Pagi ini gue masih duduk di depan meja belajar, membereskan buku-buku kuliah sambil senyum-senyum sendiri. Itu karena gue seneng banget hari ini, akhirnya gue mendapat panggilan untuk wawancara di sebuah perusahaan kontraktor, sesuai dengan ijazah Insinyur Teknik Sipil. Sengaja gue bilang Insinyur, walau di ijazah aslinya nggak pake gelar Insyinyur.
“Deni...ada Aldo...cepet turun.” Suara Nyokap keras memanggil dari lantai satu.
“Iya Bu...” Jawab gue keras sambil cepat merapikan buku-buku.
Setelah itu gue tergesa turun ke lantai satu dan merasakan rumah ini yang sepi banget, mungkin karena cuma ada Nyokap yang lagi beres-beres di dapur atau mungkin aja gue baru pagi ini ada di rumah, merasakan suasana rumah setelah semua orang pergi keluar rumah untuk beraktivitas. Di ruang depan Aldo udah duduk santai di sofa dan kayaknya dia lagi bahagia, soalnya dia senyum-senyum sendiri.
“Gimana lo udah keterima belum? Sama lamaran yang udah lo kirim.” Suara gue agak keras sambil mendatangi Aldo.
Sejenak Aldo menghela nafas, trus dengan datar bilang “Yaaa baru juga dua minggu, belum sebulan.”
Gue manggut-manggut, lalu duduk di depan Aldo dan tanya “Emang di iklan lowongannya nggak ditulis, berapa lama lo harus nunggu balasan?”
“Emmm...gue nggak baca itu.” Aldo mengerutkan dahi, trus menggeleng-gelengkan kepala.
“Lebih baik lo tulis lagi surat lamaran dan kirim lagi yang banyak.”
“Haaa satu aja belum tentu diterima.” Celetuk Aldo, setelah sejenak menghela nafas.
“Aldo. Yang gue tahu ngirim surat lamaran itu seperti kita ngirim kupon undian berhadiah, jadi daripada lo nunggu-nunggu jawaban dari satu surat lamaran, lebih baik lo nulis dan ngirim lagi surat lamaran yang banyak.” Suara gue agak tinggi.
Aldo pun manggut-manggut dengan kening berkerut, trus dengan tegas bilang “Bener juga kata lo, gue harus nyari lowongan sebanyak-banyaknya dan ngirim lamaran sebanyak-banyaknya.”
“Deni...buatkan minum untuk Aldo.” Suara Nyokap keras dari dapur.
“Ya Bu...”
“Do mau minum apa?”
“Mmmm...” Kata Aldo sambil mikir.
“Udah kelamaan, gue buatin yang ada aja.” Suara gue tegas sambil bangkit berdiri.
Selesai membuat minum untuk Aldo, gue duduk lagi di depannya. Sementara Aldo langsung menenggak minuman dingin rasa leci, yang kayaknya seger banget. Bulan ini emang masih kemarau, jadi udaranya terasa panas banget.
“Haaaa...seger...banget.” Kata Aldo sambil meletakkan gelas di meja.
“Eh Den, kok lo masih tenang-tenang aja sih? Lo nggak pingin kerja ya?”
Gue nggak segera menjawab, tapi sejenak tersenyum kecil sambil bersandar di sofa.
“Ooo gue tahu, lo pasti udah dapet kerjaan. Ayo ngaku.” Di ujung perkataannya suara Aldo tegas.
“Alhamdulillah gue udah dapat panggilan, besok lusa gue wawancara.” Gue tersenyum.
“Waaah enak banget lo, tapi kapan lo ngirim surat lamaran? Wisuda aja baru berapa hari...”
“Makanya kalo punya otak itu dipake, jangan kebanyakan maen. Gue udah ngirim lamaran sebelum gue diwisuda.”
“Kok bisa? Ijazahnya kan belum keluar?”
“Ya makanya kalo nyari lowongan yang ada catatan kakinya, ijazah boleh menyusul bagi lulusan baru, atau kita ngirim surat lamaran ke perusahaan yang udah menjalin kerjasama yang baik sama kampus kita.”
“Ooo gitu...” Aldo manggut-manggut.
“Kok lo nggak bilang sama gue?”
“Abisnya kita jarang ketemu di kampus, lo kan beda jurusan sama gue.” Jawab gue santai.
Aldo menghela nafas panjang, trus bilang “Ya udahlah, mungkin itu udah rejeki lo.”
“Udah...tenang aja, insya Allah bentar lagi lo juga pasti dapat panggilan kerja. Dan gue juga masih harus wawancara.”
“Kenapa lo nggak kerja di kantor Bokap lo? Kan enak bisa langsung kerja nggak pake wawancara.”
“Aaaaa...”
“Jangan bilang lo nggak mau dibilang aji mumpung.” Aldo memotong tegas.
“Nggak gitu ju...”
“Atau lo gengsi.” Aldo memotong lebih tegas, tapi tanpa menatap Aldo gue menghela nafas dan nggak membalas.
“Ayo ngomong Den, kenapa lo nggak mau kerja di kantor Bokap lo. Kan enak, lo bisa dapat kerja kantoran, pake dasi, ruangan elo pasti ada AC-nya, trus gaji lo juga pasti tebel.” Kata Aldo tegas sambil terus menatap gue.
“Gue nggak suka kerja di kantor.” Suara gue datar. Kedua mata Aldo cepat terbuka lebih lebar, dan nggak lepas dari gue.
“Soalnya gue gampang jenuh, dan gue bisa ngebayangin capeknya duduk seharian di kantor. Gue bukan tipe orang yang betah berjam-jam duduk di balik meja kerja.” Lanjut gue santai.
Sejenak Aldo manggut-manggut pelan dengan kening merapat. Trus bilang “Tapi...bukannya lo juga gampang capek kalo kerja di lapangan? Apalagi lo kan ngambil Teknik Sipil, alias bangun-bangun segala macem...sebentar-sebentar di kantor, sebentar-sebentar di proyek.”
Mendadak gue membatu dengan sorot mata nggak bergerak, soalnya gue lagi berpikir. Ada benarnya perkataan Aldo, gue memang nggak bisa terlalu capek, malah gue gampang capek. Saat gue memilih jurusan Teknik Sipil, gue udah tahu resikonya. Nyokap dan Bokap sempat marah sama gue, karena gue mengambil jurusan yang bisa membahayakan kondisi jantung gue. Tapi...gue meyakinkan Bokap dan Nyokap, kalo gue bakal baik-baik aja. Soalnya dari kecil gue seneng banget sama gedung, jembatan, rumah-rumah, pokoknya bangunan-bangunan.
“Den. Lo denger gue kan?” Suara Aldo keras.
“Oh iya, mmm lo tadi ngomong apa?” Tanya gue. Lemas Aldo pun menghela nafas panjang dan menggelengkan kepala.
Di luar rumah hari bertambah terik dan angin sesekali berhembus, tapi tetap aja masih terasa panas. Akhirnya gue dan Aldo pindah ke ruang tengah, karena ada AC-nya. Sebagai sahabat gue membantu Aldo mencari lowongan di surat kabar, jadi sekarang kita berdua sibuk membaca deretan lowongan di banyak surat kabar. Satu persatu pekerjaan yang cocok dengan ijazah dilingkari. Aldo memakai spidol warna hijau dan gue memakai spidol warna biru. Sejenak gue melihat koran-koran lowongan yang udah ditandai sama Aldo, banyak banget lingkaran warna hijau, dibandingkan sama gue yang cuma beberapa lingkaran.
Tiba-tiba kening Aldo berkerut saat melihat lingkaran spidol biru di koran di tangan gue, cuma ada tiga lingkaran.
“Den, kenapa lingkaran lo dikit banget? Nih nih nih lihat punya gue.” Di akhir perkataan Aldo menunjukan koran-koran yang sudah dilingkari.
Kening gue juga cepat merapat, tapi gue masih diam dan nggak membalas, memikirkan semua yang udah gue lakukan di koran ini.
“Eh Deni, lo beneran mau bantuin gue nggak? Kata elo ngirim lamaran itu seperti ngirim kupon undian berhadiah, jadi kita harus kirim yang banyak banget.” Kata Aldo.
Sejenak gue melirik lagi koran di tangan Aldo, trus gue merasa kerutan di kening gue semakin tebal. Gue pun baru sadar, gue kan mencari lowongan kerja buat Aldo, bukan buat gue. Gue cepat bilang “Oh iya, gue kan nyari lowongan buat elo ya? Kenapa gue nyari kerja dengan kriteria gue...”
Sedikit kesal Aldo menggeleng-gelengkan kepala dan menghembuskan nafas.
“Ya udah cepet baca lagi dan lingkarin yang banyak, lulusan administrasi.” Di ujung perkataan suara Aldo lebih tegas.
“Iya...”
Suara motor berhenti di depan rumah terdengar keras, tapi suaranya lumayan bagus.
“Tek, tek, tek, tek.” Suara orang memukul pintu pagar.
Sigap Nyokap terlihat keluar rumah, melihat tamu yang datang. Nggak lama kemudian motor di depan rumah pun langsung tancap.
“Deni...ada surat buat kamu...” Suara Nyokap keras sambil berjalan di teras rumah.
“Ya Bu...”
Nggak lama kemudian Nyokap mendatangi kami di ruang tengah.
“Dari siapa Bu?”
Sejenak Nyokap membaca tulisan pengirim di amplop surat. “Sepertinya....surat panggilan lagi.”
“Biar Deni lihat Bu.”
Setelah memberikan surat pada gue Nyokap melanjutkan menyetrika baju-baju di ruang tengah juga, cuma tempatnya tepat di bawah tangga.
“Waaah enak banget lo Den, udah dua perusahaan yang manggil elo.” Suara Aldo tinggi sambil merebut surat yang belum gue buka.
“Gue baca dulu.” Kata gue sambil merebut surat panggilan lagi.
“Deni, pokoknya Ibu nggak mau kamu kecapean kerja. Pilih perusahaan yang nggak banyak perintah dan nggak capek, intinya cari kerja yang santai.” Suara Nyokap tegas sambil menyetrika dan sesekali melihat gue.
“Tuh Deni, dengerin kata Nyokap lo.” Suara Aldo tegas sambil melirik gue.
Gue menghela nafas panjang, trus bilang pelan dan ketus “Kerja aja belum udah minta nggak mau capek, santai.”
“Ibu nggak mau kamu sakit lagi. Gimana kalau kamu pingsan, trus.....”
“Insya Allah Deni baik-baik aja Bu, Ibu jangan khawatir lagi. Deni pasti hati-hati.” Gue memotong sambil menoleh pada Nyokap. Dengan wajah agak cemberut Nyokap nggak membalas dan melanjutkan menyetrika baju.
“Bu...” Gue memanggil pelan sambil melihat Nyokap dengan mata berkaca-kaca.
Akhirnya Nyokap berhenti menyetrika, dan meletakkan setrikaan yang masih menyala di atas besi, trus memandang gue. Gue cepat menghampiri, trus gue cium tangannya. Dengan mata kayak serpihan kaca, gue bilang “Deni minta maaf Bu. Tapi tolong percaya sama Deni, Deni akan hati-hati nanti.”
Akhirnya Nyokap tersenyum juga, lalu mengelus-elus kepala gue dan bilang “Iya. Ibu akan coba percaya sama kamu, tapi ada syaratnya.”
“Apa Bu?”
Nyokap menghela nafas panjang, trus tegas bilang “Kalau penyakit lama kamu kambuh karena pekerjaan kamu, kamu harus berhenti dan cari pekerjaan lain. Atau....kamu bisa kerja di kantor travel Bapak, atau...kamu bisa kerja di Bank. Bapak kamu kan punya kenalan direktur Bank, pasti kamu diterima dan kerjanya pasti nggak capek.”
Membuat gue langsung terpaku mendengar syarat dari Nyokap, karena kaget banget. Dalam hati gue syok dan bilang “Ha!”
“Deni, kamu denger Ibu kan?” Nyokap mengulang.
“Ahhmm iya Deni denger.”
“Janji?” Nyokap tegas sambil menatap gue.
“Eeee janji.” Suara gue pelan dan lemas.
“Oke, sekarang Ibu bisa lega.”
Setelah itu Nyokap mengambil setrika dan melanjutkan menyetrika baju-baju. Sementara gue kembali duduk di karpet tebal di depan sofa dan tiba-tiba aja gue lemas.