One! Two! Three! Four!
Ketukan stik drum menjadi pertanda mengawali pergerakan melodi. Petikan gitar yang powerful, petikan bass yang berharmoni, dan dentuman drum yang menghentak, melebur menjadi satu. Menghasilkan alunan melodi yang bersemangat untuk mengiringi salah satu lagu paling hits dari band ternama Amerika Serikat, Simple Plan.
What time is it where you are?
(I miss you more than anything)
I'm back at home you feel so far
(Waitin' for the phone to ring)
It's gettin' lonely livin' upside down,
I don't even wanna be in this town.
Tryin' to figure out the time zone's makin' me crazy!
Jangan mengira kalau saat ini aku sedang berada di konsernya Simple Plan. Mau tahu kenapa? Pertama, aku sebenarnya tidak terlalu menyukai band itu. Bukan karena aku membencinya atau tidak suka dengan lagu-lagu mereka, hanya saja mereka tidak termasuk dalam kategori band favoritku. Itu bisa dijadikan alasan kan?
Dan yang kedua, vokalis Simple Plan itu pria sedangkan yang saat ini bernyanyi jelas-jelas suara perempuan. Jadi, tidak mungkin kalau itu suaranya Pierre Bouvier yang machonya minta ampun. Kecuali, kalau dia berencana untuk operasi plastik dan mengubah pita suaranya menjadi perempuan.
So... kalau aku bilang lagu ini dinyanyikan olehku, percaya atau tidak? Serius. Ini bukan bercanda. Memang benar kok kalau aku yang menyanyikan lagu itu. Tidak percaya juga? Oh! Astaga! Bukannya sudah kubilang kalau yang bernyanyi itu suara perempuan. Faktanya, aku adalah seorang cewek tulen. Jadi?cukup masuk akal, bukan?
And my heart heart heart is so jet lagged
Heart, heart, heart is so jet lagged
Heart, heart, heart is so jet lagged, So jet lagged
Kuakhiri lagu itu sambil ber-high five ria dengan teman-teman bandku. Kulebarkan senyumanku saat menemukan sesosok pria tampan yang tengah berdiri di luar ruang studio. Oh! My boyfriend dari segala boyfriendku.
Wajah tampannya sangat pas dipadukan dengan kulit kuning langsat yang menghiasi tubuh atletisnya. Apalagi dengan rambut short-straight, membuatnya terlihat seperti patung Shawn Mendes yang berlapiskan emas. Well, kupikir dia mirip penyanyi favoritku itu.
Levin melambaikan tangannya kepadaku. Senyuman hangat pun tersungging di bibirnya saat tatapannya tengah berpapasan dengan mataku. Ya Tuhan! Senyuman Levin sangat mematikan! Maksudku, kalau tubuhku terbuat dari es pasti sudah meleleh terkena sinar laser dari senyumannya itu. Kalau tidak percaya silahkan dicoba sendiri. Eh, tapi jangan deh. Senyuman Levin kan hanya untukku seorang. Hehehe.
Dengan gerakan tangan, aku memberikan kode kepada Levin untuk menungguku sebentar lagi. Setelah selesai membereskan peralatan band, aku pun lantas meraih tas ranselku. Sebelum pergi, tak lupa aku berpamitan dengan teman-teman bandku.
"Guys, gue duluan ya," kataku berpamitan.
"Oh! Oh! Oh! Rupanya sang pangeran sudah menjemput itik buruk rupa ini," seru seorang cowok yang menggendong gitar di bahunya.
Kualihkan tatapanku, menatap sinis ke satu-satunya teman sekaligus rivalku itu.
"Whatever, Calvin," desisku sebal. Ck! Dasar anak yang satu ini! Selalu saja mengejekku dengan sebutan si itik buruk rupa. Padahal, jelas-jelas aku adalah si angsa cantik yang menawan. Tanpa perlu meladeni gurauan Calvin lagi, aku keluar dari ruang studio.
"Levin!"
Seperti seorang anak yang mendapatkan mainan baru, aku langsung terpekik girang berlari menghampiri Levin dan menghambur ke dalam pelukannya. Kekanak-kanakkan? Whatever! Lagipula, Levin juga menerimaku dengan suka cita. Ah! Aku sangat merindukan pacar tampanku ini.
"Gadisku sepertinya kangen sekali sama aku nih?" kata Levin, terkekeh.
"Aku kangen, kangen, kangennnn!! Rasanya kayak udah setahun gak ketemu sama kamu. Sedikit lebay sih emang. Tapi beneran deh!" balasku yang masih bergelayut manja di pelukan Levin.
"I miss you too, dear". Levin melepaskan pelukannya lalu mencubit hidungku gemas. Refleks, kuelus hidungku yang terasa bekas cubitan Levin. Ugh! Kenapa Levin melepaskan pelukannya dan malah mencubit hidungku, coba? Kan sakit. Sebenarnya tidak juga sih. Aku cuma mendramatisir saja.
Sejenak, Levin menatapku tanpa berkomentar lebih lanjut lagi. Tapi, kenapa tubuhku jadi merinding begini, ya? Bukan karena ada hantu yang tiba-tiba lewat di depanku, tapi ini semua gara-gara tatapan Levin yang begitu... Ah! Aku bahkan tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata.
Duh! Jangan menatapku seperti itu dong, Levin! Kalau begini caranya, kamu bisa membuat pertahananku runtuh berantakan nih! Dan ini perasaanku saja atau memang wajahnya Levin makin lama makin dekat, ya? Kalau aku maju kan nanti bisa-bisa... bisa bahaya ini!
Oh tidak! Oh no, no, no! Aku tidak ingin melakukan itu! Err..maksudku, aku ingin. Tapi, tidak sekarang. Astaga! Aku harus bagaimana! Aku tidak mau berbuat dosa! Tuhan, Tolong aku!
PLOK!
Wait for a minute. Aku baru saja menampar bibir Levin! Garis bawah dengan tidak sengaja dan tidak berpotensi membuat bibirnya bengkak, atau harus dijahit sebanyak sepuluh jahitan. Buru-buru kuturunkan kembali telapak tanganku yang menutupi bibirnya itu.
"Ups! Sorry". Levin memelototkan matanya ingin memprotes. Tapi, saat melihat cengiran polosku, dia pun menetralkan kembali wajahnya.
Levin tidak membalas dan cuma menghela napasnya berat. Sepertinya dia lebih terlihat kecewa daripada kesal. Aku tahu Levin kecewa bukan karena aku baru saja menamparnya, tapi karena aku tidak ingin dicium olehnya. Sekarang malah aku yang merasa tidak enak, kan. Kalau begini, aku juga yang harus memperbaiki mood buruknya itu. Ayo, berpikir Lala! Ah! Aku punya ide yang bagus.
CUP!
Levin mengelus pipinya yang baru saja kucium sambil tersenyum. Apa yang kubilang? Itu bekerja untuk Levin, kan?
"Udah baikan? Hm?" godaku, tersenyum jahil.
Levin mengelus lembut puncak kepalaku. "Ya, ya. Kamu selalu bisa merubah suasana hatiku," katanya menyerah. Aw! Levin so sweet banget sih! Aku jadi mau cium kamu deh! Eh, ini kenapa jadi aku yang nafsu?
"Kamu lapar gak, La?" fokusku segera teralihkan saat Levin mengatakan kata 'lapar' yang berarti akan ada kata 'makan' setelahnya. Seketika alarm perutku yang sudah keroncongan semenjak latihan tadi berbunyi lagi.
Tanpa ragu, kuanggukan kepalaku dengan bersemangat. "Sangat!" seruku dengan semangat 45. Seorang Lala tidak akan pernah menolak yang namanya makanan. "Hmm, dimsum?" tanyaku berharap.
"Ya. Apapun untuk gadis cantikku ini."
"Yeay!" pekikku senang.
"Ayo!"
Levin segera mengulurkan tangannya kepadaku yang kusambut dengan penuh suka cita. Sementara dewi batinku sedang menyiapkan piring beserta sendok dan garpu yang ditaruhnya di meja, lalu duduk manis di meja makan menunggu makanan siap disajikan sebentar lagi. Dimsum, I'm coming!