Setelah mengantar Vita ke sekolah gue bantu-bantu Nyokap membersihkan rumah, trus gue istirahat bentar biar nggak terlalu capek. Sejenak gue melihat jam di dalam rumah, ternyata masih ada 3 jam sebelum gue menjemput Vita di sekolahnya, setelah itu siangnya gue mengajar les. Melihat scoopy hitam yang agak kucol alias kurang kinclong, gue cepat mengambil lap di bawah jok scoopy, trus ngelap-ngelap scoopy biar tambah hitam dan manis, juga bersih cemerlang.
“Deni, tolong belikan terigu setengah Kilo sama pisang buat pisang goreng, bukan pisang ambon ke warung Bu Bagyo yang di ujung jalan.” Kata Nyokap sambil memberikan uang dan kunci motor.
“Iya Bu.” Gue menerima kunci motor dan uang, trus balik badan dan naik scoopy.
“Deni...pakai jaket dan helem, buat melindungi badan dan kepala kamu.” Nyokap tegas.
“Tapi kan warungnya cuma di...”
“Cuma di ujung jalan?” Nyokap memotong tegas sambil melotot.
“Iya deh Bu, Deni ambil jaket dulu.” Suara gue lemas.
Gue cepat mengambil jaket di dalam kamar di lantai dua. Setelah itu gue cepat turun lagi dan langsung ke garasi. Setelah memakai helem dan naik motor, gue langsung tancap gas. Di depan warung Bu Bagyo gue berhenti dengan mesin scoopy belum gue matikan. Kalo gue lihat-lihat...ternyata warung Bu Bagyo tutup. Akhirnya gue putar balik dan melaju lagi, tapi gue berhenti mendadak saat mengingat perkataan Nyokap yang tegas “Belikan pisang buat pisang goreng.” Kalo gue pulang ke rumah nggak membawa terigu sama pisang, Nyokap pasti bakal menyuruh gue mencari warung yang buka. Haa mending gue langsung aja cari sekarang, sebelum gue disuruh Nyokap.
Akhirnya gue putar balik scoopy dan melaju keluar kompleks, soalnya warung di kompleks segede ini cuma ada satu, warung Bu Bagyo. Setelah itu gue memacu scoopy di jalan raya yang lumayan ramai sambil sesekali gue menengok ke kiri dan kanan jalan, mencari warung yang ada pisangnya menggantung di depan warung, soalnya pisang itu selalu digantungkan. Setelah itu menembus keramaian gue melewati jembatan, dan ternyata gue melihat Aldo lagi jalan di atas jembatan. Hmm kayaknya nih dia lemes banget. Gue samperin si Aldo dari belakang, trus gue membunyikan klason, tapi Aldo nggak menoleh dan malah tetap jalan sambil menundukkan kepala.
“Eeeeh kenapa sih sama si Aldo, gue samperin nggak noleh.” Gue menggerutu pelan.
Gue gas lagi scoopy, trus gue rem tepat di sebelah Aldo dan keras bilang “He Aldo, lo kenapa sih? Gue samperin, lo malah jalan.”
Kali ini Aldo berhenti melangkah, trus dia menoleh ke samping. Sedikit kaget Aldo bilang dengan suara tinggi “Deni, sejak kapan lo di situ? Eh mau ke mana lo?”
“Gue dari tadi di sini...kenapa sih lo lemes banget, pasti...”
“Ditolak lagi.” Aldo memotong lemas sambil menundukkan kepala.
“Ditolak siapa?”
“Ya siapa lagi, sama calon pekerjaan.” Jawab Aldo gregetan sambil sedikit melotot.
“Udah...tenang aja. Bentar lagi pasti lo dapet kerjaan, yang penting jangan nyerah.” Kata gue sambil menepuk-nepuk pundak Aldo.
“Tapi gue frustasi banget Den. Puluhan surat lamaran gue kirim, tapi nggak ada akhir yang baik buat gue. Paling bagus gue bisa wawancara, tapi ternyata....ujung-ujungnya gue ditolak juga.” Mata Aldo berkaca-kaca.
“Sabar aja, mungkin belum waktunya lo dapet kerja. Sekarang gue anterin pulang yuk, tapi gue mau beli terigu sama pisang dulu.”
“Boleh-boleh.” Kata Aldo sambil tersenyum, trus cepat duduk di belakang gue.
Sebelum melaju lagi sejenak gue melihat jalan di jembatan yang kotor, banyak kertas berserakan. Kesal gue menggerutu keras “Siapa sih yang buang-buang kertas di jalanan! Nggak kasihan apa? Sama yang nyapu, trus kalo kertasnya masuk ke sungai kan bisa jadi sampah yang ngakibatin banjir.”
“Itu bukan buang-buang, tapi sengaja dibuang supaya orang bisa baca. Nih gue ambil satu.” Di ujung perkataan Aldo memungut satu kertas di bawah.
“Tuh kan ada tulisannya.” Aldo menunjukkan kertas.
Haaa tapi cepat gue mengalihkan kedua mata sambil perlahan memutar gas, hingga gue sama Aldo melaju sedang. Scoopy terus melaju mencari warung yang menjual pisang sama terigu. Sementara kendaraan-kendaraan di jalan ini masih menyalip scoopy, sesekali gue menoleh ke kiri dan kanan jalan. Pandangan gue pun meneliti setiap bangunan di sepanjang jalan, tapi tetap nggak ada warung yang ada pisangnya.
“Eh Den, kenapa sih dari tadi muter-muter terus.”
“Gue nyari pisang.”
“Kenapa nggak lo cari di pasar? Pasti banyak, dan ngegantung semua pisangnya.”
“Bener juga lo, tapi...berarti gue harus ke pasar dong?” Di akhir perkataan suara gue pelan.
“Ya iya.” Aldo tegas. Sejenak gue menghembuskan nafas saat membayangkan pasar yang bagi gue selalu kalang kabut mulai dari pembeli, penjual sampai kuli angkut.
Sambil melaju dengan scoopy sejenak gue melihat kaca spion, melihat Aldo yang sedang membaca tulisan di kertas yang dia pungut di jalan tadi. Gue cuma tersenyum melihat Aldo seserius itu, soalnya gue nggak pernah melihat Aldo serius selain memikirkan lamaran pekerjaan. Setelah itu terlihat sejenak Aldo manggut-manggut, trus sejenak juga pandangannya tertuju pada langit biru. Kemudian lagi-lagi kedua mata Aldo kembali pada kertas di tangannya.
“Stop stop stop.” Suara Aldo keras.
Hingga membuat gue tersentak kaget dan memelankan laju scoopy, menepi pelan ke tapi jalan, trus gue nengok ke belakang dan tegas tanya “Kenapa sih! Minta berhenti mendadak.”
“Eh Den, nih nih nih. Lo baca dulu.” Kata Aldo sambil menunjukan kertas ke depan muka gue. Sambil memercingkan kening gue membaca tulisan di kertas.
“Karya yang tak pernah mati adalah Tulisan. Tulisan yang selalu dibaca berkali-kali sama pembaca, selalu diingat, dan memberi pesan yang baik untuk hidup manusia. Karena itu, ayo kita berlomba-lomba menulis sesuatu yang bermanfaat dan memberi arti untuk semua orang. Semua itu akan membuat hidup kita lebih berarti. Hidup menulis.”
“Eh Den, gue udah tahu gue pingin jadi apa. Gue pingin jadi Penulis! Gue pingin menulis karya yang bukan cuma dibaca dan menghibur doang, tapi juga bisa memberi hikmah dan manfaat buat hidup manusia, seperti tulisan di kertas ini. Biar kalo gue udah mati karya-karya gue bisa jadi amal buat gue dan nemenin gue di alam kubur nanti, karena perbuatan baik selalu ada balasannya.” Suara Aldo tinggi.
Dengan kening merapat gue nggak membalas, tapi masih tertegun sambil memandang kertas di tangan gue.
“Gimana menurut lo Den?”
“Emmm bagus-bagus.” Jawab gue sambil manggut-manggut dengan kening masih berkerut, soalnya gue nggak mengerti sama keinginan si Aldo yang mendadak gini.
“Jadi gimana?”
“Ya udah kita jalan lagi, entar keburu siang.” Gue memacu motor lagi.
Akhirnya scoopy ini melaju lagi menuju pasar. Sementara itu si Aldo masih terlihat senyum-senyum sambil sesekali pandangannya tertuju pada kertas selebaran tadi. Hmm kayaknya bakal terjadi sesuatu nih sama Aldo.
Setelah membeli pisang buat pisang goreng di pasar, gue sama Aldo langsung tancap gas lagi pulang ke rumah. Sejurus waktu scoopy hitam manis berhenti di depan rumah, tepat di depan pintu pagar dari besi yang tertutup rapat. Sigap Aldo turun dari scoopy dan membuka pintu pagar. Setelah itu gue langsung memasukkan scoopy ke garasi. Setelah mematikan mesin, gue mengambil keresek di scoopy, pisang sama terigu.
“Ayo Do masuk dulu, gue mau ngasih pisang sama terigu ini ke Nyokap.”
“Eh Den sebentar, kita duduk dulu di situ. Gue mau ngomong penting sama elo.”
“Iya sebentar, gue ngasih ini dulu ke Nyokap. Lagian abis ini gue nggak ke mana-mana.”
“Deni, kenapa lama amat sih? Beli terigu sama pisang aja sampai dua jam.” Tanya Nyokap sambil keluar rumah. Di teras rumah gue segera memberikan pesenan Nyokap. Sejenak Nyokap melihat Aldo yang tersenyum.
“Pagi menjelang siang Tante...eh assalammualaikum...” Aldo tersenyum.
“Waalaikumussalam..., Deni ajak Aldo ke dalam.”
“Oh Aldo duduk di teras aja Tante, lebih dingin...”
“Ya sudah kalau gitu, Ibu ke dalam dulu.” Setelah itu Nyokap masuk ke dalam rumah.
Sejenak gue menghela nafas dan membuka jaket, trus gue sama Aldo duduk di kursi teras. Sebelum memulai pembicaraan sejenak Aldo melihat lekat-lekat kertas di tangannya, trus dia tegas menatap gue. “Den. Gue beneran pingin jadi penulis.”
“Ya udah...tinggal nulis aja...gitu aja kok bingung.” Jawab gue santai.
“Tapi masalahnya gue...nggak bisa nulis. Gue nggak tahu harus mulai dari mana.”
“Haaa tinggal nulis aja...trus lo kirim ke penerbit.”
Dengan kening berkerut sejenak si Aldo manggut-manggut, trus dia tegas menatap gue dan bilang “Lo mau kan ajarin gue? Lo pasti jago nulis, tapi lo nggak pernah cerita.”
Mendadak gue kaget banget mendengar permintaan si Aldo, hingga membuat gue membatu dengan kedua mata terbuka lebih lebar.
“Ayolah Den...kali ini aja lo bantuin gue, gue serius pingin jadi penulis.” Aldo merengek.
Sambil menggelengkan kepala gue menghela nafas dengan berat. Dari dulu kan gue paling benci sama menulis, soalnya gue nggak suka menulis, apalagi baca buku cerita, kayak novel, cerpen atau apalah, pokoknya yang berbau sama pelajaran bahasa Indonesia. Dan bagi gue menulis itu sangat dekat hubungannya sama pelajaran bahasa Indonesia.
Tanpa melihat Aldo dengan tegas gue bilang “Gue nggak bisa nulis. Dari dulu gue nggak suka dan nggak bisa nulis, bikin cerita.”
“Gue nggak percaya.” Kata Aldo tegas sambil menatap gue.
“Nggak percaya ya uudaaaah...” Jawab gue santai.
Mendadak wajah Aldo berubah lebih melas, trus dia cepat mengenggam tangan gue dan bilang “Deni, tolongin gue...gue janji gue nggak bakal nyusahin elo lagi. Lo mau kan jadi tutor menulis gue? Ajarin gue nulis, please...gue nggak tahu harus gimana, selama ini gue udah nyari kerjaan ke mana-mana. Gue nyari lowongan, gue nulis surat lamaran, dan gue kirim lamaran ke banyak perusahaan. Seperti kata elo ngirim surat lamaran itu kayak ngirim kupon undian berhadiah, tapi sampe sekarang gue masih nganggur, nggak ada perusahaan yang nerima gue. Dan gue frustasi banget Den, gue nggak tahu apa yang musti gue lakukan.”
Sejenak Aldo berhenti dengan kedua mata berkaca-kaca, hampir berair. Sementara gue masih terperangah, setengah kaget mendengar curhatan si Aldo.
“Dan sekarang anggap aja gue mau ngirim lamaran ke penerbit. Gue mau ngirim novel atau cerpen, tapi gue bingung, karena gue nggak bisa bikin novel atau cerita. Dan elo sebagai sahabat gue yang pertama gue mintain tolong. Karena gue yakin elo bisa nulis, lo bisa bikin cerita.” Ucap Aldo pelan dengan kedua mata berkaca-kaca. Membuat gue terharu mendengar perkataan Aldo, dan gue bisa merasakannya karena sampai sekarang gue juga belum mendapat pekerjaan, tapi akhirnya gue mengajar les di rumah. Seenggaknya gue masih punya kegiatan, daripada jadi pengangguran.
“Den, lo mau kan bantuin gue?” Suara Aldo pelan sambil sesenggukan dan menatap gue.
“Oke. Gue bakal bantuin elo.” Gue tegas sambil menepuk pundak Aldo.
***
Setelah menjemput si Vita seperti biasa, rumah gue udah penuh sama anak-anak SMP kelas 7, semuanya temen-temen si Vita. Hari ini mereka membawa PR masing-masing, ada 3 kelas yang sama dari 11 orang. Gue nggak mau pusing menerangkan sama tiga kelas, jadi setiap anak yang siang ini membawa PR dikelompokkan perkelas, trus gue suruh mereka saling tukar pikiran untuk menjawab, tapi tetap hasil akhirnya gue periksa lagi. Kalo gini kan gue sama aja ikut mencerdaskan anak bangsa, karena gue suruh mereka berpikir walaupun hasil akhirnya gue periksa lagi. Dan kalo ternyata ada yang salah, pasti harus gue benarkan. Kalo ternyata jawabannya benar, berarti mereka udah makin pintar. Selesai mengajar les gue cepat naik ke lantai dua, trus gue masuk kamar dan langsung menjatuhkan tubuh di atas kasur. Hari ini rasanya banda gue capek banget, haaaa...
”Allahuakbar Allahuakar....Allahuakbar Allahuakbar...” Suara azan keras berkumandang.
“Ya Allah boleh kan sholatnya abis gue tidur bentar, nanggung Ya Allah...gue ngantuk banget dan capek...” Ucap gue pelan sambil tiduran tengkurap dan mata mulai merem melek, hingga semakin lama kedua mata gue semakin berat, sampai akhirnya terpejam.
“Deni...ayo cepat sholat asyar!” Suara Nyokap keras sambil menggedor pintu kamar. Hingga gue terperanjat kaget dan langsung bangun duduk di kasur, trus gue pegang dada kiri merasakan detak jantung yang mendadak ngebas alias berdebar keras.
“Astaghfirullahhaladziiim. Ya Allah...ternyata Engkau nggak mengijinkan gue tidur sebelum sholat” Gue lemes sambil mengucek-ngucek muka sama kedua tangan.
“Deni...Ayo cepat sholat asyar, abis itu pergi ke toko kue.” Suara Nyokap keras.
“Toko kue?” Gue mengulang pelan dengan kening merapat.
“Ibu tunggu di bawah, cepat sholat. Jangan lupa pakai jaketnya nanti.”
Setelah itu terdengar suara langkah kaki menjauh dari depan pintu kamar ini. Sejenak gue menghela nafas panjang, trus gue bangkit dari kasur dan keluar kamar ke kamar mandi. Gue wudhu, trus gue sholat asyar di kamar. Selesai sholat gue turun ke lantai satu sambil memakai jaket, trus gue duduk lemas di sofa ruang tengah. Nggak lama kemudian Nyokap keluar kamar sambil membawa dompet, tapi Nyokap masih memakai daster. Membuat gue heran dan bingung sama Nyokap yang katanya mau beli kue, tapi masih pakai daster.
“Deni, sekarang tolong kamu ke toko kue trus beli kue yang paling besar.” Kata Nyokap sambil tersenyum dan menarik uang 6 lembar 100 ribuan.
“Deni sendiri? Deni kan nggak pernah beli kue Bu, nanti kalo salah beli gimana? Kue paling besar lagi, kue apa Ibu...kue itu banyak. Mau kue nastar, kue tumpeng, atau kue goyang.”
“Yang ada nasi tumpeng Deni...bukan kue tumpeng, dan bukan kue goyang, tapi kursi goyang.” Sahut Nyokap greretan.
“Oh ehmm...iya iya...tapi Deni pernah dikasih kue sama temen waktu kecil dulu, dan nama kuenya....kue goyang” Ucap gue pelan dan di awal perkataan gue manggut-manggut.
Ternyata membuat Nyokap tambah melotot melihat gue. Sigap gue langsung nyengir, trus menggaruk kepala dan bilang “Pasti karena efek ngantuk Bu.”
“Kamu nggak ingat hari ini tanggal berapa?” Suara Nyokap agak tinggi. Gue langsung terpaku dengan kening merapat, memikirkan jawaban dari pertanyaan Nyokap, tapi ternyata gue nggak tahu jawabannya. Akhirnya gue cuma menggelengkan kepala sambil menatap Nyokap.
Dengan berat Nyokap menghela nafas, trus bilang dengan tegas “Aduh Deni...kamu itu masih muda, kenapa jadi pelupa sih?!”
Gue nggak membalas, tapi cuma nyengir bersamaan Vita tergesa turun tangga, trus merebut uang di tangan Nyokap.
“Vita tahu Bu hari ini tanggal 21 Juni. Biar Vita yang beli kue Bu, Vita tahu kue apa yang mau Ibu beli, pasti kue ulang tahun kan?” Kata Vita agak keras sambil tersenyum lebar.
“Tuh, adik kamu aja tahu tanggal berapa dan harus beli kue apa.” Sahut Nyokap.
“Emang siapa yang ulang tahun?” Tanya gue
“Udah berangkat sana sama Vita, beli kue ulang tahun yang paling besar di toko langganan Ibu, soalnya kemarin Ibu udah telepon mau pesan kue.”
“Siap Bu.” Suara Vita tegas dan keras.
“Iya...siap...” Gue lemas.
Sigap Vita keluar rumah dengan riang, meninggalkan gue yang masih terpaku sambil melihat tingkah si Vita, trus gue rasa kening ini semakin merapat nih. Hmm kayaknya si Vita semangat banget nih, oooh mungkin dia yang ulang tahun. Beli kue besar yang paling besar, siapa yang ngabisin. Paling cuma ditiup doang, lilinnya!
“Deni, cepat berangkat nanti keburu maghrib. Ini kunci motornya.” Nyokap tegas sambil memberikan kunci motor.
“Iya iya.” Gue menerima kunci.
“Kak Deni...cepetan...” Suara Vita keras
“Iya...” Gue cemberut keluar rumah, lalu pergi ke garasi dan naik scoopy.
Setelah mengeluarkan scoopy dari halaman rumah yang nggak luas ini, si Vita cepat duduk di belakang gue. Akhirnya Scoopy hitam melaju di jalanan kompleks, lalu ke jalan raya. Di tengah padatnya jalanan gue masih terus memacu scoopy, walaupun masih disalipin sama motor dan mobil.
Hingga akhirnya sampai juga di toko kue langganan Nyokap. Di tempat parkir sigap si Vita turun dari scoopy, berikutnya gue menyusul setelah menurunkan besi di kolong scoopy. Si Vita juga cepat masuk ke dalam toko kue, berikutnya gue ikut masuk di belakang si Vita. Hmm kalo gue lihat sikapnya si Vita saat mau beli kue, gue tambah yakin nih pasti si Vita yang ulang tahun hari ini. Pasti nanti malam dia mau tiup lilin dan mengundang temen-temennya, dan pastinya juga dia bakal menagih kado sama gue. Haaa...dasar si Vita, kenapa sih nggak si Vita aja yang beli kue, kan dia yang mau ulang tahun.
Sejenak gue melihat suasana toko yang ramai sama pembeli, trus nggak lama kemudian gue melihat seorang Pelayan yang membawa kardus keluar dari balik pintu. Sambil membawa sebuah kardus yang tinggi, dia melongok ke samping karena kepalanya ketutupan kardus kue, kayaknya mencari letak meja. Setelah menemukan si Pelayan itu meletakkan kardus cukup besar di sebuah meja persegi. Setelah itu gue kembali mengarahkan kedua mata pada deretan kue di etalase, membuat perut gue mendadak tambah lapar nih. Sedangkan si Vita masih celingukan di depan meja yang berderet kue-kue, karena semua karyawan masih sibuk melayani pembeli yang berjubel di toko kue ini.
Tiba-tiba seorang laki-laki berpakaian rapi mendatangi kita berdua. Laki-laki berkumis tipis itu tanya “Permisi, ada yang bisa dibantu?”
“Oh...mmm.” Gue agak bingung mau bilang apa ya?
“Saya eh kita berdua mau beli kue ulang tahun Om.” Vita memotong dengan suara tinggi.
“Pasti anaknya Bu Sri Sumantri ya...”
“Iya benar-benar, kok Om bisa tahu sih?” Suara Vita tinggi.
“Ya tahulah...Ibu kamu itu sering cerita tentang kalian. Kamu Vita kan? Dan yang ini pasti Deni.”
“Waaah ternyata kenalannya Ibu banyak ya...” Suara Vita pelan sambil sedikit terperangah. Lemas gue cuma menghela nafas panjang, trus ada sedikit perkataan di benak gue “Kayak nggak tahu Nyokap aja....”
“Kita berdua...” Gue mau ngomong, tapi laki-laki di depan gue menyela perkataan gue “Pasti mau ambil kue kan? Tenang karyawan saya sudah siapkan kuenya sesuai pesanan Bu Sri Sumantri, ayo ikut saya.”
“Iya Om.” Kata Vita semangat sambil tersenyum lebar, sedangkan gue lemes.
Laki-laki yang dipanggil Om sama si Vita itu menunjukkan kardus cukup besar dan cukup tinggi di atas meja. Kedua mata gue langsung terbuka lebar melihat kardus yang ternyata isinya kue, tapi mendadak kening gue merapat nih.
“Gimana bawanya? Kalo naek motor pasti nggak muat. Nyokap juga cuma ngasih 600 ribu lagi, harga kuenya pasti lebih dari 600 ribu dan nggak dilebihin buat taksi. Harusnya Nyokap siapin uang juga buat taksi, kalo kuenya segede gini.” Ucap gue dalam hati sambil melotot pada kue di meja dan di ujung kata-kata gue kesel dan cemberut.
“Waaah...pasti kuenya bagus banget dan enaaaak banget.” Kata Vita sambil tersenyum dengan mata berbinar.
“Semuanya sudah lengkap, termasuk lilin di dalam kardus. Dan harganya juga sudah saya diskon khusus untuk Ibu Sri, 600 ribu.”
“Waaah dapat diskon lagi...Kak Deni cepat bayar ke kasir.” Ucap Vita sambil sedikit terperangah, tapi di ujung perkataan suara Vita tegas sambil tegas juga menoleh dan menyodorkan uang tepat di depan wajah gue.
Tanpa membalas gue cepat mengambil uang di tangan Vita, trus berjalan lemas ke kasir dan membayar kue ulang tahun itu. Setelah itu Gue mengangkat kardus kue itu yang ternyata lumayan berat. Sigap si Vita mengemudikan scoopy hitam setelah gue duduk di belakangnya. Selama perjalanan kedua mata gue nggak lepas dari kardus yang gue pegang di samping kiri, karena khawatir. Dengan penuh perjuangan gue berusaha menjaga keseimbangan, sampai gue teriak-teriak ke si Vita, soalnya dia seenaknya membawa scoopy sampai nyalip-nyalip segala. Dia nggak sadar apa! Gue membawa kue ulang tahun yang besar dan tinggi, nanti kalo kuenya berantakan, gue juga yang disalahkan. Dasar Vita resek....mau ulang tahun aja masih ngeropotin gue.
Sejurus waktu gue sama Vita sampai di rumah. Pelan gue turun dari scoopy, sambil kedua mata gue menjaga kardus kue supaya nggak goyang. Vita juga turun dari motor, trus dia langsung masuk ke dalam rumah. Sementara gue masih berjuang membawa kue dalam kardus ini, hingga akhirnya gue masuk ke dalam rumah bersamaan Nyokap cepat keluar kamar dan melihat gue berjalan tertatih membawa kue yang masih dibungkus kardus.
“Deni, taruh kuenya di meja makan dan hati-hati.” Kata Nyokap.
Dengan hati-hati gue melangkah ke meja makan dan meletakkan kue di atas meja makan. Setelah itu gue menghela nafas panjang dan badan gue sampai keringatan. Sejenak gue melihat meja makan yang udah rapi, tapi nggak ada makanannya, malah cuma ada empat piring, trus di tengah meja ada bunga dalam vas bunga. Waduh, jangan-jangan malam ini nggak ada makan malam, tapi diganti jadi makan kue. Haaa...gue lemas menghela nafas sambil menggelengkan kepala. Sementara itu Nyokap cepat meminta bantuan Vita untuk membuka kardus kue. Sejenak Nyokap melihat lilin di dalam kardus yang belum di taruh di atas kue, tapi nggak terlihat sama gue yang semakin penasaran siapa yang mau ulang tahun, apa bener si Vita yang mau ulang tahun? Nyusahin banget sih mau tiup lilin doang. Sejenak gue mengintip langit sore, setelah itu gue pergi ke lantai dua dan gue mandi. Selesai mandi gue kembali turun ke lantai satu dan membantu Nyokap menyiapkan kue ulang tahun di meja makan.
“Bu, siapa sih yang ulang tahun? Sampe beli kue yang gede kayak gini dan kenapa bentuk kuenya harus gedung bertingkat? Itu kan harusnya kue ulang tahun Deni nanti, kalau dirayain...” Tanya gue sambil cemberut.
Nyokap nggak membalas, tapi masih sibuk beres-beres sama Vita. Membuat gue tambah manyun, soalnya dugaan gue bener nih, pasti si Vita resek yang ulang tahun dan pasti sebentar lagi temen-temennya pada datang bawa kado. Berat gue menghela nafas, membayangkan yang akan terjadi nanti tanpa makan malam, tapi yang ada cuma sepotong kue ulang tahun dengan cream yang hampir meleleh . Haaa tapi gue masih heran kenapa bentuk kue ulang tahunnya harus gedung bertingkat dan kayaknya....mirip-mirip hotel, apartemen atau kantor. Yang gue tahu itu kan bukan gambar kesukaannya si Vita, soalnya si Vita itu paling favorit sama doraemon yang kucing itu eh tikus, eh kucing apa tikus ya? Ah masa bodoh, pokoknya itulah.
Sambil manyun gue balik badan, mau naik ke lantai dua dan masuk ke kamar gue.
“Deni, mau ke mana?” Suara Nyokap tegas.
Mendadak gue nggak jadi melangkah, tapi pelan gue balik badan lagi dan bilang “Ya Deni mau ke kamar lah Bu...yang ulang tahun kan Vita, jadi suruh Vita aja yang bantuin Ibu. Kan tadi Deni udah bantuin angkatin kue dari toko ke rumah.”
Dengan berat Nyokap menghela nafas sambil menggelengkan kepala, trus memandang tegas gue dan bilang tegas juga “Jadi kamu masih nggak hapal ini tanggal berapa?”
“Tanggal 21 Juni 2017”. Jawab gue singkat.
“Teruuuus.” Kata Nyokap sambil tegas menatap gue.
“Terus apa Bu? Tanggal udah, bulan udah, tahun udah. Terus apa yang belum?”
“Deniiii.” Suara Nyokap gregetan.
“Hari ini ulang tahun Bapak, Kak Deni...” Sahut Vita, dan di ujung perkataan suara Vita gregetan.
Mendadak gue kaget, hingga melotot dan sedikit mangap, sedangkan Nyokap masih menatap gue tajam, trus tegas bilang “Kamu mau bilang kamu kaget karena lupa atau kamu memang nggak tahu tanggal kelahiran Bapakmu?!”
“Ehmm...” Sejenak gue melirik kue ulang tahun yang besar dan tinggi di meja makan. Trus gue melanjutkan pelan “Deni...emang kaget Bu. Kaget sama...kuenya.”
Sigap kening Nyokap langsung berkerut, lalu sejenak menoleh dan melihat kue di meja makan yang bentuknya gedung bertingkat yang tinggi dan besar, haaa pantesan aja berat. Trus Nyokap cepat melihat tegas gue lagi.
“Kenapa Ibu beli kue sebesar itu, kalo Bapak yang ulang tahun? Ibuuu, Bapak itu udah tua bukan anak kecil lagi. Harusnya Ibu bikin nasi tumpeng, adain makan bersama sama tetangga trus doain Bapak, biar Bapak tambah sehat, tambah rejeki, tambah ganteng, tambah lain-lain.” Gue nyerocos.
Tiba-tiba terdengar suara mobil bergemuruh keras di depan rumah, kalo diteliti dari suaranya nih kayaknya itu mobil Bokap. Tumben Bokap datang agak siangan, nggak kayak biasanya. Setelah itu Nyokap cepat memasang lilin di atas kue, lalu menyalakan lilin. Kedua mata gue cepat terbuka melihat angka di atas lilin. Nyokap...Nyokap..., gue masih nggak mengerti jalan pikiran Nyokap, beli kue ulang tahun gede banget buat Bokap yang udah berumur. Haaa....lemas gue menggelengkan kepala.
“Bu, kenapa nggak malam aja kalo mau nyalakan lilin? Biar kelihatan cahayanya.” Tanya gue.
“Kamu ini gimana Deni. Kan lilinnya mau ditiup sama Bapak kamu.” Nyokap tegas.
“Ya kan bisa disembunyikan dulu kuenya, lagian kalo tiup lilinnya masih siang kayak gini jadi nggak seru.” Celetuk gue sambil sedikit cemberut.
Vita mengerutkan dahi sambil manggut-manggut pelan, trus bilang “Ada benernya kata Kak Deni Bu.”
Membuat Nyokap langsung terdiam membatu dengan kening merapat. Mungkin Nyokap lagi berpikir, menimang-nimang mana yang harus dilakukan.
“Ayo cepet Bu sembunyikan kuenya, nanti keburu Bapak datang.” Kata gue cepat.
Sejenak pandangan Nyokap cepat melongok ke pintu.
“Iya Bu ayo sembunyikan kuenya, bener kata Kak Deni mending nanti malam aja abis sholat isya tiup lilin sama makan kuenya.” Kata Vita.
Tiba-tiba gue yang ganti tertegun, trus dalam hati gue bicara “Kalo nanti malam makan kue, berarti nggak ada makan malam dong.”
“Deni cepat kunci pintunya, jangan sampai Bapak kamu masuk dulu. Ibu sama Vita mau sembunyikan kue.” Suara Nyokap keras dan tegas pada gue, tapi gue masih tertegun, trus bengong memandang Nyokap.
“Deni cepat.” Suara Nyokap keras.
“Oh iya Bu.” Kata gue sambil cepat mengangkat kue.
“Eeeeh bukan kuenya, tapi kunci pintunya.” Nyokap gregetan sambil melotot.
“Assalammualaikum.” Suara Bokap keras sambil berjalan, soalnya suara sepatunya terdengar sampai ke rumah.
“Tuh kan Deni cepat...” Suara Nyokap sambil gregetan.
“Iya Kak Cepetan.” Sahut Vita keras.
“Astaghfirullahhaladziiim, Ibu lupa. Vita cepat tutup dan kunci pintunya.” Nyokap tegas dan cepat menoleh pada Vita.
“Oh, Vita? Siap Bu.” Di ujung kata-katanya vita cepat berlari.
“Ada acara apa ini?” Suara Bokap di depan ruang makan.
Serentak gue sama Nyokap cepat menoleh ke asal suara dan si Vita berhenti melangkah, trus nyengir di depan Bokap. Tiba-tiba Nyokap langsung menyanyikan lagu selamat ulang tahun sambil tepuk tangan dan si Vita juga ikut-ikutan menyanyi sambil tepuk tangan. Sementara gue masih nyengir sampai keringetan sambil membawa kue yang berat banget, karena saking besarnya. Sejenak Vita memberi kode dengan kedipan mata pada Nyokap untuk menyalakan lilin. Sedikit kaget Nyokap cepat menyalakan lilin bukan di atas kue, tapi di genggaman tangannya. Ternyata membuat senyum Bokap bertambah lebar sambil ikut tepuk tangan dan berjalan pelan mendekati kue yang gue bawa sama kedua tangan gue, tapi kayaknya tangan gue kesemutan tiba-tiba nih. Hingga membuat gue semakin lama semakin nggak tahan membawa kue ulang tahun yang cukup besar dan tinggi ini, sampai akhirnya tanpa sadar mendadak kue ulang tahun ini jadi agak miring.
Dan oh! Rupanya kedua tangan gue yang miring, mungkin karena keram nih. Dengan wajah sedikit tegang sigap Bokap berlari, trus ikut menahan kue ulang tahun yang mau ambruk. Sementara Nyokap dan Vita dengan wajah tegang bertambah keras menyanyikan lagu “Selamat ulang tahun...kami ucapkan...selamat ulang tahun....”.
Hingga....akhirnya....alhamdulillah semua selamat dan kue ulang tahun ini nggak jadi ambruk. Setelah kuenya diletakkan di meja sigap Bokap meniup lilin, disusul kemudian tepuk tangan dari Nyokap, Vita sama gue.