Renata tidak ingat sejak kapan ia tertidur. Yang ia tahu, setelah merampungkan dua lembar kertas folio, ia merebahkan badan dan melemaskan lehernya di meja yang penuh buku. Ia melepaskan semua kepenatannya hingga ia tak ingat apapun.
Kini, seseorang dengan wajah dan rambut sebening pualam sedang menatapnya dengan aneh.
"Renata!" Ia memanggilnya lagi. Renata mengerjap. "Perpustakaan sebentar lagi tutup."
Kata-kata itu berhasil membuat Renata bangun dan menegakkan punggungnya. Seketika kepalanya diserang banyak bintang dan terasa dipukul dengan benda tumpul. Renata mendesis.
"Kamu baik-baik saja?" Cowok di depannya bertanya sambil membereskan beberapa buku yang masih berserakan.
"Aduh....kepalaku...." Gumam Renata. Sementata ia menggenapkan kesadaran, ia mendengar suara lain yang menatakan bahwa gedung ini sebentar lagi akan tutup dan mereka diminta cepat-cepat memberekan barangnya. Abi menanggapi dengan tenang dan ramah.
Memahami suasana di ruangan itu, Renata segera bangkit dan meraih tasnya.
"Kepala kamu masih sakit?" Abi menatapnya lekat-lekat.
Renata menggeleng. Ini cowok bicaranya aneh banget, sih! Gue jadi aneh sendiri kalo ngomong sama dia batin Renata ketika mereka berdua keluar dari gedung bernuansa biru itu.
Di luar, ternyata hari sudah gelap. Renata menghirup udara malam itu dalam-dalam. Jarang sekali ia memiliki kesempatan keluar rumah seperti ini. Ketika ia membuka mata, ia kembali dikejutkan oleh sesuatu. "Kembang api!" Ia memekik, membuat Abi yang ada di sebelahnya menoleh seketika.
Renata segera berlari ke luar area gedung tanpa berkata apapun pada Abi. "Wah cantiknya....!" Katanya penuh kekaguman pada sebatang kembang api yang dipegang oleh anak laki-laki kecil dengan dua kakaknya di tepi jalan.
"Kakak mau?" Seorang gadis kecil yang lebih muda yang berada di sampingnya bertanya pada Renata. Renata terdiam. Ia melirik Abi yang ternyata sedang mengamati ketiga anak kecil itu.
"Boleh?" Renata membungkuk.lebih dekat ke arah 3 anak kecil itu.
"Boleh, kok kak!" Gadis yang paling tua menjawab dengan senyuman. Ia mendorong sebatang kembang api ke arah Renata.
Sebelum menerimanya, Renata sekali lagi menoleh ke arah Abi. Ternyata, cowok itu sedang memperhatikannya "Sebentar ya!" Katanya hati-hati, yang dibalas dengan anggukan oleh Abi.
Dengan senyum merekah, Renata menyalakan kembang api dan memutar-mutarnya hingga membuat bayangam kemerahan yang cantik. Tawanya terdengar bersamaan dengan tawa tiga anak lain yang terlihat gembira. Jalanan sunyi, seolah mendukung kebahagiaan mereka. Renata mundur selangkah dan kembali memutar kembang apinya lebih cepat. Ia terus melangkah ke belakang, tanpa tahu, sebuah mobil berkecepatan tinggi sedang mejalu di belakangnya.
"RENATA!" Abi berteriak dan seketika menarik tubuh Renata ke arahnya.
Terkejut dengan sikap Abi yang tiba-tiba, Renata tidak sadar bahwa kembang apinya yang masih separuh terlepas dan jatuh ke tanah. Ia ingin mengambilnya, tapi tangan cowok itu lagi-lagi sedang mengunci lengannya agar tidak bergerak sedikitpun.
"Kamu tidak apa-apa?" Ia memegang kedua bahu Renata dan menatapnya dengan khawatir dan sisa kemarahan pada mobil itu. "Ada yang terluka?"
Renata menggeleng, membuat cowok di depannya menghembuskan napas panjang dan melepaskan tangannya dari bahu Renata. Ia memandangi Renata sekali lagi dengan tatapan yang tidak Renata mengerti.
"Apa yang sedang kamu lakukan? Kamu tidak tahu ini jalan raya?! kalau selangkah lagi kamu mundur, mobil tadi bisa saja menabrakmu!" Katanya dingin sambil menatap Renata lekat-lekat. "Kita pulang!" Abi menggenggam pergelangan Renata erat-erat dan menariknya ke arah area parkir.
Abi memakai helmnya dengan cepat, sementara Renata masih terkejut dengan semua sikap Abi kepadanya barusan. Apalagi ketika Abi membentaknya seperti itu. Ia yakin, pasti cowok ini sedang kesal karena ia terlalu merepotkan dan-munkin benar kata teman-temannya- gadis pembawa sial. Ia merasa membawa kesialan pada Abi.
Renata kembali mendengar desahan napas Abi ketika sebuah benda bulat terpakai di kepalanya. "Naiklah!" Kata Abi, yang membuat Renata seketika menuruti perintahnya.
Sepanjang perjalanan, mereka berdua diliputi kesunyian yang semakin membuat Renata berpikir keras. Ia masih ingat ketika Abi menarik Renata ke tubuhnya. Wangi segar hutan bercampur air membuat keterkejutan Renata mereda, digantikan dengan degup jantung yang tak karuan.
"Pegangan!" Teriak Abi sekali lagi. Teriakan itu membuat Renata terlonjak dan berpikir bahwa cowok itu sedang marah padanya. Juga dengan kata-kata kasarnya tadi. Renata jadi ingin cepat-cepat pulang. Tapi tangannya sudah melingkar di tubuh cowok itu, dan mustahil untuk melepasnya. Cowok monster itu pasti akan marah padanya.
Renata merasa salah telah memuji cowok ini tadi. Ia ingin menarik semua perkataannya dan tidak ingin lagi bertemu dengan cowok monster ini di sekolah, atau dimanapun. Mata Renata semakin berair ketika ia menatap kemacetan di depannya. Keinginannya hanya satu. Ia ingin secepatnya pulang.
Sementara, cowok monster itu sepertinya sangat kesal padanya. Ia mengerem tiba-tiba hingga membuat kepala Renata terantuk oleh helmnya beberapa kali. Ia mengusap pipinya yang basah perlahan, dan berusaha menyembunyikan isakannya.
-0-
"Rena, minuman kamu jangan lupa!" Bunda mengingatkan Renata ketika ia berdiri dari kursi makan. Ia menyambar dengan malas dan langsung memasukkan ke dalam tasnya.
"Jadi, waktu itu diantar siapa?" Bunda duduk di sebelah Renata ketika ia sedang memakai sepatu di ruang keluarga. Yang bunda maksud adalah ketika Renata pulang larut malam karena terjebak kemacetan kota setelah menyelesaikan tugas remidi Kimia.
"Bukan siapa-siapa." Jawab Renata cuek.
"Kok jutek gitu jawabnya. Udah dianter, tapi nggak bilang makasih, malah langsung masuk kamar, pintu dikunci. Bunda nggak pernah ngajarin gitu, lho!" Ia berkata lembut pada anak gadisnya.
"Pacar tuh, Bun! Pacar." Jawab suara lain di belakang.
"Ih, Mas Bayu, apaan sih?" Renata menatap kesal ke arah kakaknya yang sedang mencomot bakwan yang entah keberapa kalinya.
"Siapa?" Bunda bertanya sekali lagi dan kali ini menatap Renata lekat-lekat.
"Temen." Jawabnya masih dengan bibir mengerucut.
"Dari mana?"
"Perpustakaan."
"Kok kamu kesal? Harusnya kan bilang makasih?"
"Ih, Bun! Dia itu monster. Jahat. Ngomongnya kasar." Elak Renata.
"Tapi dia itu teman kamu, yang nganter kamu ke perpustakaan 'kan?"
Gerakan tangan Renata yang sedang melilitkan tali sepatunya terhenti. Ia memutar memorinya bersama Abi tadi malam.
"Dia pasti punya alasan kenapa ngomong kasar sama kamu. Coba cerita ke bunda, gimana dia bisa kamu sebut monster."
Renata melirik perempuan paruh baya di sampingnya. Menarik napas dalam-dalam dan bercerita tentang kejadian semalam perlahan.
Setelah Renata selesai bercerita, bundanya justru tertawa kecil. "Itu namanya dia khawatir sama kamu. Kamu yang salah kenapa sampai ceroboh gitu, jalan ke jalan raya."
"Kok bunda malah nyalahin aku...." Renata merengek.
"Sudah, sudah. Intinya, cowok yang kamu bilang monster tadi, ternyata bukan monster. Dia anak baik, dan bunda harus bilang terimakasih sama dia karena udah jagain putri kecil bunda." Ia mencolek hidung Renata.
"Kapan-kapan, ajak dia ke sini ya, sayang!"
Ogah batin Renata dalam hati. Bagaimanapun bundanya menjelaskan bahwa itu bukan sebuah kejahatan, hati Renata tetap ngilu mendengar kata-kata cowok itu.
"Bunda, Renata berangkat dulu" Renata berpamitan sambil mencium tangan ibunya.
"Iya, hati-hati ya sayang!"
"Bunda libur?" Tanyanya lagi ketika memperhatikan bundanya belum juga berpakaian putih-putih.
"Enggak. Bunda shift siang. Udah sana, keburu siang. Kok masih cemberut gitu, sih?" Bunda menghentikan langkah Renata yang sudah hampir keluar rumah.
"Apaan sih, Bun! Rena nggak cemberut, Kok!" Ia menepis lembut tangan Bundanya yang mendarat di bahunya.
"Ngambekan. Kamu mirip sekali sama Ayah kamu." Tambahnya ringan, namjn membuat Renata bertambah kesal.
"Nggak. Renata nggak mirip dia." Katanya ketus sambil berjalan cepat meninggalkan rumah.
Seketika, mood-nya hari itu rusak. Satu kata itu selalu bisa mengubah suasana hatinya. Sepanjang perjalanan menuju sekolah, pikiran Renata tidak bisa teralihkan dari seseorang yang telah merusak hidupnya. Kata itu seolah mengingatkannya pada kegelapan yang tak bertepi. Kemarahannya seolah terkumpul kembali seperti beberapa tahun lalu ketika orang yang pernah ia sayangi itu melepaskan diri dari kehidupannya bersama kakak dan bundanya. Ia tak tahu harus berbuat apa, namun takdir dan keputusan orang itu seolah sudah menjelaskan semuanya.
"Wah....nanti malam? pasti, pasti. aku pasti bisa." pekik seseorang yang berdrii tak jauh dari Renata. Cewek berseragam SMA yang sangat Renata kenal itu sedang berbincang serius dengan seorang cowok yang duduk di atas jok motornya. denga helm hitam bermotif random, ia terus berbicara hingga membuat sahabatnya itu tersenyum malu-malu. Penampilan sahabatnya itu juga tidak seperti biasanya. Rambut pendeknya memang tetap tersisir rapi, tapi wajahnya dipoles terlalu berlebihan.
"Avisa!' renata memanggil cewek itu ketika cowok bermotor itu telah pergi.
"Hey! Renata?" ia menatapnya dengan senyum merekah.
"Vi, tadi itu siapa?" katanya sambil berjalan mendekat. "Muka lo kenapa?" Tanyanya penasaran. Bagaimana sahabatnya yang terbiasa berpenampilan seperti cowok itu tiba-tiba memakai blush on, eyeshadow, eyeliner, mascara, dan lipstik berwarna merah muda. Meski tidak terlalu mencolok dibanding kakak tingkatnya, itu tetap aneh untuk seorang Avisa.
"Oh....ini?" Ia menunjuk wajahnya. Renata mengangguk dan Avi merangkulnya sambil menjelaskan penyebab dirinya bisa berubah 180 derajat seperti itu.
-0-
"Jadi itu tadi cowok lo?" Renata bertanya kembali seolah ingin menegaskan sesuatu.
"Iya." Jawab Avisa mantap.
"Kalian baru pacaran dua hari, dan lo udah berubah kayak gini demi dia?" Tanyanya kembali memastikan.
"Ren, dia itu suka, sayang sama gue. Jadi wajar dong, gue penuhi permintaannya."
"Tapi kalian masih pacaran, lo bahkan nggak tau dia itu siapa."
"Gue tau, kok." Avi mendelik, dan itu membuat Renata menghembuskan napas panjang dan berjalan keluar kelas. Suasana ramai di beberapa sudut koridor tidak membuat wajahnya berubah ceria.
And deal... hari ini akan menjadi hari buruk untuknya. Sejak pagi ia dibuat kesal oleh bundanya karena perkara Abi, lalu menyebut seseorang yang jelas-jelas ingin Renata musnahkan, dan sekarang, ia melihat tingkah aneh sahabatnya, dan ia tidak bisa berbuat apapun untuk mencegahnya.
Renata menghembuskan napas panjang sekali lagi. Ia menatap lapangan yang sudah siap digunakan untuk bertanding oleh dua sekolah yang sukses menempuh babak final Football Competition tempat juri dan area suporter juga telah disediakan dengan apik. Ia menatap seseorang yang terlihat mencolok sedang mengatur letak gawang dengan benar.
Ah, cowok itu dan rambutnya selalu bisa membius Renata untuk mengenang kembali pertemuan pertama mereka di depan mading. Kalau dipikir-pikir, cowok itu selalu terlihat berlama-lama menatap mading. Padahal, Renata mengganti mading setiap dua minggu sekali. Kemarin dan hari ini juga, Renata melihat cowok itu berdiri mematung di depan mading sambil menatap sesuatu. Ia selalu menatap lurus ke sudut..... jangan bilang, kalo dia lagi baca puisi gue teriak Renata dalam hati.
Renata buru-buru memeriksa mading tatanannya. Dan benar saja, cowok pirang itu selalu menatap ke sudut kanan di mana puisi Renata tertempel di sana. Ya Tuhan..... Kok gue jadi takut, sih ia mengernyitkan alis dalam-dalam
"Renata!" Seseorang memanggilnya dari kejauhan, dan membuatnya menoleh.
Ia hampir menjerit karena wajah cowok yang ada dalam kepalanya, kini benar-benar ada di depannya dengan rambut hitam kecoklatan. Dia hampir bertanya apa cowok itu barusan nge-cat rambut ketika cowok itu mendekat, dan Renata memperhatikannya lebih dalam.
"Adhi?" Tanyanya memekik.
"Iya, kamu ngapain? Dari tadi aku panggilin nggak denger?" Ia mengalungkan kamera di lehernya.
"Aku?" Mata Renata membulat. "Emangnya kenapa?"
"Ada rapat darurat bentar di kantor, Yuk!" Ia melambaikan tangan pada Renata, mengisyaraktan untuk mengikutinya.
Dan benar saja, di kantor jurnalis sudah ada beberapa anak yang duduk tegang menanti Rahma berbicara. "Nah, Renata, bagus kamu datang."
Ia segera duduk di kursi yang masih kosong. "Ada apa kak?"
"Gini," Rahma berbicara sambil memegang buku absen ekskul jurnalis yang lecek. "Kita kekurangan personil buat ngeliput acara ini. Rencana awal, ketika acara final ini diadakan di gedung olahraga sebelah, kita cuma butuh wawancara seputar kedua sekolah yang bertanding. Lalu...." Ia memijit pelipisnya. "Ketika kemarin kita dikasi tau kalau acara diadakan di sini, kita juga udah antisipasi buat minta anggota baru untuk ikut ngeliput. Dan pagi tadi, Pak Vino dapat perintah langsung dari kepala sekolah untuk ngeliput semua aspek yang turut serta di pertandingan ini. Jadi kita kerja rangkap."
Selanjutnya, Rahma menjelaskan pembagian tugas masing-masing yang terdengar rumit. Dan Renata....mendapat tugas meliput untuk pertama kalinya. Biasanya, ia hanya akan menjadi editor, karena kapasitas Renata di klub itu awalnya hanya untuk mengisi konten puisi.
"S-saya....ng...ngeliput, Kak?" Renata menunjuk dirinya ragu-ragu
"Iya, Ren. Ini darurat. Kita kekurangan personil. Aku nggak tahu dimana yang lain di waktu genting saat ini." Ia menatap Absen yang hampir penuh dengan tanda strip.
Renata menghela napas. Ia tidak pernah meliput selama menjadi anggota ekskul ini. Dia cuma bekerja di balik layar, sebagai editor, atau sebagai tim kreatif yang membantu design mading. Ini adalah hal pertama untuknya, dan ia gugup.
"Gampang, nanti aku bantu." Seru seseorang yang berdiri di dekat pintu. Sontak, semua mata di ruangan itu tertuju pada cowok yang masih mengalungkan kamera di lehernya. Sejenak suasana berubah tegang karena tatapan tajam Rahma pada Adhi.
"Iya, Adhi akan bantu kamu, jadi jangan khawatir." Kata Rahma, seolah membuat ruangan itu bernapas kembali. Dengungan halus terdengar di mana-mana, karena biasanya, ia selalu kesal jika Adhi bekerja dengan cewek selain dirinya. "Oke, deal, ada pertanyaan lain? Kalau tidak, kita bisa kerjain sekarang." Suasana hening, hanya dijawab dengan bangkitnnya beberapa anak daru kursi yang membuat Rahma bernapas lega.
"Kak," Renata menghampiri Rahma yang akan duduk di kursi komputer. "Kakak yakin aku disuruh ngeliput?" Tanya Renata gamang.
"Iya, Ren. Kita nggak punya pilihan lain, mau minta siapa lagi untuk ngerjain yang satu ini? Aku juga harus wawancara sama ketua dan wakil kompetisi ini nanti."
Renata menatap Rahma yang terlihat kebingungan dan lelah. "Tapi, aku nggak tahu gimana caranya ngeliput, Kak!" Aku Renata yang dijawab dengan desahan oleh Rahma.
"Adhi!" Ia memanggil cowok di belakang Renata. "Dhi, kamu kan harus wawancara tim Cheerleaders kamu bimbing Renata sekalian, ya untuk wawancara kapten tim. Untuk tim kita sih, gampang, bisa besok. Untuk sekolah lawan, kita perlu beritanya hari ini." Katanya penuh ketegasan. Renata jarang sekali melihat Rahma sangat berwibawa dan tegas seperti ini. Mungkin karena ia selalu mengekor pada Adhi yang terlihat lebih perhatian dengan ekskul ini.
"Oke." Jawabnya singkat. "Ikut aku. Kamu perlu bikin daftar pertanyaan untuk wawancara buat kapten sepak bola." Ia berjalan menuju kursi yang sudah kosong di tengah ruangan.
"Daftar .... pertanyaan?" Tanya Renata ragu-ragu. Alisnya berkerut dengan tangan panas dingin.
"Iya!" Seru Adhi yang sudah duduk manis di sebuah kursi, diikuti Renata yang duduk penuh keraguan. Sejenak ia bertanya-tanya, apakah Rahma tidak akan marah dengan situasi ini. Ia melirik cewek yang sedang serius menatap layar putih komputer sambil sesekali mengetik keyboard.
"Gimana?" pertanyaan Adhi membuyarkan lamunan Renata tentang Rahma dan cowok cakep di depannya.
"Apanya?" pertanyaan aneh Renta membuat cowok bermata coklat itu menatapnya lama.
"kamu udah dapat berapa pertanyaan untuk wawancara kapten?" tanyanya santai.
Renata menggaruk tengkuknya dengan wajah masam. "bikin pertanyaan, ya?" ia melirik Adhi yang beralih fokus dari kamera ke buku catatan kecil yang tengah ia coret-coret. cukup lama renata memandangi Adhi.
Dengan luwes, cowok itu menggumam sambil terus menggerakkan bulpoinnya ke sana ke mari. Ia seperti sudah sangat mahir melakukan hal ini. Padahal, dia baru masuk sekolah ini beberapa bulan dan kemudian berbagung di ekstra jurnalis baru beberapa minggu.
Dia saja yang sudah menjadi anggota jurnalis sejak kelas 10, tidak pernah mendapat kesempatan untuk wawancara dengan seseorang. Ralat, tidak pernah mau mendapat kesempatan mewawancarai seseorang. Renata ditarik menjadi anggota jurnalis karena ia sering mengirim puisi, dan itu merupakan sebuah keuntungan dari ekstrakulikuler baru ini.
Tidak banyak harapan yang tumbuh waktu itu, karena ekstra itu sendiri berdiri karena tuntutan dari dinas pendidikan setempat yang menggalakkan pendidikan literasi. Beginilah hasilnya, ekstra ini berdiri begitu saja di tahun keempatnya tanpa tujuan pasti. Meski Pak Zen, guru Geografi mencoba mengambil alih ekstra ini dua tahun lalu, hasil yang masih bisa terlihat adalah mading yang diganti setiap dua minggu sekali.
Meski ia sering menulis puisi, berita adalah hal yang sangat berbeda dengan puisi. Ia pernah dimarahi karena menulis artikel dengan gaya bahasa mendayu-dayu. Akibatnya, jadwal pasang mading menjadi mundur beberapa hari, dan itu juga merupakan kemuduran untuk program selanjutnya. Dan setelah itu, ia tidak siap. Bukan hanya untuk menulis berita lagi, tapi juga untuk melakukan wawancara. Tangannya selalu berkeringat dan sekujur badan panas dingin ketik target wawancara masih berada dalam jarak 50 langkah darinya. Itu menghambat jalannya program, dan kemuduran untuk ekstra yang dicintainya. Ini yang paling tidak diinginkan Renata, mengecewakan orang lain.
Renata memandang kagum pada cowok di depannya. Bukan hanya tampan, namun juga pandai. Ia seperti sudah sangat mengenal dunia jurnalis. Tapi ngomong-ngomong, mereka beneran kembar, ya! Renata sekali lagi mempertanyakan hal itu ketika matanya kembali menatap Adhi. Wajahnya mereka berdua sangat mirip. Warna kulit mereka sama. Bedanya ada di mata coklat dan rambut kehitaman Adhi. Dan..... Apa lagi ya? Renata merasa ada yang kurang dengan rincian perbedaan mereka berdua. Ia menatap Adhi lekat-lekat.
"Aku sudah selesai, kamu gimana?" Cowok itu mendongak tiba-tiba, membuat Renata yang sedang memandanginya terkesiap. Ia membeku.