Kuhentak-hentakkan kakiku ke tanah dengan kesal. Kalau kesabaranku sudah hilang, mungkin ponselku sudah hancur berkeping-keping di atas tanah dari tadi. Berhubung aku masih menyayangi ponselku ini, tentu saja kuurungkan niatku itu.
Sebelum aku berniat memutuskan sambungan telepon, tiba-tiba suara 'Halo' dari sebrang telepon pun terdengar. Tanpa alih-alih apapun aku segera membalasnya.
"Mang Ujang! Lama banget sih angkat teleponnya! Mang Ujang lagi dimana, sih? Kenapa belum jemput aku?! Mang Ujang tahu ini udah jam berapa? Aku udah nunggu hampir satu jam di depan gerbang! Dan seharusnya Mang Ujang udah jemput aku dari sejam yang lalu! Lihat! Muka dan kulitku aja udah memerah kayak kepiting rebus begini!"cerocosku panjang kali lebar yang tidak membiarkan Mang Ujang berbicara sama sekali.
Dari sebrang telepon, Mang Ujang hanya menghela napas berat, pasrah dimarahi olehku. Lalu, Mang Ujang menjauhkan ponsel dari telinganya. Dia bersiap-siap karena setelah ini suara teriakan akan terdengar dari speaker ponselnya. "Aduh! Non Lala, maaf. Anu- kayaknya saya gak bisa jemput Non deh."
"APA?!" teriakku membahana, yang untungnya sudah diantisipasi oleh Mang Ujang sebelum kedua telinganya mendadak tuli dan harus diperiksa ke rumah sakit.
" Anu, non.. Itu-nya.."
"Anu nya kenapa, Mang?"
"Eh, anu saya baik-baik aja kok, Non. Itu, ban mobilnya bocor. Jadi, saya harus ke bengkel terdekat dulu untuk menggantinya," jawab Mang Ujang pada akhirnya.
"Bocor? Oh!" aku menggapai-gapai udara, menahan emosi. "Kok bisa bocor sih? Terus, lama gak perbaikannya?"
"Mang Ujang kurang tahu si Non. Tapi, kayaknya ada yang sengaja nyebarin paku di jalanan. Mungkin kerjaan orang iseng. Jadi, semua bannya kempes dan harus diganti. Kemungkinan butuh waktu dua jam lebih. Belum lagi bengkelnya lumayan jauh dari sekolahnya Non Lala."
Aduh! Kenapa bisa kena paku sih? Emang ya tuh orang iseng kurang kerjaan banget sih! Nyusahin aku aja!
"Terus, aku pulang naik apa?"
Tentu saja aku bingung. Kalau Mang Ujang tidak bisa menjemputku, terus bagaimana caranya aku bisa pulang ke rumah? Apa aku harus telepon papa untuk minta dijemput? Ah, jangan deh. Papa pasti masih sibuk di kantor. Aku tidak ingin mengganggu papa yang sedang bekerja. Terus aku pulang naik apa dong?
"Naik taksi aja ya, Non," kata Mang Ujang yang sepertinya bisa membaca pikiranku.
"Ah! Yaudah deh! Mang Ujang benerin dulu tuh mobilnya!" aku pun memutuskan sambungan telepon.
"Huh! Kenapa sih disaat aku kesusahan kayak begini gak ada satu pun orang yang bisa dimintain bantuan! Angel sama Gladys udah pulang duluan. Susan pake segala gak masuk lagi. Levin juga nih! Kalau dia gak ngebatalin janjinya, aku kan gak perlu susah-susah minta Mang Ujang buat jemput aku! Aaaa!! Semuanya nyebelin!!!"
Terus-menerus kurapalkan mantra keluhanku tanpa memperdulikan orang-orang yang berlalu lalang di depanku, menatapku dengan pandangan aneh. Apa sih lihat-lihat? Belum pernah melihat orang cantik panas-panasan di siang bolong, ya? Huh!
Tiga puluh menit sudah berlalu. Tapi, sampai saat ini belum ada satu pun taksi yang menampakkan dirinya dihadapanku. Kenapa tidak ada satu pun taksi yang lewat sih? Kakiku sudah pegal semua. Tenggorokanku juga sudah kering. Aku haus dan lapar. Kalau begini, aku bisa pingsan disini karena dehidrasi.
Dari dalam gerbang Pak Mukhlis keluar dan berjalan menghampiriku. "Permisi, neng Lala ko belum pulang?" tanya Pak Mukhlis.
"Lagi nunggu taksi, Pak," jawabku.
"Loh, gak dianter sama mas Levin? Biasanya kan suka pulang bareng."
"Enggak, pak. Levin udah pulang duluan tadi. Ada urusan."
Pak Mukhlis hanya ber oh ria. "Eh, tadi neng Lala katanya lagi nunggu taksi, ya?" Aku pun mengangguk, mengiyakan.
"Wah! Kalau neng Lala nunggu sampai malam pun gak bakal ada. Disekitar sini emang jarang ada taksi. Anak-anak disini kan kebanyakan pada bawa kendaraan sendiri atau dianter-jemput sama supirnya."
"Serius, pak?"
"Iya neng."
"Terus nasib saya gimana, Pak? Kalau gak ada taksi, saya gak bisa pulang dong." Oh! Kenapa hari ini aku sial banget sih!
"Kalau neng Lala mau, di ujung jalan sana ada halte bus. Dari situ, neng Lala bisa naik bus umum.Tinggal jalan lima menit udah sampe ko," tawar Pak Mukhlis yang justru memunculkan ekspresi shock di wajahku.
"BUS?!" seruku tak percaya.
Aduh! Bagaimana aku bisa pulang dengan naik bus? Aku sama sekali belum pernah naik kendaraan umum sebelumnya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara membayar ongkosnya. Bayarnya tunai atau credit card? Ah! Aku jadi pusing sendiri! Tapi, kalau pun aku menunggu sampai Mang Ujang datang pasti lama sekali. Aku bisa beneran pingsan kalau begitu. Aku tidak ada pilihan lain lagi selain naik bus.
Ya Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?!
***
Double sial!
Kenapa pula aku harus naik bus yang penuh seperti ini? Aku jadi tidak mendapat tempat duduk. Sebenarnya busnya lumayan sepi tadi, tapi saat ingin masuk langkahku sudah didahului oleh sekumpulan anak smp titisan cabe-cabean dengan seragam sekolah yang bisa kutebak ukurannya mungkin xxxxs. Gak ada yang lebih kecil lagi, neng?
Untung saja mereka bukan siswa dari sekolahku. Kalau iya, mau taruh dimana mukaku kalau aku memakai seragam yang sama dengan mereka. Bisa-bisa aku disangka salah satu dari anggota genk mereka lagi. Iuhhh bangettt!!
Sebenarnya penderitaanku bukan hanya sampai disitu saja. Ada satu hal lagi yang dari tadi membuatku sangat risih. Seorang pria yang berdiri di belakangku terus saja menempelkan tubuhnya ke arahku. Padahal, aku selalu berusaha menjaga jarak dengannya. Tapi, semakin aku menjauh pria itu malah semakin berani mendekatiku. Aku kan jadi takut.
Bagaimana kalau dia memang ingin berniat buruk sama aku? Apa dia berniat melakukan pelecehan seksual kepadaku? Aku sering melihat berita di tv tentang maraknya pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum iseng kepada penumpang wanita di kendaraan umum. Apa aku yang akan menjadi korbannya sekarang?
Ya Tuhan! Aku sangat ketakutan sampai-sampai ingin menangis. Aku tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa. Padahal, di bus ini banyak orang. Tapi, aku juga tidak tahu apakah mereka akan bersedia menolongku atau malah mengabaikanku.
Papa, Lala takut! Ya Tuhan, lindungilah aku! Aku mohon, lindungilah aku! Aku pun hanya bisa memejamkan mataku, terus merapalkan doa agar terselamatkan dari bahaya ini.
"Permisi! Permisi! Permisi!"
Terdengar suara pria lain di belakangku. Oh! Kenapa malah muncul satu setan mesum lagi sih?! Belum aku berhasil mengusir pria itu, ternyata dia malah membawa satu temannya yang lain. Rasa takutku pun semakin besar. Kukuatkan genggaman tanganku yang sedang memeluk tas ranselku sampai jari-jariku memutih.
Papa tolong aku! Hush! Hush! Setan mesum, setan mesum pergilah! Datanglah di lain waktu!
"Kamu ngapain merem-merem kayak gitu? Nanti kalau bus nya kelewatan bisa repot kamu." Lagi-lagi teman pria asing itu bersuara. Dia lagi ngomong sama siapa sih? Sama aku? Atau temennya? tanyaku dalam hati. Tapi... sepertinya aku kenal dengan suaranya. Atau paling tidak, aku pernah mendengar suara itu di suatu tempat. Tapi, suara siapa ya?
Aku pun mencoba membuka kedua mataku. Dengan masih takut, aku memberanikan diri untuk menegok ke belakang. Saat kulihat siapa yang sedang berdiri di belakangku, ternyata dia adalah si pemilik bola mata indah itu. Ah, maksudku guru musikku yang baru.
"Pak Keane!" seruku menyuarakan rasa terima kasihku kepadanya. Bagaimana tidak? Berkat dia, pria mesum itu sudah tidak berdiri lagi di belakangku karena terhalang oleh tubuh tingginya Pak Keane.
"Ah! Kamu. Siswa yang lupa dengan ruang kelasnya sendiri itu ya," ujar Pak Keane menanggapi.
Aku pun hanya menyengir dan menggaruk tengkukku yang tidak gatal. "Bapak masih ingat ya kejadian yang tadi? Maaf ya, Pak," kataku malu-malu.
Pak Keane pun tersenyum. "Tidak apa-apa. Saya mengerti."
"Hmm−kalau begitu, terima kasih, Pak." Lagi-lagi Pak Keane tersenyum. Ah! Satu lagi kelebihan dari pria itu. Ternyata dia juga memiliki senyuman yang manis!
"Ngomong-ngomong, Bapak kok bisa ada disini?" tanyaku begitu polos.
"Mmm−saya kerja part time jadi kondektur disini," jawab Pak Keane asal.
"Ah, serius Pak? Kok bapak bisa kerja jadi kondektur disini? Bukannya lebih enak jadi guru ya?" kataku tak percaya. Kok Pak Keane mau sih jadi kondektur? Padahal, bekerja di sekolah kan lebih enak, tidak harus panas-panasan diluar seperti ini.
"Hahaha!!" Duh, kenapa pula Pak Keane ketawa? "Kamu lucu juga, ya," ujar Pak Keane setelah tawanya mereda. Apanya yang lucu sih? Aku kok enggak ngerti, ya. "Ya ampun! Kamu beneran percaya kalau saya bekerja sebagai kondektur bus?"
Duh! Bukannya dia sendiri yang bilang kalau sedang part time jadi kondektur disini, tapi kenapa dia malah bertanya lagi? "Loh! Kan Bapak sendiri yang bilang kalau lagi part time," komentarku yang masih tidak mengerti.
"Hei! Tadi saya cuma bercanda! Kamu rupanya menganggap itu serius, ya? Astaga."
Oh! Bercanda toh? Wah berarti aku dikibulin dong? Ih! Pak Keane jahat juga!
"Habis pertanyaan kamu lucu. Ya, saya disini kan mau pulang. Saya memang selalu pulang naik bus."
Bener juga sih! Yah jelas lah Pak Keane mau pulang. Masa iya mau mengajar di bus. Aduh, La! Pertanyaanmu enggak bermutu banget sih! Malau-maluin tahu!
"Kamu sering pulang naik bus juga?" tanya Pak Keane.
"Eh? Ini pertama kalinya saya naik bus. Biasanya saya dijemput sama mang Ujang. Tapi, karena mang Ujang tidak bisa jemput, jadi saya terpaksa deh harus pulang naik bus."
"Oh begitu," kata Pak Keane. "Untuk ukuran seorang gadis yang gak pernah naik bus, ternyata kamu nekat juga, ya." puji Pak Keane yang mungkin sedikit menyinggungku.
"Tapi, kamu tetap harus berhati-hati. Mengerti?" aku pun mengangguk paham. "Nah! Berhubung sudah ada saya disini, jadi sekarang kamu tidak perlu khawatir lagi. Tidak akan ada satu pun orang yang berani ganggu kamu, karena saya yang akan menjaga kamu."
AAAA!!!
Aku yang tengah terhanyut oleh lamunanku tidak menyadari kalau bus mengerem mendadak. Alhasil, tubuhku kehilangan keseimbangan dan jatuh ke belakang. Tapi, aku beruntung karena tidak terjatuh ke lantai bus. Saat tubuhku terjungkal ke belakang, dengan sigap ada sepasang tangan yang memegang kedua bahuku dan menahan tubuhku.
Saat aku berpaling, untuk kedua kalinya, aku pun jatuh kembali ke dalam samudra luas dari bola mata zamrud itu. Tatapan yang entah kenapa selalu bisa menghantarkan rasa hangat di sekujur tubuhku. Sampai akhirnya, suara maskulin Pak Keane memecahkan fokusku kembali.
"Kalau berada di luar sekolah, jangan terlalu formal dengan saya. Dan, jangan panggil saya bapak. Kayaknya saya tua banget kalau dipanggil seperti itu. Lagipula, saya juga belum menikah. Panggil saja saya Keane, kak Keane. Atau...mas Keane, kalau kamu mau."
Duh! Kalau begini, hayati tidak kuat ma! Aku boleh tidak mengibarkan bendera putih sekarang juga?