Hari-hari silih berganti, minggu juga berganti dan bulan pun berganti, bahkan sebentar lagi tahun ikut berganti. Hingga nggak terasa anak-anak sekolah mau ujian kenaikan kelas. Tiga minggu sebelum ujian dimulai, gue mencari soal ujian kelas 8 di internet dan selama satu minggu gue memberi anak-anak yang les di sini latihan-latihan soal. Dan rencananya selama ujian sekolah nanti gue akan meliburkan anak-anak yang les, supaya anak-anak lebih fokus belajar dan nggak capek. Itu karena gue nggak mau anak-anak yang les di sini mendapat nilai jelek.
Menyusul kemudian azan maghrib mengalun indah saat Bokap sama gue masih dalam perjalanan ke masjid kompleks. Seakan terhipnotis kedua telinga gue mendengarkan dengan seksama suara azan sambil berjalan sedikit di belakang Bokap. Tiba-tiba Bokap bertambah cepat jalannya dan meninggalkan gue. Sedangkan gue masih santai berjalan, soalnya gue jadi ingat kata Ulama “Setiap langkah kita ke masjid itu ada pahalanya”, jadi sambil mendengarkan azan gue jalan pelan.
Kening gue mendadak berkerut saat Bokap udah nggak kelihatan, hmm mungkin Bokap udah masuk ke dalam masjid. Nggak lama kemudian gue baru sampai di depan masjid, tapi lagi-lagi kening gue berkerut rapat sewaktu melihat Bokap keluar dari tempat wudhu. Sontak membuat gue langsung tersenyum sambil manggut-manggut.
“Gue baru ngerti kenapa Bokap jalannya cepet banget tadi, mungkin karena Bokap abis buang angin atau mungkin Bokap belum punya wudhu, jadi biar kebagian sholat sunah, Bokap cepat pergi wudhu.”
Hmm emang bener kata Pak Kyai “Kalau sholat-sholat sunah itu bisa menambah cinta kita pada Allah dan membuat Allah semakin cinta sama kita.”
Sepertinya gue harus periksa hati gue deh, apa selama ini gue udah cinta sama Allah belum? Kalo gue udah cinta sama Allah, berarti Allah juga cinta sama gue. Dan kalo Allah udah cinta sama gue kan enak, gue pasti selalu dikasih petunjuk biar nggak salah jalan. Dan gue yakin naskah-naskah gue yang ditolak karena Allah mau mengajari gue menulis. Dan gue juga harus berterima kasih sama Penerbit yang udah menolak naskah gue, yang nggak menerbitkan tulisan gue yang jelek.
Sambil tersenyum gue kembali berjalan ke masjid sambil sesekali pandangan gue bergerak. Tanpa sengaja gue melihat Dokter Meyda berjalan sendiri ke arah masjid. Membuat gue mendadak berhenti berjalan dan terpaku melihat Dokter Meyda sampai masuk ke dalam masjid. Gue cepat memegang dada kiri gue, soalnya tiba-tiba aja jantung gue berdetak keras. Nggak lama kemudian I qomad lantang terdengar. Gue cepat naik ke teras masjid dan langsung bergabung sama jamaah laki-laki yang udah bersiap. Sejenak imam masjid memberi isyarat untuk merapikan saf. Gue nengok ke sebelah kanan gue, dan mendadak gue kaget melihat laki-laki di sebelah kanan gue adalah laki-laki yang sama dengan laki-laki yang gue lihat sama Dokter Meyda. Gue baru tahu kalo calon suaminya ternyata tinggal di kompleks ini juga, tapi kenapa gue baru lihat dia?
“Astaghfirullah haladziiiim, sabar kan gue Ya Allah...” Ucap gue pelan.
Setelah itu imam mengucap takbir, lalu diikuti semua jamaah. Selesai Sholat maghrib berjamaah dan berdoa, Pak Hamid takmir masjid cepat mengambil mikrofon.
“Mohon Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak jangan meninggalkan masjid dulu, ada pengumuman yang ingin disampaikan oleh Pak...eeee saudara Andi. Silahkan Nak Andi.” Di ujung perkataan pandangan Pak Hamid tertuju pada laki-laki di samping gue.
Gue baru tahu ternyata namanya Andi. Mmm kalo dilihat dari wajah...kayaknya umurnya sedikit di atas gue, dan cocoknya....gue panggil Bang Andi. Setelah itu Bang Andi segera maju ke depan dan menghadap semua jamaah. Jamaah laki-laki ada di baris depan dan jamaah perempuan di baris belakang, tapi ada sekatan dari kain putih yang membatasi saf laki-laki dan saf perempuan.
“Assalammussalaikum Warahmatullah Wabarakhatu.” Kata Bang Andi.
“Waalaikumsalam Warahmatullah Wabarakhatu.” Para jamaah serentak dan keras.
“Saya mohon maaf, bila saya mengambil waktu Bapak sama Ibu sekalian. Supaya tidak terlalu lama, langsung saja pada intinya. Dengan segala kerendahan hati dan rasa syukur saya pada Allah, saya ingin meminta doa dan keikutsertaan Bapak dan Ibu dalam acara syukuran sekaligus pembacaan sholawat di masjid ini, insya Allah besok Sabtu setelah sholat maghrib. Syukuran dalam rangka menjelang pernikahan saya. Saya berterima kasih pada Pak Hamid, beliau mengijinkan acara syukuran dilakukan di masjid. Itu saja yang ingin saya sampaikan terima kasih, wassalammussalaikum warahmatullah wabarakhatu.”
“Waalaikumsalam Warahmatullah Wabarakhatu.” Semua jamaah hampir bersamaan.
Mata gue terbuka lebih lebar dan hati gue remuk banget, hancur bagaikan piring pecah. Ternyata benar, Dokter Meyda mau menikah sama Bang Andi. Kayaknya gue nggak sanggup lama-lama di masjid ini, gue cepat berdiri dan keluar masjid. Nggak lama kemudian semua jamaah menyusul berhamburan keluar masjid. Sepanjang jalan gue cepat berjalan sambil menundukkan kepala, soalnya kedua mata gue udah berair. Sampai di rumah gue cepat masuk ke kamar gue di lantai dua. Saat ini kata-kata Bang Andi masih lekat di otak gue, kalo Dokter Meyda mau menikah sama Bang Andi. Remuk banget hati gue rasanya. Baru suka sama cewek, tapi dia keburu diambil orang. Coba kalo gue punya kerjaan, gue kan bisa langsung melamar Dokter Meyda. Pasti Nyokap sama Bokap juga setuju, apalagi si Vita. Soalnya dia bakal punya saudara baru, si Nilam, kan Nilam sepupunya Dokter Meyda.
Dengan mata berair dan pipi yang basah gue melihat naskah yang ditolak Penerbit di meja, tapi pikiran gue bukan ke naskah, gue masih mikirin Dokter Meyda. Entah kenapa gue suka banget sama Bu Dokter, padahal kan gue baru ngobrol 1 kali, trus nggak sengaja melihat Dokter Meyda juga baru...3 kali. Apa...ini cuma cinta monyet? Cinta yang nggak serius, cinta yang main-main, dan cinta yang nggak bener. Tapi...kalo gue nggak serius, gue nggak akan punya niat ngelamar Dokter Meyda, walaupun gue baru kenal. Jadi gue yakin ini cinta beneran, cinta karena Allah, insya Allah.
Sejenak gue menghela nafas dan mencoba lebih tegar, trus duduk di depan meja belajar. Daripada gue memikirkan Dokter Meyda yang diambil orang, mending gue luapkan kesedihan gue dalam tulisan. Sekarang gue mau melanjutkan ngedit naskah keempat. Naskah ketiga baru ditolak Penerbit, jadi gue harus lebih semangat dan ngirim naskah novel keempat ke Penerbit yang sama, yang pernah nolak naskah gue. Tapi sebelum gue melanjutkan ngedit, gue mau browsing internet dulu. Kayaknya mending pakai Hp aja biar nggak ribet. Setelah mengambil Hp gue menjatuhkan badan di kasur, trus gue membuka internet.
Tangan gue mengetik “Naskah Ditolak Penerbit”, kemudian muncul beberapa poin. Sejenak gue teliti melihat semua poin, hingga gue menemukan poin yang pas banget sama yang gue pingin tahu. Setelah itu gue cepat membuka m.kompasiana.com, mobile-friendly tapi nggak ada nama Penulisnya. Setelah itu muncul tulisan;
“Inilah yang terjadi di dalam penolakan karya novel di sebuah Penerbit.
1. Mungkin karena Penulis baru, yang belum ada “Riwayat hidup” sama sekali di dalam dunia menulis dan literasi. Belum ada karya sama sekali yang belum dimuat dan dipublish di berbagai media surat kabar.
2. Novel yang dihasilkan atau mau diterbitkan hampir sama dengan genre ( jenis novel) Penerbit yang sudah diterbitkan.
3. Tidak menuruti ketentuan Penerbit yang sudah ada.
Jangan anggap remeh soal ketentuan-ketentuan dalam pengiriman sebuah karya (novel) dalam penerbitan. Tentu hal ini menjadi poin plus pula untuk menambah ketertarikan naskah novel kita diterbitkan karena dari sini pula Penerbit bisa memperhatikan kalau Penulisnya bisa begitu teliti dan mau memperhatikan ketentuan yang sudah diberitahukan tanpa diabaikan.
Untuk itu lakukanlah jika memang sesuai ketentuan Penerbit. Bila diperintahkan menulis dengan bentuk arial, ya lakukan. Jika ditentukan beberapa ukuran dan spasinya, ya penuhilah. Jangan diabaikan, tapi dilakukan dengan sebaik mungkin. Dan yang paling penting adalah membuat sinopsis semenarik mungkin, ini yang perlu diperhatikan juga.”
Setelah membaca info ini, gue memikirkan naskah-naskah novel gue yang ditolak. Naskah pertama, kedua dan ketiga, kalo disangkutkan poin pertama...gue emang Penulis pemula dan gue belum pernah punya riwayat dalam dunia tulis menulis, jadi bisa karena itu naskah gue ditolak.
Tapi...kalo tulisan gue bagus dan nggak ada salah ketik di naskah gue walaupun gue Penulis pemula, apa gue bisa cepat dapat tempat di Penerbit ya? Atau...susahnya sama aja buat Penulis pemula? Dan kenapa Penulis pemula sulit banget dapat tempat di Penerbit? Walaupun naskahnya bagus dan tulisannya juga. Dan malah orang yang udah dikenal orang alis beken atau tenar, dia gampang banget dapat Penerbit yang mau menerbitkan bukunya, walaupun ada sedikit salah ketik.
“Kalo udah kayak gitu, gue kecewa berat sama Penerbit. Kenapa Penerbit nggak memberi kesempatan buat Penulis pemula? Lagian...gue kan...selalu nganter naskah gue langsung ke Penerbit, jadi harusnya editor ngasih gue bocoran kenapa naskah-naskah novel gue selalu ditolak, kan gue jadi nggak sebingung ini dan gue lebih semangat nulis, insya Allah gue akan perhatikan benar kesalahan gue.” Di ujung perkataan suara gue tegas.
Kemudian kedua sorot mata gue bergerak, lalu tertuju pada poin kedua di handphone. Sambil membaca sejenak gue manggut-manggut pelan. Kalo naskah gue yang ditolak disangkutkan sama poin kedua, yang gue tahu naskah pertama gue belum ada di pasaran. Malah itu tema baru, tapi...gue belum tahu apa tema dalam naskah gue udah cocok sama Penerbit yang gue tuju, jadi bisa kemungkinan untuk poin kedua. Dan kalo naskah gue disangkutkan sama poin ketiga, gue udah seratus persen yakin, kalo masalah utama di naskah gue ada di masalah ketikan dan bahasa. Gue merasa naskah pertama gue ancur banget, tapi gue nekat ngirim ke Penerbit, malah Penerbit besar lagi. Trus naskah kedua gue ternyata masih berantakan juga, tapi gue udah terlanjur ngirim ke Penerbit, Penerbit yang sama. Dan hasilnya ditolak lagi, tapi gue nggak patah semangat dan malah lebih semangat, semakin serius menulis. Sampai akhirnya gue kirim naskah ketiga ke Penerbit yang nolak naskah pertama dan kedua, ternyata...setelah beberapa bulan kemudian naskah ketiga juga ditolak lagi. Padahal gue merasa bahasa di naskah ketiga atau judul ketiga nggak sehancur naskah pertama dan kedua, malah lebih baik, tapi setelah gue cek lagi naskah ketiga, ternyata masih ada salah ketik di mana-mana. Gue jadi heran sama mata gue. Padahal hasil ketikan udah gue cek berkali-kali, baik di notebook ataupun di kertas hasil print, dan nggak ada yang salah ketik. Eh malah ketahuan ada salah ketik, pas udah dikirim dan ditolak Penerbit. Haaa...nasib...nasib..., sabar...sabar...mungkin gue belum berjodoh sama Penerbit.
Setelah meletakkan handphone di kasur gue membuka file naskah keempat yang siap di-print. Sambil mengerutkan dahi gue meneliti naskah ini dan bilang “Kalo dari bahasa naskah yang keempat ini, gue yakin udah jauh lebih baik dari naskah pertama dan kedua. Tapi kalo dibandingkan sama naskah ketiga, kayaknya nggak jauh beda. Kalaupun ada perubahan gaya tulisan kayaknya dikit aja sih. Soalnya gue merasa setiap naskah yang udah ditolak Penerbit selalu berbeda, beda dalam tulisan dan bahasa, juga tema. Dan gue yakin naskah atau judul keempat ini udah pasti lebih baik dari judul sebelum-sebelumnya yang ditolak.”
Sejenak gue menghela nafas dan tersenyum, gue bilang “Ternyata benar kata orang “Pengalaman adalah pelajaran paling mahal dan guru paling baik.” Mahal bagi gue karena gue harus menghabiskan berlembar-lembar kertas bahkan ribuan lembar kertas dan tinta printer untuk mengirim naskah ke Penerbit, dan paling baik karena gue selalu belajar memperbaiki tulisan dari naskah-naskah gue yang udah ditolak, tanpa banyak yang komentar. Pasti komentarnya cuma dari Penerbit yang baca naskah gue, yang lebih tahu tentang dunia menulis dan yang nggak pernah gue tahu komentarnya, tapi itu wajar. Dan mungkin...ini adalah cara Allah mengajari gue menulis naskah novel.
“Semoga...redaksi Penerbit yang baca naskah-nakah novel gue nggak bosen baca tulisan gue.” Ucap gue sambil tersenyum, tapi tiba-tiba senyum gue hilang, trus gue mengerutkan dahi.
“Harusnya gue doain diri gue dong? Mudah-mudahan gue bisa sabar nulis naskah novel, ngedit plus ngerevisi, bukannya doain Penerbit. Kalo Penerbit sih gampang, tinggal buang atau simpan yang rapat aja kalo nggak mau baca naskah novel yang jelek.” Di ujung perkataan gue tersenyum.
Gue kembali menghela nafas panjang dan sejenak melirik handphone di kasur. Trus gue kembali mengambil handphone, dan gue baca lagi naskah gue sambil dicocokan sama tulisan di handphone. Sekarang dilihat dari tema. Mmm untuk tema naskah keempat...gue yakin udah beda, soalnya belum ada tema yang kayak gini di pasar pernovelan dan untuk genre kayaknya...juga bagus di pasaran, jarang bahkan belum ada novel yang ceritanya kayak gini. Kalo dari ketentuan Penerbit, mudah-mudahan udah nggak ada masalah, mudah-mudahan tulisannya udah rapi, bahasanya simple atau nggak banyak bertele-tele dan yang paling penting nggak ada salah ketik, soalnya itu penyakit lama, gue suka kurang konsentrasi saat kecapean ngedit. Dan semoga jumlah halaman perbabnya udah sesuai sama ketentuan Penerbit. Rencananya besok gue mau mengantar naskah keempat gue ke Penerbit. Bismillahhirrohamannirrohim ajalah.
“Deni...makan dulu...” Teriak Nyokap.
“Haaa Ibu ini teriak-teriak terus, Deni kan lagi sibuk.” Celetuk gue sambil sedikit menoleh.
“Deniii cepat makan dulu...” Suara Nyokap lebih keras.
Akhirnya dengan kesal dan manyun gue bangkit berdiri, trus keluar kamar. Gue cepat bergabung sama keluarga gue yang udah siap duduk di depan meja makan. Selesai berdoa semua orang di meja makan ini memulai kesibukan melahap makanan masakan Nyokap, cuma gue yang sedikit manyun sambil melahap makanan dan cepat mengunyahnya di mulut gue. Sesekali gue juga mengenggak air putih di gelas, biar makanan di mulut gue cepat tertelan.
“Deni, makan yang benar. Kunyah dulu, baru telan.” Kata Bokap tegas.
Sambil melahap makanan gue nggak membalas, tapi sejenak mengangguk-angguk sambil terus memasukkan nasi sendok demi sendok ke mulut gue. Soalnya gue pingin cepat menyelesaikan makan malam, supaya gue bisa melanjutkan ngetik naskah novel gue. Hingga mulut gue penuh dengan makanan, trus tangan kanan gue meraih gelas di meja, tapi ternyata Nyokap lebih dulu meraih gelas milik gue di meja. Membuat gue sedikit terkejut, soalnya gue pingin minum banget. Bukan karena haus, tapi karena makanan di mulut gue nggak bisa gue kunyah dan nggak bisa gue telan. Mungkin karena terlalu penuh nasi nih mulut gue.
Sigap tangan gue bergerak dengan mulut rapat, memberi kode kalo gue meminta gelas milik gue pada Nyokap. Kode kalo gue mau tersedak karena makanan di mulut gue. Tapi tiba-tiba Bokap yang salah paham sama tingkah gue tegas bilang “Deni, telan dulu makanannya, baru ngomong.”
Sigap kedua tangan gue bilang ke Bokap, kalo gue butuh air supaya bisa menelan makanan yang membuat gue tersedak ini. Eh Bokap malah bilang tegas “Telan dulu makanannya Deni, eh kunyah dulu pakai gigi. Kamu masih punya gigi kan? Ayo kunyah pakai gigi, jangan ditelan pakai air.”
“Benar kata Bapakmu Deni, makan yang benar, jangan makan seperti dipaksa. Ibu heran deh, baru kali ini Ibu lihat kamu makan seperti terpaksa gini.” Sahut Ibu. Sementara si Vita cuma terlihat mengangguk-angguk sambil melahap makanan dan mengunyahnya.
Haduh! Gue udah nggak tahan nih, kayaknya gue tersedak nih, hampir nggak bisa nafas. Kalo gue nggak tahan nafas dari mulut dan batuk pasti makanan di mulut gue bakal keluar semua.Akhirnya jadi berantakan nih makan malam yang tenang dan bersih. Nggak ada pilihan lagi nih, terpaksa gue harus meraih gelas Doraemonnya si Vita yang penuh dengan air putih yang belum diminum.
“Kak Deniii!!!” Suara Vita keras sambil melotot pada gue yang menenggak air dalam gelasnya.