Pagi kembali datang untuk ke sekelian kalinya. Embun pun masih setia menggantung di setiap dedaunan juga bunga - bunga yang bermekaran setiap paginya. Kabut membungkus udara pagi. Dingin menyeruak hingga menusuk tulang rusuk.
Burung - burung kecil bersiul menyambut pagi. Beterbangan menembus dinding cakrawala. Mencari santapan pagi entah kemana.
Seutas cahaya masuk ketika Natasya menyingkap gorden. Ia menghirup napas dalam - dalam kemudian menghempaskannya melalui mulut.
Sungguh pagi yang indah. Cocok untuk mengawali hari ini. Hari yang amat menyibukkan.
Ia melirik jam tagan yang melingkar di tangan kirinya. Pukul 06.10. Sudah saatnya untuk berangkat sekolah. Sebelum itu, ia berdiri di depan cermin yang menempel di dinding kamarnya. Merapikan pakaian yang ia kenakan. Menata rambut yang sengaja ia gerai.
Diambilnya tas abu - abunya yang tergeletak di atas kasur. Ia bergegas keluar kamar dan menuju samping rumah. Tepat dimana ia meletakkan sepedanya.
Pagi ini cerah. Udara pun sejuk. Natasya memasang gurat wajah bahagia. Mengangguk dan tersenyum tiap kali berpapasan dengan orang lain.
Sembari mengayuh sepedanya, ia memasang earphone di telinganya. Bersenandung ketika lagu kesukaannya diputar. Gadis itu, gadis cantik berambut sebahu yang duduk di kelas XI. Sekolahnya tak jauh dari rumahnya. Setiap hari ia mengayuh sepedanya menuju sekolah. SMA Taruna.
Dia gadis yang pintar, baik, ramah, juga periang. Serta aktif dalam organisasi OSIS dan PMR.
20 menit berlalu.. Natasya memasuki gerbang sekolah dan menuju tempat parkir sepeda. Satu hal yang sering membuatnya sedikit penasaran. Di tempat parkir sepeda selalu ada satu sepeda motor ninja berwarna merah yang terparkir.
Ia tak pernah tahu siapa pemiliknya. Yang ia tahu pasti pemiliknya adalah anak urakan dan tidak disiplin. Buktinya ia malah memarkirkan sepeda motornya di tempat parkir sepeda sementara sekolah sudah menyiapkan tempat parkir sepeda motor yang tentunya jauh lebih luas.
Sekolah masih terlihat sepi. Padahal menurutnya saat ini sudah terbilang siang. Mungkin mereka masih enggan mengorbankan pagi yang sangat nikmat dan memilih untuk melanjutkan bunga tidurnya.
Natasya menyusuri koridor menuju kelasnya yang berada di lantai 3. Kelasnya berada paling ujung. Kenyataan yang menyebalkan. Cukup mengeluarkan tenaga juga menyita sedikit waktu.
Seperti dugaannya. Kelas masih kosong. Hanya pemandangan tak mengenakkan mata yang terlihat. Meja kursi berantakan, papan tulis penuh coretan, sampah masih berceceran, yang membuat Natasya hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Risiko menjadi anak yang datang lebih awal. Mau tidak mau harus membersihkannya kalau tak ingin berlama - lama melihat pemandangan yang "menyedihkan" ini sembari menunggu yang lain datang.
Ia mengawalinya dengan menyapu sambil memunguti sampah sambil mendengus kesal. Bagaimana mungkin sampah - sampah bisa terkumpul di mejanya. Ia mendengus kesal lagi mengingat kejadian kemarin Jumat ketika para perusuh kelas berkumpul di mejanya menyontek tugasnya sambil menikmati suguhan camilan. Bahkan pepatah "habis manis sepah dibuang" saja tidak pantas untuk mereka.
Meskipun kesal dan penuh helaan napas, akhirnya kelas yang seperti gudang itu selesai juga ia bereskan. Ia melirik jam tangannya. Pukul 06.45. Natasya melotot. Bagaimana mungkin sesiang ini belum ada yang berangkat sama sekali. Masih sepi seperti saat ia berangkat. Ia mengelilingi sekolahnya dengan masih membawa sapu. Kosong. Tak ada orang. Bukankah tadi ada sepeda motor yang terparkir di dekat sepedanya?
Hari ini hari Senin. Bukan hari Minggu atau pun hari libur. Ia sudah memastikan itu. Lantas kenapa sekolah masih kosong bahkan guru - guru pun belum ada yang berangkat.
"Tasya!" refleks ia menengok. Mencari muasal suara itu. Kosong. Tak ada siapapun disana kecuali dirinya sendiri.
"Tasya!" lagi - lagi tak ada siapapun. Ia bergegas mempercepat langkahnya. Dan tiba - tiba, brukk.. Ia sempurna menggelinding, terjatuh dari ranjang tempat tidurnya.
Di dekatnya ibunya berdiri berkacak pinggang sambil menatapnya geram. Nyawanya masih belum sempurna kembali ketika ibunya mengomelinya. Menyadari omelannya sama sekali tak digubris, ibu mengambil jam weker yang tergeletak di atas nakas dan menyodorkannya tepat di depan wajah Natasya. Hingga membuatnya melotot sempurna. Ia mengucek - ngucek matanya. Kali saja matanya masih belum fokus untuk melihat. Sayangnya tidak begitu. Sama sekali tidak salah lagi. Pukul 06.45. Sama persis ketika ia melirik jam tangannya saat berada di mimpinya.
Ia langsung membuang guling yang tadi ia peluk. Dan berlari keluar kamar menuju kamar mandi. Melihat tingkah laku anaknya itu ia hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil menghela napas.
Setelah bersiap - siap dengan tergesa, ia berlari melewati ibunya yang tengah melayani pembeli.
Natasya tinggal di sebuah ruko. Di dekat apartemen - apartemen yang mewah. Berbeda jauh dengan ruko miliknya. Ibunya menjual ayam bakar di lantai bawah. Sedangkan lantai atas digunakan untuk tempat tinggal.
Tak ingin membuang - buang waktu lebih lama lagi, ia mengayuh sepedanya dengan cepat. Seperti sedang mengikuti pertandingan balap sepeda. Tak menghiraukan ibunya yang berteriak meneriaki namanya.
Tidak seperti di dalam mimpinya yang bersikap ramah ketika berpapasan dengan orang lain. Tatapannya terus fokus ke depan. Harap - harap cemas gerbangnya masih terbuka lebar - lebar.
Sayang, rantai sepedanya malah terputus di saat - saat seperti ini. Mungkin karna saking kuatnya ia mengayuh sepeda yang sudah tua itu. Itu saja baru satu km dari rumah. Berarti masih tersisa dua km lagi. Dan sialnya sudah pukul tujuh lewat lima menit sekarang. Pupus sudah harapannya untuk menghindari pertemuannya dengan Pak Sudibyo.
Ia mendorong sepedanya dengan kesal. Percuma saja, ia mau berlari sekencang apapun juga pasti tetap akan terlambat.
Ada dua pilihan yang keduanya tak ada yang ingin ia pilih. Pertama, meninggalkan sepedanya di bengkel kemudian naik angkot dan bertemu dengan Pak Sudibyo. Atau pilihan yang kedua, bolos sekolah dan pulangnya di hadang ibunya dengan tatapan geram dan tentunya hukuman siap menemuinya. Ia mendengus kesal entah untuk yang ke berapa kali.
Baru satu minggu berangkat sekolah setelah liburan kenaikan kelas saja ia sudah mengotori namanya dengan menambah poin hanya karena terlambat. Sungguh menyebalkan baginya.
Ia mencubit - cubit pipinya sendiri agar terbangun dari mimpi buruknya ini. Namun, sayangnya ini kenyataan bukan kelanjutan dari mimpinya tadi pagi.
Suara klakson membuatnya terkejut. Sebuah mobil spot berwarna hitam berhenti di dekatnya. Kaca mobil bergerak turun. Seorang laki - laki berpakaian seragam seperti dirinya melongok dari kaca mobil yang sudah terbuka.
"Hai Nat" sapa laki - laki itu.
"Hai Kak Fian" balas Natasya sedikit grogi. Fian adalah ketua OSIS sekaligus ketua PMR di sekolahnya. Dia murid kelas xii, masuk ke dalam kelas unggulan. Dia juga sangat populer di sekolah karena ketampanannya. Tapi sayangnya dia sudah memiliki kekasih, Nayla namanya. Sahabat Natasya sejak kelas x.
"Sepeda kamu kenapa? Putus lagi rantainya?" tebak Fian tepat sasaran. Ia tak menjawab. Hanya mengangguk, meringis, dan menunduk karena merasa malu sudah berulang kali Fian mendapatinya sedang mendorong sepedanya karena rantainya terputus.
Beruntung, nasib ternyata berpihak kepadanya. Fian menawarkan diri untuk membantunya. Dan tentu saja langsung diterima Natasya tanpa mempertimbangkan gengsi.
Fian mendorong sepeda Natasya menuju bengkel yang tak jauh dari tempat ia meninggalkan Natasya juga mobilnya. Setelah itu ia kembali ke mobilnya dan mengantar Natasya ke sekolah.
Seharusnya hari ini ia mendapat tugas dari sekolah untuk menyerahkan laporan kepada pengurus penggalangan dana korban bencana. Berhubung melihat Natasya tadi maka ia berniat mengantarnya terlebih dahulu ke sekolah. Beralasan ada barang yang tertinggal di kelas ketika ditanya oleh guru.
Seperti tebakan. Pintu gerbang sudah tertutup rapat - rapat. Hanya ada Pak Sudibyo yang masih stay disana. Beliau lebih mementingkan muridnya yang terlambat daripada mengikuti upacara bendera. Matanya tajam menengok ke kanan dan ke kiri. Tidak akan membiarkan muridnya lolos masuk dengan cuma - cuma.
Fian mengeluarkan kepalanya dan berkata, "Permisi Pak, maaf barang saya tertinggal di kelas." Langsung saja Pak Sudibyo mengangguk dan malah beliau mau membukakan gerbangnya untuk Fian. Semua memang akan menjadi mudah bagi seorang Fian. Guru yang terkenal killer saja dengan mudah langsung luluh jika berhadapan dengannya. Natasya yang tengah menyembunyikan diri tertegun melihatnya.
Karena semua orang masih berada di lapangan untuk melaksanakan upacara, Fian membantu Natasya untuk bersembunyi di UKS. Jikalau ada guru yang menanyakannya tinggal jawab saja bahwa dia anggota PMR dan sedang bertugas sekarang.
Setelah mengamankan Natasya, Fian kembali ke parkiran dan kembali mengurus tugasnya yang tadi sempat tertunda.
Natasya bisa bernapas lega sekarang. Ia tak jadi mengotori nilainya dengan poin terlambat.
Ia tersenyum menyeringai. Tak bisa membayangkan apa jadinya jika ia tidak bertemu dengan Fian tadi. Jujur saja, ia memang merasa kagum dengannya sejak mpls kelas x tahun lalu. Namun sayangnya Fian lebih memilih Nayla sahabatnya sendiri.
Ia menepiskan tangannya. Berusaha membuang jauh - jauh perasaannya. Ia tak ingin terlalu berlebihan menanggapi kebaikan dan semua perhatian Fian. Toh memang itu perilaku Fian yang sebenarnya. Berbuat baik kepada semua orang, siapapun tanpa terkecuali. Bahkan Fian tak pernah berpikiran untuk memberikan harapan palsu. Mereka - mereka saja yang terlalu senang mendapat perhatian dari Fian dan menganggap lebih semua kebaikan itu. Natasya sama sekali tak ingin seperti cewek - cewek yang mengaku menjadi korbannya. Lagi pula Fian itu pacar sahabatnya sendiri.
Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas kasur yang berada di dalam UKS sembari menunggu upacara selesai. Ia memejamkan matanya. Berniat melanjutkan mimpinya tadi pagi. Senyum - senyum sendiri ketika membayangkan dirinya terjatuh karena bertabrakan dengan Fian bukannya malah karena menggelinding dari atas kasur.
"Astaga!" pekiknya sambil menepuk jidadnya. Ia cepat - cepat keluar untuk mengejar Fian. Celingukan ke sana kemari mencari sosok Fian. Tetapi yang didapatinya malah sesosok Pak Sudibyo yang tengah berpatroli sambil membawa tongkat kesayangannya yang selalu beliau gunakan untuk memukul murid kesayangannya alias murid yang melanggar aturan.
Natasya langsung berbalik arah dan mempercepat langkahnya. Berharap Pak Sudibyo tidak melihatnya.
"Natasya Octaviani Handoyo!" panggil Pak Sudibyo, dengan nama lengkap pula. Mampu membuat jantung Natasya hampir copot.
"Mati gue!" desisnya pelan nyaris tak terdengar. Ia menghampiri guru itu dengan langkah kaku. Tak tahu apa yang akan ia katakan nanti.
"Muka kamu pucat sekali?" kata Pak Sudibyo, entah pertanyaan atau pernyataan. Ingin sekali ia menjawab, "Ini karena saya bertemu dengan Bapak!". Namun, kalimat itu hanya tersangkut di tenggorokan. Tak mampu ia keluarkan secara gamblang.
cant wait next chapter
Comment on chapter Prolog