Keheningan, hanya keheningan setelah pertarungan hidup mati antara sang Garuda dan juga sang Naga. Cahaya matahari yang menyinari pertarungan sengit tersebut perlahan menghilang terhalang oleh gumpalan awan hitam yang memenuhi langit biru.
Garuda yang telah mengambil alih tubuh Aris berdiri dengan penuh luka disekujur tubuhnya, dengan menatap langit yang mulai menitihkan air.
“Dengan ini keinginanmu sudah terkabul bukan ?”. Kata Garuda.
“Iya”. Jawab Aris yang melihat secara langsung pertempuran antara Garuda dan Naga didalam Garuda.
Rintik hujan yang berjatuhan semakin deras membuat tubuh Aris basah karenanya, dari kejauhan Icha melihat Ararya yang tergeletak ditanah dengan tombak yang menusuk jantungnya. Kedua kakinya tak sanggup untuk berdiri, untuk kesekian kalinya Icha terduduk dengan tatapan kosong dimatanya.
“Kenapa. Kenapa kau bunuh ayahku ?”. Icha berteriak dengan air mata yang telah bercampur air hujan dipipinya.
Garuda mendengar teriakan dari Icha, dia berbalik memandang Icha yang terduduk. Dengan pedang pataka keluarga Mahawira disampingnya.
Tatapan tajam terpancar dikedua matanya tidak kepada Icha tapi kepada pedang yang berada disampingnya.
“Kenapa…Dia adalah orang yang pantas untuk mati”. Jawab Garuda.
Mata Garuda melebar setelah merasakan sakit didadanya.
“Kau memberontak ya Aris ?”. Kata Garuda pelan. “Benar juga dia kan wanita yang kau cari selama ini. Apa kau memiliki kata-kata terakhir sebelum aku membunuhnya, Aris”. tambah Garuda kepada Aris.
Sesuai dengan dengan perjanjian, saat Aris mati Garuda mengambil alih tubuh Aris sampai ada seseorang yang berhasil menghentikannya, Garuda akan membunuh siapapun yang berada disekitarnya tanpa pandang bulu dan itu adalah syarat yang diajukan oleh Aris sendiri.
Aris menyadari kalau suatu saat dia menyerang keluarga Mahawira terdapat kemungkinan dia akan mati sehingga dia mengajukan persyaratan tersebut agar janjinya terpenuhi yaitu membunuh keluarga Mahawira.
“Jangan sentuh Icha”. Kemarahan Aris mulai membuat Garuda kesusahan untuk mengendalikan tubuhnya.
“Manaku tinggal sedikit jika terus seperti ini aku akan lebih cepat menghilang”. Kata Garuda yang mencoba menahan Aris untuk mengambil kembali tubuhnya.
“Huuuufffttt…”. Dengan mengambil nafas Garuda sepenuhnya mengambil alih tubuh Aris yang sebelumnya dia sedikit kesusahan karena pemberontakan Aris.
Senyuman terlihat diwajah Garuda, kemarahannya kepada Naga membuatnya membenci semua persapa Naga sekaligus keluarganya. Saat ini dikepalanya terdapat berbagai macam cara untuk membuat Icha menderita secara mental.
“Hei apa kau tahu hal kejam apa saja yang telah dilakukan oleh ayahmu kepadaku ?”. Icha tidak tahu kalau sebenarnya Aris telah mati dan tubuhnya saat ini digunakan oleh Garuda.
Icha mengangkat kepalanya dan melihat kearah Garuda.
“Dia adalah orang yang busuk, orang paling busuk yang pernah aku tahu. Dia telah membunuh ayahku tepat didepan mataku saat aku masih kecil, setelah itu dia mengangkatku menjadi anaknya. Setelah menjadi anaknya aku dibesarkan bukan dengan kasih sayang melainkan penyiksaan, pagi siang malam bahkan dalam mimpipun dia datang hanya untuk menyiksaku”. Teriak Garuda.
“Karena itulah dia adalah orang yang pantas untuk mati karena kebusukannya lebih busuk daripada bangkai”.
“Diam”. Emosi Icha terpancing oleh perkataan Garuda yang menghina ayahnya. Dengan kecepatan yang hampir setara dengan cahaya, Icha melompat dan mengayunkan pedang ke Garuda. Namun, ayunan pedang Icha tidak mengenai Garuda yang telah berhasil menghindari serangan Icha.
“Kau tidak mengetahui apapun soal ayah. Dia adalah orang yang baik, dia tetap merawatku meskipun dia tahu aku tidak akan mampu membantu mengembalikan kejayaan Mahawira”.
Dengan berteriak dia berlari dan menyerang Garuda menggunakan pedangnya. Icha tidak sekali menyerang Garuda seperti itu tapi berulang kali Icha menyerang Garuda menggunakan pedang pataka Mahawira. Dan setiap kali dia menyerang Garuda dapat menghindar dan memberikan serangan seperti pukulan diperut dan wajah.
“Jika kau terus seperti ini kau tidak akan bisa membunuhku, ayo keluarkan seluruh kemampuanmu. Benar juga kau hanya anak bodoh yang bahkan tidak tahu siapa dirinya”. Kata Garuda menghina Icha yang terengah-engah karena untuk pertama kalinya dia menggunakan pedang sebagai senjatanya.
“Heaaaaahhhh…”.
Terlihat samar-samar dipedang Icha dikelilingi oleh pusaran angin yang cukup besar. Garuda hanya tersenyum melihat hal itu.
Dengan berlari dengan tangan kanan yang memegang pedang Icha memberikan serangan yang menggunakan kemampuan makhluk mitologi miliknya di mata pedangnya. Saat Icha berada dijangkauannya dia mengayunkan pedangnya secara diagonal dari kanan bawah ke kiri atas.
“Serangan in…”.
Garuda yang telah mengantisipasi serangan tersebut mencoba menghindar tapi, sebuah hentakan dari dalam dirinya membuatnya terdiam dan membuat dadanya terkena serangan pedang Icha, tak hanya itu Garuda merasakan tebasan pedang Icha untuk kedua kalinya.
Kali ini tebasan secara horizontal dari kiri kekanan dan membuatnya terpental cukup jauh. Tubuh Garuda tergeletak ditanah dengan luka tebasan yang cukup parah didada dan perutnya.
“Arghh…”.
Garuda menahan rasa sakit sekaligus mencoba menahan agar kekuatannya tidak tersegel karena tebasan dari pedang pataka Mahawira mampu menyegel kekuatan dari makhluk mitologi termasuk garuda.
“Sial ! Aris berhentilah memberontak”. Teriak Garuda kepada Aris yang selalu mencoba untuk mengambil kembali kendali tubuhnya.
Hujan pada siang itu begitu deras, butiran air yang jatuh dari langit seakan memberikan berita buruk pada semua makhluk yang ada disekitarnya. Sebuah pertemuan yang selalu dinantikan selama bertahun-tahun harus terjadi diwaktu dan saat yang tidak tepat.
“Aarrrggghhh…”.
Garuda berteriak kesakitan bukan karena luka yang diberikan oleh Icha melainkan dorongan dari Aris yang mencoba mengambil kembali tubuhnya dari kendali Garuda.
Icha yang melihat Garuda dari kejauhan hanya berdiam diri mengamati keadaan Garuda sebelum dia melancarkan serangan. Tapi, teriakan Garuda yang terdengar begitu keras lama kelamaan mulai menghilang.
Icha tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada teman sekelasnya sekaligus yang telah membunuh ayahnya tepat didepan matanya. Icha hanya melihatnya berdiri dengan menundukan kepalanya dan tidak melakukan apapun.
“Icha…”.
“Jangan sebut namaku, dasar pembunuh”. Icha berteriak karena dia merasa terhina setelah namanya dipanggil oleh orang yang telah membunuh ayahnya.
Dengan bantuan angin dari kemampuan makhluk mitologi miliknya Icha meluncur dengan sangat cepat dan saat sampai pada jangkauan serangannya Icha melakukan tebasan secara horizontal namun serangannya dapat dihindari.
“Icha, ini aku Aris”.
“Aku tidak perlu mengingat nama seorang pembunuh”.
Setelah serangan yang sebelumnya dapat dihindari Icha langsung membalikan badannya dan berlari sambil mengayunkan pedangnya tapi musuhnya membisikan sebuah nama.
“Aku adalah Ajie Aristyo”.
Teriakan keras yang dilakukan Icha untuk menambah semangatnya untuk menyerang terhentikan saat sebuah nama dan membuat konsentrasinya menghilang sesaat dan membuatnya gagal melancarkan serangan.
Gerakan Icha terhenti setelah mendengar nama itu. Tiba-tiba sebuah penglihatan saat dia tidur muncul dipikirannya.
“Kenapa ? kenapa aku begitu senang mengetahui nama orang yang telah membunuh ayahku”. Bisik Icha kepada dirinya.
Sambil berdiri kedua mata Icha menitihkan air mata yang telah menyatu dengan air hujan yang jatuh membasahi tubuhnya. Dengan seluruh tubuh yang tidak memiliki semangat untuk menyerang Icha membalikan badannya dan melihat kearah Aris, yang telah berhasil mengambil alih tubuhnya.
“Icha, ini aku Ajie Aristyo”. Kata Aris lembut.
“Kenapa aku begitu senang saat melihatmu, kenapa ?”..
“Aku juga senang melihatmu lagi, Icha”.
“Diam !”. Teriak Icha sampai membuat Aris tersentak.
Meski hanya dengan bermodal dengan semangat Icha berlari dengan tubuh yang lemas menuju Aris dan menyerang Aris. berkali kali Icha menyerang Aris meski dengan air mata yang terus menetes.
“Kenapa kau tidak menyerangku ?”. Kata Icha sambil terus mengayunkan pedangnya. Namun Aris hanya diam tanpa membalas perkataannya.
“Kenapa ?”. Icha terus menyerang kearah Aris tanpa henti dan setiap serangan yang Icha lancarakan dengan mudahnya Aris menghindari serangan tersebut.
Dan sebuah sayatan dari Icha hampir mengenai Aris, namun dia dapat menghindar sekaligus menjaga jarak dengan Icha. Sesaat setelah Aris membalikan badan tanpa diduga Icha sudah ada didepannya dan menusukan pedang yang dia bawa.
Cipratan dari cairan berwarna merah mengalir pada mata pedang yang Icha bawa.
Beruntung bagi Aris sesaat sebelum mata pedang Icha menembus tubuhnya dia dapat menangkis tusukan Icha dan hanya melukai tangan kanannya yang digunakan untuk mengubah jalur lintasan pedang Icha.
“Kenapa kau tidak menyerangku seperti sebelumnya ?”. Tanya Icha kepada Aris yang sebenarnya bukan pertanyaan yang seperti itu yang ingin Icha tanyakan dan bukan kepada Aris dia ingin bertanya.
Dia hanya ingin mengetahui kenapa dia merasa senang saat bertemu dengan Aris yang telah membunuh ayahnya.
“Karena aku sudah berjanji”. Balas Aris tenang yang tetap bertahan dengan tangan yang masih memegang mata pedang Icha.
Perasaan Icha semakin tidak karuan bukan, pertanyaan yang Icha utarakan bukanlah pertanyaan yang dia tahu jawabannya tapi setelah mendengar jawaban dari Aris membuatnya semakin tidak berdaya untuk menghunuskan pedang kepada Aris.
“Kalau begitu aku akan membunuhmu karena itu adalah janjiku”. Kata Icha yang mencoba menguatkan diri untuk membunuh Aris dan langsung mengambil jarak dengan Aris yang penuh luka disekujur tubuhnya mulai dari tangan kiri yang hilang, dua luka sayat ditubuhnya dan tangan kanan yang telah terluka parah karena menangkis pedang dengan tangan kosong.
Disisi lain mendengar pernyataan Icha yang berjanji untuk membunuhnya membuat Aris kehilangan harapan untuk bersama dengan Icha.
Dibawah hujan yang turun dengan sangat lebat Aris yang sebelumnya selalu menatap Icha sekarang dia hanya menundukan kepala seolah semua beban yang dia bawa sampai saat ini telah sampai pada puncaknya.
Dulu Aris berjanji akan selalu melindungi Icha dari apapun dan sampai kapanpun, tapi karena sebuah peraturan dari kerajaan membuatnya harus berpisah dengan Icha. Dan tengah kesedihan saat meninggalkan Icha, Aris berjanji untuk kembali tapi dia tidak pernah kembali.
“Saat ini aku harus melaksanakan janjiku untuk melindungi Icha dari apapun tak terkecuali kutukan dari sang Garuda sekaligus kutukan dari persapa”.
Kutukan sang Garuda adalah kutukan yang diberikan garuda kepada orang yang telah membunuh persapanya sebelum menjalankan janjinya dan kutukan persapa adalah kutukan kepada seorang persapa yang gagal untuk menjalankan janjinya. Kedua kutukan tersebut adalah kutukan paling mengerikan bagi seorang persapa, meski dia mati maka kutukannya tersebut akan dia dapatkan setelah reinkarnasi.
“Untuk saat ini hanya ini yang dapat aku lakukan”.
Tangan dan seluruh tubuh Icha tak berhenti bergetar, dia mencoba menenangkan diri dengan mengambil nafas besar tapi tidak membuat tubuhnya berhenti bergetar. Sejenak Icha mengingat kejadian saat-saat ayahnya terbunuh oleh Aris.
Setelah dia telah meyakinkan diri untuk menyerang Aris, Icha berlari sambil berteriak dengan pedang yang mengeluarkan warna biru langit Icha menusuk Aris yang hanya menundukan kepala.
Mata Icha terbelalak setelah melihat apa yang dilakukan oleh Aris. Dia hanya diam tak bergerak sedikitpun saat pedang Icha menembus tubuhnya hingga membuat darah mengalir deras dipedang yang dibawa Icha.
Dengan kesadaran yang tersisa, Aris memegang pundak Icha agar dia tidak kemanapun. Meski rasa sakit yang amat sangat diperutnya Aris mencoba untuk lebih mendekat kepada Icha yang hanya terdiam melihat Aris.
“Maaf aku tidak bisa menepati janjiku waktu itu”.
Hanya perkataan singkat dari Aris membuat Icha membuka lebar kedua matanya, sebuah bagian yang dalam hidupnya yang terasa kurang ternyata ada didalam diri Aris.
Sebuah perasaan hangat dalam diri Icha mengelir dengan sangat cepat. Setiap kebersamaannya dengan Aris yang telah dia lupakan mendadak muncul. Semua ingata yang pernah Icha lupakan kini telah kembali.
“A…Aris”.
Tapi semua terlambat, saat yang paling Icha nantikan selama hidupnya untuk kembali bersama Aris hilang setelah pedang yang dia bawa menembus perut Aris.
Dengan cepat Icha menarik kembali pedang yang menancap ditubuh Aris. Tapi, Aris tidak memiliki tenaga untuk berdiri dan langsung jatuh kedekapan Icha. Dengan segera Icha meletakan Aris ditanah dan mengarahkan kedua tangannya dimana luka yang dia ciptakan dengan pedang pataka Mahawira.
Sambil menutup mata Icha merapalkan sebuah mantra kuno untuk menyembuhkan luka Aris dan tak lama berselang sebuah cahaya berwarna hijau muncul di telapak tangan Icha menandakan proses penyembuhan telah dilakukan.
Hujan pada siang hari itu seolah ikut merasakan sakit yang Icha rasakan, air turun dari langit dengan begitu deras seperti air mata Icha yang telah keluar begitu banyak setelah melihat Aris sekarat. Guntur yang mengelegar layaknya hati Icha yang berdegup dengan kencang mencoba menyembuhkan luka di perut Aris.
Dengan sekuat tenaga Icha mencoba dengan sepenuh hati untuk menyembuhkan luka yang dialami oleh Aris namun penyembuhannya terhenti saat kedua tangan Icha digenggam oleh Aris.
“Sudah cukup…kau tidak perlu menyembuhkanku…kau sudah berjanji kan…”. Kata Aris pelan.
“Tapi jika tidak kau akan mati”. Kata Icha sambil melanjutkan penyembuhannya.
“Icha… jika aku hidup kau akan…”.
“Diaammmm… aku tidak perduli dengan kutukan. Dengan senang hati aku akan menerima kutukan itu jika itu bisa membuatku terus bersamamu selamanya”. Icha berteriak memotong perkataan dari Aris yang kini kedua matanya mulai kehilangan cahaya.
Keheningan terjadi suara dari hujan yang sangat lebat tidak lagi terdengar oleh Icha yang telah tenggelam karena fokusnya telah tertuju pada penyembuhan luka dari Aris.
“Sudah hentikan…ini tidak ada gunanya”.Kata Aris sambil meletakkan tangan kanannya ditangan Icha yang berada diatas luka perut Aris.
Icha yang sebelumnya hanya menahan rasa sedih meski telah meneteskan banyak air mata, kini tak lagi dapat terbendung saat menyadari luka yang Aris derita tidak dapat disembuhkan. Perlahan wajah Icha tertunduk dan akhirnya keningnya menyentuh tangan kanan Aris.
“Aaaa….”. Dan menangis sekeras kerasnya.
Setiap tetesan air mata yang jatuh dari pipi Icha berisikan kemarahan dan penyesalan pada dirinya sendiri yang tidak dapat berbuat apapun untuk Aris. malah sebaliknya setiap tindakannya membuat Aris lebih menderita daripada sebelumnya.
“Kau tidak perlu menyalahkan diri sendiri Icha”. Icha terkejut dengan perkataan dari Aris, seolah dia bisa membaca apa yang Icha pikirkan.
“Kau adalah alasan aku bisa sampai sekarang, jika tidak aku sudah mati sejak lama”. Tambah Aris.
“Hentikan…”.
“Saat bertemu denganmu setelah lama berpisah aku merasa begitu bahagia. meski kita tidak bisa tertawa bersama sepeti dulu, tapi bertemu denganmu aku rasa sudah lebih dari cukup”.
“Aris kau sudah berjanjikan…”.
“O ya kau benar, maaf aku tidak bisa memenuhi janjiku”.
“Tidak mau aku tidak akan memaafkanmu jika kau pergi lagi”. Air mata Aris berjatuhan bukan karena hidupnya akan berakhir, tapi kesedihan karena dia tak dapat lagi membuat Icha tersenyum diakhir hidupnya.
“Icha aku punya satu permintaan”.
“Aku tidak mau mendengar permintaanmu sebelum kau dapat berdiri”.
Sebuah senyuman nampak diwajah pucat Aris, sebuah permintaan yang ingin dia katakan akan Icha dengarkan saat dia berdiri membuat kebahagiaan tersendiri bagi akhir hidup Aris.
Dengan tenaga yang tersisa, Aris mencoba bangkit dari tidurnya. Tubuh yang tidak berhenti mengeluarkan cairan merah hangat, kaki yang terus bergetar saat dipaksa untuk berdiri. Melihat kejadian itu membuat hati Icha semakin hancur.
“Li-lihat aku dapat…berdirikan”. Melihat kesungguhan Aris membuat hati Icha luluh dan ikut berdiri sembari memasang telinga baik-baik mendengar permintaan dari Aris.
“Aku ingin…kau…tersenyum”. Dengan terbatah-batah Aris mengatakan permintaannya, sebuah permintaan sederhana yang siapapun dapat melakukannya tapi amat sangat berat bagi Icha. Bagaimana bisa dia tersenyum saat melihat Aris yang sedang sekarat. Dengan sangat berat Icha berusaha tersenyum semanis mungkin didepan Aris. tak lama setelah dia tersenyum Aris membalas senyumannya dan berkata.
“Icha aku mencintaimu”. Sebuah kalimat sederhana yang memiliki makna begitu dalam bagi Icha. Dia tidak tahu apa yang akan dia katakan sebuah perasaan sedih dan bahagia menyatu menjadi satu membuat Icha tidak dapat berfikir dengan jernih. Tapi Cuma satu yang hatinya inginkan. Dengan cepat Icha meraih Aris dan memeluknya dengan erat.
“Aku juga mencintaimu, jadi kumohon jangan pergi lagi”. Teriak Icha.
Tak lama berselang tubuh Aris tidak memiliki kekuatan untuk berdiri, perlahan Aris dan Icha terduduk sambil berpelukan.
Pelukan hangat dirasakan oleh Icha namun hanya sesaat karena tubuh Aris menjadi dingin, detak jantung yang Icha rasakan saat memeluknya menghilang, perlahan mata Aris mulai menutup dan sebuah kalimat yang tidak ingin Icha dengar keluar dari mulut Aris.
“Terima kasih untuk semua, selamat tinggal”.
Tangan Aris yang mendekap Icha kini tergeletak ditanah. Menandakan sebuah perpisahan yang jauh lebih lama dari sebelumnya.
“AAAAAAAAAAAAHHHHHHHH!”. Ditengan hujan lebat Icha berteriak sekeras-kerasnya mengungkapkan rasa sedih didada. Sebuah pertemuan yang sangat cepat setelah perpisahan begitu lama, sebuah pertemuan yang seharusnya membuat perasaan Icha menjadi bahagia tapi takdir telah menentukan sesuatu yang berbeda.
Takdir telah membawa Aris kejalan yang berbeda dengan Icha membawa sebuah perpisahan yang membuat mereka tidak akan pernah dipertemukan untuk waktu yang sangat lama.
judulnya cantik
Comment on chapter Episode 1 - Bertemu