Ucapan Pak Sudibyo pagi tadi masih terngiang - ngiang di kepala Natasya. "Bulan depan akan ada olimpiade tingkat provinsi. Siapkan saja baik - baik. Bapak percayakan semua pada kamu." ucap beliau. Menepuk - nepuk bahu Natasya kemudian berlalu.
Lagi - lagi ia menghadapi pilihan yang rumit juga membingungkan. Beberapa hari yang lalu Nayla bercerita kepadanya, mamanya menuntut Nayla supaya bisa mengikuti olimpiade kimia. Jika tidak, entah apa yang akan dilakukan mamanya nanti.
Natasya tentu sangat ingin mewakili sekolah mengikuti olimpiade. Jika ia bisa memenangkan itu, akan menjadi keuntungan juga baginya. Apalagi dia ditunjuk langsung oleh Pak Sudibyo yang sebenarnya bukan guru kimia melainkan guru bk.
"Natasya!" panggil Bu Novita setengah berteriak. Mampu membuyarkan lamunannya. "Kenapa kamu tidak memperhatikan?"
"Maaf bu.. Eee.." jawabnya bingung mencari alasan.
"Coba kamu jelaskan lagi apa yang tadi sudah saya sampaikan!" perintah Bu Novita tegas.
Melihat teman sebangkunya kebingungan menjawab, Nayla berbisik nyaris tak bersuara supaya tidak ketahuan. "in - te - res" bisiknya dan langsung dibalas dengan anggukan oleh Natasya.
"Interes seni terdiri dari 3 jenis, interes pragmatis, interes reflektif, dan interes estetis. Interes pragmatis itu menekankan seni pada instrumental pencapaian tujuan tertentu. Interes reflektif men-"
"Cukup! Saya tahu kamu itu cerdas. Tapi jangan mentang - mentang kamu peringkat 1 terus kamu tidak memperhatikan pelajaran saya dan malah melamun seolah saya tidak ada. Tolong hargai saya sebagai gurumu! Kalau tidak mau silahkan kamu keluar! Toh kamu juga tidak perlu mengikuti pelajaran saya karena kamu merasa sudah pandai bukan?" potong Bu Novita panjang lebar. Membuat seisi kelas menjadi bungkam. Baru kali ini Natasya dimarahi oleh seorang guru. Bu Novita pula. Tidak biasanya Bu Novita meluapkan emosinya kepadanya. Bu Novita tengah mengandung saat ini. Membuat emosinya kurang terkontrol akhir - akhir ini.
Natasya tak menjawab. Ia hanya menunduk. Merasa bersalah karena telah membuat gurunya marah kepadanya. Tentu itu membuat nama baiknya tercoreng hanya karena dia melamunkan pembicaraan Pak Sudibyo yang masih terngiang - ngiang di kepalanya.
Bel istirahat berbunyi. Memberikan sedikit ruang untuknya bernapas lega. Menyelamatkan dirinya dari omelan yang mungkin akan berlangsung lebih lama. Tidak seperti biasanya Bu Novita bisa semarah itu kepada dirinya. Biasanya Bu Novita selalu bersikap ramah kepadanya. Toh Natasya juga teman baik anaknya, Adit. Natasya menengok ke bangku pojok belakang. Ingin melihat ekspresi Adit saat ini. Adit tertidur. Kepalanya ia tenggelamkan di tangan yang terlipat di atas meja.
Ia paham sekarang mengapa Bu Novita semarah itu tadi. Beliau mungkin ingin memarahi Adit yang sama sekali tak pernah menghargainya. Namun, ia tak akan pernah tega melakukannya. Dalam satu sekolah hanya Natasya yang tahu kalau Bu Novita adalah ibu tiri Adit. Guru - guru pun juga tak banyak yang mengetahuinya.
Natasya dan Adit sudah berteman sejak masih kecil. Sejak ibu kandung Adit masih berada di dunia ini. Juga sebelum orang tua Natasya bangkrut.
Dulu, dulu sekali, saat Natasya masih SD, ayahnya adalah seorang pengusaha. Entah apa pasalnya, perusahaan milik ayahnya itu ludes terbakar. Menurut perkiraannya, sepertinya ada yang dengan sengaja membakarnya. Mungkin pelakunya itu adalah saingan kerja ayahnya. Tetapi penjahat yang benar - benar jahat itu terlalu cerdik. Setelah melenyapkan perusahaan ayahnya juga sudah melenyapkan semua bukti yang ada.
Kejadian itu membuat ayahnya menjadi frustasi. Perusahaan yang telah ia bangun dari nol itu kini telah lenyap seketika. Tak sepadan dengan perjuangan membangunnya. Hanya menyisakan abu yang membekas. Seperti potongan luka yang membekas di hati ayah Natasya. Ia kini menjadi pengangguran. Ikut judi disana - sini hingga rumah mewahnya juga semua barang - barang miliknya yang menjadi jaminannya telah hilang hanya dalam hitungan detik saja.
????????????
Seperti hari - hari biasanya. Kantin selalu ramai ketika istirahat berlangsung. Di meja tengah kantin, Natasya tengah duduk sambip menyomongkan bibirnya, menopang dagu dengan tangan kirinya dan mengetuk - ngetukkan jemari kanannya di atas meja. Bosan menunggu Nayla yang tengah mengantre untuk memesan makanan.
Biasanya ia membawa bekal dari rumah karena malas menunggu antrean yang mungkin akan benar - benar sepi kalau jam istirahat sudah selesai. Juga karena ia tak ingin membuang - buang uang sakunya. Baginya dan mungkin juga bagi murid lainnya yang keluarganya kurang mampu, hampir semua makanan yang ada di kantin harganya sangatlah mahal. Bahkan harga satu porsi makanan sama dengan uang sakunya dalam satu hari.
Berhubung tadi ia terlambat bangun, ia lupa membawa bekal yang selalu disiapkan ibunya setiap pagi. Ia teringat ketika tadi ibunya berteriak memanggil namanya. Mungkin saja karena bekalnya tertinggal. Tetapi ia malah tak menggubrisnya sama sekali. Dan sekarang ia hanya bisa menyesalinya karena sekarang ia harus merelakan uang sakunya untuk menyumpal perut karetnya yang sedari tadi terus berbunyi meminta jatah makanan.
Wajahnya langsung berubah cerah ketika melihat Nayla menuju ke arahnya dengan membawa nampan berisi 2 mangkok bakso dan 2 gelas es jeruk.
Nayla meletakkan nampan itu di atas meja dan duduk di depan Natasya. "Lama banget ya? Sorry deh, lo liat sendiri kan berapa km panjang antreannya?"
"Yee lebay lo!"
"Udah buruan dimakan! Jangan cuma di ciumi doang baunya. Gue tahu perut karet lo itu udah keroncongan dari tadi kan?"
"Tau aja lo! Harusnya nih ya, kantin di sekolah kita tuh dilebarin dikit lah terus penjualnya juga ditambah banyakin. Biar ga perlu pake antre - antre segala. Dan yang paling penting dan utama, harganya juga harus diturunin semua biar ga mahal - mahal banget. Nah baru tuh kantin impian gue namanya." kata Natasya penjang lebar sembari mengaduk kuah bakso yang baru saja ia beri sambal.
"Ngomong apaan sih lo? Itu mah bukan impian tapi ngayal namanya. Sekalian aja ga usah bayar." sahut Nayla di sela - sela memakan bakso.
"Nah boleh juga tuh. Dan boleh ngambil sepuasnya. Bahagianya guee."
"Kalo mau protes jangan ke gue. Buat aja kotak saran kalo perlu langsung aja tuh protes sama kepsek." ucap Nayla membuat Natasya yang mulutnya penuh dengan bakso itu memonyongkan bibirnya. Nayla hanya bisa menggeleng - gelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya itu.
"Sya" panggil Nayla setelah hening sejenak.
"Hmm" jawabnya singkat. Masih sibuk mengunyah makanan di hadapannya.
"Denger - denger dari Kak Fian, bulan depan ada olimpiade kimia. Lo udah tau kan?" tanyanya memastikan sambil tersenyum. Justru malah membuat gadis di depannya itu tersedak.
"Aduh sorry - sorry, gue salah ngomong ya? Ini ni minum dulu!" ucap Nayla panik sambil menyodorkan segelas es jeruk.
"Engga kok ini gue tadi kebanyakan ngasih sambelnya, pedes banget." elaknya setelah meneguk satu gelas es jeruk, tanpa sisa.
"Perlu gue anter ke uks ga nih?" ujar Nayla sembari tersenyum jahil.
"Yee lo kira gue kesedak cogan? Pake ke uks segala. Oh ya, barusan lo ngomong apaan? Gue ga denger tadi, malah fokus makan bakso. Hehehhe" ucapnya nyengir tanpa dosa. Padahal jelas - jelas ia mendengar pertanyaan yang tadi dilontarkan Nayla hingga membuatnya tersedak setelah mendengarnya. Hanya saja ia bingung bagaimana cara menjawab pertanyaan itu.
"Ngomong apa ya? Duh gue lupa. Dah lah ga usah dipikirin ga penting juga kok." jawab Nayla berbohong. Ia tak ingin mengungkit pertanyaan itu yang akan membuat Natasya bingung mencari alasan untuk mengalihkan pembicaraan diantara keduanya. Mereka berdua saping memahami. Meskipun pemahaman itu tersirat. Hanya tatapan teduh yang bisa melihat bagaimana mereka berdua saling pengertian.
????????????
Suasana ruang kelas XI Mipa 6 riuh. Semuanya bergerombol. Saling bertukar cerita satu sama lain untuk membahas topik yang sedang hangat saat ini.
Di tengah suasana riuh ini, Adit dan Natasya tengah menyibukkan diru. Tak seperti teman lainnya yang asyik mengoceh. Natasya memutar bangkunya agar menghadap Adit yang duduk di belakangnya. Dengan earphone menyumpal salah satu telinga mereka. Adit tengah menemani atau lebih tepatnya tengah memperhatikan Natasya yang sedang membuat ringkasan materi kimia untuk ulangan harian besok paginya.
Sungguh sudah menjadi pemandangan yang biasa bagi siapapun di kelas itu begitu juga kelas lain ketika melihat Adit dan Natasya bersama. Mereka juga tidak akan pernah peduli apakah keduanya berpacaran atau pun tidak. Toh baik iya maupun tidaknya mereka berpacaran, mereka akan selalu menempel seperti perangko. Kecuali di saat - saat tertentu. Yang akan menjadi perbincangan adalah jika keduanya tak lagi menempep seperti perangko lantaran sala satu di antara mereka berdua telah memiliki pasangan. Tetapi apakah hal itu akan terjadi? Bagaimana akan ada yang mendekati kalau mereka selalu bersama? Pasti orang - orang di luar sana akan mengira keduanya adalah sepasang kekasih ketika melihat mereka sedang bersama.
"Nat izin ke toilet." seru Zidan, salah satu teman sekelasnya.
Natasya menatapnya tak percaya. "Kenapa izinnya ke gue? Kan ketuanya bukan gue?"
"Udah sama aja."
"Ga boleh." ujar Adit tanpa menengok ke Zidan. Masih tetap memperhatikan Natasya.
"Kalo gue kencing di sini gimana? Lo mau tanggung jawab?" jawab Zidan dengan wajah sok memelas.
"Lo mau kencing apa mau nangkring di kantin, hah?" kali ini ia menatap Zidan dengan geram sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Hehehe.. Tau aja nih Pak Ketu." sahut Zidan sembari nyengir tanpa dosa.
"Ya udah sana!"
"Beneran nih? Makasih Pak Ketu"
"Entar gue juga tinggal bilang ke guru kalo lo bolos. Gampang kan?" ucap Adit dengan santainya membuat Zidan yang sudah berada di pintu belakang kelas langsung membalikkan badannya mengingat setelah ini jamnya Pak Sudibyo.
Natasya tergelak melihatnya. "Jahat amat Pak. Entar kalo dia kurusan gimana?"
"Ya bagus. Jadi ga bakal nyakitin kursinya lagi." jawabnya santai masih dengan wajah datarnya.
????????????
cant wait next chapter
Comment on chapter Prolog