Selesai sholat subuh semua jamaah keluar masjid. Begitu juga gue cepat memakai sandal jepit, tapi setelah turun dari masjid gue berjalan lemas. Sejenak pandangan gue meneliti laki-laki yang jalan sama Bokap. Gue heran kenapa Bokap gampang banget akrab sama semua orang. Nggak tua nggak muda, semuanya pasti pernah ngobrol sambil jalan bareng dari masjid. Dan kali ini Bokap jalan sama laki-laki yang lebih muda dari Bokap, tapi kayaknya lebih tua dari gue, sementara gue dilupakan dan jalan sendiri jauh di belakang Bokap. Sejenak gue nengok ke belakang, mencari Dokter Meyda yang biasanya ke masjid, tapi ternyata malam ini gue nggak melihatnya. Hmm mungkin Dokter Meyda nggak ke masjid malam ini. Tapi...emang wajar sih, soalnya kata Nyokap “Perempuan itu lebih diajurkan sholat di rumah, karena khawatir auratnya bakal terlihat, walaupun pake mukena.”
Nggak terasa dari tadi gue ngomong sendiri, sampai akhirnya gue baru masuk ke halaman rumah Bokap yang nggak luas, mengikuti Bokap yang kayaknya udah masuk ke dalam rumah. Sesampainya di rumah gue langsung naik ke lantai dua dan masuk ke kamar. Setelah mengganti baju gue duduk di depan meja belajar dan membaca naskah pertama yang belum dijilid. Rencananya gue mau menjilid nanti, sebelum gue ke Penerbit. Tangan gue bergerak membuka lembar demi lembar hasil print naskah sambil sejenak gue baca-baca dan gue teliti lagi. Gue mau memastikan kalo di naskah pertama gue ini nggak ada salah ketik.
“Mudah-mudahan udah nggak ada salah ketik lagi. Soalnya gue udah cek berkali-kali sampe banyak kertas yang kebuang, cuma gara-gara salah ketik satu huruf. Dan mata gue udah capek banget melihat tulisan gue”. Setelah itu dengan berat gue menghela nafas, trus menyandarkan tubuh di kursi.
“Tapi...gue emang suka nggak teliti, mata gue gampang capek kalo lihat ketikan yang banyak. Mungkin orang kayak gue nggak cocok jadi editor.” Di ujung perkataan gue tersenyum kecil.
Selama tiga bulan menulis akhirnya selesai juga, walaupun gue masih kalah sama si Aldo yang bisa menulis naskah novel dalam waktu 3 hari. Pagi, siang, sore dan malam si Aldo kerja keras dan pakai bergadang segala, tapi ujung-ujungnya ditolak juga. Haaa...emang menulis itu butuh perjuangan dan kesabaran. Kedua mata gue kembali mantengin layar notebook sambil sesekali jari-jari gue melompat-lompat di papan notebook. Gue lagi ngedit gambar yang gue download dari internet, gambar yang cocok sama isi naskah gue buat cover naskah novel pertama. Nanti gue mau kirim ke Penerbit dan gue mau mengantar langsung ke Penerbit, nggak pakai pos.
Selesai mandi gue pakai parfum biar wangi, trus gue memakai kaos oblong sama celana pendek sampai batas lutut. Setelah itu gue cepat turun ke lantai satu, walaupun Nyokap belum manggil gue.
Selesai sarapan pagi, seperti biasa gue mengantar Vita ke sekolahnya memakai scoopy yang udah kinclong dan wangi kayak yang punya. Setelah mengantar Vita, tepatnya jam 9 pagi gue keluar rumah lagi sama scoopy hitam kesayangan gue. Gue menggendong ransel hitam yang di dalamnya ada naskah gue yang belum gue jilid. Ternyata hari ini hari yang nggak mendukung, soalnya jalan yang gue lalui macet. Akhirnya gue sama scoopy cuma bisa jalan merayap, tapi untung gue pakai scoopy, jadi terkadang gue masih bisa nyalip-nyalip di jalan pinggir. Setelah berjuang dalam kemacetan, akhirnya gue melihat kios penjilidan yang buka. Gue cepat belok dan mematikan mesin, trus gue turun dan nyamperin kios penjilidan. Gue langsung menyerahkan naskah yang mau gue jilid dan minta dijilid yang rapi ke si Mas yang jaga. Beberapa menit gue menunggu, setelah itu selesai. Gue pun langsung tancap gas dan melaju ke Penerbit, Penerbit besar di kota gue.
Sejurus waktu gue tiba di Penerbit yang gue maksud. Setelah memarkir scoopy, gue masuk ke dalam kantor Penerbit. Gue sempat bingung, karena di meja depan kantor nggak ada orang. Akhirnya gue berdiri menunggu, cukup lama. Mungkin gue kepagian datang, atau...semua orang di kantor ini lagi sibuk. Sejenak pandangan gue tertuju pada rak buku di pojok dekat pintu masuk. Pasti semua buku-buku itu terbitan sini.
Nggak lama kemudian seorang cewek berhijab keluar dari dalam kantor.
“Ada yang bisa dibantu?” Tanya cewek itu.
“Saya mau ngantar naskah.”
Cewek itu mengeluarkan buku kecil, buku tanda terima. Judul naskah dan nama gue ditulisnya di kertas itu, setelah itu gue diminta tandatangan. Satu lembar kertas tanda terima disobek, trus dikasihkan gue. Cewek berjilbab itu bilang. “Naskahnya akan diproses selama kurang lebih 3 bulan.”
“Iya, makasih.” Sejenak gue tersenyum.
Dari Penerbit gue memacu santai scoopy, sambil tersenyum kecil gue bilang “Akhirnya gue bisa ngirim naskah, walaupun gue nggak tahu naskah gue terbit atau ditolak, tapi yang penting gue udah berani ngirim naskah.”
Gue sengaja langsung kirim naskah ke Penerbit, karena gue baru mengawali menulis, jadi gue berharap suatu saat nanti bisa ngobrol sama editor di Penerbit. Dan itu ilmu yang penting banget.
***
Siang ini gue nggak mengajar les, soalnya hari ini lesnya libur. Jadi siang ini gue mengantar Nyokap belanja ke pasar tradisonal. Sesampainya di area pasar gue sama Nyokap masuk ke parkiran pasar. Abis itu Nyokap cepat turun, berikutnya gue menyusul. Seperti biasa Nyokap selalu berjalan di depan, sementara di belakang Nyokap gue mengikuti dengan hati-hati banget. Sejenak gue memandang suasana pasar yang masih ramai, walaupun udah siang dan sampah masih banyak di sana-sini. Setelah itu gue mengalihkan kedua mata ke depan lagi, tapi gue kaget soalnya Nyokap nggak ada di depan gue. Sigap sorot mata gue bergerak, trus kepala gue mendongak, menoleh ke kanan dan ke kiri mencari Nyokap.
“Nyokap ke mana sih? Jalan nggak bilang-bilang! Masak anaknya dilupain.” Ucap gue kesal sambil celingukan.
Gue mempercepat langkah sambil meneliti setiap tempat hingga sesekali gue bertubrukan sama kuli panggul, membuat gue hampir jatuh. Gue terus berjalan di pasar ini dengan sorot mata nggak berhenti bergerak, nengok kanan, kiri kadang mendongak. Akhirnya gue yang lemas sejenak berhenti melangkah, tapi kedua mata gue masih mencari Nyokap. Dengan berat gue menghela nafas, trus menggaruk kepala.
“Nyokap di mana ya? Mana gue nggak bawa hp lagi.” Ucap gue pelan.
Setelah itu gue berjalan lagi pelan dengan kedua mata masih selalu bergerak. Gue terus jalan dan jalan, sampai gue merasa kaki gue capek banget. Sejenak gue kembali berhenti melangkah dan menarik nafas panjang dengan berat.
“Kayaknya gue udah muter-muter di pasar ini, tapi kok Nyokap belum ketemu juga.”
Mendadak gue mendengar suara seorang Ibu keras sambil sesekali tertawa. Sigap gue meneliti suaranya, soalnya kayaknya gue kenal sama suara itu. Setelah setengah yakin gue cepat menghampiri asal suara itu. Eh ternyata benar dugaan gue, Nyokap sedang ngobrol sama temennya yang Ibu-Ibu juga.
Sejenak gue menghela nafas panjang, trus cepat mendekati Nyokap. Tegas gue bilang “Bu. Ke mana aja sih, dari tadi Deni nyari-nyari Ibu. Deni kan takut Ibu hilang atau diculik orang.”
“Dari tadi Ibu di sini nungguin kamu, kamu sih jalannya pelan amat. Ibu ketemu Bu Marwah, temen Ibu waktu SMA. Nggak nyangka kita bisa ketemu lagi ya...” Kata Nyokap. Di akhir perkataannya Nyokap tersenyum sambil menoleh pada Bu Marwah.
“Iya Jeng, oh ini anaknya?” Tanya Bu Marwah sambil tersenyum.
“Iya. Ini Deni, anak aku yang pertama.” Jawab Nyokap santai.
Sejenak gue tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Ya sudah kalau begitu, aku mau pulang dulu nanti keburu sore.”
“O iya iya. Kapan-kapan kita belanja bareng ke pasar, mengingat masa lalu.” Kata Nyokap sambil tersenyum.
“Boleh-boleh. Aku siap aja...nanti kita tinggal janjian aja. Oke Jeng aku pulang dulu.”
“Iya, hati-hati di jalan.”
Setelah itu Bu Marwah pergi sendiri, soalnya dia belanja sendiri. Sementara Nyokap masih tersenyum memandang Bu Marwah. Dengan berat gue menghela nafas, trus tanya dengan kesal “Bu. Ibu jadi belanja enggak? Kaki Deni udah capek niiih, jalan-jalan terus.”
“Ya jadilah...kita kan sudah ke pasar, kalau nggak belanja rugi.” Kata Nyokap tegas.
Haaa akhirnya gue masih menemani Nyokap belanja, berjalan di belakang Nyokap. Beberapa kali Nyokap berhenti di lapak pedagang dan membeli beberapa barang. Sedangkan gue selalu siap menerima tambahan belanjaan setiap Nyokap berhenti di lapak, hingga makin lama makin berat dan makin siang pasar ini makin ramai, berjubel, sampai-sampai gue susah jalan. Nyokap sih masih bisa jalan, karena nyelip-nyelip. Nah gue, gimana gue mau nyelip-nyelip? Barang belanjaan yang gue bawa lebih gede dari badan gue, ibarat jalan satu orang dipakai dua sampai tiga orang.
Tiba-tiba laki-laki kurus terlihat berjalan tergesa di kerumunan orang dan memaksa masuk jalan yang sempit, yang gue lewatin. Dia kayak nggak tahu aja, ini pasar bukan jalan tol! Nggak mau ngantri atau pelan-pelan nih orang kurus. Gue kesel banget, tapi gue coba sabar dengan menghela nafas panjang, sementara sorot mata gue masih tertuju pada laki-laki kurus itu. Gue mau tahu nih, sebenernya dia mau ke mana? Sampai nubruk-nubruk gue segala dan nggak mau bilang permisi. Abis itu kepala gue mendongak ke atas mencari Nyokap. Ternyata Nyokap lagi tawar-menawar harga di lapak penjual asin. Sorot mata gue bergerak lagi dan tertuju pada laki-laki kurus yang mendekati Nyokap dari belakang. Hmm lagaknya kayak mencurigakan! Sigap gue berjalan lagi mendekati Nyokap, soalnya gue takut laki-laki kurus itu bakal ngapa-ngapain Nyokap, atau dia bakal nyopet dompet Nyokap. Supaya lebih cepat sampai, gue mempercepat langkah di tengah keramaian pasar, hingga gue menubruk Ibu-Ibu yang lagi belanja.
“Eh pelan-pelan dong, kalau jalan!” Seru seorang cewek gendut sambil melotot.
“Maaf maaf Mbak.” Kata gue sambil terus jalan di tengah keramaian, tapi gue menubruk dua Ibu-Ibu yang lagi beli kacang panjang sama sawi.
“Eh lihat-lihat kalau jalan, jangan seenaknya.” Ibu pertama kesal sambil nimpuk kepala gue pakai sawi. Gue pun cuma nyengir.
“Tahu nih, nggak tahu belanjaan kamu apa! Segede gitu!” Suara Ibu kedua keras dan di ujung perkataan, Ibu kedua nimpuk kepala gue pakai kacang panjang.
“Maaf maaf Bu, maaf... banget.” Ucap gue keras sambil terus berjalan dan menabrak orang-orang di pasar. Sejenak gue mendongakkan kepala dan melihat laki-laki kurus itu mau nyopet dompet Nyokap.
“Ibu...awas copet...!!” Gue teriak.
Hingga membuat semua orang di pasar menoleh pada gue, tapi Nyokap ternyata sigap menoleh pada laki-laki kurus yang ada di dekatnya. Ternyata Nyokap yang jago beladiri waktu masih muda lebih sigap melumpuhkan laki-laki kurus sebelum dia beraksi.
“Plaaak!! Plaak! Plaaak!!! Bug!! Bug!!”
“Adu duh Bu, saya bukan copet Bu...” Teriak laki-laki kurus sambil meringis kesakitan.
“Trus kenapa tangan kamu masuk ke tas saya.” Seru Nyokap sambil melintir tangan si laki-laki kurus.
“Iya iya Bu Maaf. Uang receh saya jatuh ke dalam tas Ibu.”
“Alasan!” Nyokap melotot sambil menghajar laki-laki kurus.
“Plaaak!! Buugg!! Bugg!! Buug!! Plaak!!!”
Dengan terengah Hansip dan Satpam pasar cepat datang, lalu mengamankan si copet. Serentak orang-orang pasar bersorak dan meneriaki si copet. Sedangkan gue masih berusaha mendekati Nyokap di tengah orang-orang yang semakin berjubel, tapi langkah gue terhenti saat tas kresek belanjaan yang gue bawa tersangkut di antara dua Ibu-Ibu gendut. Akhirnya gue menarik keras kresek hitam, hingga membuat kedua Ibu-Ibu sigap menoleh dan kaget, hingga melototi gue.
“Copet...!” Teriak dua Ibu-Ibu serentak.
Membuat gue kaget banget hingga wajah gue mendadak jadi tegang, bersamaan semua orang di pasar dengan sigap menangkap gue. Bahkan laki-laki penjual ayam memegang kerah leher baju gue.
“Naaah mau ke mana kau...” Seru penjual ayam sambil melotot.
“Bukan bukan, gue bukan copet. Pak, Bu...” Suara gue keras.
“Kalo copet nggak ada yang ngaku! Bawa aja ke kantor polisi.” Teriak orang di pasar. Disusul suara orang-orang pasar mengiyakan. Sementara gue ketakutan. Gue takut digebukin.
“Ibu...tolongin Deni...” Suara gue keras. Gue berharap Nyokap cepat datang dan menolong gue, soalnya gue takut digebukin. Gue kan bukan copet! Gue yang teriak ada copet, eh malah gue disangka copet. Copetnya kan udah ketangkap tadi.
Akhirnya Nyokap melihat gue di kerumunin orang banyak, trus Nyokap cepat mendatangi gue. Tegas dan keras Nyokap bilang “Eeee ini anak saya...Pak Bu.., bukan copet...Bapak salah tangkap...”
“Ooo ini anak Ibu...”
“Iya ini anak saya yang bantuin bawa belanjaan, nggak ada tampang copet. Masak Bapak nggak lihat, nih nih nih wajah anak saya ganteng kan? Nggak ada tampang copet.” Suara Nyokap tinggi dan di ujung kata-katanya, Nyokap meraba-raba dan menunjuk wajah gue.
“Ooo ya udah Bu, anaknya dijaga lain kali. Nanti malah dikira copet lagi.” Celetuk penjual ayam. Serentak orang-orang di pasar mengiyakan, trus bubar dari keramaian.
"Haaa gue yang teriak copet malah dituduh Nyopet, masya Allah... sabar....sabar.." Ucap gue dalam hati.