Suara azan mengalun merdu di pendengarannya, menandakan telah masuk waktu subuh. Rasa kantuk dan lelah masih menggelayari sekujur tubuhnya. Sepulang dari rumah sakit ia tidak menyentuk Kasur sama sekali, ia terus terjaga semalaman. Pikirannya berkecamuk, satu persatu pertanyaan beruntun menuntut untuk ia jawab. Apa harus putus? Lalu bagaimana vira? Apa vira akan bunuh diri lagi kalau aku tetap pada pilihanku? Dan lainnya.
Tidak sepenuhnya semalaman iya gunakan hanya untuk melamun dan meladeni pikirannya tentang kondisi itu. Sepertiga malam ia gunakan untuk shalat Sunnah tahajud dan membaca al-qur’an hingga suara azan mengumandang.
Rant mengakhir membaca al-quran dan lalu menutupnya dengan memanjatkan sedikit doa.
“Ya Allah, kuatkan lah hambamu ini. Berikanlah pilihan terbaik untuk hambamu dan vira. Amin” doanya singkat. Lalu ia berdiri dari duduk dan meletakan al-qurannya pada meja.
Ia berdiri diatas sejadah, masih ada wudhu yang ia jaga dari shalat tahajud dan membaca al-quran. Ia bersiap-siap ingin menunaikan shalat subuh. Sebelum memulainya ia menarik nafas sangat dalam dan menghembuskannya dengan kasar.
Terasa sekali beban dipundaknya kali ini. Entah cobaan seperti apa yang sedang tuhan suguhkan kepadanya kali ini. Jika dibandingkan dengan yang lalu-lalu, kali ini benar-benar cobaan yang sangat terasa membebaninya.
“ALLAHU AKBAR” rant mengerjakan shalatnya dengan penuh khusyuk.
Diakhir shalat, rant tidak melalukan hal yang biasa ia lakukan. Kali ini ia berdoa dengan bersungguh-sungguh, memohon petunjuk untuk keputusan yang akan menjadi penentu kedepannya.
Didalam setiap kata yang ia ucapkan terselip sebuah harapan besar, dan disetiap harapan itu berhasil membuatnya menitikan air mata.
Perlahan-lahan air mata itu tidak lagi menjadi butiran-butiran saja, kini ia benar-benar menangis tersedu-sedu.
“…….tidak ada yang abadi di dunia ini, lalu jika engkau menjadikan hubungan ini sebuah ujian. Hambamu ini ikhlas melakukannya. Namun jika hubungan ini hanya untuk menyakiti satu sama lain, tolong…….tolong berikan keduanya jalan masing-masing Allah……..” isaknya terus menjerikan doa, persetan dengan suara tangisnya yang kentara. Ia tidak peduli jikalau tetangga kos-kosannya mendengarnya menangis, selama tangis ini bisa mengurangi bebannya.
****
seorang perempuan menatap tajam pada pergelangan tangannya. Terdapat perban yang melingkar disana. Wajahnya terlihat bingung, “perban apa ini?”
sedari sadar dari pengaruh obat bius perempuan itu terus melihat disekelilingnya, tempat yang tidak asing baginya, dan ini seperti de javu.
Ini ketiga kalinya ia tersadar dirumah sakit, dan sejauhnya belum ada penjelasan yang masuk akal mengenai hal itu. Terakhir yang ia ingat, ia sedang didalam kamar dan memakan beberapa obat. Setelah itu iya lupa apa yang terjadi.
Perempuan itu adalah vira nisa. Perempuan tingkat akhir manajeman di salah satu universitas ternama di Indonesia. Perempuan yang terkenal di kampusnya dengan paras yang cantik, pintar serta cedas, berprestasi, dan siapa yang tidak kenal dengan dia. Mulai dari kakak tingkatnya yang dulu, hingga adik tingkatpun mengetahuinya. Ia bagaikan dewi yang sempurna dikampus tersebut.
Namun, belakangan ini ia seperti bingung dengan kondisinya. Dimana dalam kurun waktu delapan bulan ini sering kali ia bangun di rumah sakit. Dan ingatan yang terakhir ia ingat selalu sama, meminum obat.
“bagaimana keadaannya bu?” Tanya seorang perawat.
Vira tidak langsung menjawab, iya hanya menatap perawat tersebut beberapa detik lalu mengangguk mengiyakan.
“Alhamdulillah, kalau begitu siang ini wali ibu bisa langsung mengurus administrasi kepulangan. Kalau begitu saya permisi…”
“sus!”
“iya, ada yang bisa saya bantu lagi?” Tanya perawat itu dengan sopan tanpa menghilangkan senyumnya.
“kalau boleh tahu siapa yang menjadi wali saya ya sus? Dan juga, sedari tadi saya tidak melihat barang saya sus?”
“untuk wali ibu saya tidak tau siapa namanya, dan mengenai barang. Semalam ibu hanya mengenakan pakaian saja, dan tidak membawa barang apapun”
Vira hanya mengangguk tanda mengerti, “terima kasih sus” katanya datar tidak berekspresi.
“ada yang perlu saya bantu lagi?”
“tidak sus,”
“baiklah, saya permisi”
Seperginya perawat tersebut vira masih berkecimbung dalam pikirannya, “siapa yang menjadi wali aku?” pertanyaan itu yang selalu ia tanyakan.
Vira turun dari brankar ingin menuju ke kamar mandi, belum sepenuhnya ia turun gorden pembatas brankarnya di sibak dan berdirilah disana seorang yang sangat iya kenal.
nice prolog. cant wait next chapter. if you dont mind please check and like my story :)
Comment on chapter Prolog