"Kamu tidak perlu khawatir. Tidak akan ada satu pun orang yang berani ganggu kamu karena saya yang akan menjaga kamu."
Aku berpikir keras. Sampai-sampai kepalaku menjadi keras. Ya iyalah kepala keras, kalau tidak, berarti aku tidak punya tulang tengkorak dong? Asalkan bukan keras kepala aja kali ya.
Kembali lagi ke pikiranku. Kenapa aku terus memikirkan ucapan Pak Keane kemarin? Tapi, kenapa juga aku mikirin ucapan Pak Keane? Ah! Aku tahu. Ini pasti karena aku masih shock dengan kejadian kemarin. Jadi, aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Ya, itu pasti benar.
Tapi, apa Pak Keane tidak memikirkan perasaanku, ya? Kenapa dia mudah sekali berkata seperti itu? Bagaimana kalau aku salah mengartikan ucapannya? Bagaimana kalau aku jadi tersipu setelah mendengar ucapannya itu? Dan kenapa sekarang aku jadi baper begini, sih?
Oh no! no! no! Apa tadi aku bilang? Aku tersipu dengan ucapan Pak Keane? Hell no! Aku sama sekali tidak tersipu dengan ucapannya Pak Keane! Ah, aku tahu. Mungkin saja aku mau PMS. Jadi, aku baperan seperti ini deh. Kalau bukan... mungkin, otakku yang memang sedang bermasalah. Sepertinya aku perlu minta Mbok Narsih untuk menemaniku ke dokter saraf. Atau kalau perlu ke dokter psikolog sekalian? Duh! Memangnya aku sakit jiwa apa?
"Aduh!"
Aku meringis saat mendapati sesuatu menghantam keras dahiku. Kuekori pandanganku dan menemukan Angel tengah tertawa melihatku yang kesakitan. Ah! Ini pasti ulah Angel. Wah! Berani-beraninya gadis itu melemparkan kertas ke dahiku. Meskipun hanya sebuah bola kertas, tapi rasanya lumayan sakit juga kan dilempar dengan kencang seperti itu.
"Angel! Lo ya yang lempar kertas itu? Lo pikir muka gue tempat sampah, ha?" omelku setengah berteriak sambil menunjuk wajahku sendiri.
"Salah sendiri! Kita dari tadi ngomong sampai berbusa-busa, malah dikacangin sama lo. Kita gak lagi jual kacang. Kacang mahal sekarang!" komentar Angel sarkastik. "Lagi, kenapa mata lo jelalatan ngeliatin Pak Keane terus, hm?" goda Angel, menaik-turunkan alisnya.
"Ah? Siapa yang liatin Pak Keane?" tanyaku tak mengerti. Bukannya aku cuma lagi mikirin Pak Keane, ya?
"Mata lo tuh gak bisa bohong Lala!" seru Angel. "Dari semenjak Pak Keane berdiri disana, lo sama sekali gak berpaling atau bahkan mengedipkan mata lo itu."
Aku mengalihkan tatapanku sekilas ke arah Pak Keane yang berada tak jauh dari tempatku berada. Pak Keane terlihat tengah berbicara dengan salah satu muridnya. Ah, bahkan dalam jarak jauh sekalipun, pria itu tetap terlihat tampan. Aku kembali menatap ketiga sahabatku yang masih menampilkan raut wajah penasaran mereka. Ish! Kenapa mereka melihatku seperti itu sih?
"Aduh! Jangan liatin gue kayak gitu dong!" gerutuku yang mulai risih dengan tatapan 'Ada apa antara lo dengan Pak Keane' yang ditunjukkan ketiga sahabatku itu.
"Sumpah deh! Gue gak ngeliatin Pak Keane!" aku tidak bohong, kan? Kenyataannya, aku memang tidak memandang Pak Keane. Aku hanya tidak sengaja memikirkannya saja.
"Gue gak ngeliatin Pak Keane. Lagian, gue cuma lagi miki...." aku menutup mulutku saat hampir saja keceplosan berbicara yang sebenarnya. Aduh! Hampir saja aku mau bilang lagi mikiran Pak Keane. Itu sama saja aku cari mati!
"Gue cuma lagi apa, La?" tanya Susan mengulang ucapanku tadi.
"Erm—anu—gue—" kataku gelagapan. Bagaimana ini? Aku harus mencari alasan apa yang harus kukatakan supaya mereka tidak bertanya-tanya lagi kepadaku.
"Ah! Gue tahu! Jangan-jangan... lo naksir ya sama Pak Keane?" goda Gladys.
"Ah! Apaan sih! Ya, gak mungkin lah!" sergahku cepat, terlalu cepat malah.
"Tuh..tuh..tuh..kan, pipi lo aja udah kayak tomat busuk yang lagi direbus." kata Gladys menimpali. Aku spontan memegang kedua pipiku yang tidak tahu apa memang sudah seperti tomat rebus atau tidak.
"Aduh! Kalian apaan sih!" Kenapa mereka suka sekali sih menggodaku? "Tadi kalian nuduh gue ngeliatin Pak Keane. Sekarang, kalian malah nuduh gue suka sama Pak Keane? Yah gak mungkin lah! Dia guru, sedangkan gue muridnya. It's impossible! So, kalian gak usah pikir yang aneh-aneh deh! Lagipula, daripada ngurusin guru itu, mendingan gue mikirin my Levin!!"
"Ya, ya, ya. Lala, the most lucky girl! Gak dapat Pak Keane, si guru tampan berkharisma tinggi, masih ada cadangan mendapatkan hatinya Levin, si pangeran sekolah." seru Angel.
"Ah—coba kalau Pak Keane itu bukan guru gue. Udah gue samber deh tuh cowok! Gue yakin nih ya, umurnya Pak Keane itu gak terlalu jauh sama umur kita. Ya, sekitar dua puluh empat sampai dua puluh tujuh-an lah. Cuma beda tujuh atau delapan tahun masih normal kan? Hm..kira-kira Pak Keane mau gak ya kalau pacaran sama gue?" celetuk Gladys yang justru mendapat teloyoran dari kami bertiga.
"YE!! Itu sih mau lo Dys. Gue juga mau kali sama si Handsome Teacher." kata Angel menimpali.
"Ckck. Dasar Jojoris." seruku.
"Apa itu?" tanya Angel.
"Jomblo-jomblo miris." gurauku yang segera mendapat cubitan dari kedua sahabatku itu. Susan pun hanya diam, tidak berniat menolongku. Uh, Susan! Kau tidak setia kawan sekali sih!
***
"Lala!"
Aku yang hendak masuk ke kelas, membalikkan kembali tubuhku saat seseorang memanggilku. Dari kejauhan, terlihat Clavin tengah berjalan menghampiriku. Aduh! Mau apa lagi sih nih cowok!
Kutatap Clavin tanpa minat. "Ada apa Clavin? Lo lagi dikejar-kejar tuyul, ya? Atau lo lagi dikejar-kejar Bi Mirna karena selalu ngutang mie ayamnya terus? Oh! Atau mungkin, lo lagi diteror sama penggemar gue gara-gara lo selalu ngejekin gue dengan bilang gue mirip si itik buruk rupa, padahal jelas-jelas gue adalah titisan dari dewi Athena. Jadi, lo dapet masalah yang kayak gimana, hm?" celetukku tanpa berhenti yang hanya dibalas helaan napas oleh Clavin.
"Tega banget si lo doain gue kayak gitu," protes Clavin tak terima. "Lagipula, gue kan belum ngomong apa-apa."
Aku menghela napas bosan. "Ada tiga hal yang biasanya lo mau kalo lo ngomong sama gue. Pertama, ngingetin gue buat latihan band. Kedua, minta tolong ke gue buat bayarin makanan lo. Dan ketiga, bikin gue naik darah karena ejekan gak bermutu lo itu. So, karena gue udah berpengalaman dengan sebelumnya, kali ini gue gak akan masuk ke dalam jebakan lo lagi. Do you understand, tuan Clavin Thomas Klein?"
"Udah selesai ngomongnya?" tanya Clavin sarkastik.
Ah?
"Pokoknya denger ya, Clavin! Kalau lo bicara sama gue cuma mau minta bantuan gue buat menyelamatkan lo dari masalah-masalah itu, sorry sorry to say, ya. Gue. Gak. Akan. Mau. So, sebaiknya lo minta bantuan sama yang—" sebelum aku menyelesaikan ucapanku, tiba-tiba saja Clavin menepuk kedua pipiku, lalu menekannya ke dalam sehingga membuat kedua bibirku maju ke depan seperti seekor ikan cupang.
"Stop!" sergah Clavin cepat. "Sebelum bibir lo bergerak lagi kayak kereta yang gak punya tempat pemberhentian, biarin gue buat ngomong sebentar." aku memelotokan mata ingin memprotes.
"Sekarang gue bakal lepasin pipi lo, tapi janji lo bakal diem dan dengerin gue. Fine?"
Mau tidak mau aku pun menganggukan kepala dan menyetujui permintaan Clavin. Sesuai janjinya, Clavin membebaskan tangannya dari kedua pipiku.
"Aduh! Lo udah melunturkan 0,5 persen kecantikan gue tau!" aku memegang kedua pipiku yang terasa pegal.
"Tenang aja. Lo bakal tetep cantik sekalipun bibir lo nantinya monyong," gurau Clavin.
"Itu pujian atau hinaan?"
"Percaya atau enggak, itu pujian."spontan saja aku merona mendengar gurauan Clavin. Tidak biasanya cowok itu memujiku, kan? Yah, meskipun hanya gurauan.
"Oh iya! Tuh kan gue hampir aja lupa tujuan gue kesini. Gue mau kasih kabar gembira nih buat lo."
Aku mengangkat sebelah alisku. "Kabar gembira?"
"Yap! The biggest great news!" seru Clavin penuh penekanan.
"Apa-apa?" tanyaku penasaran.
"Pasang telinga lo baik-baik dan dengerin setiap perkataan yang gue omongin. Okay?" seru Clavin sok rahasia. Sekali lagi, aku pun hanya mengangguk.
"Jadi, band sekolah kita, Andromeda..."
"Iya?"
"Band kita, Andromeda.."
"Iya, kenapa?"tanyaku semakin penasaran.
"Band kita, Andromeda.."
"Hmm?"
"Band kita, Andromeda..."
"Aduh! Stop! Stop!" sergahku mulai tak sabar. "Clavin! lo sebenernya mau kasih tahu gue apa sih?! Dari tadi cuma bilang band kita, Andromeda. Band kita, Andromeda. Gue juga tahu kali band kita namanya Andromeda. Intinya lo mau bilang apa, ha?" Baru saja Clavin tadi memujiku, sekarang dia mulai membuatku marah lagi.
"Oke, oke, sorry. Gue terlalu excited ternyata!" kata Clavin sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Jadi begini, band kita Andromeda berhasil masuk jadi salah satu finalis lomba band tingkat nasional di acara Rock Mountain tahun ini!!!"
"Apa?! Rock Mountain?! Rock Mountain, kompetisi band terbesar itu?!" teriakku bersemangat. Clavin mengangguk-anggukan kepalanya senang.
"AAAAA!!! Band kita masuk Rock Mountain? Rock Mountain, Clavin!! Gue seneng banget!!" refleks aku memeluk Clavin yang berdiri di depanku.
"Mhmmm...." Clavin pura-pura berdeham, membuatku kembali tersadar dengan posisiku sekarang yang sedang memeluk Clavin. Buru-buru aku menjauhkan diri dari Clavin dan berdiri dengan canggung.
"Mhmm.. By the way, kompetisinya kapan? "tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.
Clavin tersenyum geli melihatku yang salah tingkah.
"Seminggu setelah kita ujian nasional. Jadi, kita masih punya banyak waktu buat latihan. Terus, kita juga enggak perlu khawatir latihan kita bakal ganggu persiapan buat ujian nanti."
"Nah! Kalau gitu, setiap sore sehabis pulang sekolah, kita rutin latihan! Gimana?" kataku bersemangat. Di otakku sudah berputar-putar jadwal latihan rutin yang akan kubuat untuk persiapan lomba.
"Hm... boleh. Ide bagus tuh! Biar persiapan band kita juga bisa lebih siap. Kalau gitu, gue bakal kasih tahu anak-anak yang lain." balas Calvin setuju.
"Sipp!!" aku pun mengacungkan jari jempolku.
Aku semakin tidak sabar menunggu hari itu tiba. Saat dimana Andromeda akan bersinar di panggung Rock Mountain. Bagaimana pun aku harus memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.
Karena disanalah, aku bisa membuktikan ke semua orang bahwa aku memanglah penyanyi berbakat dan semua mata akan tertuju hanya kepadaku. Dan, hanya akulah yang akan menjadi pusat dunia tahun ini.