Nggak terasa hari ini udah hari ketiga, sejak gue menerima telepon panggilan wawancara. Selesai mandi gue memakai kemeja sama celana panjang, gue juga udah semprotkan parfum ke badan gue, biar wangi, soalnya nanti jam sembilan gue mau ke PT. Menara Jaya, mau wawancara. Tapi mendadak gue baru ingat kalo wawancaranya kan jam 10 pagi, ngapain juga gue pakai kemeja dan celana yang udah rapi sekarang. Daripada entar lecek, mending sekarang gue pakai celana pendek sama kaos oblong dulu, yang penting kan gue udah mandi dan wangi. Sejenak gue tersenyum lebar, trus melepas lagi kemeja dan celana panjang hitam, terakhir gue gantungkan lagi di kastok. Setelah itu gue ganti memakai celana pendek selutut sama kaos oblong.
Santai gue turun ke lantai satu, trus duduk di depan meja makan sambil senyum-senyum, sementara Nyokap masih menyiapkan makanan di meja makan dan Vita sama Bokap belum kelihatan. Sejenak Nyokap melihat gue dengan kening berkerut.
“Deni, kamu sudah mandi?” Tanya Nyokap.
“Udah Bu.” Gue tersenyum lebar.
“Tumben...memangnya kamu mau ke mana? Sudah mandi, trus wangi gini.” Di ujung kata-katanya, Nyokap tersenyum.
Gue nggak segera menjawab, soalnya bingung mau bilang apa. “Ehmm...”
“Ya udah nggak usah dijawab. Ibu malah seneng, pagi-pagi kamu udah mandi, trus wangi.”
Nggak lama kemudian Bokap keluar kamar, seperti biasa Bokap cuma memakai sarung sama kaos oblong. Setelah itu Bokap duduk di depan gue, mengambil cangkir kopi di meja dan nyeruput kopi panas.
“Nggak seperti Bapak kamu ini, dan ingat mulai sekarang jangan ditiru.” Kata Nyokap sambil melirik Bokap.
Membuat gue langsung tersenyum lebar melihat Bokap yang lemas mendadak dan sedikit cemberut, trus terdengar berat menghela nafas. Akhirnya makan pagi di rumah gue dimulai setelah Vita duduk bareng kita.
Selesai makan bersama gue sigap naik scoopy, mengantar si Vita ke sekolahnya. Scoopy udah gue hidupkan, trus gue memutar gasnya pelan hingga keluar pagar rumah dan berhenti di depan rumah. Dengan mesin menyala gue injak besi di kolong scoopy, trus gue tarik scoopy ke belakang, sampai akhirnya scoopy hitam manis yang udah kinclong ini bisa berdiri. Setelah itu sesekali gue memutar gas hingga suara scoopy semakin merdu dan pastinya tambah sehat karena yang punya keringetan.
Selesai memanaskan scoopy gue cepat naik scoopy. Dengan kening merapat gue menoleh dan melihat rumah, kayaknya belum ada tanda-tanda si Vita nih. Lama-lama gue jadi kesal, masak setiap pagi gue yang paling rajin mau ke sekolah, padahalkan bukan gue yang sekolah. Gue cuma mengantar si Vita resek adik gue. Kayaknya di rumah gue harus buat undang-undang atau peraturan dalam negeri eh peraturan dalam rumah khusus antar jemput ke sekolah, biar si Vita nggak kelewat manja dan dia nggak semena-mena sama gue.
Dengan santai Vita keluar rumah, trus duduk di belakang gue dan santai Vita bilang “Ayo Bang, berangkaaat.”
Gue menghela nafas panjang dan nggak menyalakan scoopy, tapi gue bersiul santai dan pura-pura nggak mendengar perkataan si Vita. Vita masih terus memberi komando, tapi gue masih santai siul-siul sambil sesekali kepala gue mendongak ke kanan dan ke kiri.
“Bang, ayo jalan!” Suara Vita tambah keras. Gue pura-pura nggak mendengar, jadi gue nggak nengok dan tetap bersiul santai.
“Bang...ayo jalan...Vita udah telat nih...” Vita lebih keras. Hmm akhirnya gue bisa tersenyum juga, walapun nggak lebar melihat dan mendengar si Vita yang kesal. Kayaknya gue berhasil memberi pelajaran untuk si Vita. Tiba-tiba Vita cepat turun, trus dia melotot sambil mayun di depan gue.
“Oke. Vita bakal bilang Ibu, kalo Kak Deni mogok nganterin Vita ke sekolah.” Kata Vita tegas dan keras.
Sontak gue tersenyum lebar, karena akhirnya si Vita manggil gue Kak Deni, bukan “Bang.” Kalaupun gue dipanggil Bang, harus yang lengkap dong, “Bang Deni”, bukan “Bang.” Gue putar kunci kontak scoopy, hingga Scoopy ini bersuara.
“Ayo cepet naek.” Kata gue tegas, tapi si Vita malah masih berdiri di depan gue dan masih menatap gue tajam.
“Ya udah kalo nggak mau naek. Nanti Kak Deni bilang sama Ibu, kalo Vita adik Kak Deni yang paling resek nggak mau dianterin lagi ke sekolah.” Gue santai.
“Eh kok gitu sih, harusnya Vita yang ngancam Kak Deni.” Celetuk Vita, trus sambil manyun Vita cepat duduk di belakang gue. Akhirnya Scoopy hitam manis ini pun melaju.
Sejurus waktu gue selesai mengantar Vita ke sekolahnya. Gue santai memacu scoopy sambil sesekali melihat tepi jalan. Gue lewat depan kampus anak-anak Teknik, trus nggak lama setelah itu gue lewat kampus fakultas kedokteran, di sebelah kampus ini ada sekolah SMU. Makanya jalan ini ramai sama anak-anak sekolah dan anak kuliah yang mau mencari ilmu, itu kata orang pinter. Jadinya laju motor gue nggak bisa cepat. Sejenak gue alihkan sorot mata gue ke dalam kampus. Karena pagar kampus nggak terlalu tinggi, jadi gue bisa melihat para mahasiswa/mahasiswi yang lagi seliweran dan tanpa diduga gue melihat cewek yang pernah gue lihat di kompleks gue. Dia sama temennya lagi jalan bareng di dalam kampus. Gue cepat menepikan scoopy di samping trotoar, trus kedua mata gue masih mengikuti ke mana cewek itu pergi.
“Subhnannallah...cantik banget. Kapan...gue bisa kenalan Ya Allah, gue pingin kenalan. Ya...paling enggak tahu namanya, trus rumahnya di mana? Eh rumahnya kan gue udah tahu.” Di ujung perkataan gue, suara gue tegas.
“Ya...pokoknya gitulah Ya Allah. Kenalin gue dong Ya Allah.”
Cewek berjilbab itu terlihat masuk ke dalam kampus. Gue jadi kecewa dan sedih, soalnya nggak bisa melihat dia lagi.
“Priiit...priiiiit...priiiittt...” Pluit Pak Satpam kampus keras saat sedang menertibkan jalanan.
“Hei, kamu! Yang pake jaket, cepat masuk! Jangan ngejogrog aja di situ!” Suara Pak Satpam keras sambil melotot. Gue tersentak kaget, trus menoleh ke kanan dan ke kiri. Gue bingung Pak Satpam ngomong sama siapa?
“Anda ngomong sama siapa Pak?” Tanya gue keras.
“Ya sama kamu yang noleh sana sini! Ayo cepat masuk!” Di ujung perkataan suara Pak Satpam lebih keras.
Gue kaget kedua kali! Soalnya gue kan bukan anak kuliah sini, ngapain gue masuk kampus. Sigap gue menyalakan mesin dan kembali memacu scoopy hingga melaju perlahan sambil sesekali mata gue melongok ke dalam kampus. Saat itulah kening gue mendadak merapat, gue berpikir kayaknya...kalo gue masuk juga nggak apa. Walau gue bukan anak kuliah sini, wajah gue juga masih kayak anak kuliah. Mending gue masuk ke kampus aja, siapa tahu gue bisa kenalan sama cewek berjilbab tadi. Dan mungkin...ini cara yang ditunjukkan Allah buat gue. Akhirnya scoopy hitam ini belok ke kampus fakultas kedokteran, trus gGue memarkir motor di tempat parkir. Setelah itu gue turun dari motor, tapi gue belum melepas helem.
Tiba-tiba seorang laki-laki agak tua tergesa mendatangi gue dan bertanya “Mas Mas, mau masuk kerja ya?”
“Kerja?” Gue mengulang pelan.
“Bisa nitip surat ini ke Dosen Haris? Mas pasti tahu, Dosen Haris kan pembantu rektor di sini.” Katanya cepat sambil tersenyum.
Gue belum menjawab, tapi laki-laki di samping gue ini nyerobot duluan sambil cepat memberikan surat sama gue “Ya udah Mas, saya titip ya. Soalnya saya harus cepat pergi, saya harus ngantar anaknya ke sekolah. Saya supirnya Pak Haris, tadi suratnya ketinggalan di mobil. Saya sudah telepon Pak Haris, kalau suratnya akan saya titipkan ke pegawai di kampus. Tolong disampaikan ya Mas.”
Laki-laki itu cepat pergi dan masuk ke dalam mobil sementara gue masih terperangah sambil membawa surat dalam amplop putih, dan sekarang gue bingung! Ke mana gue nyari Pak Haris alias Dosen Haris, pembantu Rektor kampus ini.
“Haaa nyusahin aja itu Bapak-Bapak. Surat itu kan amanat, nanti kalo nggak nyampe ke Dosen Haris gimana pertanggungawaban gue sama Allah!” Celetuk gue tegas dan pelan.
Haaa mau nggak mau akhirnya gue berjalan masuk ke dalam kampus sambil sorot mata gue bergerak dan sesekali kepala gue nengok ke kanan dan ke kiri. Gue mau mengantar surat ini ke Pak Haris, tapi gue nggak tahu di mana ruangan pembantu Rektor. Tiba-tiba Satpam di dalam kampus menghentikan langkah gue dan berkata tegas “Stop Mas.”
Mendadak gue berhenti melangkah dan sejenak gue melihat nama Satpam itu Paimin, tertulis besar di depan bajunya. Dengan tatapan yang tegas Pak Paimin masih meneliti gue, trus keningnya berkerut rapat sambil geleng-geleng kepala.
“Mas ini mau kuliah atau mau jadi tukang kebun?”
“Gu....”
“Kalau tampang sih kayak anak kuliahan, tapi pakaian Mas ini lho yang bikin saya ndak percaya kalo Mas ini mau kuliah.” Pak Paimin memotong dengan logat Jawa sambil memperhatikan baju dan celana gue.
“Saya mau nganter surat buat Pak Haris, pembantu Rektor kampus ini. Nih suratnya. Karena Pak Paimin kerja di sini, jadi saya minta tolong sampaikan surat ini untuk Pak Haris. Wassalammualaikum.” Gue meniru logat Pak Paimin yang ngomong dengan logat Jawa medok, trus gue memberikan surat dalam amplop putih.
Setelah itu gue cepat balik badan dan berjalan santai sambil sesekali mata gue melihat gedung-gedung di kampus fakultas kedokteran ini. Lemas gue menghela nafas panjang, karena kecewa gue nggak bisa ketemu cewek berjilbab itu.
“Ternyata, Allah nggak ngijinin gue kenalan sama cewek berjilbab itu.” Ucap gue pelan.
Perlahan kedua sorot mata gue beralih pada jam di tangan, tapi gue kaget banget sekarang udah jam 10 kurang 10 menit! Gue kan mau wawancara jam 10. Tanpa banyak berpikir lagi gue cepat lari mencari jalan keluar gedung, tapi gue bingung masuk dari mana tadi? Sejenak mata gue bergerak mencari pintu keluar, hingga akhirnya berhenti pada tulisan “Exit” di antara dua bangunan. Gue cepat mengikuti arah keluar gedung dan melewati ruang labolatorium, tapi gue menabrak cewek, hingga buku-bukunya jatuh tercecer di lantai.
“Maaf maaf Mbak, gue nggak sengaja.” Gue cepat mengambil buku-buku yang berserakan di lantai.
“Iya nggak apa-apa.” Katanya sambil mengambil buku-buku.
Setelah gue memberikan buku-buku sama cewek itu, dia langsung pergi. Setelah itu gue cepat lari lagi, tapi gue kebablasan lari, maklum tulisan “Exit” nya udah sedikit pudar dan pintu keluar kampusnya juga nggak lebar. Akhirnya gue balik badan dan berlari lagi, trus melewati satu kelas paling ujung sambil sesekali sorot mata gue tertuju pada kelas. Tiba-tiba gue berhenti berlari, bahkan hampir terjungkal saat gue melihat cewek manis berhijab itu sedang di dalam kelas mengikuti kuliah.
“Subhanallah...” Ucap gue pelan dengan nafas tersengal dan memperhatikan cewek berjilbab itu.
“Kira-kira...namanya siapa ya?” Tanya gue pelan.
“Yang mana?”
“Itu....yang make jilbab pink, yang matanya lebar, yang paling cantik dan manis.” Kata gue sambil tersenyum.
“Oooo itu...dia namanya Meyda. Dia mahasiswi S2 di kedokteran spesialis organ dalam, cuma itu sih yang saya tahu.”
“S2? Kedokteran? Spesialis?” Gue mengulang kaget dan di ujung perkataan gue menoleh. Ternyata Pak Satpam berdiri di samping gue sambil tersenyum lebar dan tiba-tiba menatap gue tajam.
“Maaf Pak. Saya mau pulang sekarang.” Kata gue sambil nyengir, tapi Pak Satpam tambah melotot. Hingga akhirnya sejenak gue tambah nyengir, trus cepat berlari ke pintu keluar dan cepat juga ke tempat parkir, trus naik scoopy hitam.
***
Haaa hari ini wawancara gue gagal. Gue telat datang, jadi gue ditolak. Sekarang gue masih di dalam kamar dan cuma tiduran di kasur. Gue sedih banget dan rasanya badan gue males...banget. Kayaknya masa depan gue suram banget.
“Ya Allah. Apa yang harus gue lakuin? Sampe sekarang gue masih nganggur. Apa Engkau bener nggak ridho kalo hamba-Mu ini kerja? Trus kalo nggak kerja gue harus apa? Gue....nggak punya kelebihan. Dan malah gue banyak kekurangan. Haaa.” Di ujung perkataan gue menghela nafas panjang.
“Teeeeet...teeet...” Bel depan rumah berbunyi keras.
“Assalammualaikum...” Suara Aldo keras dari teras rumah.
“Waalaikummusalam...” Jawab gue lemes.
“Ngapain lagi Aldo ke sini.” Gue bangkit berdiri. Trus gue turun ke lantai satu, trus ke teras rumah dan nyamperin si Aldo yang duduk di lantai teras di dekat pot, trus gue duduk di sampingnya.
“Ada apa Do?” Suara gue datar.
“Wajah lo kok lecek? Lo sakit?” Tanya Aldo. Dengan wajah kaku gue nggak segera menjawab, tapi sejenak menghela nafas. Sementara Aldo masih teliti menatap gue.
“Iya, gue sakit. Sakit hati.” Suara gue tegas. Eh Aldo malah tertawa keras sambil menepuk-nepuk pundak gue.
“Gimana? Lo udah bisa nulis belum?” Tanya gue datar sambil menoleh. Tanpa menjawab terlihat Aldo cuma senyum, trus menunjukkan amplop besar dan tebal, warna coklat.
“Apaan nih? Lo mau ngelamar kerja? Tebel banget lamarannya.” Tanya gue agak tinggi dengan kening berkerut rapat, tanda kalo gue sedikit kaget.
“Yaaa bisa dibilang ini surat lamaran sih...lamaran buat ke Penerbit. Seperti kata lo, gue udah bisa buat cerita. Tapi...gue masih ragu, apa....naskah gue bakal diterima dan dibaca?” Aldo tersenyum, tapi di ujung perkatakaannya sedikit cemberut.
“Sini gue lihat dulu.” Gue cepat merebut amplop tebal dari tangan Aldo, trus gue langsung membuka amplop, tapi gue kembali terkejut dan heran melihat isi dalam amplop, soalnya kertas-kertasnya masih kececeran.
“Aldo, ini kertas apaan? Kok nggak elo bendel sih? Di jilid dong ke penjilidan, masak kayak gini.”
“Ya emang belum gue jilid. Kan gue mau nanya elo dulu, tulisan gue udah rapi belum? Trus kata-katanya gimana? Elo bingung enggak sama bahasa di naskah novel pertama gue? Ehmmm ceritanya udah enak dibaca belum?”
“Satu-satulah kalo nanya, biar gue baca dulu sebentar.”
Kedua sorot mata gue akhirnya membaca tulisan Aldo di kerta-kertas A 4 ini. Sebenarnya gue juga nggak ngerti tulisan yang bagus itu kayak gimana? Tapi...sebagai sahabat yang baik, gue coba kasih komentar. Dan gue pikir itu hubungan yang paling baik.
“Gimana?” Tanya Aldo sambil tersenyum.
“Bajing Luncat Kecil.” Gue membaca judul naskah novel si Aldo. Membuat kening gue cepat merapat nih, tapi kemudian gue manggut-manggut pelan, hingga akhirnya gue tersenyum kecil, saat gue udah bisa menangkap maksud judul “Bajing Luncat Kecil.”
Pelan gue membuka lembar demi lembar. Sambil sesekali manggut-manggut gue terus membuka lembar demi lembar, sampai gue menemukan yang pingin gue baca dan kelihatan paling aneh dari tulisan si Aldo, walaupun gue juga nggak mengerti tulisan bagus itu kayak gimana. Akhirnya gue membuka bab paling akhir, bab ke 17, bab penutup naskah novel “Bajing Luncat Kecil.”
“Suatu tempat yang dulu gue dan sahabat gue suka, yaitu tempat yang banyak pohonnya. Karena gue dan sahabat gue sangat hobi naek pohon. Kita berdua suka menghabiskan waktu berjam-jam di atas pohon, sambil makan buah dari pohon yang kita naikin. Suatu ketika gue sama sahabat gue memanjat pohon jambu air. Sebelumnya kita emang udah janjian mau makan jambu air di atas pohon. Kita berdua makan jambu air warna hijau keputih-putihan, manis dan seger..
Gue bilang “Den, makan lo kok dikit amat? Nih gue kasih jambu air gue.”
“Lo aja yang makan, gue udah kenyang. Entar perut gue mules gara-gara kebanyakan makan jambu air.” Kata Deni.
Satu persatu jambu air gue makan dengan lahap. Deni yang sepertinya sudah kekenyangan selalu mengelus-elus perutnya, matanya juga merem melek, karena tiupan angin berhasil menaklukkannya. Hingga gue menggigit jambu terakhir, tapi ternyata jambu air itu penuh ulat. Maka gue kaget mendadakt, trus cepat gue melempar jambu air busuk pada Deni. Deni nggak kalah kaget saat jambu air busuk mengenai baju dan telapak tangannya. Deni pun cepat melempar pada gue, tapi gue melempar lagi pada Deni, trus Deni melempar gue lagi. Akhirnya gue dan Deni terus saling lempar jambu busuk dan berulat, hingga kami salah melempar jambu air busuk. Ternyata Jambu air busuk itu mengenai sang pemilik jambu, Pak Badar yang berkumis tipis tapi berjenggot tebal.
Pak Badar dengan muka merah berkata keras “Hei, maling kecil awas kalian. Kalian ini sudah mencuri jambu airku, trus melemparku dengan jambu busuk. Dasar bajing luncat kecil.”
Deni cepat bertanya “Aldo. Katanya lo sudah minta ijin. Kenapa kita dibilang mencuri?Dan dibilang bajing luncat lagi?”
“O iya, gue lupa bilang sama lo tadi. Gue belum bilang Pak Badar, kalo gue sama elo mau ngambil jambu air Pak Badar.” Jawab gue sambil menggaruk kepala dan nyengir.
“Pantesan dari tadi perut gue mules abis makan nih jambu air. Gara-gara lo sih!” Kata Deni sambil meringis sakit perut. Gue cuma nyengir di depan Deni.
“Ayo cepat turun Bajing Luncat Kecil. Atau mau saya turunkan!” Seru Pak Badar.
Dengan suara ribut-ribut tujuh anak seusia gue terlihat berlarian mengejar layangan putus, tapi tiba-tiba mereka berhenti dan tertawa melihat gue sama Deni di atas pohon dan dipanggil Pak Badar Bajing Luncat Kecil. Sontak tujuh anak seusia itu berteriak seperti ucapan Pak Badar.
“Bajing Luncat Kecil...Bajing Luncat Kecil...Bajing Luncat Kecil...” Teriak anak-anak. Sementara itu Pak Badar masih melotot dan nungguin gue sama Deni turun dari atas pohon.
Semenjak saat itu gue sama Deni selalu di olok-olok Bajing Luncat Kecil dan kami jadi lebih dikenal, dikenal dengan sebutan Bajing Luncat Kecil.
...........................................................
Dengan senyum tipis gue manggut-manggut setelah membaca bab akhir “Bajing Luncat Kecil.”
“Gimana Den? Bagus kan tulisan gue?”
“Ahmmm bagus-bagus...bajing luncat kecil.” Di ujung kata-kata gue tersenyum kecil dan menatap Aldo.
“Makasih ya, lo udah ngajarin gue nulis. Lo tahu nggak? Gue sampe bergadang nulis naskah pertama gue ini. Nih nih lihat kelopak mata gue, lebih hitam dari sebelumnya kan?” Di ujung perkataan Aldo menunjukkan kelopak matanya, lalu Aldo tersenyum lebar.
“Oooo gitu...hebat juga lo bisa nyelesaiin naskah novel, cepet lagi. Gue aja belum pernah nulis novel.” Di akhir perkataan gue tersenyum.
“Udah...tenang aja Den. Kalo naskah gue terbit, nama lo yang pertama gue sebutin di ucapan terima kasih.” Aldo tersenyum. Sambil manggut-manggut gue juga ikut tersenyum melihat Aldo seyakin dan seserius itu mau jadi Penulis.
“Ya udah gitu aja, gue cabut dulu. Gue mau menjilid nih naskah, trus gue kirim ke penerbit.” Aldo menepuk pundak gue, tus pergi.