"Non Lala! Sarapannya belum dimakan!" teriak Mbok Narsih yang berlarian dari dalam rumah sambil membawa nampan berisi sepiring roti bakar dan segelas susu coklat.
Aku yang sudah panik tidak menghiraukan panggilan Mbok Narsih dan segera masuk ke dalam mobil. Lagian, suaranya Mbok Narsih membuatku semakin panik saja.
Sebelum pergi, sempat kudengar gumaman Mbok Narsih yang entah disadarinya atau tidak cukup keras diucapkannya.
"Aduh! Gimana sih si non Lala. Udah capek-capek tak bikini sarapan, eh malah udah pergi. Yo wes lah, daripada mubazir, lebih baik tak makan aja."
*****
Setelah beradu argumen sengit dengan Pak Mukhlis, satpam sekolah, akhirnya aku pun berhasil memenangkan perdebatan tersebut dan diizinkan masuk ke gedung sekolah oleh Pak Mukhlis. Yaiyalah! Lala masa dilawan. Yah bakal kalah lah, Pak.
Dengan berusaha menghirup oksigen, aku berlari secepat yang kubisa menuju ke kelasku yang sialnya terletak di lantai tiga. Dan, aku baru menyadari kalau ruang kelasku letaknya sangat jauh. Oh sial! Kenapa di sekolah terkenal seperti ini tidak ada lift sih! Lelah juga kan kalau setiap hari harus naik tangga seperti ini!
Lalu, mataku pun berbinar-binar saat pintu yang kucari-cari berada tepat di depan mataku sekarang. Ah, akhirnya. Lantas saja, aku membuka pintu itu dengan penuh semangat.
Brak!
Oh my god!
Apa sekarang saatnya aku menyanyikan lagu 'Eaaa!' nya CJR? Mungkin dengan sedikit perubahan di kata bidadari diganti menjadi pangeran, titisan dewa yunani atau Adam Levin. Pilihan yang terakhir boleh juga.
Kalau biasanya seorang perempuan tertarik dengan seorang pria karena wajahnya yang tampan. Tapi, aku melihat sesuatu yang lain yang menarik dari Adam Levinku ini. Dan itu adalah sepasang bola mata zamrud yang tengah menatapku.
Lantas apa istimewanya? Tatapannya begitu hangat. Nyaman. Terlindungi. Dewi batinku tiba-tiba menjawab.
Apa? Apa aku benar-benar merasakan itu semua? Ah tidak! Tidak! Pasti ada yang salah denganku. Aku tidak mungkin bertindak seperti adegan yang sering diputar di film-film itu, kan? Apa namanya? Love at the first sigh? Hell! Aku tidak sedang jatuh cinta! Aku hanya.. hanya, apa namanya, terpesona?
Tapi, itu hal yang wajar, kan? Tidak ada yang istimewa, kan? Tapi, saat ini aku masih boleh mengagumi mata indah itu sebentar saja kan?
"Damn it! The most beautiful eyes I've never seen before." umpatku kagum. Tunggu! Kenapa aku mengumpat?
"Apa kamu baik-baik saja?"
Kukerjapkan kedua mataku tersadar saat sesuatu seperti sengatan listrik tiba-tiba menyentuh bahu kananku. Aku pun baru menyadari kembali kehadiran sosok yang masih berdiri di hadapanku itu. Aduh! Kenapa sekarang tubuhku jadi mengigil begini sih?
Duh! Mas, Om, Pak, Kak! Bisa tidak kalau matanya tidak menatapku seperti itu? Lama-kelamaan aku bisa terbang ke langit ke tujuh, nih!
Berusaha untuk tidak tergoda lagi oleh mata indah pria itu, aku mencoba mengalihkan tatapanku ke arah lain. Sesekali kuhela napas untuk meredakan parade marching band yang menggebu-gebu jantungku. Sejak kapan ada parade marching band di jantungku?
"Eh—maaf! Maaf! Sepertinya saya salah masuk kelas. Kalau begitu, saya permisi dulu! Maaf!" seruku meminta maaf sambil menundukkan kepala berulang kali.
Dengan kikuk, aku segera berbalik hendak pergi dari ruang kelas itu. Tapi, sebelum aku sempat berlari dengan langkah kaki seribuku, langkahku terhenti oleh suara berat pria itu.
"Tunggu!" aku kembali membalikkan tubuhku, menghadap si pemilik mata indah itu. "Kamu mau kemana?"
"Eh?" Bukannya tadi aku sudah bilang kalau aku salah masuk ruangan. Apa kata-kataku kurang jelas? Ada yang tidak dia mengerti? Atau pria itu memang agak sedikit lola, ya? Aduh! Ganteng-ganteng kok lola sih! Lo buat gue gila, maksudnya. Hehehe. Duh! Ngomong apa sih, La!
"Maaf saya salah masuk kelas," kataku mengulanginya.
"Kamu kelas berapa?" tanya pria itu.
"12-1?" Duh! Kenapa nada suaraku malah seperti bertanya!
"Kalau begitu, coba kamu lihat di depan pintu tertulis angka berapa disana."
Aku menaikkan sebelah alisku bingung dengan ucapan pria itu. Tapi, aku pun tidak berniat untuk bertanya lagi. Sesuai dengan intruksinya, aku berbalik menuju pintu dan melihat kertas yang menempel di kaca pintu.
"12-1," gumamku pelan saat membaca tulisan yang tertera di tempelan kertas itu.
Tunggu sebentar. Kalau ruangan ini adalah ruang 12-1, itu berarti, kelas ini memang benar ruang kelasku. Dan, itu berarti, aku juga tidak salah masuk ruangan, begitu?
Lalu... makhluk indah dengan mata zamrud menawan itu siapa? Hari ini tidak salah jadwal kan? Atau Pak Salim habis operasi plastik, ya? Padahal menurutku wajah Pak Salim tidak jelek-jelek amat. Yah, meskipun sekilas mirip Professor Snape tapi versi lebih ramah.
"Bagaimana? Apa benar ini kelasmu?"
"Iya."
"Berarti kamu tidak salah masuk ruangan, kan?"
"Sepertinya sih begitu."
"Nah! Karena kamu sudah tidak tersesat lagi, mungkin kamu bisa segera kembali ke mejamu. Atau, kamu juga lupa letak mejamu dimana?"
"Ah! Tidak! Tidak! Saya ingat kok!" protesku merasa sangat, sangat tersindir. Huh! memangnya aku anak kecil yang kehilangan mamanya apa! Tapi, memang iya sih. Duh! Sebenarnya orang itu siapa sih? Kenapa dia jadi menyuruh-nyuruh aku begitu.
"Baguslah. Terus tunggu apa lagi? Kamu.. tidak ingin kan berdiri terus di depan pintu sampai pelajaran selesai?" bisiknya tepat di daun telingaku.
Tuh kan! Ada apa sih dengan tubuhku? Apa aku masuk angin, ya? Makanya jadi menggigil seperti ini. Kalau begitu, setelah pulang ke rumah aku harus minta Mbok Narsih kerokin aku deh. Uh! Okay Lala. Sekarang tarik napas, lalu buang. Tarik napas, buang. Tarik napas, buang. Fiuh!
Daripada aku terus memikirkan tubuhku yang sedang tidak sinkron ini. Ditambah bola mata indah itu yang semakin lama bisa membuatku tergila-gila, lebih baik aku segera pergi dari hadapan pria itu sekarang. Aku pun berjalan menuju mejaku yang berada di barisan kedua paling belakang. Lalu, saat bokongku baru saja mendarat di kursi, pria itu pun kembali bersuara.
"Okay. Seperti yang saya katakan sebelumnya, tak kenal maka tak sayang. Dan berhubung salah satu teman kalian terlihat bingung oleh kehadiran saya disini, sebaiknya saya memperkenalkan diri saya kembali," katanya memulai.
"Perkenalkan, saya Benedict Keane Alderic. Kalian semua bisa memanggil saya Pak Keane. Selama satu semester kedepan, saya yang akan menggantikan posisi Pak Salim sebelumnya sebagai guru musik untuk siswa kelas dua belas."
Aku kembali mengalihkan perhatianku kepada pria itu. Rasanya kedua bola mataku beserta bibirku sudah membulat seperti tahu bulat karena terlalu kaget. What?! Apa yang dia katakan tadi? Pengganti Pak Salim? Guru musik? Selama satu semeter? Untuk kelas dua belas? Jadi, pria mata indah bola pingpong itu adalah guruku?!
"Kalau kalian membutuhkan bantuan, saya dengan senang hati akan membantu. So, calling me, okay?" Pak Keane menirukan gaya menelepon dengan aksen feminin yang dibuat-buat, membuat semua anak di kelas tertawa melihat tingkah lucunya itu.
Disela-sela keterkejutanku mengetahui fakta bahwa pria mata indah bola pingpong itu adalah guruku, aku yang memang sedang melihat ke depan tak sengaja bertatapan kembali dengannya. Dan aku menemukan bahwa dia tengah menatapku sambil tersenyum.