Loading...
Logo TinLit
Read Story - Amherst Fellows
MENU
About Us  

Kembali ke suatu sore yang cerah, Bara sedang duduk teras sebuah kafe sembari menulis buku catatannya. Berkali-kali ia mengibaskan tangan di depan wajah untuk mengusir asap rokok yang mampir ke hidungnya. Sejak tadi, ia memang terganggu dengan dua orang pria yang menghisap tembakau di meja sebelah. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa karena teras itu memang area yang diperuntukkan bagi para perokok. Namun, jika disuruh memilih, ia lebih suka bertahan di sana daripada masuk ke ruang utama kafe yang dipenuhi orang. Itu lebih membuatnya tak nyaman.

. . .

“Bebek berjalan berbondong-bondong, akan tetapi burung elang terbang sendirian.” — Ir. Sukarno

Kutipan itu masih menjadi favoritku sampai sekarang. Walaupun Tirta menuding kalimat itu kupakai hanya sebagai tameng atas ketidakmampuanku bersosialisasi, aku tak peduli. Kupikir, ini bukan tentang mampu atau tak mampu. Tapi tentang pilihan hidup. Buat apa bersama gerombolan jika hanya ikut-ikutan? Apalagi mayoritas tak memiliki tujuan yang jelas. Mereka mencari zona nyaman di balik gaya dan pilihan hidup orang kebanyakan. Nothing special. Bagaimana mereka bisa hidup dengan cara seperti itu? Sungguh, aku tak tahu. Yang kutahu, dunia hanya memberi pengakuan pada sesuatu yang unik. Yang orisinil. Yang sampai hari ini masih kucari agar aku bisa menjadi burung elang yang terbang sendiri.

“Find a truly original idea. It is the only way I will ever distinguish myself. It is the only way I will ever matter.” – John Nash

. . .

Tengah asyik menulis, tiba-tiba seseorang mengejutkannya.

“Hoiii!!”

Bara spontan menutup bukunya. Seorang pemuda berambut keriting dalam sekejap sudah duduk di depannya.

“Katanya mau stand up comedy-an. Kok masih di luar, Tir?” kata pemuda itu.

Bara tersenyum kecut dan berkata, “Ini aku Bara, Bud. Tirta sudah di dalam bareng yang lain.”

Pemuda yang biasa dipanggil Abud itu pun tersentak kaget. Matanya membelalak untuk memastikan dirinya tidak salah lihat. Abud baru ingat kalau Tirta punya saudara kembar. Ia merasa kecele. Suasana pun berubah canggung.

“E...eh, ternyata kamu, Bar. Apa kabar?” sapa Abud.

“Ya, seperti biasa lah.”

“Kuliah lancar?”

“Ya, gitu-gitu aja sih.”

“Udah punya gebetan belom?”

“Ya...gimana ya. Belum mikir gituan, Bud.”

“Oo gitu...ya..ya..ya. Ya udah, aku pesen minum dulu ya, Bar.”

“Oke.”

“Ntar ngobrolnya dilanjutin lagi. Bye...

Bye...

Abud pun masuk ke dalam dan tak kembali sampai acara berakhir. Bara sudah menduganya. Tidak mungkin anak itu keluar lagi hanya untuk ngobrol dengannya.

Abud adalah orang ketiga yang salah menyangkanya sebagai Tirta sore itu. Kalau ada seorang lagi yang keliru, mungkin dia perlu memberinya satu set piring cantik.

Sebenarnya, bukan hanya kali ini saja. Beberapa tahun terakhir, Bara sering disapa oleh orang yang tak dikenalnya karena dikira sebagai Tirta. Jika hal itu terjadi, ia akan tersenyum kecut dan menjelaskan dengan enggan kalau dirinya bukanlah Tirta. Barangkali rasanya sama seperti orang yang pergi ke sebuah toko memakai outfit yang mirip pramuniaga, tiba-tiba ada seorang pelanggan yang bertanya, “Mas, barang ini letaknya di mana ya?”. Orang itu pun terpaksa menjawab, “Maaf, saya bukan pelayan.”

Untuk menghindari hal-hal semacam itu, Bara bisa saja memilih tinggal di rumah dan membiarkan Tirta pergi sendiri ke acara reuni yang ia benci. Tapi ia memutuskan tetap berangkat demi memastikan Tirta tidak berbuat macam-macam.

Orang lain hanya tahu Tirta sebagai seorang super star, mahasiswa berprestasi, dan pemilik gelar mentereng lainnya. Padahal ada banyak sisi Tirta yang tersembunyi dari publik, dan Bara mengetahuinya luar dalam. Bagaimana tidak, Bara sudah hidup bersamanya lebih dari dua puluh tahun? Ia tahu kalau Tirta punya bakat besar, termasuk bakat untuk mengacau. Saat masih kecil, Tirta pernah memecahkan guci kesayangan Papa, tapi ia menuduh Zorro kucing Persia kesayangan Mama sebagai biang keladinya. Ia juga pernah lupa mengunci sangkar burung beo milik Tante Fatim, tapi tidak mengaku sampai sepupu mereka si Nanda dimarahi ibunya gara-gara burung beonya lepas. Tidak hanya itu, masih banyak lagi kekacauan yang dibuat Tirta. Semua itu karena rasa penasarannya yang tinggi. Tirta selalu ingin mencoba sesuatu yang baru, yang ujungnya jarang berakhir baik.

Meskipun Bara tahu hampir semua yang diperbuat Tirta, ia lebih memilih menyimpannya dan tidak melaporkannya ke Papa atau Mama. Karena, jika melapor, justru Bara yang kena marah. Pernah suatu hari, saat mereka masih SMP, Tirta mencoba sebatang rokok karena terpengaruh teman-temannya. Bara sudah berusaha mencegahnya, tapi Tirta tak peduli. Sepulang sekolah, Tirta batuk-batuk parah sampai harus dibawa ke rumah sakit dan opname selama tiga hari. Ketika Bara memberitahu kedua orang tuanya apa yang sebenarnya terjadi, Papa malah memarahinya dan bilang kalau ia tidak bisa menjaga saudaranya.

“Kau tahu kan kalau saat kecil Tirta pernah opname karena infeksi saluran pernafasan? Kenapa kau tak mencegahnya?” kata Papa murka.

Bara hanya tertunduk lesu. Ia tak berani menatap wajah Papa, apalagi sampai menjawabnya. Sejak saat itu, ia menjadi lebih protektif ke Tirta. Karena apapun yang menimpa saudaranya, bisa berimbas pada dirinya. Saking protektifnya, ia malah kurang memikirkan dirinya sendiri.

Saat SMA, Tirta menjalin hubungan istimewa dengan beberapa teman perempuannya. Tapi semua jalinan itu kandas gara-gara Bara hampir selalu ikut ke manapun mereka pergi. Entah bagaimana perasaan para mantan Tirta, ketika mereka jalan berdua, ada orang mirip pacarnya yang selalu membuntuti sebagai orang ketiga—meskipun biasanya Bara tetap menjaga jarak. Uniknya, Tirta tidak merasa terganggu dengan keberadaan Bara. Tapi tidak demikian dengan pacar-pacarnya.

Mereka sering bertanya, “Kenapa sih kembaranmu itu ikut terus?”

Tirta menjawab sambil berkelakar. “Lho, bagus dong. Kamu pacaran sama aku, tapi malah dapat bonus aku yang satu lagi. Itu namanya combo date. Beli satu gratis satu.”

Tak lama setelah itu, mereka putus.

Bagi Tirta, putus cinta tak berdampak apapun pada hidupnya. Ia tetap suka bercanda, mencoba hal-hal baru, dan—tentu saja—menjahili Bara. Otaknya tetap cemerlang, koleksi pialanya tetap bertambah. Bisa dibilang, Bara cepat move on dari satu cewek ke cewek yang lain. Seolah hubungan itu hanya untuk main-main saja.

Kebiasaan itu baru berhenti sekitar tiga tahun yang lalu saat mereka menginjak bangku kuliah. Entah apa yang terjadi, yang jelas Tirta tak pernah mengajak jalan cewek lagi. Mungkin dia ingin lebih fokus mengejar prestasi. Sampai-sampai, Bara yang selama ini menganggapnya sebagai orang yang tak pernah serius mengakui kalau Tirta sedikit berubah. Jika anak itu serius mengerjakan sesuatu, apapun yang ia inginkan pasti terwujud. Tapi bukan berarti Bara berhenti mengikutinya. Intensitasnya saja yang berkurang, karena aktivitas mereka sudah berbeda. Namun, jika ada kesempatan untuk membuntuti Tirta, Bara takkan melewatkannya. Termasuk saat reuni SMA sore itu.

“Ah, Tirta!”

Seorang gadis yang hendak masuk terkejut begitu melihat ‘Tirta’ duduk di teras kafe. Gadis itu buru-buru memalingkan muka. Bara yang menangkap adanya kesalahpahaman mencoba meluruskannya.

“Fiona! Aku Bara!”

Gadis bernama Fiona itu pun berhenti dan menolah ke Bara.

“Oh, maaf, Bara. Kukira Tirta,” kata Fiona yang merupakan salah satu mantan pacar Tirta.

“Tak masalah. Kau orang keempat yang mengiraku sebagai Tirta hari ini.”

“Ow, sorry. By the way, Tirta datang?”

“Ada di dalam.”

“Oh, kalau begitu aku duduk di sini saja, boleh?”

“Silakan.”

Fiona duduk di kursi yang tadi ditinggalkan Abud. Selama beberapa saat, hanya ada sunyi di antara mereka. Keduanya sama-sama canggung. Bara tahu, kisah Fiona dan Tirta berakhir karena gadis itu selingkuh dengan kakak kelas yang strata intelektual maupun ketampanannya jauh di bawah Tirta. Fiona sebenarnya hanya berniat untuk mengompori Tirta agar menuruti apa katanya, termasuk meminta Bara agar tidak ikut saat mereka jalan berdua. Ternyata rencananya berantakan. Tirta tak terpengaruh dan merasa nothing to lose, bahkan terlihat lebih bahagia. Itulah yang membuat gadis itu merasa bersalah sampai sekarang.

“Gimana kabarmu, Bara?” tanya Fiona memecah suasana.

“Baik. Seperti biasa,” jawab Bara santai.

“Kuliahmu lancar?”

“Lancar.”

“Masih suka ikut Tirta jalan?”

“Mmm.... udah jarang sih.”

“Oww....”

Karena merasa obrolannya garing, Fiona pun memilih untuk masuk ke dalam. Lebih baik menanggung sedikit malu bertemu mantan, daripada duduk semeja dengan kembaran mantan yang membosankan.

“Ehm, Bara, aku ambil minum dulu ya. Ntar kalau sempat kita ngobrol lain.”

“Oh, oke.”

Sama seperti Abud, Fiona masuk ke dalam dan tak kembali sampai acara berakhir. Sementara Bara terus duduk di sana, menulis catatan hariannya, sampai Tirta mengajaknya pulang ketika sore berubah petang. []

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Got Back Together
370      300     2     
Romance
Hampir saja Nindyta berhasil membuka hati, mengenyahkan nama Bio yang sudah lama menghuni hatinya. Laki-laki itu sudah lama menghilang tanpa kabar apapun, membuat Nindyta menjomblo dan ragu untuk mempersilahkan seseorang masuk karna ketidapastian akan hubungannya. Bio hanya pergi, tidak pernah ada kata putus dalam hubungan mereka. Namun apa artinya jika laki-laki hilang itu bertahun-tahun lamanya...
JEANI YOONA?
418      298     0     
Romance
Seorang pria bernama Nicholas Samada. Dia selalu menjadi korban bully teman-temannya di kampus. Ia memang memiliki tampang polos dan bloon. Jeani seorang perempuan yang terjebak di dalam nostalgia. Ia sangat merindukan seorang mantan kekasihnya yang tewas di bunuh. Ia susah move on dari mantan kekasihnya hingga ia selalu meminum sebuah obat penenang, karena sangat depresi. Nicholas tergabung d...
Monday
316      247     0     
Romance
Apa salah Refaya sehingga dia harus berada dalam satu kelas yang sama dengan mantan pacar satu-satunya, bahkan duduk bersebelahan? Apakah memang Tuhan memberikan jalan untuk memperbaiki hubungan? Ah, sepertinya malah memperparah keadaan. Hari Senin selalu menjadi awal dari cerita Refaya.
Pilihan Terbaik
4991      1501     9     
Romance
Kisah percintaan insan manusia yang terlihat saling mengasihi dan mencintai, saling membutuhkan satu sama lain, dan tak terpisahkan. Tapi tak ada yang pernah menyangka, bahwa di balik itu semua, ada hal yang yang tak terlihat dan tersembunyi selama ini.
Please stay in my tomorrows.
410      297     2     
Short Story
Apabila saya membeberkan semua tentang saya sebagai cerita pengantar tidur, apakah kamu masih ada di sini keesokan paginya?
BIYA
3365      1181     3     
Romance
Gian adalah anak pindahan dari kota. Sesungguhnya ia tak siap meninggalkan kehidupan perkotaannya. Ia tak siap menetap di desa dan menjadi cowok desa. Ia juga tak siap bertemu bidadari yang mampu membuatnya tergagap kehilangan kata, yang tak pernah ia sangka sebelumnya. Namun kalimat tak ada manusia yang sempurna adalah benar adanya. Bidadari Gian ternyata begitu dingin dan tertutup. Tak mengij...
Venus & Mars
6186      1596     2     
Romance
Siapa yang tidak ingin menjumpai keagunan kuil Parthenon dan meneliti satu persatu koleksi di museum arkeolog nasional, Athena? Siapa yang tidak ingin menikmati sunset indah di Little Venice atau melihat ceremony pergantian Guard Evzones di Syntagma Square? Ada banyak cerita dibalik jejak kaki di jalanan kota Athena, ada banyak kisah yang harus di temukan dari balik puing-puing reruntuhan ...
Come Rain, Come Shine
2049      951     0     
Inspirational
Meninggalkan sekolah adalah keputusan terbaik yang diambil Risa setelah sahabatnya pergi, tapi kemudian wali kelasnya datang dengan berbagai hadiah kekanakan yang membuat Risa berpikir ulang.
Return my time
323      273     2     
Fantasy
Riana seorang gadis SMA, di karuniai sebuah kekuatan untuk menolong takdir dari seseorang. Dengan batuan benda magis. Ia dapat menjelajah waktu sesuka hati nya.
She Is Falling in Love
554      350     1     
Romance
Irene membenci lelaki yang mengelus kepalanya, memanggil nama depannya, ataupun menatapnya tapat di mata. Namun Irene lebih membenci lelaki yang mencium kelopak matanya ketika ia menangis. Namun, ketika Senan yang melakukannya, Irene tak tahu harus melarang Senan atau menyuruhnya melakukan hal itu lagi. Karena sialnya, Irene justru senang Senan melakukan hal itu padanya.