Gianyar, 2000
Kamar anak perempuan Bayu Wibowo dan Ni Nyoman Pratiwi selalu berantakan setiap pagi. Tirai jendelanya masih tertutup rapat, hanya sedikit seberkas cahaya matahari yang masuk melalui celahnya. Meja belajar yang menempel ke dinding samping jendela dipenuhi buku-buku yang terbuka dan berserakan, alat tulis yang ditaruh serampangan, dan kertas-kertas yang diremuk tapi belum dibuang. Tempat sampah di samping meja belajar sudah penuh oleh kertas-kertas lain dan bungkusan sisa makanan. Beberapa buku yang terletak di rak samping meja belajar hilang. Untunglah lemari pakaian tertutup rapat, satu hal yang membuat kita tidak berpikir seperti apa isinya jika terbuka, mengingat kondisi kamar yang lebih buruk dari kapal pecah. Tapi tetap saja, kondisi tempat tidur yang paling memprihatinkan.
Tempat tidur itu terletak di sisi dinding yang berhadapan dengan jendela. Seprainya sudah terlepas di dua sudut. Bantal jatuh ke lantai. Selimut menggumpal di pojok kepala tempat tidur. Seorang gadis tidur tengkurap dengan kepala berada di kaki tempat tidur, tangan menggantung di sisi tempat tidur, dan kaki terlipat karena berdesakan dengan dinding.
Bunyi jam weker di nakas samping tempat tidur memecah keheningan pagi. Gadis itu menggeliat malas, lalu mengubah posisi tidur menjadi telentang. Matanya sulit untuk membuka. Ia mengerjap-ngerjap, hal pertama yang ia liat adalah langit-langit kamar yang buram. Ia duduk di tengah tempat tidur, mengamati sekitar. Ia meraih jam weker di nakas, mematikan benda berisik itu.
Sesaat kemudian, tubuhnya sudah terbaring di tempat tidur lagi.
“MARSHA, BANGUN!”
Pintu kamar Marsha menjeblak terbuka. Seorang pemuda berseragam SMA muncul dengan wajah masam. Ia melangkah menuju jendela, membuka tirainya lebar-lebar. Setelah itu, ia menarik gadis yang tadi tidur sampai duduk.
Marsha memejamkan mata dan menguap lebar. “Bang Dennis, ini masih pagi..”
“Siapa bilang?!” bentak Dennis sebal. “Ini sudah mau jam 7, kamu tidur aja lagi! Aku berangkat duluan!”
Mata Marsha langsung melebar. Ia berdiri tegak, langsung keluar dari kamar, meninggalkan Dennis yang berdiri sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia meraih selimut dan melipatnya.
“Kalau tiap pagi kayak gini terus, aku benar-benar nggak mau nungguin dia lagi.” gerutu Dennis menaruh selimut yang sudah terlipat rapi di kursi. Ia kini merapikan seprai, menginjak isi tempat sampah agar ia bisa membuang remukan kertas-kertas di meja, menutup buku-buku, dan terakhir menaruh semua alat tulis di kotak pensil Marsha.
Ia mengedarkan pandangan keliling kamar. Masa setiap pagi mesti dia juga yang merapikan kamar adiknya?
Marsha masuk ke kamar dengan hanya mengenakan handuk membungkus badan. Ia menyipitkan mata, menatap kakaknya yang berdiri membelakanginya.
“Bang, keluar.” kata Marsha. “Aku mau ganti baju.”
Dennis berbalik, memandang Marsha dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia lalu melompat ke tempat tidur yang sudah dia rapikan, berbaring dengan kedua tangan menangkup bagian belakang kepalanya. Ia menekuk lutut kirinya agar ia bisa menopang kaki kanannya di sana. “Aku disini saja, ngeliatin kamu. Kalau nggak dilihat, kamu pasti tidur lagi.”
“Ih.” Marsha bergedik. “Aku mau ganti baju, Bang! Keluar!” serunya.
“Nggak mau.” Dennis menjawab dengan gaya yang sangat menyebalkan.
“BANG DENNIS, KELUAR!” raung Marsha melempar buku-buku bersampul keras ke saudaranya itu. Dennis keluar kamar sambil tertawa.
***
Senyum Dennis semakin lebar saat Marsha membanting pintu kamarnya hingga menutup. Ia berjalan riang menuju ruang makan. Sudah ada kedua orangtuanya di sana. Ayahnya tengah membaca koran, dan ibunya tengah mengoles roti dengan selai stroberi.
“Kamu tuh kapan sih berhenti mengganggu adik kamu, Den?” ucapan Pratiwi menyambut Dennis di meja makan. Dennis duduk di samping ayahnya. Rupanya kegaduhan keduanya terdengar sampai di ruang makan.
“Dia juga nggak berubah-berubah, Bu.” sahut Dennis mengambil dua lembar roti, melahapnya. “Jam weker di kamar dia kayak nggak ada gunanya.”
“Marsha ‘kan masih SD.” kini Bayu yang bicara. Ayahnya yang berumur pertengahan tiga puluh tahun itu melipat koran, meletakan di wilayah meja yang kosong, ikut mengambil roti berselai. “Jam masuk sekolahnya lebih telat setengah jam dari kamu, jadi nggak apa-apa kalau dia mau tidur dulu.”
“Tapi ‘kan Marmar ke sekolah sama aku.” sanggah Dennis tak mau kalah. “Dia harus nurut aturanku.”
“Jangan panggil Marsha gitu, ah, nggak enak di telinga.” tegur Bayu.
Dennis seperti tidak mendengar.
“Ini masih setengah enam dan kamu udah rapi banget, tinggal berangkat.” balas sang ibu menyodorkan segelas susu hangat ke anak tertuanya. “Semangat amat buat hari pertama jadi anak SMA.”
Dennis tersenyum malu.
“Sebenarnya ayah bisa saja mengantar Marsha ke sekolah, cuma kayaknya kamu udah kebiasaan nganterin Marsha dari dia kelas 1 SD. Kan kamu juga tahu kalau kamu buru-buru, atau kamu mau datang lebih pagi, kamu nggak perlu ke sekolah sama dia. Hari ini kok beda? Kenapa emangnya? Ada anak SMP dekat sekolah Marsha yang kamu taksir?”
“Atau jangan-jangan, ada teman Marsha yang kamu taksir?” sahut sang ibu.
Dennis mulai terlihat salah tingkah. “Nggak lah. Masa aku naksir anak kecil?” ia berkilah.
Sang ibu tak serta merta menurunkan pertahanannya. “Kali aja gitu. Teman-teman Marsha cantik-cantik kok, baik lagi.”
Sang ayah tertawa. “Pria kecil ayah sudah besar, ya.”
“Tapi kan emang Bapak sama Ibu yang ngajarin aku buat nganterin Marsha ke sekolah sejak dia SD.”
“Iya sih, tapi kasihan juga kalau terus-terusan kamu ajak dia ke sekolah sementara teman-temannya yang lain masih tidur sekarang ini.”
Dennis meminum susunya. “Oke. Hari ini saja aku datang pagi. Besok-besok nggak lagi.”
Marsha bergabung dengan mereka lima belas menit kemudian. Wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa kantuk, seakan tidur sejam lagi jauh lebih penting daripada perjalanan setengah jam ke sekolah. Kuapannya lebar sekali, membuat sang ibu menegurnya. Ia menempati satu-satunya kursi kosong di sana, menuang segelas air ke gelas, dan meneguknya.
“Kamu nggak kepagian, Mar?” tanya sang ibu dengan senyum jahil.
Marsha mengernyit. “Udah jam 7, kan?”
“Siapa bilang?” sang ayah menimpali sambil menunjuk jam dinding di ruang tengah dengan dagu.
Marsha sontak menoleh dengan murka ke saudaranya. “BANG DENNIS, IH!”
Sementara yang diteriaki malah memakan roti keempat.
“Aku ‘kan bisa berangkat sama Bapak!” gerutunya mengambil roti.
“Tapi kamu selalu telat kalau diantar Bapak.” tangkis Dennis.
“Aku selalu kepagian kalau sama Abang!”
Dennis hanya tersenyum, meneguk susu.
“Udah ah, masih pagi.” lerai sang ibu. “Kamu juga. Udah bangunnya telat mulu, kamar dirapiin abang, masih aja ngeluh.”
“Kalau abang nggak bilang ini udah jam 7, aku mau aja rapiin kamar sebelum mandi.” sungut Marsha melahap roti kedua. “Lagian aku juga nggak minta abang buat rapiin kamar aku.”
“Ih, ngambek.” kata Dennis mengerutkan wajah, bermaksud membuat adiknya lebih kesal lagi.
Marsha berdecak kesal, ia memilih untuk menikmati roti selainya sampai ia benar-benar kenyang.
Pratiwi dan Bayu hanya terkekeh melihat keduanya. Lima belas tahun pernikahan mereka, dan sembilan tahun diwarnai pertengkaran remeh kedua anak mereka, sama sekali tidak membuat kehidupan pagi mereka terusik. Justru akan heran sekali jika Dennis dan Marsha tidak meneriaki satu sama lain sebelum berangkat ke sekolah. Seakan hari itu bukan hari yang normal.
Tapi nyatanya mereka pernah menjalani hari itu.
Kalau dipikir-pikir, memang sangat jarang Dennis dan Marsha bertengkar serius. Dan jika sekali mereka sudah seperti itu, biasanya akan sangat sulit untuk mendamaikan keduanya. Dennis yang gengsian, tidak mau minta maaf lebih dahulu, dan Marsha yang egois, yang terkadang tidak mau mengakui kesalahannya.
Dennis yang biasanya selesai mandi dan memakai seragam lantas menuju kamar Marsha untuk membangunkan gadis itu, malah langsung menuju ruang tengah, menonton kartun pagi, menunggu sang ibu menyelesaikan membuat sarapan di dapur.
“Tumben nggak ke kamar Marsha.” ucap sang ibu hari itu. Ia keluar dari dapur dengan membawa semangkuk besar nasi goreng ke meja makan. Sudah ada empat piring kosong, gelas kosong, seteko besar air, dan empat pasang sendok dan garpu di meja. Dennis merasa ia tidak perlu membantu sang ibu.
Dennis tidak menjawab, pura-pura menyimak Chalk Zone yang sedang ia tonton.
“Kamu berantem ya, sama dia.”
Dennis terdiam. Sepertinya memang sekelihatan itu. Dia yang tiap pagi membangunkan Marsha dan akan memulai pagi dengan meneriaki gadis itu, kini lebih memilih menonton Chalk Zone daripada menuju kamar sang adik yang bersebelahan dengannya. Dan ibunya mengunggah pernyataan, bukan pertanyaan. Dennis tidak punya alasan untuk menyanggah kalimat itu.
“Kenapa?” tanya Pratiwi. Ia sudah duduk di samping anak tertuanya di ruang tengah. Sementara itu, Bayu keluar kamar dengan menenteng tas kantor, jas, dan dasi. Pria itu menyampirkan jas dan dasi di sandaran kursi meja makan, menaruh tas di dekat kaki meja, dam mulai sarapan. Ia bisa mendengar istrinya bertanya kepada Dennis. Ia memilih untuk tidak ikut campur dulu, setidaknya sampai ia dibutuhkan.
Dennis juga tahu tidak ada gunanya ia tidak bercerita. Semalam memang mereka saling meneriaki, dan tidak mungkin kedua orangtuanya tidak tahu. Keduanya juga memilih untuk mengunci kamar masing-masing, secara sepihak tidak ingin memberitahu apa yang terjadi. Tapi mereka tidak bisa menghindar selamanya, kan?
Dennis menghela napas. “Tadi malam Marmar ke kamar aku—”
“Jangan panggil dia begitu.”
“—Marsha ke kamar aku.” ralat Dennis malas. Di keluarga ini hanya Dennis yang menganggap panggilan Marmar itu lucu. “Dia lagi makan eskrim, dan aku lagi ngerjain tugas Bahasa Indonesia ku, nulis esai tentang Dampak Kebudayaan Bali bagi Wisatawan Domestik dan Mancanegara, dua lembar kertas polio bolak balik. Aku udah ngusir dia, biar dia nggak ganggu aku. Pas tugasku udah mau selesai, tahu-tahu eskrim dia udah jatuh ke kertas aku. Makanya aku marah banget sama dia..”
“Terus, tugas kamu itu, udah kamu kerjain lagi?”
“Udah, Bu. Udah selesai.” gumam Dennis.
“Nah, kenapa kamu masih marah sama dia?”
Dennis terdiam, agak terkejut. Tapi entah mengapa, ada perasaan mengganjal bila ia merendahkan diri dan meminta maaf, padahal jelas-jelas Marsha yang salah.
“Dia bangun nanti, kamu minta maaf ya.”
Pada saat itu, mereka mendengar ketukan pintu dan suara berat dan rendah berkata. “Mar, bangun. Kamu nggak ingat hari ini hari apa?”
“Nah.” Pratiwi tampak terdengar puas, tersenyum ke anak sulungnya. “Kamu juga nggak ingat hari ini hari apa?”
Dennis diam lagi, tapi ia tetap tidak mau meminta maaf. Ia bersikeras ia tidak salah. Dan ia sudah terlalu sering mengalah demi Marsha. Sudah cukup Marsha selalu diperlakukan lebih oleh kedua orangtuanya. Hanya karena Marsha perempuan dan jarak umur mereka lima tahun, bukan berarti Dennis harus tunduk dan merendahkan diri.
“Aku kesal Marsha nggak mau minta maaf..” katanya pelan, tapi masih bisa didengar ibunya.
“Minta maaf duluan nggak membuat kamu terlihat lebih rendah dari orang lain, Den.” kata Pratiwi menasihati. “Memang kamu pasti capek terus-terusan minta maaf walaupun kamu nggak salah, tapi emangnya kenapa? Dia adik kamu dan dia masih kecil. Kamu dua tahun lagi udah SMA. Udah mau dewasa. Masih mau mikir kayak gini juga?”
“Kan, ngebelain Marsha lagi.” gerutu Dennis tanpa sadar.
“Kamu tahu Bapak sama Ibu nggak pernah beda-bedain kamu sama Marsha.” Kini ibunya merangkul pundak anaknya. “Kelihatannya di depan kami, memang selalu kami yang marahin kamu, entah karena Marsha yang salah atau kamu yang salah. Tapi kamu nggak pernah tahu kan, Ibu pernah marahin Marsha sampai dia nangis karena dia nggak bilang-bilang kalau dia jajan di warung Bu Tina, sampai-sampai Bu Tina sendiri harus ke rumah dan minta bayaran ke Ibu? Atau Bapak pernah mukulin Marsha cuma karena dia mau nonton kartun, sementara Bapak mau nonton tinju?”
Dennis tampak terperangah, yang berarti satu hal: ia tidak pernah tahu semua itu.
Marsha sudah berseragam lengkap ketika Pratiwi dan Dennis menuju meja makan. Pratiwi sengaja duduk di samping Bayu agar kedua anaknya duduk bersebelahan. Mungkin dengan begitu bisa meruntuhkan dinding pertahanan mereka, agar mereka akur lagi. Tapi selama sarapan berlangsung, hanya terdengar dentingan piring dan sendok yang beradu, serta suara kunyahan kerupuk dari mulut keempatnya.
Selesai makan, Dennis tidak menunjukkan tanda-tanda kalau dia ingin ke sekolah bersama Marsha. Ia ke kamar, dan kembali dengan membawa ranselnya. Sang ibu tengah menguncir rambut Marsha.
“Ingat ya, Mar.” gumam Pratiwi merapikan poni Marsha. “Kalau ragu nggak usah dijawab. Bapak sama Ibu juga nggak apa-apa kalau kamu nggak menang.”
Marsha hanya mengangguk kikuk.
“Lah kok gitu?” kata Bayu berlutut, mensejajarkan wajahnya dengan si anak bungsu, memperbaiki posisi kacamata gadis itu. “Kemarin kamu semangat banget waktu bilang ke Bapak sama Ibu kalau kamu ikut cerdas cermat, sekarang kok kamu malah takut?”
Dennis memilih untuk melihat ketiganya dari jarak dua meter, tidak berusaha untuk menenangkan adiknya. Dia juga tahu hari ini Marsha akan ikut cerdas cermat se-Gianyar, yang berarti ia tidak melawan teman-teman sekolahnya, tetapi melawan sekolah lain. Ia harus mengakui, Marsha memang sudah kelihatan pintar sejak kecil. Ia sudah bisa membaca dengan lancar saat masuk taman kanak-kanak, tulisannya juga sudah bagus sekali saat SD. Marsha selalu menjadi juara kelas dengan nilai yang nyaris sempurna, berbeda sekali dengan dirinya. Dennis malas belajar, tapi ia tidak bodoh. Nilai-nilai sekolahnya juga bagus, walau tidak sebagus Marsha. Ia juga termasuk siswa yang sering mendapat peringkat di kelas, tapi Marsha selalu menjadi nomor satu.
Dennis dulu bersekolah di SD tempat Marsha bersekolah sekarang, dan ketika para guru tahu mereka bersaudara, mereka selalu membandingkan keduanya, yang jelas saja, selalu menyudutkan Dennis. Tapi Dennis tidak peduli. Dan ia tidak merasa minder dengan adiknya. Ia justru bangga memiliki adik yang jauh lebih cerdas darinya.
Namun, sepintar apapun Marsha di mata orang-orang, jika Marsha berbuat salah dan tidak mau meminta maaf duluan, tetap saja Dennis akan kesal setengah mati dengan gadis itu.
Saking kesalnya, ia hanya menunggu sampai orangtuanya memberikan wejangan pada gadis itu.
Dan karena itu juga, ia tidak menyadari kini Marsha berjalan ke arahnya.
“Bang Dennis..”
Suara Marsha terdengar lebih berat dari biasanya, meski memang karakter suara Marsha seperti itu. Ia berdiri dengan takut mendekati Dennis.
Dennis hanya memandangnya dengan dingin, menunjukkan kalau dia masih marah karena ia harus mengerjakan tugasnya dua kali.
“Maafin aku.”
Dennis diam. Entah sudah berapa kali ia dibuat termangu oleh gadis kecil ini. Ia kesal karena Marsha selalu dibela orangtuanya, ia kesal karena ia selalu yang mengalah setiap kali Marsha berbuat salah, tapi entah mengapa ia tetap tidak tega melihat seorang Marsha menunduk tak mau melihatnya dan mengucapkan kata ‘maaf’.
Ia tidak membalas ucapan itu.
“Den, Marsha udah minta maaf loh.” ucap Bayu menyadarkannya.
Dennis masih tidak bicara.
“Aku emang seharusnya nggak ganggu Abang kalau Abang lagi ngerjain tugas..”
Gadis itu bercicit lagi. Benar-benar membuatnya tidak tega membuat gadis kecil ini memohon demi dirinya.
“Mar.” Dennis memegang bahu Marsha. Ia tersenyum. “Menang, ya.”
Tidak ada yang lebih membahagiakan melihat Dennis dan Marsha akur. Bayu dan Pratiwi percaya, sehebat apapun pertengkaran mereka, itu tidak akan membuat keduanya saling membenci. Tidak apa mereka saling mengejek satu sama lain di meja makan, asalkan mereka saling menyayangi. Mereka sangat bangga pada Dennis, yang meskipun sudah jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaannya karena orangtua mereka sedikit lebih memperhatikan Marsha dibanding dirinya, ia tetap saja menyayangi gadis itu.
“Buku-buku kamu udah semua?” Dennis bertanya ketika mereka selesai sarapan. Ia membantu ibunya membersihkan piring kotor bekas roti dan selai di meja makan, membawa semua itu ke tempat cuci piring di dapur, sementara ibunya menguncir rambut Marsha.
“Udah, Bang.” jawab Marsha melihat dirinya di cermin ruang tengah di samping televisi, senang dengan gaya rambut barunya. Ibunya membuat kepangan rapat di kedua sisi kulit kepalanya, kemudian kepangan itu diakhiri dengan kunciran di bawah kedua telinga. Ditambah kacamata berlensa tebal yang tidak pernah dilepas, Marsha betul-betul menampakkan aura kecerdasannya.
Hanya melihatnya seperti ini, membuat Dennis merinding.
“Nggak ada yang lupa, kan?”
Marsha menggeleng.
“Ya udah. Ayo, berangkat.”
Ahhhi gemeeees Uda kepooo
Comment on chapter 6 - Sakit