Loading...
Logo TinLit
Read Story - Simbiosis Mutualisme seri 1
MENU
About Us  

Selesai mengantar Vita ke sekolah gue mendapat tugas baru dari Nyokap. Gue membantu Nyokap di dapur, tapi bukan cuci piring dan bukan juga makan. Hari ini gue membantu memotong-motong kue ulang tahun yang masih dingin, karena baru keluar dari kulkas. Kata Nyokap hari ini kuenya harus sudah habis dibagikan ke tetangga sama ke anak-anak paud. Gue heran sama pemikiran Nyokap, dan bukan kali aja gue heran sama yang dilakukan Nyokap, kenapa membagikan kue yang udah dingin dan hampir beku kayak gini, malu-maluin aja.

“Deni motong yang sama dong besarnya, nih seperti yang ini.” Di ujung perkataannya Nyokap menunjukkan potongan kue yang sudah di potongnya.

Sejenak tangan gue berhenti bergerak, trus gue melihat kue yang ditunjuk Nyokap.

“Kan sama aja Bu...besar atau kecil. Yang buat ke tetangga dekat itu yang besar, kalo buat ke anak-anak paud itu yang kecil, kan mereka masih kecil.”

“Deni. Nggak ada yang dapat besar atau kecil, semuanya harus rata, harus adil.” Nyokap tegas.

Dengan berat gue menghela nafas panjang, trus bilang “Lagian Deni itu masih heran sama Ibu, kenapa malah bagi-bagi kue ulang tahun segala sih kalo Bapak yang ulang tahun. Bukannya beli tumpeng, trus dibagi-bagi, kalo kayak gitu kan masih wajar.”

“Jadi kamu pikir bagi-bagi kue ulang tahun itu nggak wajar dan aneh?” Tanya Nyokap sambil tegas menatap gue.

Sejenak gue nyengir. “I....iii..iya.”

Nyokap menghela nafas, lalu menggeleng-gelengkan kepala dan kembali memasukkan kue-kue yang sudah dipotong ke dalam kardus. Pelan dan lembut Nyokap bilang “Deni, asal kamu tahu. Nggak semua anak bisa merayakan ulang tahunnya dan nggak semua anak bisa makan kue ulang tahun. Daaaan kue ulang tahun yang paling enak dan aman itu kue yang barus masuk kulkas, jadi....kalo anak-anak kecil makan kue ulang tahun nggak belepotan kream.”

“Oooh.” Gue manggut-manggut pelan.

“Tapi sayangnya kream kue ini nggak bisa tahan lama, kalo dikasihkan ke anak-anak pasti nggak beku lagi dan pasti anak-anak yang makan kue ini jadi belepotan, tapi...nggak apa-apalah, yang penting mereka suka dan senang.” Kata Nyokap sambil terus memasukkan kue ke dalam kardus.

Sambil mayun gue manggut-manggut dan otak gue berpikir, ternyata Nyokap punya alasan yang gue nggak tahu. Kayaknya.....gue harus intropeksi diri nih. Jangan cuma senang menyalahkan orang, sementara kita belum tahu alasan orang itu berbuat sesuatu yang kita salahkan.

“Deni. Jangan bengong aja, cepat bantuin Ibu lagi. Masih banyak nih kue yang mau dipotong. Trus nanti kamu antar kue ini ke sekolah paud yang di dekat pasar.”

“Pasar?”

“Iya Pasar yang kemarin kamu temenin Ibu belanja.”

Sejenak gue tertegun, menyusul hati gue ikut ngomong “Berarti...gue harus masuk pasar dong...”

“Tapi supaya lebih cepat, kamu jangan masuk pasar. Lewat jalan tikus aja di samping pasar, ya memang sih jalannya agak kecil. Jadi kamu jalan kaki aja, trus motor kamu diparkir di parkiran pasar.” Sahut Nyokap sambil memasukkan kue ke dalam kardus.

“Jalan tikus?” Gue mengulang pelan dengan kening merapat.

“Iya.” Jawab Nyokap gregetan.

“Haaa...capek dong Bu...jalan tikut lagi, pasti kotor deh.” Gue lemas.

“Nggak capek, cuma jalan sebentar aja, nanti Ibu kasih alamatnya. Kalau kamu bingung, kamu bisa tanya-tanya orang di sana.”

Sejurus waktu gue sama Nyokap selesai memotong-motong kue dan memasukkannya ke dalam kardus. 70 kue dalam dus kecil dimasukkan ke dalam dua keresek besar. Trus gue angkat dan gue naikkan ke atas scoopy di bawah stang. Sisa 20 dus kecil kue dibagikan Nyokap sama tetangga-tetangga di kompleks dan 22 dus kecil lainnya dibagikan di sekolah paud di kompleks ini.

Akhirnya gue sampai di parkiran pasar. Setelah memarkir motor gue jalan, trus masuk ke gang kecil. Dan bener kata Nyokap, jalan tikus ini kecil banget tapi untungnya nggak kotor apalagi becek, cuma bisa dilewati sama satu orang, bahkan kayaknya nggak bisa dilewati sama motor atau sepedah, apalagi mobil. Persis kayak jalan galengan di sawah, tapi untungnya di samping kanan dan kiri nggak ada sawahnya atau selokan, cuma ada tembok yang tinggi banget. Sambil ngos-ngosan membawa dua keresek besar yang isinya kardus-kardus kue, gue terus berjalan pelan dan hati-hati banget. Sejenak pandangan gue meneliti ke depan, kemudian memicingkan salah satu mata gue. Akhirnya gue melihat ujung dari jalan ini, walaupun masih agak jauh sih. Setelah itu gue kembali berjalan, tapi tiba-tiba langkah gue terhenti saat melihat anak laki-laki gemuk di hadapan gue. Bahkan karena terlalu gemuk, sampai-sampai jalan yang sempit ini nggak ada celah sedikitpun.

“Waduh, gimana ini?” Ucap gue pelan sambil nyengir kepanasan, soalnya matahari perlahan semakin terang.

Akhirnya gue mencoba tersenyum, trus bilang dengan sopan “Adik....Kakak lewat dulu ya? Adek balik dulu lagi aja....”

“Nggak mau ah, Kakak aja yang balik lagi ke sana. Aku mau lewat dulu.” Suara anak laki-laki gemuk tegas. Gue sedikit kaget, trus sejenak nengok ke belakang ke ujung jalan yang gue masuk yang jauuuuuh di belakang gue. Masak gue harus balik lagi, bisa pingsan gue sebelum memberikan kue ini ke anak-anak paud. Mendadak gue semakin lemas seraya menghela nafas.

“Hmmm ujung jalan gang di belakang adek kan lebih dekat, tapi kalo ujung jalan di belakang Kakak kan masih jauuuuuh banget. Jadi biar cepat, mending adik yang mundur aja. Gimana?”

“Nggak mau! Kalau Kakak nggak mau mundur, nanti aku tabrak aja.” Di ujung perkataan anak kecil laki-laki itu berjalan. Membuat gue kaget dan tegang, hingga tanpa sadar gue berjalan mundur sambil membawa dua kresek kardus kue.

Astagfirullahhaladziiim, Ya Allah gimana ini? Ini anak kecil nggak mau ngalah sama yang gede.” Ucap gue pelan sambil melangkah mundur.

Sambil terus melangkah mundur, ternyata otak gue berlari, berpikir gimana caranya gue bisa melewati anak kecil gendut ini tanpa merusak kue yang gue bawa. Akhirnya gue menemukan ide, kenapa nggak gue angkat tinggi aja keresek kardus kue ini. Anak kecil gendut ini kan nggak setinggi gue.

“Dasar Deni, lemot banget otak lo.” Gue kesel dalam hati.

Akhirnya gue berhenti melangkah, trus gue angkat tinggi dua keresek yang isinya masing-masing 34 kardus kue. Langkah berikutnya gue menempelkan badan gue ke tembok supaya jalannya muat, mudah-mudahan ajaaa muat. Sementara itu anak kecil genduk itu terus berjalan, trus menumbruk badan gue. Hingga gue kejepit di tembok, persis kayak cicak-cicak di dinding yang lagi nemplok di tembok. Rasanya badan gue sakit banget....sampai gue teriak-teriak sakit, tapi si anak kecil ini tetap aja memaksa terus berjalan. Hingga gue semakin lemas dan akhirnya menyerah.

“I...ii..iiya iya dek, Kakak kalah deh, Kakak kalah. Adik mau kue nggak? Kakak bawa kue nih...”

“Kue? Enak nggak kuenya?”

“Ya pasti enak. Adik mundur lagi, biar Kakak nggak kejepit dan kuenya nggak hancur.”

Akhirnya anak kecil gendut itu mundur selangkah. Haaa saat itulah badan, hati dan pikiran gue sedikit lega sambil menarik nafas, tapi badan gue masih sakit banget nih.

“Kak mana kuenya?!”

“Iya Kakak kasih, tapi adek jalan dulu sampai ujung sana. Kalo dibuka di sini kan sempit.”

“Oke Kak.” Kata anak kecil gendut sambil balik badan, lalu berjalan ke ujung.

Lemas gue menggelengkan kepala dan menghela nafas panjang sambil melihat anak kecil gendut itu, trus mengucap “Masya Allah... beratnya ujian dari-Mu hari ini Ya Allah.”

“Kenapa nggak dari tadi sih, gue kasih kue anak kecil gendut ini. Bikin badan gue sakit aja.” Celetuk gue pelan.

Setelah itu gue ikut berjalan di belakang anak kecil gendut itu. Sesampainya di ujung jalan gang, gue memberi anak kecil itu satu kardus kue, eh tapi dia malah minta dua kardus. Kayaknya gue dipalak nih sama anak kecil gendut ini, haaa...ya udahlah akhirnya gue kasih dua kardus kue. Setelah itu anak kecil itu jalan dengan santai sambil senyum-senyum. Sementara gue menggelengkan kepala melihat anak kecil gendut itu kegirangan.

Karena bingung mencari sekolah paud, akhirnya gue tanya orang yang lewat di mana letak sekolah paud yang dekat sama pasar, dan eh ternyata sekolah paud-nya ada di samping gue. Sedikit terkejut gue cepat membuka kedua mata lebih lebar, soalnya gue kira ini puskesmas atau kantor Desa atau kantor Lurah atau apalah, soalnya banyak orang dewasa yang lagi antri. Setelah gue cari tahu ternyata di salah satu ruangan di sekolah paud itu sedang ada pengobatan gratis buat warga miskin.

Dengan hati-hati membawa kresek kardus kue, gue berjalan lagi pelan di tengah kerumunan orang sambil mata gue celingukan ke depan. Trus gue tanya orang lagi anak-anak paud ada di ruang berapa. Setelah tahu di mana ruangannya gue pun bejalan lagi dengan kedua mata masih celingukan, tapi tiba-tiba gue berhenti berjalan bersamaan kedua mata gue sedikit melotot melihat salah satu anak kecil gendut yang tadi menjepit gue di tembok. Dia lagi duduk di samping orang dewasa yang badannya juga gede, kayaknya itu Nyokapnya. Ehmm mungkin...mereka juga sakit atau....si anak gendut yang sakit, atau...Nyokapnya.

“Apa...gara-gara makan kue ini ya...anak itu jadi sakit? Tapi sakit apa? Sakit perut sakit ehmmm gigi, sakit...”

“Mas-mas kalau mau ikut berobat antri dong seperti yang lain. Jangan jadi patung di sini.” Suara seorang perempuan tegas memotong sambil menepuk-nepuk pundak gue.

Sontak gue menoleh, trus bilang “Oh saya, ehmmm saya...”

“Mas pasti mau berobatkan? Antri di sana.”

“Oh enggak kok saya mau ke sana, ke paud bukan mau berobat.”

Sigap gue berjalan, trus masuk ke salah satu ruangan. Hingga akhirnya gue bertemu sama guru paud. Tanpa basa-basi gue langsung bilang, kue ini dari Ibu Sri untuk anak-anak paud dan sisanya buat yang ngajar. Ternyata membuat sang guru tersenyum bahagia, anak-anak mendapat kue gratis. Sejenak mata gue meneliti anak-anak paud di kelas ini, tapi gue kaget ketiga kalinya saat melihat anak kecil gendut yang menabrak dan menjepit gue di tembok tadi.

“Kenapa tuh anak ada lagi di sini? Tadi kan lagi berobat di sana, tapi....nggak mungkin kan dia masih paud? Badannya aja segede gitu....eh tapi...kayaknya dia agak kecilan daripada yang tadi.” Ucap gue pelan sambil sedikit melotot lihat anak itu.

“Kenapa Mas?” Tanya sang Ibu guru di samping gue.

“Oh, nggak apa-apa kok. Ehmm tapi....kalo saya boleh tanya....nggak apa kan Bu?”

“Boleh-boleh, tanya apa?”

“Ehmm....perasaan tadi saya lihat....anak yang gendut itu di luar, kok dia udah di dalam kelas lagi Bu ya....”.

“Ohhhh yang paling gendut itu....namanya Bram. Dia dari keluarga ukuran jumbo, Bapak Ibunya besar-besar, trus Kakak-Kakaknya juga. Mungkin yang dilihat Masnya tadi Kakak-Kakaknya, ya....memang sih...semuanya mirip-mirip.” Kata Bu Guru sambil tersenyum.

“Oooooh.” Gue manggut-manggut pelan.

Tiba-tiba handphone di celana gue bergetar hebat, hingga mengagetkan gue. Gue cepat merogohnya dan sejenak melihat layar, ternyata si Aldo menelepon. Sigap gue menjawab “Assalammualaikum, kenapa Do?”

“Waalaikumsalam. Deni, lo di mana? Gue mau ke rumah elo sekarang.”

“Ya udah ke rumah aja.”

“Lo lagi di mana?” Tanya Aldo.

“Gue masih....di deket pasar.”

“Ya udah cepet pulang, gue mau ke rumah elo. Lo harus ngajarin gue nulis.”

“Iya iya.”                                                             

Telopon diputus Aldo. “Tut tut tut tut...”

“Dasar Aldo, lama-lama lo kayak Nyokap gue aja.” Ucap gue pelan dan tegas sambil melihat layar handphone.

 

                                                                                           ***

Ternyata si Aldo nggak jadi datang pagi, tapi dia bakal datang ke rumah agak sorean. Gue jadi kesal sama si Aldo. Gara-gara si Aldo gue jadi buru-buru pulang dan nggak bisa melihat anak-anak paud makan kue sampai belepotan. Siang menjelang sore ini setelah mengajar les gue menunggu tukang pos, malah dari tadi pagi gue menunggu tukang pos. Soalnya gue udah mengirim surat lamaran dan sekarang udah lewat lima hari. Walaupun tadi pagi gue keluar bentar mengantar kue, tapi kalo ada surat panggilan kerja biasanya Nyokap selalu bilang, dan ujung-ujungnya Nyokap pasti bilang “Deni. Cari kerja yang santai, yang nggak capek.”

Nggak lama kemudian gue melihat Nyokap membawa ember sama alat pel. Kayaknya Nyokap mau ngepel rumah siang-siang begini. Kenapa nggak besok pagi aja? Kan nanggung lagian bentar lagi juga asyar, tapi gue nggak tega melihat Nyokap nyapu dan ngepel. Akhirnya gue cepat merebut sapu sama alat pel, tus gue nyapu dan ngepel dalam rumah dulu.

Selesai ngepel di dalam rumah gue istirahat sebentar. Ternyata Nyokap melihat gue duduk lemas di sofa, trus Nyokap bilang “Biar Ibu yang melanjutkan, kamu istirahat dulu aja.”

Setelah itu sigap Nyokap mengambil alat pel dan ember di samping gue, tapi gue cepat berdiri dan merebut alat pel sama ember.

“Biar Deni aja Bu yang ngepel, Deni masih kuat kok. Tadi Deni cuma istirahat sebentar, sekarang udah kuat lagi kok...” Di ujung perkataan gue nyengir.

 “Bener kamu nggak capek?”

Gue nggak menjawab, tapi cuma manggut-manggut tegas. Sejenak Nyokap meneliti wajah gue, trus bilang “Tapi sepertinya kamu harus lebih banyak istirahatnya, soalnya wajah kamu merah, pasti kamu kecapekan. Jadi biar Ibu aja yang melanjutkan.”

“Tapi....”

“Udah...nggak apa-apa, kamu duduk aja.” Nyokap merebut alat pel dan ember lagi, trus pergi ke teras rumah.

Dengan lemas gue menghela nafas panjang. Tadinya gue mau ngepel teras depan, soalnya sekalian mau menunggu tukang pos lewat, tapi...ya udahlah. Nyokap juga nggak akan marah kalo gue mendapat balasan dari surat lamaran yang gue kirim. Tiba-tiba aja gue ingat kata-kata Nyokap.

“Ibu nggak...ridho...” Gue menirukan suara Nyokap, tapi gue nggak melanjutkan.

“Sama aja bohong dong, gue ngelamar kerja kemanapun kalo ujung-ujungnya ditolak juga, soalnya Nyokap sama Bokap nggak ridho gue kerja. Dan ridho orang tua itu ridho Allah juga.” Gue tegas dan pelan, trus menghela nafas panjang.

“Krinnggg...kringg....kringgg...” Telepon rumah berbunyi.

Gue cepat mengangkat telepon, trus menjawab “Assalammualaikum.”

“Dengan saudara Deni Sumantri?” Tanya si penelepon.

“Benar, saya Deni. Maaf saya berbicara dengan siapa?”

“Saya mewakili HRD PT. Menara Jaya, kami sudah menerima surat lamaran saudara. Kami memanggil saudara untuk wawancara, Kamis pagi jam 10 di kantor PT. Menara Jaya.”

“Oh iya, terima kasih Mbak eh Bu.” Ucap gue sambil  tersenyum lebar.

“Itu saja yang ingin kami sampaikan, terima kasih.”

“Iya sama-sama.”

“Tut...Tut...” Telepon ditutup. Setelah itu gue meletakkan gagang telepon di tempatnya.

“Yes...akhirnya....gue dipanggil juga.” Suara gue keras sambil loncat-loncat.

“Deni...ada Aldo...” Suara Nyokap keras dari teras rumah.

“Ya Bu...bentar.” Tapi gue nggak segera menemui Aldo di depan, tapi gue berjalan mondar-mandir, soalnya hati gue masih kebawa seneng, jadi gue bingung sama yang harus gue siapkan.

“Gue harus persiapan nih buat wawancara hari Kamis. Hari Kamis itu...tiga hari lagi! Waaah gue harus siapin baju dari sekarang.”

“Deni...ada Aldo di bawah....”. Suara Nyokap tambah keras.

“Iya iya Bu.” Jawab gue sambil jalan ke depan.

Akhirnya dengan kesal gue menemui Aldo di ruang tamu, trus kita masuk ke ruang tengah. Gue sama Aldo emang udah janjian kalo hari ini Aldo mau kursus menulis dari gue. Si Aldo ngeyel pingin banget belajar menulis dari gue, tapi sebenernya gue juga nggak bisa menulis. Gue nggak suka sama menulis atau mengarang cerita, bahkan gue nggak suka membaca novel, cerpen atau buku cerita. Gue lebih seneng didongengin sama Nyokap kayak gue waktu kecil, tapi Aldo tetep nggak percaya dan malah menuduh gue nggak mau bantuin dia. Akhirnya dengan terpaksa gue mau membantun dia. Yaaa...bismilah ajalah, dipikir-pikir kita kan sahabat, jadi harus timbal balik.

Sore ini gue sama Aldo duduk di karpet tebal warna merah di ruang tengah. Gue memberi tahu Aldo tentang cara menulis novel atau cerita yang gue tahu dari catatan sekolah gue dulu. Soalnya sebelum ke sini Aldo udah telepon tadi malem, jadi gue cepat nyari buku-buku sekolah, waktu gue masih SMA. Si Aldo kayaknya udah serius mendengar dan siap sama buku kecil dan bulpen. Pelan gue membuka buku, trus gue membaca keras cara-cara menulis cerita ke Aldo.

“Cara menulis cerita. Pertama, lo harus bisa membayangkan isi dalam cerita itu. Dan isi cerita yang paling gampang adalah dari...pengalaman hidup lo sendiri. Lo ceritain dalam bentuk tulisan pengalaman lo.”

Terlihat Aldo manggut-manggut dengan kening berkerut rapat. Cuma ada dua tanda orang yang manggut-manggut, pertama mungkin dia udah mengerti, atau kedua, mungkin dia sama sekali nggak menangkap perkataan gue.

“Ehmmm bisa juga lo campurin sama imajinasi lo sendiri, biar orang-orang dari masa lalu elo nggak tahu dan nggak bisa nebak cerita lo. Tulis dengan bahasa lo sendiri, tapi ada catatan kakinya, lo juga harus mikirin orang lain yang membaca tulisan elo. Jangan sampe karena asiknya lo nulis, tulisan lo cuma enak elo baca sendiri, bukan bagi orang lain.” Di ujung kata-kata suara gue lebih keras dan tegas.

Dalam hati gue melanjutkan “Itu sih kata buku ini, kalo gue....susah banget menulis walaupun dari pengalaman. Dan mungkin menulis dari pengalaman sendiri itu yang paling susah.”

“Kedua. Lo harus perhatiin alur sama konflik dalam cerita lo. Alurnya dan konfliknya harus jelas, nggak berbelit-belit.”

Gue cepat merepatkan kening, memikirkan perkataan gue tadi. Sementara Aldo cepat menulis.

“Mmm mungkin maksud orang yang nulis ini...alur sama konfliknya nggak remang-remang.” Di ujung perkataan suara gue tegas.

Dengan wajah serius si Aldo manggut-manggut sambil mengerutkan dahi.

“Dan yang paling penting, lo buat sinopsisnya dulu. Itu cara yang paling gampang. Jadi waktu lo menulis, lo nggak keluar jalur dari judul dan tema cerita lo. Baru kalo udah selesai nulis ceritanya, lo bisa tambahin di sinopsis bagian yang kurang. Itu kata buku ini.”

“Sinopsis itu apaan? Jelasin lagi yang lebih jelas.” Tanya Aldo dengan kening berkerut lebih rapat. Sejenak gue tertegun, trus sigap gue membuka buku dan mencari arti sinopsis yang jelas, biar Aldo mengerti.

“Ah! Sinopsis itu gambaran isi cerita. Menggambarkan dari awal sampe akhir cerita, tapi...nggak semua cerita dan tokoh di naskah novel kita sebutkan detail di sinopsis. Dan ditulisnya pakai kata ganti orang ketiga, trus lo bisa sedikit ceritain tentang penggambaran tokohnya. Ya...nggak harus semua tokoh di naskah elo diceritain, tokoh-tokoh yang dominan aja. Pokoknya gitulah.” Suara gue tegas.

Sejenak Aldo manggut-manggut, trus menulis di buku kecil. Sementara gue tersenyum kecil, ternyata lebih gampang ngomong daripada berbuat. Pantesan banyak orang yang banyak omong tapi mereka nggak bisa apa-apa. Mereka selalu ngomong ini itu sama semua orang, tapi mereka sendiri nol besar. Bicara emang lebih mudah daripada mendengar, tapi sebenarnya bicara lebih berat tanggungjawabnya dari mendengar. Kayaknya gue harus intropeksi diri, jangan sampai gue jadi orang yang banyak omong dan sedikit mendengar.

“Ya Allah maafin gue. Kalo gue ngomong yang belum pernah gue lakukan ke si Aldo. Abisnya si Aldo maksa sih, nyuruh gue ngajarin nulis. Gue aja nggak bisa nulis, bikin berita.” Ucap gue pelan.

“Trus cara kita kirim naskah ke penerbit gimana?” Tanya Aldo.

Gue nggak segera menjawab, soalnya gue juga juga belum pernah kirim tulisan ke penerbit. Boro-boro kirim naskah, nulis cerpen atau novel aja gue nggak bisa, jadi apa yang mau dikirim?

“Eh Deni, kenapa lo jadi bengong sih? Gimana caranya kirim naskah ke penerbit?” Aldo mengulang dengan suara tinggi.

Hingga gue terkejut sambil menoleh dan terbata-bata gue bilang “Ehmm ya...tinggal kirim aja.”

“Iya dikirimnya gimana? Naskahnya digimanain?” Suara Aldo geregetan.

Mendadak gue membatu saat gue nggak segera menjawab, saat ini gue lagi berpikir. Tadi malam seingat gue udah mencari di internet cara mengirim naskah ke penerbit, tapi gue lupa, jadi gue harus ingat-ingat dulu. Gue bangkit berdiri, trus berjalan mondar-mandir sambil sesekali pandangan gue tertuju pada langit-langit rumah.

“Ah! Gue inget.” Suara gue keras sambil menoleh pada Aldo, hingga membuat Aldo tersentak kaget, trus dia mengelus dada.

“Kalo lo mau ngirim naskah ke penerbit, lo harus buat naskah lo serapi mungkin. Caranya lo jilid rapi, kalo bisa...dikasih sampul plastik setelah sampul kertas, trus...kirim deh.” Di ujung kata-kata gue tersenyum.

Dengan kening masih berkerut akhirnya Aldo manggut-manggut. Trus tanya lagi “Trus isi dalam naskah kita apa aja? Gimana cara...”

“Yaaa isinya yang pasti daftar isi, trus surat pengantar buat penerbit, proposal pengajuan naskah, trus sinopsis, trus....biodata diri, trus surat pengesahan, trus....ehmmm ya...pokoknya tergantung sama Penerbit yang lo tuju, soalnya tiap penerbit mungkin beda. Itu yang gue tahu dari...internet. Mending lo browsing di internet aja infonya biar lebih jelas.” Gue memotong keras.

Dengan kening semakian rapat Aldo manggut-manggut, tapi dia tanya lagi “Trus kalo buat cover ke penerbit gimana? Kita nyari di mana?”

“Itu sih gampang. Tinggal download aja gambar-gambar di internet yang pas dan cocok buat isi naskah lo, trus lo edit dikit dan lo print buat gambar judul naskah lo.” Jawab gue santai. Dengan wajah tambah serius Aldo manggut-manggut sambil tersenyum.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Mamihlapinatapai
6329      1732     6     
Romance
Aku sudah pernah patah karna tulus mencintai, aku pernah hancur karna jujur tentang perasaanku sendiri. Jadi kali ini biarkan lah aku tetap memendam perasaan ini, walaupun ku tahu nantinya aku akan tersakiti, tapi setidaknya aku merasakan setitik kebahagian bersama mu walau hanya menjabat sebagai 'teman'.
pendiam dan periang
269      215     0     
Romance
Dimana hari penyendiriku menghilang, saat dia ingin sekali mengajakku menjadi sahabatnya
Meet Mettasha
261      210     1     
Romance
Mettasha Sharmila, seorang gadis berusia 25 tahun yang sangat senang mengkoleksi deretan sepatu berhak tinggi, mulai dari merek terkenal seperti Christian Loubotin dan Jimmy Choo, hingga deretan sepatu-sepatu cantik hasil buruannya di bazar diskon di Mall dengan Shabina Arundati. Tidak lupa juga deretan botol parfum yang menghiasi meja rias di dalam kamar Metta. Tentunya, deretan sepatu-sepat...
Kamu!
2193      858     2     
Romance
Anna jatuh cinta pada pandangan pertama pada Sony. Tapi perasaan cintanya berubah menjadi benci, karena Sony tak seperti yang ia bayangkan. Sony sering mengganggu dan mengejeknya sampai rasanya ia ingin mencekik Sony sampai kehabisan nafas. Benarkah cintanya menjadi benci? Atau malah menjadikannya benar-benar cinta??
Tanda Tanya
439      319     3     
Humor
Keanehan pada diri Kak Azka menimbulkan tanda tanya pada benak Dira. Namun tanda tanya pada wajah Dira lah yang menimbulkan keanehan pada sikap Kak Azka. Sebuah kisah tentang kebingungan antara kakak beradik berwajah mirip.
Comfort
1311      578     3     
Romance
Pada dasarnya, kenyamananlah yang memulai kisah kita.
Story of Love
287      250     0     
Romance
Setiap orang memiliki kisah cintanya masing-masing. Ada perjalanan cinta yang sepahit kopi tanpa gula, pun ada perjalanan cinta yang semanis gula aren. Intinya sama, mereka punya kisah cintanya sendiri. Kalian pun akan mendapatkan kisah cinta kalian sendiri. Seperti Diran yang sudah beberapa kali jatuh tempo untuk memiliki kisah cintanya
Ghea
480      317     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
The Wire
10148      2220     3     
Fantasy
Vampire, witch, werewolf, dan guardian, keempat kaun hidup sebagai bayangan di antara manusia. Para guardian mengisi peran sebagai penjaga keseimbangan dunia. Hingga lahir anak yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan hidup dan mati. Mereka menyebutnya-THE WIRE
sHE's brOKen
7138      1693     2     
Romance
Pertemuan yang tak pernah disangka Tiara, dengan Randi, seorang laki-laki yang ternyata menjadi cinta pertamanya, berakhir pada satu kata yang tak pernah ingin dialaminya kembali. Sebagai perempuan yang baru pertama kali membuka hati, rasa kehilangan dan pengkhianatan yang dialami Tiara benar-benar menyesakkan dada. Bukan hanya itu, Aldi, sahabat laki-laki yang sudah menjadi saksi hidup Tiara yan...