perbuatan mungkar, bersabarlah atas apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu adalah hal-hal yang diwajibkan oleh Allah.”

Tegas gue manggut-manggut, setelah gue membaca terjemahannya tekad gue semakin bulat. Gue ingin menulis novel yang selalu mengingatkan manusia termasuk diri gue pada Tuhan Yang Maha Esa, itu perbuatan baik yang baik banget dan gue harus bisa sabar ditolak sama Penerbit. Bagi gue sekarang menulis itu kerjaan yang santai, bisa dikerjakan di mana aja dan kapan aja, gue bisa ngontrol kesehatan tubuh gue, gue juga bisa sholat tepat waktu ke masjid dan baca Quran, dan Nyokap masih selalu mengingatkan gue untuk olahraga, yang paling penting gue punya waktu buat orang-orang di sekitar gue, buat Nyokap, Bokap, Vita, sahabat dan orang-orang. Mungkin menulis novel itu...pekerjaan yang diridhoi Allah buat gue, jadi gue harus bersyukur, walaupun belum ada satu pun naskah yang gue tulis berhasil diterbitkan Penerbit. Dan gue selalu minta sama Allah, semoga ilmu yang gue dapat waktu kuliah nggak sia-sia. Gue pingin bukan cuma pelajaran ngitung aja yang bermanfaat, tapi....ilmu Teknik Sipil gue juga bisa bermanfaat. Mungkin...gue bakal ngasih les ke mahasiswa...atau melanjutkan kuliah lagi, atau....gue pingin punya usaha, usaha yang masih ada sangkut pautnya sama Teknik Sipil. Tapi semua itu baru angan-angan sih...yang penting kerjaan utama gue tetap menulis novel.

Karena keasikan ngetik, gue sampai lupa lampu di kamar masih nyala, padahal langit pagi udah terang. Gue cepat-cepat mematikan lampu dan membuka gorden.

“Deni....ayo sarapan dulu...” Suara Nyokap keras dari lantai satu.

“Nanti aja...Deni belum laper...” Jawab gue keras sambil duduk lagi di depan layar notebook.

“Deni...turun sekarang...” Suara Nyokap lebih keras.

“Haduuuuh Ibu ini kenapa sih panggil-panggil terus. Gue kan belum laper.” Ucap gue pelan.

Setelah itu gue keluar kamar, trus cepat turun ke lantai satu. Dengan wajah datar gue duduk di depan meja makan. Sementara Vita sama Bokap sedikit cemberut menatap gue. Kayaknya mereka kesel, kesel nungguin gue, soalnya sarapan pagi dan makan malam itu jadi acara wajib di rumah ini. Kata Bokap “Sarapan pagi dan makan malam bisa dijadikan sebagai waktu untuk berkumpul sama keluarga, jadi nggak ada yang boleh ijin.”

Setelah itu Nyokap duduk di dekat Bokap, di depan gue dan Vita duduk di samping gue.  Setelah Bokap memimpin doa, kami menyantap sarapan pagi.

“Assalammualaikum...” Suara seseorang keras di depan rumah.

“Waalaikumsalam...” Jawab Nyokap sambil sedikit menoleh.

Setelah itu Nyokap cepat keluar rumah. Nggak lama kemudian Nyokap masuk lagi ke rumah dan langsung duduk di depan meja makan.

“Siapa Bu?” Tanya Bokap.

“Ini Pak. Ada undangan dari Pak Anwar.” Nyokap menunjukkan sebuah surat undangan dan memberikan pada Bokap. Kemudian sejenak Bokap membaca surat undangan, trus manggut-manggut pelan.

 “Ooo undangan pernikahan anaknya Pak Anwar.” Kata Bokap pelan.

“Pak Anwar yang kira-kira...baru setahun lebih tinggal di kompleks ini kan Pak?” Tanya Nyokap.

“Iya Bu.”

“Anaknya yang mana yang mau nikah Pak?”

“Ya yang laki-laki dulu, kan Nak Andi udah ngundang syukuran di masjid kemarin malam.”

Sejenak Nyokap manggut-manggut pelan. Lagi-lagi wajah gue kaku mendadak  bersamaan gue berhenti mengunyah sambil serius mendengar perkataan Bokap sama Nyokap. Hati gue berbisik tegas “Jangan-jangan itu surat undangan Bang Andi sama Dokter Meyda.”

Mendadak gue lemas, hingga tanpa sadar kepala gue menunduk, trus menggeleng-gelengkan kepala. Ya Allah gue udah mencoba ikhlas, ikhlas Ya Allah... mohon jangan biarkan gue sakit hati dan cemburu lagi sama pernikahan Dokter Meyda dan Bang Andi.

“Kak Deni kenapa? Sakit?” Tanya Vita. Gue nggak menjawab, tapi cepat memegang dada kiri gue.

“Deni, kamu kenapa?” Tanya Nyokap cepat.

Bokap cepat merangkul gue, trus memanggil gue keras “Deni.”

“Deni lemes banget. Deni mau ke kamar.” Gue pelan.

“Ya udah, biar Bapak antar. Nanti Bapak panggil Dokter.”

Di kamar gue di lantai dua, gue tidur di kasur sambil memegang dada kiri gue. Saat itulah gue bisa merasakan detak jantung gue keras banget. Sejenak gue menoleh pada meja belajar, lalu terlihatlah naskah-naskah gue yang ditolak Penerbit.

“Gue harus bisa kuat, gue nggak boleh sakit dan gue harus bisa nerbitin buku. Sekarang gue harus nge-print naskah kelima dan gue harus berjuang kirim ke Penerbit.” Ucap gue tegas. Di ujung kata-kata gue berusaha bangun, tapi ternyata gue berat bangun. Kayaknya badan gue emang lemes banget, mungkin gue terlalu lama di depan layar notebook, jadi akhirnya gue kembali jatuh ke kasur dan ketiduran.

Nggak lama kemudian gue terbangun, gara-gara gue mendengar suara orang ngomong yang keras banget, kayak orang ribut. Pasti Nyokap nih sedang ngomong sama temennya yang dulu ketemu di pasar, kalo keasyikan Nyokap suka gitu. Akhirnya gue memaksa mau bangun, tapi belum sempat turun dari kasur, mata gue terbuka lebih lebar saat pintu kamar terbuka. Saat itulah pandangan gue terpaku pada Dokter Meyda di samping Nyokap, yang sedang berjalan masuk ke kamar gue. Begitu kagetnya gue hingga membuat gue mendadak bengong melihat Dokter Meyda menghampiri gue, trus dia berdiri di samping gue, nggak dekat sih...., dan Nyokap sama Bokap ikutan masuk ke kamar. Dengan wajah khawatir banget Bokap berdiri di depan gue dan Nyokap duduk di kasur di samping gue sambil meneliti gue.

“Deni, Ibu bawa Dokter ke sini. Kamu bilang sama Dokter mana yang sakit.” Kata Nyokap.

Gue masih terperangah melihat Dokter Meyda, hingga pelan gue bilang “Subahannallah...”

“Deni, ayo bilang apa yang kamu rasakan. Jangan buat Bapak dan Ibu panik.” Suara Bokap tegas.

Dengan wajah khawatir Nyokap cepat memegang kening gue. Sementara Dokter Meyda cepat memakai sarung tangan karet, lalu memakai masker. Setelah itu Dokter Meyda mengeluarkan termometer, trus gue disuruh mangap. Termometer itu dimasukkan ke mulut gue, trus gue tutup mulut, cukup lama. Selama itu juga gue nggak berkedip sedikitpun melihat Dokter Meyda.

Subhannallah...cantik banget Ya Allah...” Ucap gue dalam hati, tapi tiba-tiba gue sadar dan kaget kalo cowok itu nggak boleh terlalu lama lihat cewek, itu kata Nyokap. Dalam hati gue selalu baca “Astaghfirullah haladziiim.”

Beberapa saat kemudian Dokter Meyda melihat termometer yang udah dimasukkan ke mulut gue, kemudian Dokter Meyda mengecek kedua mata gue dan pastinya dia mengecek jantung gue menggunakan stetoskop. Sementara Nyokap dan Bokap yang masih khawatir berdiri di depan gue.

“Gimana Dokter? Anak saya jantungnya sehat kan?” Tanya Nyokap.

Dokter Meyda nggak segera menjawab, tapi dia melepas masker dan stetoskop dari kedua telinganya. Setelah itu Dokter Meyda bilang “Anak Ibu sehat, hanya kurang istirahat saja. Jadi tubuhnya agak lemas dan detak jantungnya sangat keras.”

“Keras?” Nyokap dan Bokap mengulang serentak.

“Iya, detak jantungnya tidak beraturan, seperti orang kaget, atau orang yang shock. Lebih diingatkan lagi untuk sering olahraga dan istirahat yang cukup, jangan terlalu capek.”

Serentak Nyokap dan Bokap manggut-manggut, sementara wajah dan badan gue bertambah lemas. Saat itu hati gue berbisik keras “Elo nggak pantes buat Dokter Meyda. Lo gampang sakit. Lo punya kelainan jantung dan lo nggak bisa nolong diri elo sendiri. Gimana mau nolong orang lain? Atau Dokter Meyda. Mungkin itu yang jadi alasan Allah, lo nggak berjodoh sama Dokter Meyda, jadi jangan lagi lo ngarepin Dokter Meyda.”

Lemas gue menghembuskan nafas panjang, lalu kembali berbaring di kasur dengan sorot mata melemah. Mungkin ini takdir gue, hidup sama jantung yang nggak normal. Nggak banyak yang bisa gue lakukan untuk diri gue ataupun untuk orang-orang yang gue cinta.

“Apa perlu anak saya dibawa ke rumah sakit Dokter?” Tanya Bokap dan Nyokap cepat mengiyakan.

Tapi sebelum Dokter Meyda menjawab, gue ngomong tanpa melihat Dokter Meyda. “Dokter pasti tahu, jantung saya lemah, ada kelainan di jantung saya. Saya bersyukur udah dikasih hidup sampai hari ini. Kalo Allah memberi saya umur lebih panjang, saya ingin hidup tanpa kelainan di jantung saya.”

“Apa saya bisa sembuh Dokter? Apa saya bisa hidup tanpa sakit-sakitan? Apa saya bisa seperti orang-orang yang nggak gampang sakit dan capek? Apa dokter bisa menyembuhkan? Tolong sembuhkan saya. Saya...ingin seperti yang lain.” Di ujung perkataan gue menoleh pada Dokter Meyda.

Mendadak kedua mata Nyokap sama Bokap berkaca-kaca, bahkan terlihat Nyokap mengelap sudut matanya. Setelah itu Bokap cepat merangkul Nyokap dan mengusap bahunya. Sebelum menjawab, dengan wajah tenang Dokter Meyda tersenyum. Kemudian berkata “Allah berfirman dalam Al Quran, “Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dalam keadaan susah payah”, jadi tidak ada manusia yang gampang mendapatkan pekerjaan, uang, kesehatan atau materi bersifat duniawi lainnya. Tidak ada manusia yang gampang beribadah pada Allah dan mempunyai kayakinan tauhid yang lurus. Masing-masing manusia, Allah sudah tetapkan jalan hidupnya dengan penghidupan atau rezeki, ujian dan cobaan hidup. Semua itu mempunyai nilai di Mata Allah dan menentukan kedudukan kita disisi Allah. Jadi bersabarlah dengan sakitmu dan tetap optimis menjalani hidup. Lebih baik dekatkan dirimu pada Allah sesuai kesanggupanmu, agar kamu siap menghadap-Nya saat jantungmu tiba-tiba berhenti berdetak.”

Gue langsung terpaku mendengar jawaban Dokter Meyda. Membuat hati gue bergetar, saat mendengar perkataan terakhirnya. Ternyata gue bukan cuma harus sabar sama tulisan-tulisan gue, tapi gue juga harus sabar sama jantung gue, seperti kata Dokter Meyda.

“Ada satu lagi, jangan pernah bertanya pada Allah kenapa Allah menciptakan dan memilihkan saya pilihan hidup seperti sekarang ini, dan jangan pernah berkata saya menyesali pilihan yang diberikan Allah. Karena kalau kamu sudah berkata seperti itu, berarti iman kamu sudah mulai luntur dan dekat dengan syirik. Allah sudah menjelaskan pada kita dalam Al Quran dalam surat Al Qasas ayat 68, bahwa Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan dengan Dia. Jadi semua yang terjadi dalam hidup kita sudah digariskan Allah. Kecuali takdir yang bisa kita pilih, tapi tetap saja semua itu kembali pada ketetapan Allah. Cukup berserah diri saja pada Allah, tanpa mengurangi ketaatan kita pada-Nya.” Di ujung perkataan sejenak Dokter Meyda tersenyum.

“Terima kasih Dokter. Ternyata Dokter punya keyakinan yang teguh pada Allah. Beruntung sekali yang jadi suami Dokter.” Kata Nyokap sambil tersenyum dengan mata berkaca-kaca.

Setelah itu Bokap keluar kamar dulu. Nggak lama kemudian Nyokap dan Dokter Meyda mau keluar kamar, tapi sebelum keluar kamar Dokter Meyda berhenti sejenak di samping meja belajar. Sejenak dia menoleh dan melihat tiga naskah tergeletak di meja, setelah itu Dokter Meyda pergi. Sementara gue dengan lemah masih memandang Dokter Meyda sampai benar-benar nggak terlihat. Setelah itu gue kembali terbaring lemas di kasur dengan perkataan Dokter Meyda masih jelas gue ingat di otak. Pelan gue bangkit duduk di kasur. Gue menghela nafas panjang, lalu kedua tangan gue mengusap-usap wajah gue.

“Gue harus bisa bangkit. Jangan biarin sakit di jantung gue jadi penghalang buat berhasil, buat dapetin....” Gue nggak melanjutkan perkataan saat teringat Dokter Meyda udah mau nikah sama Bang Andi.

“Buat dapetin...tempat di Penerbit.” Ucap gue pelan dan lemas, trus gue menghela nafas panjang lagi.

 Gue bangkit berdiri, lalu berjalan ke dekat jendela. Setelah itu gue duduk di depan meja belajar, gue nggak membuka notebook, tapi melihat naskah kelima yang mau gue kirim besok ke Penerbit. Tanpa tersenyum gue mengambil naskah novel kelima. Sejenak gue memandang naskah novel ini dengan mata yang lemah, persis wajah gue yang lemas malam ini. Gue masih bisa merasakan sedihnya ditinggal orang yang gue cinta dan ditolak Penerbit. Kenapa kejadiannya bisa samaan? Gue suka Dokter Meyda saat gue mau jadi Penulis dan gue ditinggal cinta gue saat gue ditolak terus sama Penerbit. Coba kalo gue nggak mengalami kejadian itu bersamaan, pasti hati gue nggak sesedih dan sehancur ini. Haaa....

Pelan dan lemas gue berjalan ke kasur dan menjatuhkan tubuh di atas kasur. Sambil memandang lampu kamar, pikiran gue berlari ke sana ke sini, nggak mau diam atau jalan di tempat, tapi masih memikirkan jawaban dari pertanyaan tadi, kenapa gue suka Dokter Meyda saat naskah gue berkali-kali ditolak Penerbit?

“Apa masih ada hubungannya?” Ucap gue pelan. Setelah itu pelan gue manggut-manggut.

“Jadi harusnya gue nggak melihat Dokter Meyda waktu pulang dari masjid dulu, dan harusnya gue juga nggak melihat Dokter Meyda di kampus itu, dan harusnya gue nggak kenal si Nilam yang sepupunya Dokter Meyda, dan harusnya, dan harusnya , dan harusnya...” Di ujung kata-kata gue semakin keras.

Gue cepat bangkit duduk di kasur, trus bilang “Kalo udah kayak gitu....berarti gue udah menyalahkan Allah dong? Soalnya yang membuat skenario hidup kan Allah. Waaaah jadi durhaka kalo gue memikirkan “Dan harusnya, dan harusnya, dan harusnya....teruuus kayak gitu seperti yang gue mau.” Astaghfirullah haladziiim, ampuni gue ya Allah. Benar kata Dokter Meyda, Engkau yang paling berhak memilihkan jalan hidup gue. Dan nggak seharusnya gue protes kayak tadi.”

Lemas gue menghela nafas panjang.

“Lagian kalo gue nggak kenal dokter Meyda, gue nggak akan lebih semangat buat nulis. Karena gue pingin dapat pekerjaan, biar bisa ngelamar Dokter Meyda. Walaupun ternyata gue harus mengubur impian gue sebelum naskah novel gue terbit, tapi gue...akan coba ikhlas Ya Allah.” Di ujung perkataan gue lemas.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sampai Nanti
501      279     1     
Short Story
Ada dua alasan insan dipertemukan, membersamai atau hanya memberikan materi
AVATAR
8085      2277     17     
Romance
�Kau tahu mengapa aku memanggilmu Avatar? Karena kau memang seperti Avatar, yang tak ada saat dibutuhkan dan selalu datang di waktu yang salah. Waktu dimana aku hampir bisa melupakanmu�
CATATAN DR JAMES BONUCINNI
3182      1025     2     
Mystery
"aku ingin menawarkan kerja sama denganmu." Saat itu Aku tidak mengerti sama sekali kemana arah pembicaraannya. "apa maksudmu?" "kau adalah pakar racun. Hampir semua racun di dunia ini kau ketahui." "lalu?" "apa kau mempunyai racun yang bisa membunuh dalam kurun waktu kurang dari 3 jam?" kemudian nada suaranya menjadi pelan tapi san...
Patah Hati Sesungguhnya adalah Kamu
1992      788     2     
Romance
berangkat dari sebuah komitmen dalam persahabatan hingga berujung pada kondisi harus memilih antara mempertahankan suatu hubungan atau menunda perpisahan?
DELION
2975      1157     2     
Mystery
Apa jadinya jika seorang perempuan yang ceria ramah menjadi pribadi yang murung? Menjadi pribadi yang dingin tak tersentuh, namun dibalik itu semua dia rapuh sepert bunga i Dandelion tapi dia tidak bisa menyesuaikan dirinya yang mulai hidup di dunia baru dia belum bisa menerima takdir yang diberikan oleh tuhan. Kehilangan alasan dia tersenyum itu membuat dirinya menjadi kehilangan semangat. Lal...
Abay Dirgantara
6893      1563     1     
Romance
Sebenarnya ini sama sekali bukan kehidupan yang Abay inginkan. Tapi, sepertinya memang semesta sudah menggariskan seperti ini. Mau bagaimana lagi? Bukankah laki-laki sejati harus mau menjalani kehidupan yang sudah ditentukan? Bukannya malah lari kan? Kalau Abay benar, berarti Abay laki-laki sejati.
Dua Sisi
8480      1934     1     
Romance
Terkadang melihat dari segala sisi itu penting, karena jika hanya melihat dari satu sisi bisa saja timbul salah paham. Seperti mereka. Mereka memilih saling menyakiti satu sama lain. -Dua Sisi- "Ketika cinta dilihat dari dua sisi berbeda"
Angkara
1137      670     1     
Inspirational
Semua orang memanggilnya Angka. Kalkulator berjalan yang benci matematika. Angka. Dibanding berkutat dengan kembaran namanya, dia lebih menyukai frasa. Kahlil Gibran adalah idolanya.
Story Of Me
3860      1463     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
Run Away
8102      1815     4     
Romance
Berawal dari Tara yang tidak sengaja melukai tetangga baru yang tinggal di seberang rumahnya, tepat beberapa jam setelah kedatangannya ke Indonesia. Seorang anak remaja laki-laki seusia dengannya. Wajah blesteran campuran Indonesia-Inggris yang membuatnya kaget dan kesal secara bersamaan. Tara dengan sifatnya yang terkesan cuek, berusaha menepis jauh-jauh Dave, si tetangga, yang menurutnya pen...