Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sanguine
MENU
About Us  

"Guys! Sorry sorry gue telat!" seruku saat membuka pintu ruang studio. Aku masih berdiri di ambang pintu dengan napas yang masih terengah-engah. Berusaha mengatur kembali detak jantungku yang berdegup cepat sehabis berlari.

"Ah ini dia! Akhirnya datang juga. Lo kemana aja, La? Beruntung lo La. Kalau lima menit lagi lo gak muncul juga, kita udah siap-siap beresin peralatan nih," kata Nail, cowok berambut cepak yang duduk di bagian pemain drum.

"Gue kira lo udah ketelen lumpur hidup di tengah jalan." aku memutar bola mata saat Clavin bersuara. "Siapa ya yang kemarin semangat banget ngomong, setiap sore sehabis pulang sekolah, kita rutin latihan band, yuk." komentar Clavin sarkastik sambil menirukan gaya bicaraku kemarin. Nih anak aku baru datang sudah mengajak berantem saja!

"Iya, gue tahu, gue salah. Gue lupa kalau mulai hari ini kita akan latihan rutin setiap sore. Padahal gue sendiri yang mengusulkan." kataku sungguh-sungguh menyesal. "Untung aja tadi Susan ngingetin gue."

"La, La, La. Temen lo aja inget kalau lo ada latihan. Kayaknya Susan cocok tuh jadi asisten lo. Biar lo enggak lupa terus."

"Berisik lo!" aku mendengus sebal ke arah Clavin. Kalau sekarang aku hanya berdua saja dengan Clavin disini, aku pasti sudah menjambak rambut landak Clavin itu sampai cowok itu botak sekalian.

Okay. Aku mengakui kalau aku memang salah. Tidak seharusnya aku lupa tentang latihan rutin yang telah kurencanakan itu. Tapi, aku kan hanya lupa. Aku juga tidak sengaja untuk melupakannya. Lupa itu sifat alamiah manusia. Jadi, aku tidak sepenuhnya bersalah, kan?

"Udah, udah. Jadi pada ribut begini sih." seru Raffi, si pemain bass menengahi.

"Lagipula, kalian gak malu apa berantem di depan guru?" aku menatap Raffi heran. Apa maksudnya? Jadi, selain mereka berempat ada orang lain juga disana?

Lalu, tatapanku tak sengaja menemukan sosok lain yang dimaksud oleh Raffi. Kuperhatikan pria itu juga memandangku sambil tersenyum. Ya Tuhan! Kenapa dia ada dimana-mana sih?

"Pak Keane," gumamku pelan. "Sejak kapan bapak ada disini?" Okay. Mungkin, ini sedikit kurang sopan, tapi aku benar-benar penasaran. Ini bukan pelajaran tambahan untuk kelas musik, kan?

"Mmm.." gumam Pak Keane pura-pura berpikir. "Sebelum kamu datang dan ngomel-ngomel di depan pintu, maybe."

Aku tersenyum keki menanggapi sindiran Pak Keane. "Maaf, pak. Saya tidak tahu kalau Pak Keane ada disini. Kalau tahu, saya tidak akan teriak-teriak di depan bapak. Sekali lagi, saya minta maaf."

Aku memelototi Clavin yang sepertinya memang sengaja menyulut emosiku dan membuatku malu di depan Pak Keane. Clavin pun hanya menyengir tanpa dosa dan mengangkat bahu nampak tidak terlalu peduli dengan tatapan garang dariku. Awas aja lo, Vin!

"Kamu kayaknya suka sekali minta maaf, ya." komentar Pak Keane sambil terkekeh.

"Tapi, kenapa Pak Keane ada disini?"

"Jadi begini, La. Sebelumnya kan Pak Salim yang bertugas untuk mengawasi band kita. Nah, berhubung Pak Salim udah enggak ngajar lagi disini dan kebetulan Pak Keane yang gantiin beliau, jadi sekarang tugasnya Pak Salim diambil alih sama Pak Keane. Intinya, Pak Keane yang jadi mentor kita sekarang," jelas Nail memberi informasi.

"Oh," gumamku singkat. Jujur, aku sedikit kaget mengetahui informasi itu. Pertama, pria itu menjadi guru musiknya yang baru. Dan sekarang, dia menjadi mentor baru untuk bandnya. Lalu, apa lagi yang bisa dilakukan olehnya?

"Okay, kids! Nampaknya hari sudah semakin gelap. Bagaimana kalau kita mulai saja latihannya? C'mon cop! cop! copy!"

Setelah mendapat aba-aba dari Pak Keane, kami pun mempersiapkan kembali peralatan band. Mulai dari memasang mic, mengatur sound, menyetem senar hingga memeriksa kabelnya.

"Ah! Berhubung kalian akan tampil di acara besar, saya pikir kalian perlu sesuatu yang baru. Karena itu saya sudah menyiapkan beberapa list lagu yang mungkin bisa kalian bawakan di acara tersebut."

"Wah, kita kayaknya enggak salah nih milih Pak Keane buat jadi mentor baru kita," kata Nail.

"Gue setuju! Baru hari pertama aja Pak Keane udah nyiapin list-list lagu baru. Kita aja belum ngapa-ngapain. Pak Keane memang the best deh!" seru Raffi sependapat.

Pak Keane tertawa menanggapi pujian dari murid-muridnya itu. "Kalian ini ya. Bisa saja membuat saya terbang di hari pertama. Asalkan jangan dijatuhin lagi aja." Mereka semua secara serempak tertawa.

"Tapi, kayaknya aneh ya kalau dua orang cowok memuji cowok lainnya. Ah, Lala kamu tidak mau memuji saya juga?"

Aku yang merasa namaku dibawa-bawa, spontan menengok ke arah Pak Keane. "Erm-gak usah, Pak. Cukup mereka aja," kataku gugup.

"Okay. Sebelum kalian mulai latihan. Coba pelajari dulu lagunya." Pak Keane membagikan selembar kertas yang berisikan lirik lagu beserta kuncinya.

Aku pun meraihnya. Aku membaca dengan seksama lirik lagu yang ada di kertas itu. "Somewhere only we know, by Keane?" gumamku saat selesai membaca dan mengetahui bahwa lagu yang akan kunyanyikan adalah salah satu lagu favoritku.

Pak Keane menolehkan kepalanya. "Mmm.. sebelumnya saya ingin menjelaskan sesuatu terlebih dahulu. Kalian jangan berpikir saya memilih lagu ini karena namanya sama dengan saya, ya. Yah meskipun itu tidak disengaja. Tapi, saya memang memilih lagu ini untuk kalian karena lagunya benar-benar bagus. Dan, saya pikir lagu ini cocok dengan gaya suaranya Lala," jelasnya membela diri.

Pak Keane bicara apa sih? Aku tidak mengeri. Ah! Apa Pak Keane mengira kalau aku kaget karena nama band itu sama dengan namanya. Padahal, aku tidak menyadari kalau nama mereka memang sama. "Bukan begitu, Pak. Ini salah satu band favorit saya."

Sekilas kulihat Pak Keane terkejut, tapi segera saja disamarkannya. Pak Keane pun menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tunggu. Apa Pak Keane malu? Pak Keane berdeham sekali, berusaha mengembalikan suaranya. "Oh begitu," katanya kemudian. "Jadi, band ini salah satu musisi favorit kamu?"

"Iya, Pak. Saya suka banget sama mereka. Bapak juga suka?" tanyaku antusias.

"Iya mereka musisi favorit saya juga," jawabnya. "Wah! Saya tidak menyangka gadis seperti kamu punya selera musik yang berbeda. Biasanya gadis seusia kamu sukanya lagu-lagu romantis atau mellow yang bisa bikin nangis seember itu."

Aku pun terkekeh mendengarnya. "Jangan salah, Pak. Gini-gini saya penggemar beratnya Sum 41, Muse, sama Incubus," kataku bangga.

"Whoaa!! Hebat juga! Tapi, lagu-lagunya memang bagus, kan? Saya bahkan mengoleksi semua albumnya Kean."

Aku membulatkan mulutku. Wah! Aku tidak menyangka. Masih ada juga fans fanatik Kean selain diriku. "Semua? Under the Iron Sea juga punya, Pak? "tanyaku penasaran. Pak Keane pun mengangguk. "Wah keren! Dulu saya mau beli album yang ada tanda-tangan para personil bandnya, tapi udah kehabisan duluan ternyata. Limited edition, sih."

"Kalau kamu mau, saya bisa meminjamkan albumnya," kata Pak Keane. Aku spontan terlonjak senang, menatap Pak Keane dengan berbinar-binar.

"Serius, Pak?"

"Dengan senang hati."

"Mhhmmm!"

Dehaman keras dari Clavin membuatku dan Pak Keane menghentikan pembicaraan kami, lalu menolehkan kepala secara bersamaan untuk menatapnya. Saat aku menatapnya, terlihat jelas dari raut wajahnya yang menunjukkan kekesalan dan ketidaksukaan. Ada apa dengan cowok itu?

"Maaf Pak, bukan bermaksud mengganggu," kata Clavin memulai. "Tapi..seperti yang bapak bilang tadi, kalau hari sudah semakin gelap. Jadi, apa kita bisa mulai latihannya sekarang atau tidak?" Aku dan Pak Keane seperti kembali tersadar dengan keadaan di sekitar. Aku ingat kalau kami masih berada di ruang studio untuk latihan.

Karena pembicaraan seru kami tadi, aku jadi lupa kalau di ruangan ini tidak hanya ada kami berdua saja, tapi Clavin, Nail, dan Raffi juga masih berada disana sedang menatap kami berdua. Astaga! Sebegitu serunya kah berbicara dengan Pak Keane sampai kamu melupakan teman-temanmu sendiri, La?

"Ah ya! Maaf. Kalau begitu, ayo kita mulai saja latihannya!" buru-buru Pak Keane kembali memandu latihan. "Erm— kalian bertiga coba check sound dulu. Hafalkan kuncinya juga dan coba saling dipadukan. Nah, kamu Lala. Kamu latihan vokal sebentar dengan saya."

Aku menunjuk diriku sendiri saat Pak Keane memberi intruksi kalau aku harus latihan vokal berdua dengannya. Seperti masih mencerna kata-kata Pak Keane, aku pun hanya mengangguk lalu mengikuti Pak Keane yang sudah duduk manis di sofa.

Clavin, Nail, dan Raffi sudah sibuk dengan dunia mereka. Mereka bertiga mulai menghafal kunci not lagu tersebut sambil sesekali memadukannya secara bersamaan. Sementara aku sendiri, tentunya masih sibuk dengan duniaku bersama dengan Pak Keane.

Apa aku sudah bilang kalau aku sama sekali tidak bisa fokus sekarang? Bagaimana aku bisa fokus kalau saat ini ada seorang malaikat rupawan dengan mata zamrud yang indah tengah duduk di sampingku.

Kulit pucat yang bersih. Tulang pipi yang tirus. Rahang yang begitu tegas dan maskulin. Bibir tipis yang berwarna pink alami menggoda. Dagu seksi yang ditumbuhi oleh rambut-rambut kasar yang membuatku sangat ingin menyentuhnya. Dan ini yang menjadi favoritku. Mata coklat zamrud cemerlang yang ternyata sangat tajam kalau dilihat sedekat ini. Meskipun begitu, aura hangat dan nyaman yang dipancarkan dari kedua bola matanya tak pernah luput sedikitpun dari penglihatanku.

Oh... ia begitu sempurna.

"Kamu paham kan, Lala?"

"Ah? Apa?" tanyaku bingung.

Saat aku menengok ke samping, Deg! Aku merasakan bahwa semua oksigen yang ada di dalam ruangan ini tiba-tiba menghilang. Membuatku sulit untuk bernapas dengan normal. Jantungku pun sepertinya ingin mencuat keluar dari tempatnya sekarang juga. Dewi batinku bahkan sekarang tengah melompat-lompat seperti kancil sambil bersalto ria. Ini semua karena ulah pria itu. Pria yang kini sedang duduk di sampingku. Siapa lagi kalau bukan dia. Pak Keane.

Coba kau bayangkan, bagaimana bisa aku bersikap normal jika wajahku dan wajahnya berada dalam jarak sedekat ini? Hanya tinggal beberapa senti saja. Lagipula, sejak kapan wajah kami menjadi sedekat ini?

Perasaanku semakin menjadi tidak karuan tatkala kedua mata zamrud milik Pak Keane menatapku dengan tajam. Tajam dalam artian positif. Maksudku, tatapannya begitu dalam dan... intens? Entahlah. Aku sendiri tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya yang benar. Terlalu abstrak. Terlalu beragam. Oh! Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi denganku sekarang. Kenapa aku begitu terobsesi dengan matanya?

"Apa kamu paham, Lala?"

Suara berat Pak Keane kembali menyadarkan otak sehatku untuk segera berpaling dari siksaan indah yang dipancarkan dari mata pria itu. Aku yakin kalau pipiku saat ini sudah mendidih tak karuan. Sial! Semoga saja Pak Keane tidak menyadari warna merah di pipiku ini! Aku pun menghirup oksigen dalam-dalam.

"Erm—ya, saya paham."

"Oke, kalau begitu, kita coba sekarang."

Setelah pemanasan dengan Pak Keane, dimana benar-benar membuatku panas tadi, aku pun akhirnya bisa memiliki sedikit space dengan Pak Keane. Paling tidak, kami berdua sama-sama akan sibuk dengan latihannya dan melupakan kejadian tadi. Mungkin, bagi diriku sendiri.

Tidak terasa tiga jam sudah latihan berlangsung. Kini, kami mulai merapihkan kembali peralatan bandnya. Selesai merapihkan, kami pun bersiap untuk pulang karena jam pun sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ah, waktu terasa cepat berlalu, bukan?

"Lala, kamu pulang sendiri?" tanya Pak Keane saat keluar dari ruang studio, diikuti oleh yang lainnya.

"Ehm—saya..."

"Lala!"

Sebelum aku selesai bicara, suara berat yang lain memotong ucapanku terlebih dahulu. Aku menengok ke sumber suara dan menemukan sosok Levin tengah berjalan santai menghampiri kami, lebih tepatnya ke arahku, dengan senyuman lebarnya itu. Seharusnya aku merasa senang dengan kehadiran Levin, tapi entah mengapa, aku tidak terlalu mengharapkan kehadiran Levin sekarang.

"Levin? Kenapa kamu bisa ada disini? Erm—maksudku, aku kira kamu udah pulang," tanyaku yang berusaha menyembunyikan kekagetanku.

"Tadinya sih begitu. Tapi, aku gak tega kalau pacarku ini pulang sendirian. Jadi, aku mutusin buat jemput kamu aja," jawab Levin.

"Oh." Aku tersenyum kaku ke arah Levin.

"Kita pulang sekarang?" tanya Levin.

"Ah, iya."

Aku tidak punya pilihan lain. Akan terlihat aneh kalau aku menolak untuk pulang bersama Levin yang jelas-jelas pacarku sendiri. Aku pun akhirnya mengangguk, mengiyakan ajakannya. Aku membalikkan badan dan menghadap temanku yang lain.

"Guys, gue duluan ya," kataku berpamitan yang mendapat anggukan dari Clavin, Nail, dan Raffi.

Lalu, aku mengalihkan tatapan ke arah Pak Keane. Pak Keane ternyata masih berdiri di sampingku. Pantas saja, saat aku mengekori tatapan Levin yang berkilat tajam dan sinis, aku baru menyadari bahwa tatapan itu ditujukan Levin kepada Pak Keane. Levin menatap sinis ke Pak Keane? Untuk apa?

"Erm—Pak Keane, saya pamit pulang dulu," kataku dengan suara pelan, tapi aku yakin Pak Keane masih bisa mendengarnya. Lalu, Pak Keane pun mengangguk.

"Ayo." Segera saja Levin menggenggam tangan kananku, membuatku mau tidak mau mengikuti langkah kaki Levin yang mulai berjalan menjauhi ruang studio. Sebelum aku sempat berbelok, samar-samar aku mendengar Pak Keane berseru pelan.

"Hati-hati."

Itulah kata-kata terakhirnya yang bisa kudengar sebelum diriku benar-benar menghilang dari pandangan mereka. Tapi, lagi-lagi aku tidak tahu untuk alasan apa dibalik senyuman tipis yang kutorehkan di bibirku saat ini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Confusing Letter
970      535     1     
Romance
Confusing Letter
Forgetting You
4107      1496     4     
Romance
Karena kamu hidup bersama kenangan, aku menyerah. Karena kenangan akan selalu tinggal dan di kenang. Kepergian Dio membuat luka yang dalam untuk Arya dan Geran. Tidak ada hal lain yang di tinggalkan Dio selain gadis yang di taksirnya. Rasa bersalah Arya dan Geran terhadap Dio di lampiaskan dengan cara menjaga Audrey, gadis yang di sukai Dio.
5 Years 5 Hours 5 Minutes and 5 Seconds
549      388     0     
Short Story
Seseorang butuh waktu sekian tahun, sekian jam, sekian menit dan sekian detik untuk menyadari kehadiran cinta yang sesungguhnya
Catatan 19 September
26969      3507     6     
Romance
Apa kamu tahu bagaimana definisi siapa mencintai siapa yang sebenarnya? Aku mencintai kamu dan kamu mencintai dia. Kira-kira seperti itulah singkatnya. Aku ingin bercerita sedikit kepadamu tentang bagaimana kita dulu, baiklah, ku harap kamu tetap mau mendengarkan cerita ini sampai akhir tanpa ada bagian yang tertinggal sedikit pun. Teruntuk kamu sosok 19 September ketahuilah bahwa dir...
Ellipsis
2367      988     4     
Romance
Katanya masa-masa indah sekolah ada ketika kita SMA. Tidak berlaku bagi Ara, gadis itu hanya ingin menjalani kehidupan SMAnya dengan biasa-biasa saja. Belajar hingga masuk PTN. Tetapi kemudian dia mulai terusik dengan perlakuan ketus yang terkesan jahat dari Daniel teman satu kelasnya. Mereka tidak pernah terlibat dalam satu masalah, namun pria itu seolah-olah ingin melenyapkan Ara dari pandangan...
Sekotor itukah Aku
411      313     4     
Romance
Dia Zahra Affianisha, Mereka memanggil nya dengan panggilan Zahra. Tak seperti namanya yang memiliki arti yang indah dan sebuah pengharapan, Zahra justru menjadi sebaliknya. Ia adalah gadis yang cantik, dengan tubuh sempurna dan kulit tubuh yang lembut menjadi perpaduan yang selalu membuat iri orang. Bahkan dengan keadaan fisik yang sempurna dan di tambah terlahir dari keluarga yang kaya sert...
Sweet Sound of Love
476      314     2     
Romance
"Itu suaramu?" Budi terbelalak tak percaya. Wia membekap mulutnya tak kalah terkejut. "Kamu mendengarnya? Itu isi hatiku!" "Ya sudah, gak usah lebay." "Hei, siapa yang gak khawatir kalau ada orang yang bisa membaca isi hati?" Wia memanyunkan bibirnya. "Bilang saja kalau kamu juga senang." "Eh kok?" "Barusan aku mendengarnya, ap...
Tembak, Jangan?
263      220     0     
Romance
"Kalau kamu suka sama dia, sudah tembak aja. Aku rela kok asal kamu yang membahagiakan dia." A'an terdiam seribu bahasa. Kalimat yang dia dengar sendiri dari sahabatnya justru terdengar amat menyakitkan baginya. Bagaimana mungkin, dia bisa bahagia di atas leburnya hati orang lain.
Senja Menggila
393      277     0     
Romance
Senja selalu kembali namun tak ada satu orang pun yang mampu melewatkan keindahannya. Dan itu.... seperti Rey yang tidak bisa melewatkan semua tentang Jingga. Dan Mentari yang selalu di benci kehadirannya ternyata bisa menghangatkan di waktu yang tepat.
Innocence
5660      1836     3     
Romance
Cinta selalu punya jalannya sendiri untuk menetap pada hati sebagai rumah terakhirnya. Innocence. Tak ada yang salah dalam cinta.