Hawa dingin Air Conditioner di ruang tamu menyapa Kinan ketika ia baru saja membuka pintu. Ia memutarkan pandangannya, mencari keberadaan Janson. Ia yakin Janson sudah kembali dari kegiatannya mengantar air minum isi ulang ke beberapa rumah pelanggan tetap.
Langkah kakinya lebar namun penuh rasa takut. kinan terlalu takut pada kakaknya yang super protektif itu. Ia berjalan cepat menuju kamarnya. Berjalan lurus kemudian berbelok ke kiri. Berharap selama itu, ia tak bertemu dengan Janson. Ketika Kinan berhasil meraih knop pintu kamarnya, suara Janson membuat Kinan menghentikan langkahnya untuk lebih mendekat ke pintu.
Kinan menarik kembali tangannya, melepaskan dari knop pintu yang hampir menyelamatkan dirinya. Ia menatap Janson yang sedang memegang sebuah gelas bening yang berisi air yang hanya setengah. Terlihat dari bibir Janson yang basah, laki-laki itu baru saja meneguknya.
“Kamu darimana?” tanya Janson seperti biasanya. Nadanya tegas namun penuh rasa kasih sayang. Kinan tahu itu.
Kinan tersenyum ke arah Janson, mencoba menutupi kebohongan yang akan ia lakukan. “Jalan-jalan bareng Brandon.”
Janson nampak berpikir, “Si muka babyface yang punya tato di lengannya itu?” tanyanya kemudian.
Kinan mengangguk cepat setelah wajah Brandon melintas dalam ingatannya. Cowok yang memiliki wajah yang sangat imut dengan senyum yang selalu membuat matanya menyipit tinggal segaris. Dengan gerakan cepat pula ia menyembunyikan lengan kirinya yang terbalut perban putih.
Sayangnya itu gagal menghalau penglihatan Janson. “Itu lengan kamu kenapa?” tanya Janson sambil meraih lengan kiri Kinan, membolak-balikkan ke kanan dan kiri dengan cemas.
“Tadi tergores paku di taman,” Kinan berbohong lagi.
Janson mengangguk paham. “Lusa, jangan lupa diganti perbannya,” kata Janson yang kemudian meneguk habis air minumnya. Lalu tersenyum hangat kepada Kinan sebelum ia berjalan menuju ruang keluarga. Tempat Janson menghabiskan malamnya untuk bertemu dengan pemain idolanya di lapangan hijau.
Perhatian Janson mengingatkan Kinan pada Dipta, laki-laki bermuka datar itu. Ia masuk ke dalam kamarnya dengan pikiran yang penuh dengan wajah datar itu. Kenapa Dipta tak bisa tersenyum walau tipis saja?
***
Setelah menghabiskan waktu liburnya hanya untuk mencari tahu asal usul tato pada lengan kirinya, Kinan kembali berangkat sekolah. Ia sedang berjalan santai melewati koridor sekolah menuju kelasnya. Koridor sekolahnya seperti koridor sekolah pada umumnya. Tidak ada yang spesial dari koridor itu. Di setiap tepi koridor terdapat kursi panjang kira-kira satu setengah meter. Jarak antar kursi panjang berkisar dua meter.
Suasana cukup ramai ketika Kinan melewati koridor itu. Hanya saja, ada kerumunan kecil di ujung belokan koridor yang menarik perhatian Kinan. Kinan mendekat ke kerumunan itu. Ia melihat Sheril sedang mengalami kejang-kejang. Suasana lingkungan yang panik membuat Kinan tak dapat berpikir jernih.
Bersama beberapa murid laki-laki, Kinan membawa Sheril ke UKS. Dengan langkah sigap Clara, relawan PMR, memeriksa keadaan Sheril. Clara menyentuh pergelangan kanan Sheril untuk mengetahui kecepatan denyut jantungnya. Kemudian mengecek kedua retina mata Sheril, seberapa besar pembesaran pupil. Clara mengambil jarum suntik dan selang infus beserta kantong infus untuk ia pasang pada pergelangan tangan Sheril.
Clara menyerahkan sebuah gulungan kertas kepada Kinan ketika ia selesai menangani Sheril. Sheril sudah tak lagi mengalami kejang-kejang. Obat tidur membantu Sheril menikmati istirahatnya dengan baik.
“Apa ini?” tanya Kinan sambil menerima gulungan kertas itu.
Clara menaikkan kedua bahunya secara bersamaan, “Aku menemukannya pada genggaman tangan Sheril.”
Kinan mengerutkan kening ketika Clara meninggalkan ruang UKS itu. Clara harus masuk kelas. Seharusnya ia pun begitu. Ia harus masuk kelas biologi pagi ini, mengumpulkan tugas yang tadi malam selesai ia kerjakan. Namun, rasanya terlalu tega jika ia meninggalkan sahabatnya di ruang sepi ini sendirian.
Kursi dekat meja Relawan menjadi pilihan Kinan untuk menunggu Sheril bangun. Ia membuka gulungan kertas dari Clara dengan rasa ingin tahu yang besar. Ia ingin tahu, apa penyebab Sheril mengalami kejang-kejang. Ia tahu betul bahwa Sheril tidak memiliki riwayat penyakit apapun. Kecuali sakit perut ketika datang bulan.
Ini hanya bagian kecil jika kamu tidak segera menampakkan diri.
Kinan mengerutkan kening setelah ia membaca isi dari gulungan kertas itu. Apa Sheril menyembunyikan sesuatu?, pikir Kinan sambil terus mengulangi kalimat yang tertulis pada gulungan. Tapi apa?, tolak Kinan dalam hati. Ia merasa dirinya mengenal Sheril dengan baik. Setahu Kinan, Sheril tidak pernah melakukan hal-hal yang aneh. Gadis dengan rambut pirang itu tidak pernah memiliki musuh dengan siapapun.
Kinan memasukkan gulungan kertas itu pada saku rok abu-abunya ketika Sheril mulai membuka kedua mata. Sheril terlihat memegangi kepalanya dan meringis kesakitan. Kinan mendekat, mempertanyakan kepada Sheril tentang keadaannya.
“Sheril? kamu masih ingat aku kan?” Tanya Kinan sambil menunjuk diri.
Sheril tersenyum tipis sambil menahan sakit pada kepalanya. “Iya. Kamu masih Kinan yang nyebelin.”
Senyum tipis tersungging di bibir Kinan. Namun, tak berselang waktu lama, Kinan mengubah ekspresi wajahnya menjadi serius. “Siapa yang buat kamu seperti ini?”
“Aku agak lupa. Yang aku ingat dua orang datang padaku saat aku mau masuk kelas. Dia menanyakan keberadaanmu.”
“Ya sudah... kamu istirahat dulu. Nanti aku antar kamu pulang.” kata Kinan sambil tersenyum hangat pada Sheril. Ia tak ingin membuat Sheril memikirkan hal-hal yang membuat keadaan Sheril semakin buruk.
***
Kinan sedang menunggu Brandon di taman belakang rumah. Ia duduk di sebuah ayunan sembari menunggu kedatangan Brandon. Ia membiarkan pikirannya terbang ke kejadian yang menimpa Sheril hari ini. Ia yakin, ini pasti ada hubungannya dengan tato yang ia miliki. Entah bagaimana realita menghubungkan kedua hal itu, instingnya mengatakan kedua hal itu berkaitan.
Ketika Kinan hendak memungut ponselnya yang terjatuh dekat kakinya, Brandon datang dengan wajah segarnya. Kinan kini sadar, mengapa teman-teman sekelasnya memuja-muja ketampanan Brandon, karena Brandon memang memiliki wajah yang tampan nan manis. Siapapun yang menatapnya akan selalu menatapnya. Rasa bosan takkan pernah menerpa siapapun yang menatapnya.
“Kenapa?” tanya Brandon sambil ikut duduk di ayunan yang berada di sebelah Kinan.
“Hah?” Kinan tersentak sesaat.
“Kamu kenapa lihat aku kayak gitu?” tanya lagi Brandon menegaskan ucapannya.
Kinan meraih ponselnya kemudian menyimpannya ke dalam saku celananya. “Nggak apa-apa. Itu buku apaan?” Kinan melihat Brandon membawa buku tebal berwarna coklat. Buku itu terlihat buku usang. Nampak seperti buku-buku sejarah yang biasanya ia baca saat ia membutuhkan referensi untuk mata pelajaran sejarah dunia.
“Ini buku sejarah kerajaan Piperales. Kerajaan yang kemarin kamu datangin.” Brandon membolak-balikkan buku itu sambil mengayunkan ayunannya dengan rendah.
“Sejak kapan kamu jadi bagian dari mereka?” tanya Kinan sambil memutar tubuhnya untuk dapat menatap Brandon dengan jelas.
“Itu keturunan, Kinan. Mereka sudah memiliki daftar siapa saja yang menjadi keturunan Kerajaan Piperales. Dimanapun keturunan itu berada, mereka akan menemukannya. Jadi Ayahku tahu kalo aku merupakan keturunan piperales, jadi saat usiaku 17 tahun, aku diminta untuk menghadiri penobatan kerajaan itu. Sejak dulu, ayah juga sudah mengajarkanku jurus-jurus beladiri dari kerajaan itu.”
“Tandanya apa kalo kamu itu keturunan dari mereka?” Kinan semakin dibuat pusing mendengar penjelasan Brandon.
Brandon menunjukkan tato yang berada di lengan kirinya, mirip seperti tato yang berada di lengan Kinan. “Seperti yang dibilang Dipta kemarin.”
“Tapi kemarin Dipta bilang, bagian person kerajaan sedang mencari keturunan yang hilang hampir 20 tahun. Makanya aku mau cari tahu siapa dia.”
“Caranya?”
“Lewat buku ini. Dengan membaca sejarah dari kerajaan Piperales, aku bisa tahu silsilah keluarga kerajaan. Karena dua puluh tahun yang lalu telah terjadi pertumpahan darah di area istana hingga menyebabkan kerajaan itu terbelah menjadi dua. Aku harus bisa menemukan keluarga kerajaan yang hilang itu.”
Kinan menatap buku itu dengan ragu. Entah karena apa, tubuhnya seakan ikut merespon kehadiran buku itu. Ia yakin buku itu bukan sembarang buku.
“Boleh pinjam bukunya?” tanya Kinan sambil mengulurkan tangannya di depan Brandon.
Mata Brandon menatap Kinan dengan ragu. Namun dengan cepat berubah dengan senyum tipis dari wajah Brandon. Ia menyerahkan buku itu kepada Kinan.
Buku itu bewarna coklat usang dengan keempat ujung buku yang mulai terkelupas. Ada gambar tiga helai daun yang sama persis dengan tato yang ia miliki di pergelangan tangannya. Gambar itu tercetak dengan timbul. Di bagian atas gambar itu ada tulisan dengan bahasa yang tak dipahami oleh Kinan.
Sesaat ketika tangan kirinya menelusuri gambar buku, ada sensasi seperti tersengat aliran listrik yang cukup kencang. Beruntung Kinan segera menarik tangannya kembali sebelum Brandon menyadari keterkejutannya. Dengan cepat ia menyerahkan kembali buku itu pada Brandon sebelum sesuatu terjadi pada dirinya.
“Oh iya, tadi sesuatu terjadi pada Sheril,” kata Kinan setelah Brandon menerima buku itu. Kinan merogoh saku celananya untuk mengambil gulungan kertas yang ia dapatkan dari Clara.
Kemudian Kinan menceritakan hal yang terjadi pada Sheril. Mata Kinan terus bergerak ke sana ke sini ketika mulutnya terus mengeluarkan suara. Sedangkan Brandon mendengarkan dengan seksama.
“Kini aku yakin, kamu bukan manusia biasa,” kata Brandon pada Kinan dengan mantap. []
Di tunggu ya... penasaran soalnya
Comment on chapter TATO ANEH