Read More >>"> Sanguine (Bab 8) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sanguine
MENU
About Us  

I can read you like a magazine

Ain't it funny, rumors fly

And I know you heard about me

So hey, let's be friends

Senandung merdu berkumandang dari bibir tipisku saat tengah berjalan di koridor menuju ruang kelas. Sesekali kugoyangkan kepalaku ke kanan dan ke kiri, menikmati musik yang menghentak-hentak dari headset yang terpasang di kedua telingaku.

Got a long list of ex-lovers

They'll tell you I'm insane

'Cause you know I love the players

And you love the game

Kulepaskan headset saat memasuki ruang kelas. Kuekori kedua mataku, menjelajahi keadaan ruang kelas yang sudah ramai. Tatapanku berhenti saat melihat Gladys yang tengah serius membaca buku pelajaran. Ah! Sejak kapan anak itu jadi rajin belajar? Dewi batinku terperangah. Dengan langkah lebar dan senyuman ceria yang selalu tersungging di bibirku, aku berjalan menuju meja Gladys berniat untuk mengejutkannya.

"Dor!" teriakku sambil menghentak bahu Gladys, membuatnya terhenyak karena kaget. "Serius sekali, buuu!"

"Ish! Apaan sih lo, La!" desis Gladys. "Kerjaan lo ya bikin orang kaget terus aja sih! Untung gue gak punya riwayat penyakit jantung. Kalau iya, mungkin gue udah jatuh pingsan ke lantai, terus langsung dibawa ke rumah sakit dan gue akan koma selama waktu yang belum ditentukan," katanya mendramatisir.

Aku pun memutar kedua bola mataku. "Alay lo! Lagian, lo serius banget baca buku. Sampai-sampai gue datang aja lo gak tahu. Dan, sejak kapan lo jadi kerajinan baca buku sebelum pelajaran dimulai?"

Kini, kuperhatikan sekelilingku. Aku terhenyak saat menyadari bahwa tidak hanya Gladys saja yang pagi-pagi seperti ini sudah rajin membaca buku. Nyatanya, semua anak di kelas pun nampak serius dengan bukunya masing-masing.

Wah! Apa ini karena tahun terakhir sebelum ujian kali, ya? Makanya pada taubat masal begini.

Kali ini justru Gladys yang menatapku dengan heran. "Kayaknya ada yang aneh nih. Ko lo tenang-tenang aja keliatannya, La?" Gladys memicingkan kedua matanya kepadaku. "Ah gue tahu! Jangan-jangan lo udah bikin contekan, ya?"

"Enak aja! Gue paling anti sama yang namanya nyontek. Gue udah belajar kali," protesku tak terima. Apa kata dunia kalau seorang Lala mencontek? Itu sama sekali bukan gayaku.

"Yah aneh aja. Biasanya lo yang suka heboh-heboh sendiri kalau mau ujian. Apalagi kalau udah berhubungan sama yang namanya ujian fisika. Sekarang lo kayak pasien rumah sakit yang udah dikasih obat penenang tahu," kata Gladys memberi penekanan pada kata 'ujian fisika'.

Kuteleng kepala Gladys. "Emangnya gue sakit jiwa apa," kataku protes. "Gue udah belajar. Lagian lo bercanda, ya? Emangnya hari ini ada ujian fis.."baru saja aku ingin mendaratkan bokongku di kursi, tiba-tiba saja aku baru menyadari sesuatu. "Tunggu. Tadi lo bilang apa, Dys?" tanyaku kepada Gladys untuk memberikan kepastian bahwa aku memang salah dengar.

"Yang mana? Lo buat contekan?" tanya Gladys memastikan.

"Bukan, bukan yang itu. Yang tadi terakhir lo bilang," jawabku memperjelas.

"Lo kayak pasien rumah sakit?"

"Aduh! Bukan! Sebelumnya lagi."

"Oh. Hari ini ujian fisika?"

"Ah! Iya yang itu! Hari ini ujian fis..WHAT?!" aku membulatkan kedua bola mataku. "U..ujian fisika?"

Kini, tubuhku benar-benar terasa lemas. Seakan ada bola besi yang besar menghantam sisi tubuhku, aku benar-benar terguncang. Kalau saja aku tidak dalam keadaan terduduk, bisa dipastikan tubuhku akan berakhir terkapar tak berdaya di atas lantai. Ya Tuhan!

Gladys memandangku dengan khawatir. "La, lo gak lupa kan kalau hari ini ada ujian?" tanya Gladys hati-hati.

Aku menatap Gladys kaku. "Gue inget kalau hari ini ada ujian. Tapi.. gue lupa kalau ujiannya itu pelajaran fisika. Gue kira bahasa Inggris. Terus, akhirnya, ya, gue belajar bahasa Inggris."

Gladys pun memelototkan matanya. Rahangnya seakan jatuh mengenai lantai saat mengetahui kebodohanku itu.

"Lagi, ko gak ada yang bilangin ke gue sih kalo hari ini ujian fisika?!"

Aku marah kepada Gladys. Yah meskipun aku tidak berhak memarahinya karena keteledoranku sendiri. Tapi, dia sendiri tahu kalau aku memiliki penyakit pelupa akut. Kenapa juga dia tidak mengingatkan aku semalam kalau hari ini ada ujian fisika. 

Kalau saja Gladys mengingatkanku, aku mungkin tidak akan salah belajar seperti ini. Dan, sekarang aku harus bagaimana? Kalau membaca buku pun waktunya tidak akan cukup. Sebentar lagi pelajaran akan segera dimulai. Kalau begini, aku bisa tidak lulus ujian. Ya Tuhan!

"Aduh mati gue! Gimana ini? Belajar semaleman aja gue gak yakin bisa lulus, gimana kalau gak belajar sama sekali. Bisa-bisa gue dapet nilai merah nih!" Oh! Aku benar-benar panik sekarang!

Sejurus kemudian, aku mengeluarkan buku bercetak tebal yang berjudul 'Fisika Dasar' dari dalam tas. Dengan terburu-buru, aku membaca cepat setiap tulisan yang tercetak di dalam buku itu, yang kebanyakan berisi teori dan rumus fisika yang sama sekali tidak ada satu pun dari teori maupun rumus itu yang dapat kupahami. 

Tetapi, bukannya mencoba untuk menghapal dan memahami rumus-rumus fisika itu, aku malah terlihat seperti sedang membolak-balik halamannya saja tanpa tujuan yang jelas. Dan itu justru semakin membuat kepalaku menjadi pusing.

"La, tenang sedikit dong. Kalau lo panik begini, gimana bisa masuk ke otak tuh rumus-rumus," seru Gladys mencoba menenangkanku.

"Selamat pagi, anak-anak," sapa Pak Jaka memasuki ruang kelas. "Hari ini akan diadakan ujian fisika seperti yang sudah diberitahukan sebelumnya. Jadi, silahkan simpan buku kalian di dalam tas. Hanya peralatan tulis saja yang ada di atas meja."

Kutengadahkan kepalaku, menatap horor Pak Jaka yang kini sudah berdiri di depan kelas. Wajah pria baya itu seakan tengah menampilkan raut sinis yang mencemooh diriku.

Dengan pakaian loreng-loreng khas tentara, bandana merah yang terikat di kepalanya serta senapan panjang yang tergenggam kuat di tangannya yang kokoh menandakan bahwa pria itu sudah siap berperang denganku. 
Pria itu tertawa terbahak-bahak. Lalu, senapan itu diarahkannya tepat ke wajahku. Sang empunya dengan elegan menarik pelatuknya, dan...

DUAR!

Aku berjengit kaget dari tempat duduk. Kuekori tatapanku, melihat Pak Jaka yang kini membagikan kertas ujian kepada anak-anak. Saat kertas itu sudah ada di mejaku, hatiku semakin menciut ketika melihat soal-soal yang tercetak di kertas itu.

Bagiku, soal-soal itu adalah sekumpulan kode-kode rahasia yang hanya bisa dipecahkan oleh seorang ahli pemecah kode. Lagi, aku heran, bagaimana bisa Pak Jaka membuat soal sesulit itu? Ck!

Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitku. Aku menengok ke kanan dan kiri. Kulihat semua anak rata-rata mengeluarkan ekspresi yang sama. Wajah yang sarat akan keseriusan menatap kertas ujian itu. Serta wajah yang penuh kebingungan saat harus memikirkan jawabannya.

Aku bergeliat gelisah. Sedari tadi yang kulakukan hanyalah mengetuk-ngetuk pensilku ke meja tanpa tahu harus menulis apapun di kertas ujian. Secara bergantian, kulirik Pak Jaka lalu beralih kembali ke jam tanganku. 

Seperti menunggu bom waktu yang akan meledak, aku melewati setiap menitku dengan was-was. Akhirnya dengan sekali tarikan napas, aku mulai menggoreskan pensilku di kertas ujian itu. Entahlah apa yang akan kutuliskan disana. Setidaknya, aku tidak akan membiarkan kertas ujianku dikumpulkan dalam keadaan masih bersih.

Dua jam berlalu. Kini, Pak Jaka sedang mengoreksi ujian para siswanya.

"Baiklah. Saya akan memberitahu hasil ujian kalian." Ruangan kelas kembali hening tatkala suara berat Pak Jaka menggeletar ke seisi ruangan.

"Dinar, selamat! Lagi-lagi kamu termasuk siswa yang memperoleh skor tertinggi di kelas ini."

Seluruh siswa bertepuk tangan memberi ucapan selamat. Sementara si empunya nama berdiri dengan penuh percaya diri lalu membungkukkan badan, membalasnya sebagai salam hormat.

"Tapi.." lagi, Pak Jaka bersuara. "Sayangnya, kali ini kamu harus berpuas diri karena hanya menduduki peringkat kedua."

Para siswa yang tadinya bertepuk tangan memberi ucapan selamat kepada Dinar, kali ini justru tertawa sesaat setelah mendengar penuturan Pak Jaka. Dinar pun hanya cengegesan dan kembali duduk.

"Karena, skor tertinggi di kelas ini jatuh kepada Ganis! Selamat Ganis! Skor kamu paling tertinggi di kelas." Para siswa kembali bertepuk tangan yang kali ini ditujukan kepada Ganis.

"Dan... Lala."

Deg! 

Spontan aku menatap Pak Jaka dengan getir. Aku bisa menebak apa yang ingin dikatakan oleh Pak Jaka. Dan aku yakin, apapun itu pasti bukan berita baik untukku. Aku menelan ludahku dengan susah payah. Aku bisa melihat Pak Jaka menghela napas sebelum kembali bersuara.

"Jujur, saya benar-benar kecewa denganmu. Temui saya di kantor saat jam istirahat. Mengerti, Lala?"

"Baik, Pak."

Aku pun terduduk lemas di kursi. Aku hanya bisa berharap bahwa dewi fortuna masih berpihak kepadaku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
My Secret Wedding
1302      562     2     
Romance
Pernikahan yang berakhir bahagia adalah impian semua orang. Tetapi kali ini berbeda dengan pernikahan Nanda dan Endi. Nanda, gadis berusia 18 tahun, baru saja menyelesaikan sekolah menengah atasnya. Sedangkan Endi, mahasiswa angkatan terakhir yang tak kunjung lulus karena jurusan yang ia tempuh tidak sesuai dengan nuraninya. Kedua nya sepakat memutuskan menikah sesuai perjodohan orang tua. Masin...
Beloved Symphony | Excetra
880      402     0     
Romance
Lautan melintang tiada tuturkan kerasnya karang menghadang.
AMORE KARAOKE
17024      2631     7     
Romance
Dengan sangat berat hati, Devon harus mendirikan kembali usaha karaoke warisan kakeknya bersama cewek barbar itu. Menatap cewek itu saja sangat menyakitkan, bagaimana bila berdekatan selayaknya partner kerja? Dengan sangat terpaksa, Mora rela membuka usaha dengan cowok itu. Menatapnya mata sipit saja sangat mengerikan seolah ingin menerkamnya hidup-hidup, bagaimana dia bisa bertahan mempunyai ...
Coklat untuk Amel
186      161     1     
Short Story
Amel sedang uring-uringan karena sang kekasih tidak ada kabar. HIngga sebuah surat datang dan membuat mereka bertemu
Aria's Faraway Neverland
3123      979     4     
Fantasy
"Manusia adalah Tuhan bagi dunia mereka sendiri." Aria adalah gadis penyendiri berumur 7 tahun. Dia selalu percaya bahwa dia telah dikutuk dengan kutukan ketidakbahagiaan, karena dia merasa tidak bahagia sama sekali selama 7 tahun ini. Dia tinggal bersama kedua orangtua tirinya dan kakak kandungnya. Namun, dia hanya menyayangi kakak kandungnya saja. Aria selalu menjaga kakaknya karen...
Rumah Arwah
992      527     5     
Short Story
Sejak pulang dari rumah sakit akibat kecelakaan, aku merasa rumah ini penuh teror. Kecelakaan mobil yang aku alami sepertinya tidak beres dan menyisakan misteri. Apalagi, luka-luka di tubuhku bertambah setiap bangun tidur. Lalu, siapa sosok perempuan mengerikan di kamarku?
LEAD TO YOU
18003      1916     16     
Romance
Al Ghazali Devran adalah seorang pengusaha tampan yang tidak mengira hidupnya akan berubah setelah seorang gadis bernama Gadis Ayu Khumaira hadir dalam hidupnya. Alghaz berhasil membuat Gadis menjadi istrinya walau ia sendiri belum yakin kalau ia mencintai gadis itu. Perasaan ingin melindungi mendorongnya untuk menikahi Gadis.
SiadianDela
7596      2076     1     
Romance
Kebahagiaan hanya bisa dicapai ketika kita menikmatinya bersama orang yang kita sayangi. Karena hampir tak ada orang yang bisa bahagia, jika dia tinggal sendiri, tak ada yang membutuhkannya, tak ada orang yang ingin dia tolong, dan mungkin tak ada yang menyadari keberadaanya. Sama halnya dengan Dela, keinginan bunuh diri yang secara tidak sadar menjalar dikepalanya ketika iya merasa sudah tidak d...
AKSARA
4328      1705     3     
Romance
"Aksa, hidupmu masih panjang. Jangan terpaku pada duka yang menyakitkan. Tetaplah melangkah meski itu sulit. Tetaplah menjadi Aksa yang begitu aku cintai. Meski tempat kita nanti berbeda, aku tetap mencintai dan berdoa untukmu. Jangan bersedih, Aksa, ingatlah cintaku di atas sana tak akan pernah habis untukmu. Sebab, kamu adalah seseorang yang pertama dan terakhir yang menduduki singgasana hatiku...
Cinta Dalam Diam
693      451     1     
Short Story
Kututup buku bersampul ungu itu dan meletakkannya kembali dalam barisan buku-buku lain yang semua isinya adalah tentang dia. Iya dia, mungkin sebagian orang berpendapat bahwa mengagumi seseorang itu wajar. Ya sangat wajar, apa lagi jika orang tersebut bisa memotivasi kita untuk lebih baik.