Read More >>"> Sanguine (Bab 7) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sanguine
MENU
About Us  

"Guys! Sorry sorry gue telat!" seruku saat membuka pintu ruang studio. Aku masih berdiri di ambang pintu dengan napas yang masih terengah-engah. Berusaha mengatur kembali detak jantungku yang berdegup cepat sehabis berlari.

"Ah ini dia! Akhirnya datang juga. Lo kemana aja, La? Beruntung lo La. Kalau lima menit lagi lo gak muncul juga, kita udah siap-siap beresin peralatan nih," kata Nail, cowok berambut cepak yang duduk di bagian pemain drum.

"Gue kira lo udah ketelen lumpur hidup di tengah jalan." aku memutar bola mata saat Clavin bersuara. "Siapa ya yang kemarin semangat banget ngomong, setiap sore sehabis pulang sekolah, kita rutin latihan band, yuk." komentar Clavin sarkastik sambil menirukan gaya bicaraku kemarin. Nih anak aku baru datang sudah mengajak berantem saja!

"Iya, gue tahu, gue salah. Gue lupa kalau mulai hari ini kita akan latihan rutin setiap sore. Padahal gue sendiri yang mengusulkan." kataku sungguh-sungguh menyesal. "Untung aja tadi Susan ngingetin gue."

"La, La, La. Temen lo aja inget kalau lo ada latihan. Kayaknya Susan cocok tuh jadi asisten lo. Biar lo enggak lupa terus."

"Berisik lo!" aku mendengus sebal ke arah Clavin. Kalau sekarang aku hanya berdua saja dengan Clavin disini, aku pasti sudah menjambak rambut landak Clavin itu sampai cowok itu botak sekalian.

Okay. Aku mengakui kalau aku memang salah. Tidak seharusnya aku lupa tentang latihan rutin yang telah kurencanakan itu. Tapi, aku kan hanya lupa. Aku juga tidak sengaja untuk melupakannya. Lupa itu sifat alamiah manusia. Jadi, aku tidak sepenuhnya bersalah, kan?

"Udah, udah. Jadi pada ribut begini sih." seru Raffi, si pemain bass menengahi.

"Lagipula, kalian gak malu apa berantem di depan guru?" aku menatap Raffi heran. Apa maksudnya? Jadi, selain mereka berempat ada orang lain juga disana?

Lalu, tatapanku tak sengaja menemukan sosok lain yang dimaksud oleh Raffi. Kuperhatikan pria itu juga memandangku sambil tersenyum. Ya Tuhan! Kenapa dia ada dimana-mana sih?

"Pak Keane," gumamku pelan. "Sejak kapan bapak ada disini?" Okay. Mungkin, ini sedikit kurang sopan, tapi aku benar-benar penasaran. Ini bukan pelajaran tambahan untuk kelas musik, kan?

"Mmm.." gumam Pak Keane pura-pura berpikir. "Sebelum kamu datang dan ngomel-ngomel di depan pintu, maybe."

Aku tersenyum keki menanggapi sindiran Pak Keane. "Maaf, pak. Saya tidak tahu kalau Pak Keane ada disini. Kalau tahu, saya tidak akan teriak-teriak di depan bapak. Sekali lagi, saya minta maaf."

Aku memelototi Clavin yang sepertinya memang sengaja menyulut emosiku dan membuatku malu di depan Pak Keane. Clavin pun hanya menyengir tanpa dosa dan mengangkat bahu nampak tidak terlalu peduli dengan tatapan garang dariku. Awas aja lo, Vin!

"Kamu kayaknya suka sekali minta maaf, ya." komentar Pak Keane sambil terkekeh.

"Tapi, kenapa Pak Keane ada disini?"

"Jadi begini, La. Sebelumnya kan Pak Salim yang bertugas untuk mengawasi band kita. Nah, berhubung Pak Salim udah enggak ngajar lagi disini dan kebetulan Pak Keane yang gantiin beliau, jadi sekarang tugasnya Pak Salim diambil alih sama Pak Keane. Intinya, Pak Keane yang jadi mentor kita sekarang," jelas Nail memberi informasi.

"Oh," gumamku singkat. Jujur, aku sedikit kaget mengetahui informasi itu. Pertama, pria itu menjadi guru musiknya yang baru. Dan sekarang, dia menjadi mentor baru untuk bandnya. Lalu, apa lagi yang bisa dilakukan olehnya?

"Okay, kids! Nampaknya hari sudah semakin gelap. Bagaimana kalau kita mulai saja latihannya? C'mon cop! cop! copy!"

Setelah mendapat aba-aba dari Pak Keane, kami pun mempersiapkan kembali peralatan band. Mulai dari memasang mic, mengatur sound, menyetem senar hingga memeriksa kabelnya.

"Ah! Berhubung kalian akan tampil di acara besar, saya pikir kalian perlu sesuatu yang baru. Karena itu saya sudah menyiapkan beberapa list lagu yang mungkin bisa kalian bawakan di acara tersebut."

"Wah, kita kayaknya enggak salah nih milih Pak Keane buat jadi mentor baru kita," kata Nail.

"Gue setuju! Baru hari pertama aja Pak Keane udah nyiapin list-list lagu baru. Kita aja belum ngapa-ngapain. Pak Keane memang the best deh!" seru Raffi sependapat.

Pak Keane tertawa menanggapi pujian dari murid-muridnya itu. "Kalian ini ya. Bisa saja membuat saya terbang di hari pertama. Asalkan jangan dijatuhin lagi aja." Mereka semua secara serempak tertawa.

"Tapi, kayaknya aneh ya kalau dua orang cowok memuji cowok lainnya. Ah, Lala kamu tidak mau memuji saya juga?"

Aku yang merasa namaku dibawa-bawa, spontan menengok ke arah Pak Keane. "Erm-gak usah, Pak. Cukup mereka aja," kataku gugup.

"Okay. Sebelum kalian mulai latihan. Coba pelajari dulu lagunya." Pak Keane membagikan selembar kertas yang berisikan lirik lagu beserta kuncinya.

Aku pun meraihnya. Aku membaca dengan seksama lirik lagu yang ada di kertas itu. "Somewhere only we know, by Keane?" gumamku saat selesai membaca dan mengetahui bahwa lagu yang akan kunyanyikan adalah salah satu lagu favoritku.

Pak Keane menolehkan kepalanya. "Mmm.. sebelumnya saya ingin menjelaskan sesuatu terlebih dahulu. Kalian jangan berpikir saya memilih lagu ini karena namanya sama dengan saya, ya. Yah meskipun itu tidak disengaja. Tapi, saya memang memilih lagu ini untuk kalian karena lagunya benar-benar bagus. Dan, saya pikir lagu ini cocok dengan gaya suaranya Lala," jelasnya membela diri.

Pak Keane bicara apa sih? Aku tidak mengeri. Ah! Apa Pak Keane mengira kalau aku kaget karena nama band itu sama dengan namanya. Padahal, aku tidak menyadari kalau nama mereka memang sama. "Bukan begitu, Pak. Ini salah satu band favorit saya."

Sekilas kulihat Pak Keane terkejut, tapi segera saja disamarkannya. Pak Keane pun menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tunggu. Apa Pak Keane malu? Pak Keane berdeham sekali, berusaha mengembalikan suaranya. "Oh begitu," katanya kemudian. "Jadi, band ini salah satu musisi favorit kamu?"

"Iya, Pak. Saya suka banget sama mereka. Bapak juga suka?" tanyaku antusias.

"Iya mereka musisi favorit saya juga," jawabnya. "Wah! Saya tidak menyangka gadis seperti kamu punya selera musik yang berbeda. Biasanya gadis seusia kamu sukanya lagu-lagu romantis atau mellow yang bisa bikin nangis seember itu."

Aku pun terkekeh mendengarnya. "Jangan salah, Pak. Gini-gini saya penggemar beratnya Sum 41, Muse, sama Incubus," kataku bangga.

"Whoaa!! Hebat juga! Tapi, lagu-lagunya memang bagus, kan? Saya bahkan mengoleksi semua albumnya Kean."

Aku membulatkan mulutku. Wah! Aku tidak menyangka. Masih ada juga fans fanatik Kean selain diriku. "Semua? Under the Iron Sea juga punya, Pak? "tanyaku penasaran. Pak Keane pun mengangguk. "Wah keren! Dulu saya mau beli album yang ada tanda-tangan para personil bandnya, tapi udah kehabisan duluan ternyata. Limited edition, sih."

"Kalau kamu mau, saya bisa meminjamkan albumnya," kata Pak Keane. Aku spontan terlonjak senang, menatap Pak Keane dengan berbinar-binar.

"Serius, Pak?"

"Dengan senang hati."

"Mhhmmm!"

Dehaman keras dari Clavin membuatku dan Pak Keane menghentikan pembicaraan kami, lalu menolehkan kepala secara bersamaan untuk menatapnya. Saat aku menatapnya, terlihat jelas dari raut wajahnya yang menunjukkan kekesalan dan ketidaksukaan. Ada apa dengan cowok itu?

"Maaf Pak, bukan bermaksud mengganggu," kata Clavin memulai. "Tapi..seperti yang bapak bilang tadi, kalau hari sudah semakin gelap. Jadi, apa kita bisa mulai latihannya sekarang atau tidak?" Aku dan Pak Keane seperti kembali tersadar dengan keadaan di sekitar. Aku ingat kalau kami masih berada di ruang studio untuk latihan.

Karena pembicaraan seru kami tadi, aku jadi lupa kalau di ruangan ini tidak hanya ada kami berdua saja, tapi Clavin, Nail, dan Raffi juga masih berada disana sedang menatap kami berdua. Astaga! Sebegitu serunya kah berbicara dengan Pak Keane sampai kamu melupakan teman-temanmu sendiri, La?

"Ah ya! Maaf. Kalau begitu, ayo kita mulai saja latihannya!" buru-buru Pak Keane kembali memandu latihan. "Erm— kalian bertiga coba check sound dulu. Hafalkan kuncinya juga dan coba saling dipadukan. Nah, kamu Lala. Kamu latihan vokal sebentar dengan saya."

Aku menunjuk diriku sendiri saat Pak Keane memberi intruksi kalau aku harus latihan vokal berdua dengannya. Seperti masih mencerna kata-kata Pak Keane, aku pun hanya mengangguk lalu mengikuti Pak Keane yang sudah duduk manis di sofa.

Clavin, Nail, dan Raffi sudah sibuk dengan dunia mereka. Mereka bertiga mulai menghafal kunci not lagu tersebut sambil sesekali memadukannya secara bersamaan. Sementara aku sendiri, tentunya masih sibuk dengan duniaku bersama dengan Pak Keane.

Apa aku sudah bilang kalau aku sama sekali tidak bisa fokus sekarang? Bagaimana aku bisa fokus kalau saat ini ada seorang malaikat rupawan dengan mata zamrud yang indah tengah duduk di sampingku.

Kulit pucat yang bersih. Tulang pipi yang tirus. Rahang yang begitu tegas dan maskulin. Bibir tipis yang berwarna pink alami menggoda. Dagu seksi yang ditumbuhi oleh rambut-rambut kasar yang membuatku sangat ingin menyentuhnya. Dan ini yang menjadi favoritku. Mata coklat zamrud cemerlang yang ternyata sangat tajam kalau dilihat sedekat ini. Meskipun begitu, aura hangat dan nyaman yang dipancarkan dari kedua bola matanya tak pernah luput sedikitpun dari penglihatanku.

Oh... ia begitu sempurna.

"Kamu paham kan, Lala?"

"Ah? Apa?" tanyaku bingung.

Saat aku menengok ke samping, Deg! Aku merasakan bahwa semua oksigen yang ada di dalam ruangan ini tiba-tiba menghilang. Membuatku sulit untuk bernapas dengan normal. Jantungku pun sepertinya ingin mencuat keluar dari tempatnya sekarang juga. Dewi batinku bahkan sekarang tengah melompat-lompat seperti kancil sambil bersalto ria. Ini semua karena ulah pria itu. Pria yang kini sedang duduk di sampingku. Siapa lagi kalau bukan dia. Pak Keane.

Coba kau bayangkan, bagaimana bisa aku bersikap normal jika wajahku dan wajahnya berada dalam jarak sedekat ini? Hanya tinggal beberapa senti saja. Lagipula, sejak kapan wajah kami menjadi sedekat ini?

Perasaanku semakin menjadi tidak karuan tatkala kedua mata zamrud milik Pak Keane menatapku dengan tajam. Tajam dalam artian positif. Maksudku, tatapannya begitu dalam dan... intens? Entahlah. Aku sendiri tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya yang benar. Terlalu abstrak. Terlalu beragam. Oh! Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi denganku sekarang. Kenapa aku begitu terobsesi dengan matanya?

"Apa kamu paham, Lala?"

Suara berat Pak Keane kembali menyadarkan otak sehatku untuk segera berpaling dari siksaan indah yang dipancarkan dari mata pria itu. Aku yakin kalau pipiku saat ini sudah mendidih tak karuan. Sial! Semoga saja Pak Keane tidak menyadari warna merah di pipiku ini! Aku pun menghirup oksigen dalam-dalam.

"Erm—ya, saya paham."

"Oke, kalau begitu, kita coba sekarang."

Setelah pemanasan dengan Pak Keane, dimana benar-benar membuatku panas tadi, aku pun akhirnya bisa memiliki sedikit space dengan Pak Keane. Paling tidak, kami berdua sama-sama akan sibuk dengan latihannya dan melupakan kejadian tadi. Mungkin, bagi diriku sendiri.

Tidak terasa tiga jam sudah latihan berlangsung. Kini, kami mulai merapihkan kembali peralatan bandnya. Selesai merapihkan, kami pun bersiap untuk pulang karena jam pun sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ah, waktu terasa cepat berlalu, bukan?

"Lala, kamu pulang sendiri?" tanya Pak Keane saat keluar dari ruang studio, diikuti oleh yang lainnya.

"Ehm—saya..."

"Lala!"

Sebelum aku selesai bicara, suara berat yang lain memotong ucapanku terlebih dahulu. Aku menengok ke sumber suara dan menemukan sosok Levin tengah berjalan santai menghampiri kami, lebih tepatnya ke arahku, dengan senyuman lebarnya itu. Seharusnya aku merasa senang dengan kehadiran Levin, tapi entah mengapa, aku tidak terlalu mengharapkan kehadiran Levin sekarang.

"Levin? Kenapa kamu bisa ada disini? Erm—maksudku, aku kira kamu udah pulang," tanyaku yang berusaha menyembunyikan kekagetanku.

"Tadinya sih begitu. Tapi, aku gak tega kalau pacarku ini pulang sendirian. Jadi, aku mutusin buat jemput kamu aja," jawab Levin.

"Oh." Aku tersenyum kaku ke arah Levin.

"Kita pulang sekarang?" tanya Levin.

"Ah, iya."

Aku tidak punya pilihan lain. Akan terlihat aneh kalau aku menolak untuk pulang bersama Levin yang jelas-jelas pacarku sendiri. Aku pun akhirnya mengangguk, mengiyakan ajakannya. Aku membalikkan badan dan menghadap temanku yang lain.

"Guys, gue duluan ya," kataku berpamitan yang mendapat anggukan dari Clavin, Nail, dan Raffi.

Lalu, aku mengalihkan tatapan ke arah Pak Keane. Pak Keane ternyata masih berdiri di sampingku. Pantas saja, saat aku mengekori tatapan Levin yang berkilat tajam dan sinis, aku baru menyadari bahwa tatapan itu ditujukan Levin kepada Pak Keane. Levin menatap sinis ke Pak Keane? Untuk apa?

"Erm—Pak Keane, saya pamit pulang dulu," kataku dengan suara pelan, tapi aku yakin Pak Keane masih bisa mendengarnya. Lalu, Pak Keane pun mengangguk.

"Ayo." Segera saja Levin menggenggam tangan kananku, membuatku mau tidak mau mengikuti langkah kaki Levin yang mulai berjalan menjauhi ruang studio. Sebelum aku sempat berbelok, samar-samar aku mendengar Pak Keane berseru pelan.

"Hati-hati."

Itulah kata-kata terakhirnya yang bisa kudengar sebelum diriku benar-benar menghilang dari pandangan mereka. Tapi, lagi-lagi aku tidak tahu untuk alasan apa dibalik senyuman tipis yang kutorehkan di bibirku saat ini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
My Secret Wedding
1302      562     2     
Romance
Pernikahan yang berakhir bahagia adalah impian semua orang. Tetapi kali ini berbeda dengan pernikahan Nanda dan Endi. Nanda, gadis berusia 18 tahun, baru saja menyelesaikan sekolah menengah atasnya. Sedangkan Endi, mahasiswa angkatan terakhir yang tak kunjung lulus karena jurusan yang ia tempuh tidak sesuai dengan nuraninya. Kedua nya sepakat memutuskan menikah sesuai perjodohan orang tua. Masin...
Beloved Symphony | Excetra
880      402     0     
Romance
Lautan melintang tiada tuturkan kerasnya karang menghadang.
AMORE KARAOKE
17024      2631     7     
Romance
Dengan sangat berat hati, Devon harus mendirikan kembali usaha karaoke warisan kakeknya bersama cewek barbar itu. Menatap cewek itu saja sangat menyakitkan, bagaimana bila berdekatan selayaknya partner kerja? Dengan sangat terpaksa, Mora rela membuka usaha dengan cowok itu. Menatapnya mata sipit saja sangat mengerikan seolah ingin menerkamnya hidup-hidup, bagaimana dia bisa bertahan mempunyai ...
Coklat untuk Amel
186      161     1     
Short Story
Amel sedang uring-uringan karena sang kekasih tidak ada kabar. HIngga sebuah surat datang dan membuat mereka bertemu
Aria's Faraway Neverland
3123      979     4     
Fantasy
"Manusia adalah Tuhan bagi dunia mereka sendiri." Aria adalah gadis penyendiri berumur 7 tahun. Dia selalu percaya bahwa dia telah dikutuk dengan kutukan ketidakbahagiaan, karena dia merasa tidak bahagia sama sekali selama 7 tahun ini. Dia tinggal bersama kedua orangtua tirinya dan kakak kandungnya. Namun, dia hanya menyayangi kakak kandungnya saja. Aria selalu menjaga kakaknya karen...
Rumah Arwah
992      527     5     
Short Story
Sejak pulang dari rumah sakit akibat kecelakaan, aku merasa rumah ini penuh teror. Kecelakaan mobil yang aku alami sepertinya tidak beres dan menyisakan misteri. Apalagi, luka-luka di tubuhku bertambah setiap bangun tidur. Lalu, siapa sosok perempuan mengerikan di kamarku?
LEAD TO YOU
18003      1916     16     
Romance
Al Ghazali Devran adalah seorang pengusaha tampan yang tidak mengira hidupnya akan berubah setelah seorang gadis bernama Gadis Ayu Khumaira hadir dalam hidupnya. Alghaz berhasil membuat Gadis menjadi istrinya walau ia sendiri belum yakin kalau ia mencintai gadis itu. Perasaan ingin melindungi mendorongnya untuk menikahi Gadis.
SiadianDela
7596      2076     1     
Romance
Kebahagiaan hanya bisa dicapai ketika kita menikmatinya bersama orang yang kita sayangi. Karena hampir tak ada orang yang bisa bahagia, jika dia tinggal sendiri, tak ada yang membutuhkannya, tak ada orang yang ingin dia tolong, dan mungkin tak ada yang menyadari keberadaanya. Sama halnya dengan Dela, keinginan bunuh diri yang secara tidak sadar menjalar dikepalanya ketika iya merasa sudah tidak d...
AKSARA
4328      1705     3     
Romance
"Aksa, hidupmu masih panjang. Jangan terpaku pada duka yang menyakitkan. Tetaplah melangkah meski itu sulit. Tetaplah menjadi Aksa yang begitu aku cintai. Meski tempat kita nanti berbeda, aku tetap mencintai dan berdoa untukmu. Jangan bersedih, Aksa, ingatlah cintaku di atas sana tak akan pernah habis untukmu. Sebab, kamu adalah seseorang yang pertama dan terakhir yang menduduki singgasana hatiku...
Cinta Dalam Diam
693      451     1     
Short Story
Kututup buku bersampul ungu itu dan meletakkannya kembali dalam barisan buku-buku lain yang semua isinya adalah tentang dia. Iya dia, mungkin sebagian orang berpendapat bahwa mengagumi seseorang itu wajar. Ya sangat wajar, apa lagi jika orang tersebut bisa memotivasi kita untuk lebih baik.