Malam mulai datang saat aku selesai latihan. Aku menemui pelatihku usai berganti pakaian. Aku mengetuk pintu, tersengar seruan memintaku masuk. Ia sedang duduk di meja kerjanya sambil memandangi beberapa lembar kertas. Ia mendongak saat aku masuk.
" Ah, Aresh. Silakan duduk." Sapanya.
Aku mengangguk, lalu duduk di hadapannya, " Ada apa pak?" Tanyaku langsung.
" Begini, bapak amati, permainanmu sudah baik, sangat baik malah. Rasanya, membiarkanmu hanya bermain di club seperti menyia - nyiakan bakatmu, Resh. Bapak minta kamu ke sini, untuk membicarakan ini," Ia menyerahkan selembar kertas. Kertas formulir pendaftaran.
Aku mengamatinya, disitu tertulis " Formulir Pendaftaran Pelatihan " Aku kembali menatap pelatihku, meminta penjelasan.
" Itu formulir pendaftaran untuk mengikuti pelatihan di Spanyol."
Aku spontan mendongak, " Apa?"
Ia tersenyum, " Bapak mau, kamu ikut pelatihan itu. Akan ada beberapa rekanmu yang bapak minta untuk ikut. Tapi kalian harus melewati beberapa seleksi, siapa yang berhasil lulus, dia bosa mengikuti pelatihan disana. Selama dua bulan."
Aku terdiam. Kesempatan yang baik. Tapi, meninggalkan ayah dan ibu selama dua bulan, bukankah terlalu lama? Dan Sia, ia selalu membenci saat aku akan pergi.
" Pikirkan dulu Resh, masih ada banyak waktu. Kamu bisa bawa formulirnya." Ucap pelatih menambahkan.
Aku mengangguk singkat, lantas segera keluar ruangan. Berjalan dengan kepala tertunduk.
* * *
Aku sampai di rumah Sia setengah jam kemudian. Aku mengetuk pintu, tampak Sia berjalan mendekati pintu. Tersenyum menatapku. " Ayo masuk."
Aku melangkah masuk. Seorang anak laki - laki berusia lima tahun berlari menghampiri,
" Kak Aresh!" Ia Arham, adik bungsu Sia.
Aku menggendongnya, " Hai jagoan, gimana sekolahnya?"
" Arham dipilih ikut lomba mewarnai minggu depan kak." matanya berbinar saat mengatakannya.
" Bagus dong, nggak boleh kalah ya?" Aku mengusap kepalanya pelan.
" Nggak, nanti Arham latihan. Kak Aresh bantu cari gambar buat Arham ya?"
Aku mengacungkan ibu jari, " Siap."
" Arham makan dulu sini." Sia berteriak dari ruang makan. Aku menurunkan Arham. Ia langsung berlari menuju ruang makan. Aku mengikutinya.
" Oh ada Aresh ternyata, kapan datang?" Ibu Sia, tante linda, menyapa saat aku tiba di ruang makan.
Aku tersenyum, " Barusan tante, ini obat buat Risty." Aku menyerahkan obat yang tadi kubeli.
Ibu Sia menerimanya, " Terima kasih ya, ayo ikut makan dulu." Tante Linda menawari. Aku mengangguk, duduk di samping Sia.
" Tumben selesai jam segini, biasanya lebih awal." Kata Sia. Ia mengambilkan nasi untukku.
" Tadi ada urusan sebentar." Jawabku.
" Tidur di toilet?" Ia menatapku sambil menahan tawa.
Aku melengos, " Dasar aneh."
"qAyo dimakan Resh. Mumpung tante bisa masak hari ini."
Aku kembali mengangguk. Tante Linda seorang desaigner. Ia pernah memiliki suami. Namun suaminya meninggal dua tahun yang lalu. Kini hanya ada Tante Linda dan tiga anaknya. Beruntung, tante Linda sudah memiliki pekerjaan yang baik sebelum suaminya meninggal. Penghasilannya sebagai desaigner lebih dari cukup untuk menghidupi keluarganya. Jadwal yang padat membuat tante Linda sulit meluangkan waktunya bersama anak - anaknya.
Makan malam dipenuhi celotehan Arham dan keluhan Risty soal alerginya. Aku membantu Sia membereskan piring usai makan malam. Sementara tante Linda menemani Arham tidur di kamarnya.
" Aku seneng hari ini." Sia berkata setelah hening sebentar.
Aku menoleh menatapnya, " Kenapa?"
" Mama akhirnya bisa makan malam di rumah. Masak buat keluarganya lagi, aku bahkan hampir lupa gimana rasa masakan mama." Jelas Sia. Kedua tangannya masih terus mencuci piring - piring kotor yang kuberikan.
Aku tersenyum, " Semoga bisa berlangsung lama ya'. Aku suka makan malam disini."
Sia mengangguk. Pikiranku justru tertuju pada tawaran pelatih untuk memintaku pergi, mencari pengalaman lebih baik dalam sepak bola. Mungkin belum saatnya aku membicarakan hal ini kepada Sia. Aku tidak mau menggagu suasana hatinya yang sedang baik. Akan kubicarakan dengan ayah dan ibu nanti.